
"Kamu nggak apa-apa?"
Lila buru-buru menggeleng. "Aku bisa pulang sendiri. Kamu nggak usah khawatir!"
"Maaf ...." Gio sendiri tidak paham, kenapa harus melirikan kata itu sebelum berlalu dari hadapan Lila.
Sayangnya, kamu selalu ada bukan cuma untukku, Gi ....
Bab 7 (Gina's Birthday Party)
Padahal alasannya sudah bagus dan tidak mengada-ada, ingin mengangkut makanan ke rumah Gio, tapi Mama masih belum mau menyerahkan kunci mobil Lila. Sebagai gantinya, ia malah memesan layanan pesan antar makanan online. Berhubung sudah pukul enam sore, Lila mengalah. Kali ini waktunya sangat sempit untuk kembali membahas perkara nabrak dan hampir nabrak itu.
Gio dan Sandi membantu kurir mengangkat puluhan kotak makanan ke mobilnya yang sudah terparkir dengan posisi membelakang di pelataran Tamalatea. Kotak-kotak itu hasil karya Mbak Mia, diisi aneka kue basah dengan hiasan lucu-lucu sesuai segmen anak-anak. Gio memastikannya tertata sebaik mungkin, agar isinya tidak berantakan saat tiba nanti.
"Gi, titip salam sama keluarga di rumah. Maaf, Tante nggak bisa datang." Hania yang masih mengenakan mukena selepas shalat Magrib muncul dari pintu utama Tamalatea.
"Siap, Tan!" Gio tersenyum lebar, alih-alih berterima kasih atas puluhan kotak makanan yang hari ini diangkutnya secara gratis. Spesial untuk ulang tahun Gina.
Setelah semuanya beres, Gio membiarkan mobil pengantar makanan itu berangkat duluan. Ia dan Lila segera menyusul menggunakan motor.
"Ma, berangkat, ya." Lila mencium tangan Hania.
Gio melakukan hal serupa.
"Hati-hati!" pesan Hania.
***
Malam ini ruang tamu kediaman keluarga Gio dipenuhi ornamen-ornamen khas birthday party bernuansa pink. Dekorasinya tidak terlalu mewah, menyesuaikan dengan ukuran ruangan yang memang tidak sebegitu luas. Gina yang malam ini mengenakan dress pink tampak anteng di kursi rodanya. Sesekali ia hanya memainkan mahkota yang bertengger di kepalanya. Sebagian teman-temannya—yang juga berkebutuhan khusus—sudah datang bersama orangtua mereka.
Lusi, ibu Gio, mendampingi Gina, kalau-kalau anak itu butuh apa-apa. Sementara Salim, ayah Gio, berada di luar untuk menyambut tamu-tamu yang baru datang. Keluarga Gio terbilang sederhana. Cinta dan kebersamaan yang selalu mencukupkan mereka. Ayahnya bekerja di kantor pos, sementara ibunya memanfaatkan keterampilan menjahit untuk meringankan beban suami.
Salim turun ke halaman begitu melihat kedatangan Gio dan Lila yang disusul sebuah mobil yang langsung mengambil posisi parkir membelakang.
"Ada kiriman makanan dari Tante Hania." Gio menjelaskan sebelum ayahnya bertanya.
Salim hanya ber-o tanpa suara. Setelah menyambut Lila dengan dekapan singkat, ia merapat ke mobil untuk membantu Gio dan kurir menurunkannya. Kotak-kotak makanan itu kemudian dibawa ke dalam dan disusun rapi di sudut ruangan.
Sambil Gio masih sibuk dengan makanan-makanan itu, Lila langsung ke dalam. Ia menyapa orang-orang yang dilaluinya, sebelum tiba di samping Tante Lusi. Seperti suaminya tadi, Lusi langsung memeluk Lila. Sudah sejak lama mereka memang mengaggap Lila seperti anak sendiri. Lepas dari pelukan Tante Lusi, Lila bergeser sedikit, merapat ke sisi Gina. Kemudian ia menyodorkan kadonya, sebuah kotak musik berbentuk piano dengan tuts yang benaran bisa dipencet. Masing-masing tuts akan mengeluarkan melodi yang berbeda-beda. Lila sengaja tidak membungkusnya, hanya diwadahi paper bag agar Gina bisa langsung melihatnya. Sepasang mata Gina berbinar antusias melihat bentuk kotak musik itu, terlebih setelah tahu benar-benar bisa mengeluarkan suara piano yang sangat akrab di telinganya.
"Gina suka?" tanya Lila sambil membenarkan letak mahkota di kepala adik sahabatnya itu.
Gina hanya mengangguk, kemudian kembali menekan tuts lainnya. Sekali lagi benda mungil itu mengeluarkan bunyi yang membuat Gina jingkrak-jingkrak di kursinya.
"Terima kasih, kamu selalu bisa membuatnya tersenyum," bisik Lusi.
Lila menoleh, kemudian sejenak merebahkan kepalanya di bahu perempuan yang sepantaran dengan mamanya itu, alih-alih mengucapkan 'sama-sama'.
Sekitar 20 menit kemudian mini party birthday itu dimulai. Selain mendampingi Gina, Salim sekaligus merangkap sebagai MC. Pertama-tama, lelaki berumur 46 tahun itu memberi sambutan dan ucapan terima kasih kepada mereka yang sudah meluangkan waktu untuk hadir. Selanjutnya, ia memaparkan bagaimana Gina, dengan segala keterbatasannya, bisa sangat membanggakan di matanya. Bagian ini tiba-tiba saja menghadirkan sendu menyelimuti ruangan itu. terlebih, para orangtua yang hadir merasa senasib memiliki anak yang sering dianggap aneh dan disepelekan. Menyadarinya, Salim segera beralih topik, tak ingin merusak suasana. Ia menginstruksikan kepada istrinya untuk menyalakan lilin dan segera disusul menyanyikan bersama jingle Selamat Ulang Tahun. Di penghujung lagu, dengan diarahkan ibunya, Gina meniup lilin. Bahkan untuk hal sesederhana itu ia tampak kepayahan. Tapi, sepasang mata kecilnya memancarkan semangat serta tekad untuk jadi 'orang' di masa mendatang.
Pemandangan selanjutnya, saat Om Salim meraih Tante Lusi dan Gina untuk disatukan dalam dekapannya, lalu mencium kening mereka, tiba-tiba saja membuat sepasang mata Lila menghangat. Ada rasa iri serta momen kehilangan yang menyeruak di dadanya. Beberapa jenak ia menunduk, kemudian kembali menegakkan kepala setelah berhasil memasang tanggul di tepian matanya. Meski duduknya agak jauh, ekspresi itu tidak luput di mata Gio. Cowok itu selalu ingin menyiapkan bahu ketika Lila tiba-tiba jatuh ke titik itu lagi.
Setelah potong kue, Lusi mengarahkan tamunya untuk mencicipi hidangan yang telah disiapkan. Menerima kode dari Lila, Gio segera bangkit untuk membantu membagikan makanan yang dikirimkan Tante Hania. Saat mereka menikmati kebersamaan itu, larut dalam obrolan hangat, Lila meminta izin kepada Om Salim untuk memainkan piano yang memang sudah disiapkan di sisi kanan ruangan. Ia akan melunasi janjinya kepada Gina.
Lila lekas mengambil posisi setelah dipersilakan. Sebelum memulai aksinya, cewek ber-dress selutut itu menarik perhatian dengan mengucapkan salam kemudian menyampaikan niatnya untuk menghibur Gina dan teman-temannya. Yang dibawakan Lila kali ini tentu saja bukan lagu klasik, melainkan lagu anak-anak yang penuh keceriaan. Gina dan teman-temannya tampak sangat menikmati. Mereka bertepuk tangan sambil tertawa-tawa. Beberapa ikut bernyanyi dengan semangat, meski terkadang lirik yang dilafalkan hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri. Berada di tengah pemandangan itu membuat Lila kembali berucap syukur dalam hati karena telah dilahirkan dalam kondisi fisik yang lebih beruntung.
Usai memainkan tiga lagu sesuai rekomendasi Google, Lila ke belakang untuk membantu Tante Lusi menyiapkan paketan sederhana yang akan diberikan kepada teman-teman Gina sebelum pulang nanti, sebagai ucapan terima kasih karena sudah datang.
"Sebenarnya Gio kerja di kafe keluargamu sebagai apa, sih? Kok, Tante perhatiin sering banget bolos." Lusi membuka obrolan tanpa mengurangi kegesitan tangannya. "Malam ini contohnya, bolos lagi, kan?"
"Entah seperti apa surat perjanjian kerja yang disepakatinya sama Mama." Lila terkekeh pelan. "Di mata Mama, Gio itu bukan karyawan biasa. Mungkin semacam maskot."
Mendengarnya, Lusi ikut terkekeh. "Kamu ini ada-ada aja, deh." Lusi sampai menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"Dan bagi Lila sendiri, Gio itu lebih dari sekadar sahabat, Tan. Gio sangat berjasa, sudah menemani saya melewati masa-masa sulit kemarin."
Menyadari sentuhan nada getar, sejenak Lusi beranjak dari kesibukannya, untuk sekadar mengelus punggung sahabat putranya itu. "Kamu anak yang baik, pasti Tuhan menyiapkan rencana indah untuk masa depanmu."
"Makasih, Tan." Kedua sudut bibir Lila terangkat.
"Tante pengin, deh, kamu jadi anak tante juga," celetuk Lusi setelah kembali sibuk dengan sisa pekerjaannya.
"Loh, bukannya sejak lama Lila emang udah kayak anak Tante?"
"Maksudnya, kamu sama Gio nikah gitu suatu hari nanti."
"Eh ...?" Lila mendadak kehabisan kata.
"Kenapa, mau bilang kalian cuma sahabatan?"
Lila tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk memindahkan ke dalam keranjang paketan yang sudah rapi.
"Asal tahu aja, ya, Tante sama Om dulunya juga sahabatan. Tapi perihal masa depan, siapa yang tahu, kan?"
Lila bingung harus merespons seperti apa.
***
Acara sudah berakhir, menyisakan pengalaman yang cukup berkesan di benak Gina. Sekarang anak itu sedang sibuk dengan kado-kadonya di kamar. Gio sedang membantu ayah dan ibunya membereskan sisa pesta, ketika sadar tidak melihat Lila sejak tadi. Kemudian ia pamit ke belakang untuk mencarinya.
Gio menemukan cewek berambut lurus itu sedang merenung di beranda belakang. Tatapan kosongnya mengarah ke kebun organik Tante Lusi, yang samar-samar di bawah temaram. Di beranda itu hanya ada satu lampu lima watt, menyemburkan cahaya kekuningan ke sekitarnya. Gio berdeham, kemudian ikut duduk di dipan yang biasa digunakan ibunya setelah lelah 'bermain-main' dengan kebunnya.
"Kok, malah di sini?" Gio berujar pelan.
Beberapa jenak hening.
"Keluargamu hangat, Gi." Nada getar itu lagi, perlahan-lahan menggerakkan lengan kanan Gio hingga melingkari punggung Lila.
Kembali hening. Gio sedang berusaha menyalurkan energi positif yang semoga bisa menenangkan hati cewek di sampingnya.
"Aku nggak ngerti, kenapa masih harus kayak gini. Padahal kasih sayang Mama, perhatian kamu ..." Lila menoleh, menancapkan tatapan tepat di manik mata Gio. "... cukup membuatku merasa sempurna."
Di bawah pencahayaan yang minim, sepasang mata bening Lila berkilat. Gio sangat ingin menyelam di sana. Berlama-lama, hingga lupa untuk pulang. Ketika sesuatu meletup-letup di dadanya, Gio buru-buru memalingkan wajah, memutus kontak matanya dengan Lila, juga melepas rangkulannya. Ia takut lepas kontrol.
"Tapi, rasa sakit ketika Papa yang dulunya selalu ada, tiba-tiba memilih pergi karena hatinya telanjur tercuri oleh orang lain, sering kali masih mengintai."
Gio menarik napas panjang dan menahannya sekian detik, sebelum kembali melabuhkan pandangan di sepasang bening yang terkadang sangat memabukkan itu. "Aku akan selalu ada, menemanimu, sampai sel luka di masa lalu itu mati seutuhnya."
Jika sudah menemukan sorot kesungguhan di mata Gio seperti ini, terkadang Lila tidak bisa berkata-kata lagi. Ia melabuhkan kepalanya di dada bidang cowok itu. Di saat-saat seperti inilah Lila semakin takut kehilangan Gio. Hidupnya entah harus ditata seperti apa jika tanpa Gio. Dan, Lila ingin seperti ini saja. Tidak perlu adanya perubahan-perubahan kecil yang berpotensi mengacaukan struktur hubungan itu di masa mendatang. Lila takut!
Dering ponsel Gio memaksa Lila mengangkat kepalanya, melepas nuansa hangat yang selalu bisa menenangkannya.
"Bentar, ya." Gio beranjak ke pojok beranda untuk mengangkat teleponnya.
Beberapa saat kemudian, Gio kembali menghampiri Lila dengan mimik yang sulit dibaca. "Mega sakit," katanya pelan. "Ia sendiri di rumah. Tadi sore orangtuanya mendadak ke luar kota untuk urusan kerjaan, pembantunya juga lagi pulang kampung. Ia minta tolong diantar ke rumah sakit." Tenggorokan Gio mendadak kering setelah menandaskan kalimat itu.
"Ya udah, sana, gih. Kan, kasian kalau dia nunggu kelamaan." Lila mengupayakan intonasi suaranya seenteng mungkin, meski ketidakrelaan membuat hatinya tiba-tiba memar.
"Kamu nggak apa-apa?"
Lila buru-buru menggeleng. "Aku bisa pulang sendiri. Kamu nggak usah khawatir!"
"Maaf ...." Gio sendiri tidak paham, kenapa harus melirikan kata itu sebelum berlalu dari hadapan Lila.
Sayangnya, kamu selalu ada bukan cuma untukku, Gi ....
***
[Bersambung]
❤️❤️❤️
Bab 8 (Sesuatu Bernama Jarak)
Setelah pesta ulang tahun Gina, Gio tidak pernah menemukan lagi momen kebersamaannya dengan Lila. Cewek itu semakin sering pulang malam, demi mematangkan persiapannya untuk bersaing di tingkat provinsi. Sementara Gio sendiri, sudah dua minggu kembali aktif latihan bersama tim basketnya untuk menghadapi turnamen antar kampus. Sudah tiga kali ia izin terlambat masuk kerja, dan sekali tidak masuk sekalian. Kendati Tante Hania tidak pernah mempermasalahkan, Gio merasa tidak enak dengan karyawan yang lain. Karena itu, secapek apa pun setelah beraktivitas di kampus dan tempat latihan, ia tetap berusaha menunaikan kewajibannya, seperti saat ini.
Gio mengisi salah satu kursi tinggi di depan konter, bertopang dagu sambil menunggu hidangan selanjutnya yang harus diantar ke meja tujuan. Ia kangen direcoki Lila. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya karena faktor kesibukan yang membentangkan jarak di antara mereka saat ini. Sepertinya ada yang lain. Gio bisa merasakan perubahan sikap Lila. Cewek itu selalu menjawab seadanya jika Gio mengajukan pertanyaan basa-basi. Ia juga langsung ke atas kalau pulang, tidak menyelonong ke dapur atau sekadar 'ngerusuh' di depan konter seperti biasanya. Lila tampak menghindar. Tapi kenapa? Apakah Gio punya kesalahan yang tidak disadari?
"Kayaknya bentar lagi kamu bakal pensiun, deh," celetuk Sandi sambil melompat ke kursi di samping Gio.
"Maksudnya?" Gio mengernyit.
"Anak bos pulang diantar cowok lagi tuh. Kemarin juga, dengan cowok yang sama."
Gio langsung melompat turun dari kursinya. Siapa cowok itu? Pasalnya, selama ini Lila paling anti diantar pulang sama cowok.
Gio berhasil tiba di depan pintu kaca sesaat sebelum cowok itu pergi. Ternyata Devan. Mereka bertukar senyum, kemudian Lila melambai saat Devan mulai melajukan motornya.
Gio ingin aktivitas mengintip itu tidak ketahuan, tapi terlambat. Lila langsung menemukannya begitu cewek itu berbalik dan melangkah hendak masuk.
Agar tidak terlalu mencurigakan, spontan Gio berinisiatif membukakan pintu untuk Lila, seolah ia berdiri di sana memang untuk itu.
"Sejak kapan kamu beralih tugas jadi doorman?"
Gio hanya cengar-cengir sambil menutup kembali pintunya.
Merasa tidak perlu menunggu penjelasan yang tidak penting, Lila melanjutkan langkahnya.
"Mau minum sesuatu?" kejar Gio.
"Cuma mau istirahat, Gi, capek!" Lila bahkan tidak menoleh saat berkata begitu. Maka Gio berhenti, membiarkan cewek itu berlalu. Gio mematung, menempelkan tatapannya di punggung Lila, hingga cewek itu menghilang di balik tembok yang menyembunyikan tangga menuju ke lantai dua.
***
Beberapa hari ini kesehatan Hania menurun. Alih-alih istirahat, ia masih saja menyibukkan diri di kafe. Pikirnya, sakit itu akan semakin parah jika dimanja. Tapi kemarin, menjelang siang ia terpaksa menanggalkan egonya setelah menumpahkan sup yang baru diangkatnya dari kompor karena tiba-tiba pusing. Untung tidak ada yang tersiram sup panas itu.
Pagi ini Hania masih terbaring lemas di kamarnya. Lila sudah membujuknya agar mau dibawa ke rumah sakit, tapi Hania menolak. Katanya, berada di rumah sakit hanya akan memancing pikiran negatif menjejali otaknya. Tadi malam ia hanya meminta dokter langganannya untuk datang memeriksa kondisinya. Katanya, tekanan darahnya tidak stabil karena kurang istirahat. Untuk beberapa hari ini Hania disarankan untuk membuat dan mematuhi jadwal tidur dan menjaga pola makan. Sebenarnya hal itu agak berat bagi perempuan aktif seperti Hania, tapi mengingat Tamalatea membutuhkannya, ia akan menjalankannya.
Mumpung hari Minggu, Lila tidak berencana ke mana-mana. Ia ingin menemani mamanya. Ia sudah menghubungi Devan dan pihak pembimbing eskul, meminta maaf sekaligus memohon pengertian mereka agar meniadakan latihan untuk hari ini. Pagi-pagi Lila sudah turun menemui Mbak Mia, meminta tolong memasakkan sarapan untuk mamanya. Lila diminta menunggu sebentar.
"Kamu sama Gio lagi marahan, ya?" tanya Mbak Mia sambil mencuci kacang hijau yang akan direbusnya.
Lila yang diinstruksikan menyiapkan air panas, terkesiap. "Nggak, kok!" jawabnya kemudian sambil mikir. Ia tidak yakin.
"Kok, nggak pernah 'cakar-cakaran' lagi? Kamu juga udah jarang mampir ke sini."
"Akhir-akhir ini kegiatan di sekolah padat banget, Mbak. Jadinya kalau pulang badan terasa remuk dan pengin cepat-cepat istirahat," terang Lila sambil menyalakan kompor.
"Gio uring-uringan, tahu. Bolak-balik nanyain kamu. Dikira aku baby sitter kamu kali." Mbak Mia terkekeh.
Lila berhenti sejenak dari aktivitasnya. Senyumnya tersungging tipis, hanya karena mengetahui Gio sering menanyakannya. Berarti kegelisahan yang mendera akhir-akhir ini menyerang Gio juga.
Setelah merebus air, Lila tidak paham harus melakukan apa lagi. Ia memilih menepi, duduk di bangku plastik di dekat lemari pendingin sambil menonton aksi Mbak Mia. Ia siap siaga kalau perempuan berwajah oval itu kembali memintanya untuk mengerjakan sesuatu. Diam-diam bayangan Gio berkelebat di benak Lila. Entah dari mana asal muasal jarak yang tiba-tiba terbentang di antara mereka. Lila tidak marah sama Gio, cowok itu tidak punya salah apa-apa. Ia hanya tidak siap kalau nama Mega tiba-tiba muncul di tengah kebersamaan mereka. Cukup di malam ulang tahun Gina yang terakhir, karena rasanya teramat sakit. Dan sejak saat itu, meski agak takut, diam-diam Lila mulai meninjau ulang posisi Gio di hatinya. Apakah benar cukup sebatas sahabat?
***
Kalau lagi sehat, Hania bisa menandaskan bubur kacang hijau bikinan Mia dua porsi sekaligus. Tapi kali ini, baru tiga kali Lila menyuapinya, ia sudah menggeleng. Setelah capek membujuk, Lila menyerah. Ia meletakkan mangkuk kaca itu di atas nakas, kemudian membantu mamanya untuk minum.
"Assalamualaikum." Salam yang terdengar itu dibarengi suara ketukan pintu.
Keduanya menjawab lirih sambil menoleh ke arah pintu yang setengah tertutup.
"Masuk, Gi!" Tentu saja Hania bisa langsung mengenali suara Gio. Pun dengan Lila. Karena itu, cewek yang masih berpiama Hello Kitty itu langsung menegang.
Mumpung tidak kuliah, hari ini Gio berencana longshift untuk menebus bolosnya yang kemarin-kemarin. Sebenarnya, pernah bolos atau tidak, setiap ada hari yang kosong Gio memang selalu longshift, alih-alih tabungan kalau ia ada perlu mendadak di hari-hari berikutnya. Ini salah satu alasan kenapa Tante Hania tidak pernah mempermasalahkan jam kerjanya.
Sambil melangkah masuk, Gio melirik ke arah Lila, tapi cewek itu sedang menunduk.
Lila berdiri, alih-alih mempersilakan Gio duduk di tepi tempat tidur. Ia sibuk menatap apa saja, asal jangan mata cowok yang sudah rapi dengan seragam Tamalatea-nya ini.
"Gimana keadaan Tante?" tanya Gio sambil menduduki posisi yang baru saja ditinggalkan Lila.
"Nggak apa-apa, Gi, cuma agak pusing kalau banyak goyang. Mau nggak mau harus istirahat dulu." Hania yang sedang bersandar di kepala tempat tidur mengembuskan napas lesu.
"Kalau gitu, untuk sementara Tante nggak usah mikirin pekerjaan di bawah. Insya Allah, kami bisa urus semuanya."
Hania mengangguk samar sambil tersenyum lemah.
Senyum Gio yang terbit untuk meyakinkan Tante Hania bahwa semuanya akan baik-baik saja, tertangkap di mata Lila. Begitu tulus, hangat dan menenangkan. Lagi, kerja jantung Lila mendadak tidak normal.
"Oh ya, ini ada kue bannang-bannang dari Ibu. Tadi malam pas tahu Tante sakit, langsung dibikinin. Katanya, Tante suka banget, ya?" Gio menunjukkan kotak makanan bersusun dua di dalam kontong plastik yang sejak tadi dipegangnya.
"Wah ...." Mata Hania berbinar antusias. Ia sampai menegakkan punggung untuk meraih kotak makanan itu, seolah lupa sedang sakit. "Kalau ini mah lebih dari suka, Gi." Perempuan bertubuh ramping itu langsung membukanya. Seketika senyumnya mengembang begitu aroma kue khas tanah kelahirannya itu menguar. "Tante cobain, ya," katanya tidak sabaran.
Gio mengangguk menyilakan.
Di gigitan pertama, sensasi renyah dan manis langsung memenuhi rongga mulut Hania. Ia tampak sangat menikmatinya. "Setelah menguasai banyak resep kudapan, anehnya, Tante masih belum bisa bikin kue ini dengan hasil yang sempurna. Selalu saja ada yang salah. Terakhir kali Tante coba bikin, jadinya malah agak kenyal dan lengket." Hania berucap sepanjang itu dengan mulut masih terisi. "Padahal ini kue khas tanah kelahiran Tante sama Ibu kamu, loh," imbuhnya, setelah menelan makanannya.
Hania dan Lusi memang berasal dari Jeneponto, salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang letaknya sekitar 81 kilometer di sebelah selatan Makassar. Keduanya perantau yang kemudian menikah dengan lelaki pribumi. Mereka kenal berkat Gio dan Lila, kemudian langsung akrab setelah masing-masing tahu berasal dari daerah yang sama. Tapi karena kesibukan, keduanya jarang benar-benar punya waktu untuk sekadar bernostalgia tentang kampung halaman mereka.
Bannang-bannang yang sedang dinikmati Hania merupakan salah satu kue khas Jeneponto yang terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah. Bentuknya mirip crepe roll, tapi teksturnya sepintas mirip tumpukan benang kusut. Mungkin nama 'bannang-bannag' terinspirasi dari sini. Cara pembuatannya lumayan ribet, karena proses penggulungan dilakukan sambil digoreng. Bagian ini butuh tingkat ketelitian dan kecekatan yang tinggi.
"Sayangnya, Ibu sedang membawa Gina terapi, jadi nggak bisa ikut Gio ke sini. Insya Allah, mungkin nanti sore baru sempat menjenguk Tante."
"Pokoknya, kapan-kapan Tante harus kursus sama Ibu kamu," kata Hania lagi sambil mengambil bannang-bannang keduanya. "Ini enak banget, loh. Mau coba?" Hania menyodorkan kotaknya ke Gio.
Gio menggeleng. "Buat Tante aja."
Hania mengalihkan kotaknya ke Lila tanpa berhenti mengunyah, yang kemudian dibalas gelengan.
Lila melihat keakraban mamanya dengan Gio sebagai kesempatan untuknya melarikan diri dari ruangan itu. Entahlah, untuk saat ini rasanya masih agak aneh harus dekat-dekat dengan Gio.
***
[Bersambung]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
