
"Shan gak akan kenapa-kenapa, Bang. Yakin deh."
"Gue harap juga gitu. Gak bisa bayangin kalo dia kenapa-kenapa. Beneran bakal hancur sih gue."
Shan berjalan tergesa setengah berlari menyusuri taman yang menghubungkan antara gedung fakultas hukum tempatnya menimba ilmu dan fakultas ekonomi, tempat Gama mengajar. Pagi tadi, Gama meninggalkan berkas-berkas penting yang dibutuhkan dekannya untuk presentasi. Alhasil, Shan harus mengantarkannya setelah kuliahnya berakhir atau Gama akan dalam masalah besar.
Shan berhenti sejenak, mencoba mengatur napas yang sudah berantakan. Gedungnya dan gedung Gama tidaklah dekat. Sialnya ia tidak membawa sepeda yang biasa membantunya berpindah tempat di dalam kampus. Ponselnya kembali berdering. Pasti Gama yang mencarinya. Shan menarik napas panjang, mengabaikan dadanya yang masih sesak karena minimnya pasokan udara ke paru-parunya, Shan kembali berlari.
Di depan gedung, Gama menanti Shan tak sabar. Tangannya sudah menggenggam sebotol air mineral dan roti, tahu adiknya pasti kelelahan berlari dari gedungnya ke sini. Berkali-kali Gama mencoba menghubungi Shan, tapi adiknya itu tidak menjawab sama sekali, membuat Gama diserang panik berlebih. Bukan takut berkas itu tak bisa ia serahkan tepat waktu, justru ia takut terjadi sesuatu pada Shan.
"Bang!" teriak Shan dari belakang. Gama pikir Shan akan lewat depan, ternyata adiknya itu muncul dari belakang dengan wajah merah dan keringat mengalir di wajahnya.
"Maaf banget, Shan. Makasi banyak!" Gama memeriksa dokumen yang Shan bawa, sementara Shan menjatuhkan diri di kursi samping Gama sambil menenggak air yang Gama sodorkan. Nafasnya masih berantakan, ditambah sekarang kepalanya pening bukan main.
"Awas kalo lo tinggalin lagi, ambil sendiri lain kali!" ancam Shan sambi terbatuk, membuat Gama reflex menatap adiknya itu khawatir sambil menepuk pelan punggung Shan.
"Gak pa-pa?" tanya Gama khawatir yang justru dibalas dengan tatapan tajam oleh Shan.
"Gak pa-pa gimana, sih, Bang?! Kaki gue udah hampir copot. Paru-paru gue kalo bisa meledak udah dari tadi meledak," gerutu Shan sambil memijit betisnya yang kaku.
"Maaf banget, kerjaan rumah seminggu gue yang urus deh. Masak juga. Lo bebas mau ngapain aja seminggu ini."
"Bener, ya? Awas lo mangkir! Ntar ujung-ujungnya gue juga yang ngerjain semuanya."
"Bener. Ya udah gue masuk dulu, ya? Kalo kuliah udah selesai dan gak ada acara apa-apa langsung pulang, istirahat. Lo bawa aja mobilnya. Kunci mobil ada di ruangan gue. Gak usah nungguin gue, kayaknya meeting hari ini bakalan lama. Ntar gue pulang naik ojol aja. Gak usah masak, order aja, udah gue transfer barusan buat beli makan."
Shan hanya membalasnya dengan anggukan sambil masih berusaha menetralkan nafas. Pandangannya berkunang-kunang. Bahkan beberapa kali menggelap saking minimnya udara yang masuk ke paru-paru. Setelah memastikan Gama menghilang dari pandangan, Shan langsung mengurut pelipisnya, mencoba menghilangkan pening yang semakin menjadi. Tubuhnya benar-benar kelelahan. Padahal, Shan sudah biasa lari keliling lapangan puluhan kali. Iya, lah. Atlet basket.
"Shan?" Mendengar Namanya dipanggil, Shan yang sedari tadi menunduk perlahan mendongak, menatap Rama, sahabatnya, yang entah sejak kapan berdiri di sana. Ia kembali menunduk saat Rama berbayang dalam pandangannya, menimbulkan sensasi mual yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan.
"Lo ngapain duduk di sini? Itu kenapa kepalanya dipijet-pijet kayak gitu? Sakit? Pusing? Atau vertigo lo kambuh?" tanya Rama khawatir. Ia sudah berjongkok, menyejajarkan pandangannya dengan wajah Shan. Belasan tahun saling mengenal, Rama hafal kebiasaan Shan saat kelelahan. Shan hanya tersenyum simpul, membuat Rio mengangguk, mengerti. Ia tahu sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja.
"Mau gue anterin pulang? Mobil gue deket sini, kok. Dari pada nungguin Bang Gama. Atau lo mau bawa mobil Bang Gama? Gak ada, ya! Gak inget lo abis nabrakin mobil Lily gara-gara pulang pas lagi demam tinggi?" Shan tidak bisa menolak. Tidak yakin juga ia sanggup berjalan ke ruangan Gama untuk mengambil kunci, atau mengemudikan mobil Gama sendirian dalam kondisi seperti ini.
"Oke, tunggu bentar. Gue ambil mobil dulu. Kalo ada apa-apa telpon gue."
Rama berlari ke arah salah satu petugas kebersihan yang kebetulan menyapu tak jauh dari posisi Shan duduk. Ia menunjuk Shan, sepertinya tengah menitipkan Shan pada petugas kebersihan dan memberikan nomornya kalau terjadi apa-apa pada Shan sebelum ia kembali berlari ke parkiran.
Petugas kebersihan itu langsung mendekati Shan, menanyakan kondisi Shan dan memijit pelan kepala Shan setelah Shan mengatakan apa yang ia rasakan. Sensasi mual yang sejak tadi ia tahan semakin mendesak. Shan buru-buru melangkah ke selokan yang hanya berjarak tak sampai lima langkah dari posisinya sekarang.
Huek! Huek! Huek!
"Argh!" Shan mengerang saat rasa sakit di kepalanya semakin menusuk ketika ia muntah. Petugas kebersihan di belakangnya terus mengurut tengkuk Shan sampai lelaki itu selesai muntah. Ia juga membantu shan kembali duduk ke tempatnya dan langsung sigap memberikan minum Shan yang masih tersisa.
Tak sampai 5 menit, Rama sudah kembali dengan mobil merah miliknya. Shan yang saat ini tengah bersandar di bangku ditemani petugas kebersihan yang sejak tadi mencoba mengajak Shan berbicara agar tidak kehilangan kesadaran. Iya, setelah muntah, bukannya membaik, tubuhnya malah semakin lemas, pandangannya sudah tidak karuan, bahkan kesadarannya sudah diambang.
"Shan? Lo denger gue?" Shan tersenyum tipis sambil mengangguk. Dibantu petugas kebersihan, Rama memapah Shan masuk ke dalam mobilnya. Setelah mengucap terima kasih dan memberikan sebungkus rokok dan selembar uang sebagai tanda terima kasih, Rama melajukan mobilnya keluar dari pelataran gedung fakultas ekonomi.
"Mau ke rumah gue aja? Ada nyokap di rumah."
"Ngerepotin," bisik Shan lirih. Rama mendengkus mendengar kata-kata Shan.
"Alah pake bilang ngerepotin, biasanya lo mabok juga nyokap gue yang ngelap muntahan lo. Dari pada di rumah lo, gak ada siapa-siapa. Gue juga gak ngertu kudu gimana kalo cuma ada kita berdua di rumah lo." Shan tak lagi menjawab. Dahinya berkerut samar. Wajahnya yang tadi tidak terlalu pucat kini sudah sepucat mayat dengan keringat dingin dan tubuh yang menggigil.
Rama sedikit panik melihat perubahan kondisi Shan yang begitu cepat. Ia segera menepi dan mematikan AC mobil. Dengan gesit, ia menyelimuti tubuh Shan dengan jaket yang tadi ia kenakan. Shan tiba-tiba bergerak rusuh, menyingkap jaket putih Rama sambil menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan, tapi belum sempat keluar dari mobil, ia kembali muntah hingga mengotori pakaian dan jaket Rama yang masih ada di pangkuan. Tak sampai situ, tubuh yang bersandar lemas pada jok mobil itu tiba-tiba saja kaku, kemudian berubah menjadi kejang hebat hingga mulutnya mengeluarkan busa.
"Astaga, Shan!" Rama makin panik. Terutama setelah melihat Shan yang kehilangan kesadaran tepat setelah kejang dengan darah mengalir di mulut, bercampur dengan busa. Dengan brutal, Rama menyalakan mobil, menuju rumah sakit terdekat dari posisi mereka saat ini. Tangan dan kaki Rama yang gemetar itu akhirnya berhasil membawa mereka parkir dengan selamat di depan pintu rumah sakit.
"Tolong, Pak! Tolong!" teriak Rama tak terkendali. Ia bahkan tak sadar tengah menangis sesenggukan. Mendengar teriakan Rama, pihak rumah sakit berlarian keluar. Tak sedikit yang kaget melihat kondisi Shan. Dengan sigap mereka mengangkat tubuh Shan dan membawanya masuk ke dalam rumah sakit dengan berlari. Rama sendiri ikut berlari mengikuti dari belakang dengan kaki yang seolah berubah menjadi jeli dan pikiran yang benar-benar kosong.
Apa yang terjadi, Tuhan?!
^^^
Sampai di IGD, Shan langsung ditangani. Pemeriksaan, pemasangan infus dan transfusi darah, lengkap dengan masker oksigen yang membantunya bernapas. Rama sendiri ditenangkan oleh salah satu perawat, diberi segelas air sebelum mendekati Shan yang tengah ditangani. Rama hanya bisa menahan napas tiap kali dokter memberikan suntikan di tubuh itu. Dia takut jarum, meski itu bukan menusuk bagian tubuhnya. Ia sudah menghubungi Gama beberapa waktu yang lalu. Hanya lewat pesan, karena lelaki itu pasti masih berada di dalam ruang meeting.
Gama datang hampir dua jam setelah Rama menghubunginya. Ia tidak bisa pergi begitu saja di tengah meeting bersama para petinggi kampus. Ingin rasanya ia berlari keluar ruangan saat ini dan memacu mobilnya ke tempat Shan berada. Tapi tanggung jawab yang ia pikul menahan langkahnya. Andai Rama menjelaskan apa yang terjadi di dalam mobil tadi, Gama mungkin sekarang sudah memacu mobilnya ke rumah sakit, tak peduli dengan pekerjaan ataupun nyawanya sendiri.
"Baru dua hari keluar rumah sakit, udah masuk lagi aja," celetuk Gama yang dibalas kekehan pelan oleh Rama. Panik keduanya sudah lumayan menguar setelah Shan berhasil ditangani degan baik dan kini berada di ruang rawat.
"Kata Dokter gimana, Bang?"
"Masih harus pemeriksaan lebih lanjut. Dokter belum berani kasih diagnosa. Bantu doa, ya?" Rama mengangguk pelan. Shan benci rumah sakit. Benci aroma dan segala hal tentangnya. Apalagi dengan segala prosedur kesehatan yang harus Shan jalani. Kalau dia sadar nanti, pasti marah-marah. Rama tersenyum getir membayangkannya.
"Ini harus nginep berarti, Bang?"
"Iya. Nanti kalo kondisinya udah stabil, dokter mau langsung ngelakuin beberapa tes soalnya."
"Dia gak bakal suka, Bang. Tempat keramat kalo kata Shan."
"Gak ada pilihan lain. Beberapa bulan ini udah sering keluar-masuk, 'kan? Gue malah takut dia kenapa-napa dan telat ditangani kalo gak diperiksa sekarang. Apalagi tadi lo bilang sampe kejang kan dia. Gue makin takut dia kenapa-napa."
"Shan gak akan kenapa-kenapa, Bang. Yakin deh."
"Gue harap juga gitu. Gak bisa bayangin kalo dia kenapa-kenapa. Beneran bakal hancur sih gue."
Rama tak lagi memberikan komentar. Ia memilih beranjak dan duduk di samping ranjang tempat Shan berbaring. Tangannya terulur, merapikan rambut Shan yang berantakan. Shan sangat menyukai rambutnya. Ia tidak akan keluar rumah kalau rambutnya belum on point. Melihat rambutnya yang berantakan ini, pasti dia marah-marah dan ribut mencari pomade, menata kembali rambutnya.
^^^
Keesokan harinya, Shan menjalani berbagai macam pemeriksaan yang panjang dan melelahkan. Gama dan Rama masih setia menemani, meski tidak bisa berada di sisi Shan secara langsung. Rama yang mahasiswa kedokteran langsung bisa menerka apa yang tengah terjadi pada sahabatnya itu, tapi ia tak mengatakan apa pun, berharap dugaannya salah.
Seminggu kemudian, hasil pemeriksaan itu keluar. Gama yang lebih dulu dipanggil oleh Dokter Adam. Ia kini sudah berada di ruangan Dokter Adam, duduk tepat di hadapan dokter paruh baya itu, dokter yang menangani Shan sejak ia melakukan beberapa pemeriksaan. Gama tampak tegang menunggu pembacaan hasilnya, meski sebenarnya ia sudah bisa menebak dengan pasti ke mana arahnya.
"Benar dugaan kami, Shan mengidap GBM, Glioblastoma multiforme, atau biasa disebut kanker otak."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
