Best Part (bag 3)

0
0
Deskripsi

Merelakan mimpi bukanlah hal yang mudah. Melalui perjalanan singkatnya di Paris, Laila berusaha untuk mengubur mimpinya dalam-dalam untuk tampil di festival balet internasional.

Ia bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya dan membuat tiap detiknya lebih bermakna lewat sajian rasa yang menggugah selera.

Namun jauh di dalam hati kecil Laila, terbesit sebuah tanda tanya tentang asal-usul laki-laki itu.

 

 

 

 

                       BEST PART

 

 

"Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kamu cintai!"

Kata-kata itu terus terngiang di benak Sanjaya. Setelah membentak Laila yang bersikukuh jika dirinya satu-satunya orang yang kehilangan, Sanjaya memutuskan untuk mengantar perempuan itu pulang. Ada rasa bersalah yang memenuhi kepalanya hingga ia bahkan tidak menatap perempuan yang berjalan di sampingnya.

Sementara itu, Laila masih membungkam mulutnya dan memilih untuk mengakhiri malam ini dengan keheningan. Bentakan tadi bukan pertama kalinya ia dengar dari seseorang, namun mendengarnya dari orang asing yang ia sangka sangat ramah membuatnya tidak bisa berpikir. Apakah ucapannya tadi salah?

Dalam diam, mereka berjalan beriringan melewati jalan-jalan kecil menuju apartemen Senja. Tak satupun dari mereka berusaha untuk memulai pembicaraan. Hati Laila sedikit perih saat melihat laki-laki itu memilih untuk tetap berdiri di depan gedung apartemen dengan ekspresi muram. Ia menoleh sejenak dan mendapati Sanjaya juga menatap kearahnya.

"Saya juga tahu apa artinya kehilangan. Bukan kamu saja manusia di dunia ini yang merasakannya," gumam Sanjaya pelan.

Laila ingin menjawab ucapan laki-laki itu dengan permintaan maaf, namun detik berikutnya Sanjaya memilih untuk melenggang pergi.

Untuk yang kesekian kalinya, Laila menyalahkan dirinya sendiri.

Sanjaya pergi bukan karena sedikit perdebatannya dengan Laila. Kalaupun tadinya ia sakit hati, Sanjaya akan mengutarakannya dengan baik-baik. Namun disaat yang bersamaan, ada pesan masuk yang berasal dari salah satu chef junior di restorannya. Buru-buru ia pergi kesana karena isi pesan itu sangat mengkhawatirkan.

Begitu sampai disana, Sanjaya dihadapkan dengan sepasang suami istri yang kemungkinan berusia 40 tahunan dengan baju necis tengah memaki para chef disana. Pak Tua jelas tak ada di tempat, sebab hari ini adalah jadwalnya konsultasi ke dokter karena penyakit komplikasi yang mulai menyerangnya di usia senja.

"Bodoh! Kamu kira aku akan memakan makanan ini? Mana pemilik restoran juga kepala chef disini?"

Matanya berkilat maraj sampai-sampai terasa keluar sambaran petir dari sana. Seisi restoran itu bergetar, tak terkecuali para pengunjung yang tadinya asyik menikmati makanan.

"Apa yang terjadi?" bisik Sanjaya pada salah satu pelayan yang kebetulan berada di pintu depan.

Pelayan muda itu menatap Sanjaya takut, "Masakan milik Chef Navi tidak sesuai dengan keinginan laki-laki itu. Ia terus memaki dan mencari siapa yang bertanggungjawab disini."

Ah, Sanjaya menghela napasnya pelan, lalu berjalan menerobos kerumunan. Ia menarik  chef yang tengah dimarahi laki-laki tadi supaya mundur ke belakang. Dengan tenang, Sanjaya melipat tangannya di dada sambil menatap laki-laki angkuh itu.

"Oh, apa kamu yang bertanggungjawab disini?"

Sanjaya mengangguk, "Saya kepala chef disini. Ada keluhan apa sampai anda memarahi chef saya?"

Laki-laki tadi mengulurkan piring yang berisikan masakan ayam dengan mata menyala bak ingin menerkam Sanjaya.

"Ini!" Ia memegang ayam goreng berbumbu itu dengan tidak sopannya. "Apa ini bisa disebut masakan? Kalau kalian tidak becus memasak, jangan buka restoran disini!"

Sanjaya tidak menjawab. Ia mengambil sepotong ayam itu dan sedikit memakannya. Ia terdiam beberapa detik sebelum mengambil piring dari laki-laki itu.

"Kami akan menggantinya," katanya tenang.

"Tapi Sir, masakan yang saya buat sudah sesuai resep yang Chef Jerome berikan! Jadi mana mungkin masakan saya salah!" kata Navi, laki-laki muda yang usianya di pertengahan 20-an itu tidak terima.

Sanjaya mengabaikan Navi dan bergegas pergi ke dapur untuk memasak makanan pengganti itu. Navi masih tidak percaya, bagaimana bisa Sanjaya begitu melukai harga dirinya.

"Sir, tidak ada kesalahan dalam masakan saya! Apa anda tidak merasakannya dengan benar? Masakan saya tidak gosong ataupun kurang enak, saya sudah mengikuti resep dari Chef Jerome!"

Sanjaya masih sibuk menyiapkan bumbu-bumbu. Lagi-lagi ia mengabaikan Navi, namun jelas ada sesuatu di balik sorot matanya yang tajam.

Beberapa menit kemudian, ia kembali muncul dengan semangkuk ayam bersantan yang kaya akan bumbu dan rempah. Laki-laki yang berwajah pahit tadi langsung duduk di kursinya dengan wajah sumringah.

Ia menatap Sanjaya seolah laki-laki itu adalah malaikat penolongnya. Matanya langsung berkaca-kaca begitu melihat makanan tersebut.

"Bagaimana Chef tahu ini makanan yang saya inginkan?" tanyanya setengah menangis.

"Anda datang beberapa tahun lalu usai upacara kematian anak pertama anda. Saya masih ingat percakapan anda dengan Pak Tua--maksud saya Chef Jerome jika anda menyukai masakan ini."

Laki-laki itu menyendok kuah santan yang kental, lalu mengusap air matanya yang terlanjur keluar.

"Saya merasa bersalah. Sangat." Laki-laki itu kini menatap Navi yang berdiri di belakang Sanjaya. "Saya ingin memesan masakan ini, tapi saya lupa namanya. Jadilah saya hanya memberitahu jika saya ingin memakan hidangan yang terbuat dari ayam. Chef muda tadi tidak bersalah, saya yang bersalah karena kesal tidak ada yang mengerti apa yang saya inginkan."

Sanjaya menyunggingkan senyumnya dengan tulus, "Wajar saja, Sir. Menu ini sudah ditiadakan sejak lima tahun yang lalu."

"Kalau boleh tahu, apa nama makanan ini? Saya ingin mengingatnya sepanjang hidup saya."

"Garang asem." Sanjaya mencatat di note yang ia bawa di sakunya, lalu menyobek kertas itu. "Terbuat dari ayam, kuah santan, dan bumbu-bumbu. Kalau anda berkenan, anda bisa kembali kesini untuk menyantapnya. Saya akan memasaknya khusus untuk anda."

Laki-laki itu tersenyum. Sanjaya ingat saat ia baru menginjakkan kakinya di Paris dan dibawa Pak Tua ke restoran ini, mereka bertemu dengan laki-laki itu.

Yah, bagi Sanjaya makanan juga bisa berarti sebuah memori lama yang kembali terbuka. Dengan rasa makanan, ia bisa merasakan seolah kembali ke waktu yang ia inginkan.

Namun ada hal yang mengganjal di benak Sanjaya sampai saat ini.

Mengapa ia tidak bisa merasakan masakan Navi yang biasanya enak?

 

 

***

 

 

 

"Lo ada masalah apa sama Sanjaya?" tanya Senja sore itu saat Laila tengah duduk di sofa sambil menonton serial di Netflix.

Sudah genap dua minggu Sanjaya tidak muncul di depan apartemen Senja ataupun mengirimi Laila pesan sesuai janjinya saat itu. Laila pun merasa tak perlu mencari keberadaan laki-laki tersebut sebab dia hanyalah orang asing. Namun begitu ia melihat wajah Senja yang sedikit khawatir, Laila akhirnya melunak.

"Kayaknya nggak ada."

"Kayaknya?" Senja kini duduk di samping Laila, "Dia udah kurang ajar sama lo?"

Laila buru-buru menyergah, "Nggak gitu!"

"Terus?"

Mana mungkin Laila akan menceritakan detail sedikit percekcokan mereka malam itu pada Senja? Sekalipun mereka kawan dekat, rasanya sungkan untuk menceritakan orang asing kepada sahabatnya. Dan lagipula, kalau dipikir-pikir lagi itu salah Laila dengan mulutnya yang tidak berperasaan.

"Ya nggak terus. Lagian kenapa lo nanya ke gue? Lo kan temennya, atau lo bisa kepoin socmednya barangkali."

Senja menghela napas, "Dia nggak punya socmed kayak Instagram. Kalau Twitter nggak tahu ya? Tapi setahu gue, dia nggak main socmed."

Memang ada orang di dunia modern ini yang nggak main socmed? Apalagi tipe-tipe laki-laki seperti Sanjaya yang punya wajah di atas rata-rata dan jago masak, pasti bisa tuh jadi selebgram ala-ala, pikir Laila.

"Gue udah nyoba telpon atau ngirim pesan ke dia, tapi nggak dijawab sama sekali. Bahkan nggak dibaca," sambung Senja cemas.

"Kenapa lo nggak datang ke restonya? Dia kan kerja disana."

"Justru itu," Senja menatap Laila bingung. "Dia udah ngilang dua minggu yang lalu."

Laila terlonjak. Ia membulatkan matanya tak percaya. Apa mungkin ucapannya waktu itu terlalu menyakiti Sanjaya hingga laki-laki itu memutuskan untuk menghilang?

"La, lo beneran nggak ada masalah sama dia kan? Yang gue tahu, terakhir kali dia jalan sama lo." Kali ini pertanyaan Senja terkesan mendesak, bahkan ingin tahu apa yang terjadi antara Laila dan Sanjaya malam itu.

Mau tak mau, akhirnya Laila mulai menceritakan percakapannya dengan Sanjaya yang membuat Senja langsung menutup mulutnya terkejut.

"Lo...! Lo kenapa bisa ngomong gitu sih?"

"Gue emosi banget waktu itu, Ja."

"Tapi kan..." Senja mengusap wajahnya dengan kasar. "Duh, pantes aja dia marah sama lo."

Laila berusaha menyangkal, "Ya tapi kan nggak usah ngilang segala. Cukup dia bilang kalau dia tahu rasanya kehilangan, gue pasti akan minta maaf."

"Lo udah minta maaf?" tanya Senja menyelidik.

Laila terdiam beberapa detik lalu menggeleng pelan.

"Soal itu... gue rencananya mau minta maaf."

"Berarti belum? Astaga, La!" Senja berdiri dengan frustasi lalu menatap Laila sekali lagi. "Lo tau nggak sih kenapa dia bisa marah besar ke lo, selain lo yang orang asing malah ngatain dia?"

"Gue cuma..."

"Lo bahas soal kehilangan, La! Lo bilang dia nggak ngerti artinya kehilangan, which is dia udah pernah kehilangan seseorang yang berharga buat dia! Dia pernah kehilangan istrinya!"

Istri?

Satu pukulan telak bagi Laila yang tepat mengenai ulu hatinya. Dadanya terasa begitu sesak saat Senja mengatakan Sanjaya pernah kehilangan seorang wanita yang ia sebut istri. Jadi, Sanjaya sudah pernah menikah?

Kenapa mengetahui jika laki-laki itu pernah menikah begitu menyakitinya? Siapa Sanjaya baginya? Ia hanyalah orang asing yang tak sengaja masuk ke dalam lingkaran kehidupannya, lalu kembali menghilang bak ditelan bumi. Harusnya Laila akan baik-baik saja kan?

Ia sudah pernah kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya, kehilangan mimpinya, juga kehilangan orang yang sangat ia cintai, Reyza. Bukankah ia masih baik-baik saja sekarang?

Istri?

Sanjaya pasti pernah mencintai seorang perempuan dengan begitu manisnya. Ah, mengapa ia seperti pecinta yang sedang cemburu dan tidak terima dengan fakta itu? Ia hanya beberapa hari bertemu dengan laki-laki itu. Realitanya, laki-laki itu tengah menghilang sekarang. Kenapa ia jadi ikut mencemaskannya?

"Gue mau keluar dulu, cari angin," kata Laila setelah beberapa menit hanya duduk di sofa menatap layar kaca, namun pikirannya melalang buana kemana-mana.

Ia tidak kemana-mana dan hanya berdiri di bawah pohon dekat apartemen Senja. Selain karena tidak ada Sanjaya di sampingnya, mana mungkin Laila keluyuran seorang diri. Bersama Senja? Perempuan itu jelas menyibukkan diri di ruang kerjanya yang tak begitu besar sambil mendengarkan instrumen milik Bach.

Ia hanya menatap lalu-lalang orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Udara di luar sedikit lebih dingin karena sisa-sisa dari musim dingin waktu itu. Laila merapatkan mantelnya yang berwarna hitam, lalu meremas kedua telapak tangannya dengan harapan ada kehangatan disana.

Matanya masih menatap ke sekitar sebelum ia melihat sosok laki-laki dengan rambut blonde juga memandanginya dengan wajah terluka. Laki-laki dengan kemeja tipis berwarna hijau tua itu sedikit tersenyum kearah Laila. Senyumnya terkesan malu-malu sebelum ia memutuskan untuk menghampiri perempuan itu dengan langkah kecil.

Sanjaya.

Bagaimana bisa ia tersenyum setelah menghilang berhari-hari tanpa jejak? Lalu, haruskah Laila marah? Pada dirinya sendiri atau pada Sanjaya, laki-laki asing yang membuat gejolak di hatinya?

"I thought, I should say hi? Hi, Laila? How are you?"

"Lo..." Laila tidak sanggup menjawab sapaan laki-laki itu.

Wajah Sanjaya jadi lebih pucat dan terlihat sangat lelah. Ada kantung hitam di bawah matanya yang menandakan jika laki-laki itu kurang tidur. Wajahnya pun mulai dikerumuni bulu-bulu halus di bagian dagu. Rambutnya juga terkesan acak-acakan, tidak seperti Sanjaya yang pertama kali ia temui. Rapi.

"Ah, saya terlihat jelek ya sampai kamu menganga?" Laki-laki itu menggaruk tengkuk lehernya malu. "Saya lupa bercukur."

"Lo... darimana?"

"Dari restoran. Rame banget..."

"Lo nggak disana beberapa hari!"

Sanjaya terkejut. Bagaimana Laila bisa mengetahui hal ini? Padahal seingatnya, Laila tidak pernah ke restorannya setelah hari itu. Senja? Yah bisa jadi. Pasti perempuan itu sudah mencarinya kemana-mana.

"Hng...saya jelasin nanti ya? Kamu udah makan? Kalau belum, mau saya masakin?"

Tidak perlu waktu lama sampai Laila menganggukkan kepalanya dan mereka sudah sampai di apartemen Sanjaya, yang mana hanya selisih beberapa lantai dari kamar apartemen Senja. Perempuan itu jelas tak tahu kedatangan Sanjaya karena ia melarang Laila memberi tahu. Lagipula Senja sudah terlalu sibuk untuk berbasa-basi ataupun berceramah tentang menghilangnya Sanjaya. Jadilah hanya ada mereka berdua disana.

"Mau makan malam apa hari ini?"

Laila masih tidak menjawab. Ia memperhatikan betul-betul ruang apartemen Sanjaya. Luasnya hampir sama seperti milik Senja, hanya saja di ruangan ini lebih dominan warna hitam dan putih. Selain itu perabotannya juga tidak sebanyak apartemen Senja. Yang terlengkap mungkin di dapur karena Sanjaya seorang juru masak. Selain itu, juga terdapat pigura yang tertata rapi di tembok ruang tamu.

Laila mengamatinya dengan perlahan. Di salah satu foto, ada Sanjaya, orang yang kemungkinan ia sebut Pak Tua dan beberapa chef di sebuah pembukaan restoran. Itu jelas foto lama.

Di foto berikutnya, ada Sanjaya dan Pak Tua di gedung Kedubes, mungkin saat acara HUT RI.

Foto selanjutnya, ada seorang anak laki-laki muda, mungkin berusia belasan tahun tengah memakai seragam taekwondo. Ia tersenyum ceria sambil memegang piagam dan medali emas.

Sanjaya saat masih muda ternyata sama rupawannya. Tidak jauh beda dengan yang sekarang. Hanya saja, dulu rambutnya hitam kecoklatan, bukan blonde.

Laila terus menelusuri foto-foto itu sampai ia tertegun pada sebuah foto yang membuat jantungnya terasa berhenti berdetak. Ada sepasang anak laki-laki dan perempuan yang tengah tersenyum lebar di foto itu. Mereka memakai seragam sekolah yang sama.

Anak laki-laki itu pasti Sanjaya. Ia merangkul si perempuan berambut panjang yang begitu cantik dengan mesranya. Masing-masing dari mereka juga membuat tanda hati dengan tangannya.

Jadi ini pacarnya saat sekolah dulu atau istrinya?

Laila terus bertanya-tanya dan akhirnya bingung sendiri. Ia memperhatikan lagi semua foto itu. Tidak ada perempuan lain di foto-foto yang lain selain perempuan itu. Jadi, apa benar itu istrinya?

"La? Kamu liat apa?"

Laila yang terkejut langsung berbalik ke belakang dan tanpa disadari, Sanjaya berdiri di belakangnya. Otomatis ia menabrak laki-laki itu dan membuatnya langsung mencium aroma kayu manis bercampur dengan cendana yang menguar dari laki-laki itu.

Ia mematung saat menatap mata Sanjaya yang juga kebingungan.

"Eh, sorry. Gue nggak sengaja. Lo... tadi ngomong apa?"

Sanjaya tersenyum, "Kamu liat itu? Gimana? Saya yang dulu sama gantengnya kan dengan yang sekarang?"

"Najis!" desisnya pelan.

"Nice? Sudah saya duga sih saya emang nice sejak kecil," kata Sanjaya mengelus dagunya senang.

"Najis!" Laila akhirnya kembali ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang menghadap ke tempat Sanjaya akan memasak. "Masak apa lo? Yah... jujur sih gue nggak berharap banyak. Mengingat lo beberapa hari hilang, semua bahan masakan lo banyak yang busuk."

Sanjaya tertawa lalu memeriksa kulkasnya, "Tepat sekali, soalnya saya juga baru pulang hari ini. Jadi prediksi kamu benar."

Tiba-tiba Laila jadi merasa bersalah.

"Kalau lo nggak punya bahan makanannya, gue juga welcome kalau cuma dimasakin mie instan. Gue terbiasa makan itu, tapi tolong jangan kelembekan."

"Pasta sounds better? Alfredo or aglio olio? Kamu prefer yang mana?"

"Yang bikinnya nggak lama."

Menit-menit kemudian, ruangan itu hanya diisi oleh suara pisau di tangan Sanjaya yang mulai mencacah bawang putih dan rebusan air yang mulai mendidih. Laila tidak tahu betul pasta jenis apa yang akan Sanjaya buat, yang jelas ada banyak keju disana.

"Alergi keju nggak?" tanya Sanjaya tanpa menoleh.

"Gue tolerir makanan apapun."

Laki-laki itu menganggukkan kepalanya dan kembali ke aktifitasnya. Tak butuh waktu lama, Sanjaya sudah menyiapkan dua piring besar yang berisikan fettuccine alfredo. Tidak ada sesuatu yang spesial selain pasta, keju, dan krim yang berpadu sempurna.

"Alfredo?"

Sanjaya mengangguk lalu duduk di depan Laila setelah menyajikan makanan itu, "Takutnya kamu kurang suka aglio olio yang kering, makanya saya bikin alfredo aja. Ayo dimakan."

Laila menatap kearah makanan itu. Benar-benar tidak ada yang spesial disana. Mungkin karena Sanjaya memakai fettuccine instan dan ia hanya menambahkan bahan....

Astaga!

Laila langsung mendelik begitu suapan pertama mendarat di mulutnya. Dulu ia sering makan berbagai jenis pasta saat wisata kuliner dengan Reyza. Ia juga sering memakan pasta dengan saus alfredo, namun tidak ada yang pernah seenak ini. Apakah ini jurus rahasia seorang juru masak asli?

"Gimana? Enak nggak?"

"Ada dua tingkatan rasa makanan menurut gue. Enak atau enak banget."

Sanjaya mulai berbinar, "Terus saya masuk yang mana?"

"Nggak keduanya," jawab Laila santai, namun raut wajah Sanjaya berubah tegang.

"Ini lebih dari enak banget, tapi jangan besar kepala. Bisa aja chef asli Italia sana lebih jago bikin pasta ini ketimbang lo."

Sanjaya berusaha menyembunyikan senyumnya serta pipinya yang merona kemerahan dan membuat Laila geli sendiri saat melihatnya. Lima menit kemudian, pasta itu telah tandas dari piring mereka masing-masing.

"Gue yang nyuci piringnya, lo kan abis masak."

Sanjaya mencegah, "Eh, nggak usah. Kamu kan tamu disini, kecuali kalau kamu..."

"Kalau apa?" tanya Laila ketus.

"Nggak apa-apa. Cuci aja piringnya." Sanjaya melirik kearah jam tangannya. "Mau langsung pulang abis ini?"

"Ngusir?"

Ia tertawa lagi, kali ini tawanya terdengar cukup keras.

"Saya mau ngopi atau ngeteh bentar sambil ngobrol sama kamu, atau mungkin sambil nonton Netflix?" Sanjaya jadi salting sendiri saat Laila mengangguk.

Cukup mengejutkan mengingat bagaimana sikap jutek Laila pada hari pertama mereka bertemu.

 

 

 

***

 

 

 

"Teh rosella? Unexpected banget," kata Laila setelah menyesap secangkir teh di tangannya.

Sanjaya duduk di sampingnya dan sibuk memilih program di tv. Sesekali ia melirik kearah Laila yang menikmati teh buatannya, namun saat Laila balik meliriknya, ia buru-buru buang muka.

"Saya suka minum teh dari jenis apapun."

Laila langsung menjawab, "Pantes di rumah Senja juga banyak jenis-jenis teh kayak disini."

Ucapan Laila memang biasa saja, namun entah bagaimana bagi Sanjaya terdengar seperti menyindir--atau bahkan seperti orang yang sedang cemburu.

Tunggu?

Cemburu?

Siapa yang cemburu?

Laila?

Oh, kenapa Sanjaya berpikir kalau Laila juga sama tertariknya dengannya? Bahkan kata-kata serta sikap perempuan itu cenderung dingin ketimbang Senja yang ceria dan selalu membuat bahan gurauan. Kenapa ia menyangka Laila menyukainya?

Merasa pertanyaannya tidak akan dijawab dengan mudah oleh Sanjaya, Laila memilih untuk menyibukkan diri dengan menatap ke layar kaca. Namun gerakan tangan Sanjaya yang terus mengganti program televisi jelas membuat Laila kesal sampai akhirnya ia merebutnya. Sanjaya tertegun sejenak sampai ia sadar kalau remote-nya sudah di tangan Laila.

"Lo mau liat apa?"

"Kamu maunya liat apa?" tanya Sanjaya balik yang membuat Laila menatapnya penuh penghakiman.

"Gue nggak suka horor," jelasnya.

"Karena takut hantu?"

"Karena gue nggak mau terlihat lemah di depan laki-laki."

Sanjaya sampai kehabisan kata-kata saat Laila menjawabnya dengan suara yang dingin melebihi angin musim semi yang berhembus. Namun entah mengapa, justru kalau begini Sanjaya semakin tertarik dengan Laila.

"Emily in Paris. Lo udah nonton belum?"

Sanjaya menggeleng.

"Gue mau nonton itu."

Mereka menonton series itu dalam diam. Sesekali Sanjaya menoleh kearah Laila yang sedikit tersenyum, lalu tiba-tiba pipinya memerah saat si pemeran utama bertemu dengan seorang laki-laki yang memang ia sukai.

"Aktornya... siapa namanya?"

"Lucas Bravo," jawab Laila tidak menoleh ke Sanjaya sama sekali. "Lewat series ini, gue jadi tahu seberapa sulit hidup di Perancis, Paris terutama."

"Tapi kamu masih nekat kesini?" tanya Sanjaya heran.

Laila tertawa kecil, "Gue nyari yang modelannya kayak Lucas Bravo."

Sanjaya ikut tertawa meskipun ia sudah berusaha menahannya.

"Saya dong?"

"Najis."

Tapi di dalam hati Laila sedikit membenarkan. Cowok bule baik hati yang jago masak. Sanjaya sudah memper banget sama karakter yang diperankan Lucas Bravo di series Emily in Paris, bedanya Sanjaya memasak masakan Jawa. Tetap saja, pesonanya yang di atas rata-rata bisa lah menyamai sang aktor itu.

"Kalau saya jadi dia, bukan lagi Emily in Paris, tapi Marlina in Java."

Sanjaya terus melontarkan guyonan garing di sepanjang tayangan, meskipun Laila hanya menanggapinya dengan helaan napas yang panjang. Kalau terlampau lucu, ia hanya tersenyum tapi segera ia samarkan dengan wajah berkerut seolah ingin memberitahu Sanjaya jika leluconnya sama sekali tidak segar.

Laila bahkan sampai lupa jika tujuan utamanya duduk disini ingin mendengar klarifikasi Sanjaya yang menghilang selama dua minggu. Sebetulnya tidak penting-penting amat sih, tapi entah kenapa rasanya Laila juga ingin tahu.

Selain itu, Laila juga ingin menanyakan beberapa hal pada laki-laki itu. Mengenai sosok perempuan di foto, juga istrinya. Apakah mereka masih menikah atau sudah berpisah? Namun kalau ia mencermati ulang kata-kata Senja, sepertinya Sanjaya sudah berpisah.

Tetap saja, jika Laila tidak menanyakannya secara langsung, hatinya juga ikut terbebani. Dia memang tidak punya rencana terlalu dekat dengan Sanjaya karena Laila merasa mereka terlalu kontras.

Sanjaya terlalu ceria untuk Laila yang pemurung. Dia terlalu kuning untuk dirinya yang abu-abu. Dengan begitu, Laila jelas tidak bisa mengimbangi dirinya.

"Omong-omong, selama dua minggu saya nggak menghilang kok," tukas Sanjaya tiba-tiba, padahal tadinya Laila sudah lupa.

"Saya cuma yah...cari inspirasi kayak biasanya aja, cuma emang lagi pengen sendirian."

Laila menyela, "Nyari inspirasi? Lo bukan pekerja seni, bukan pelukis, musisi, atau penulis. Lo nyari inspirasi apaan?"

"Buat saya, memasak sama halnya dengan seni. Ada jiwa-jiwa seni yang terbentuk dalam sebuah masakan." Sanjaya menatapnya dengan intens. "Misalnya nih, saya memotong bawang. Ada bermacam-macam potongan bawang yang harus disesuaikan dengan suatu masakan. Potongan dadu untuk tumisan dan rebusan, chop untuk spaghetti atau kari. Ada juga seni waktu plating. Kamu pernah nonton MasterChef? Kalau belum, kamu harus nonton sih, gimana struggle-nya mereka waktu plating di detik-detik terakhir."

Laila hampir tidak mengedipkan matanya saat wajah mereka saling berhadapan dan sepasang mata itu saling bertemu. Ada binar cahaya di mata Sanjaya yang menunjukkan ia memiliki minat di ceritanya tersebut.

"Pipi lo... kok merah?"

Sanjaya menyentuh kedua pipinya karena merasa ia juga tidak sedang salah tingkah.

"Saya nggak lagi salting kok!"

"Tapi pipi lo memerah!" Laila segera meletakkan telapak tangannya di dahi Sanjaya. "Anjir! Lo demam?"

 

 

 

***

 

 

 

Kalau disebut demam karena jatuh cinta, sepertinya tidak mungkin. Sanjaya tahu dengan jelas bagaimana dirinya saat sedang menyukai seseorang. Pipinya memang sedikit memerah, lalu menjalar ke kedua telinganya hingga dulu saat sekolah ia sering dijuluki si tuyul telinga merah.

Tapi hari ini berbeda. Pipinya memerah bukan karena menatap Laila (sebenarnya iya juga sih), namun karena ia tiba-tiba merasa sekujur tubuhnya sangat letih dan menggigil kedinginan. Mungkin efek selama beberapa hari makan dan tidur sembarangan, makanya Sanjaya merasa tidak enak badan.

Sebenarnya ia sudah kurang fit sejak tadi pagi, hanya saja saat bertemu Laila, badannya terasa mulai membaik.

Melihat perempuan yang duduk di depannya mulai khawatir, Sanjaya hanya tertawa garing.

"Kayaknya cuma panas."

"Cuma?" tanya Laila hampir murka. "Mana termometer lo?"

"Di kotak P3K deket pintu masuk, tapi saya bisa..."

Perempuan itu langsung melesat dan membuka kotak putih kecil yang Sanjaya maksud. Buru-buru ia mengambil termometer itu dan memberikannya kepada Sanjaya.

"40 derajat! Astaga! Jadi gue dari tadi dimasakin sama orang yang sakit?" teriak Laila panik.

"Saya cuma perlu minum obat sama istirahat aja, nanti pasti udah baikan."

Laila menggeleng, "Lo... astaga! Semborono banget sih jadi orang! Sekarang lo minum obat, abis itu langsung tidur!"

"Saya masih mau nonton kok," jawabnya tak terima, namun Laila terlalu gemas mendengar bantahan laki-laki itu.

Untuk yang kedua kalinya, ia lari ke kotak P3K tadi.

"OBAT PANAS YANG MANA? INI BAHASA PERANCIS SEMUA ANJIR!"

Sanjaya menahan tawanya, "Yang warna merah. Kayaknya ada tulisan Paracetamol disana."

Persetan, obatnya terlalu banyak untuk dicari satu persatu! gertak Laila dalam hati.

Sanjaya sudah lama tidak diperhatikan seperti ini. Pak Tua? Dia memang perhatian, tapi kadang mulutnya sangat pedas. Kalau lagi waras, pasti dia akan bilang, "Kalau sakit tinggal ke dokter. Apa kamu mau menunggu mati dulu?" Setelahnya Sanjaya pasti merajuk walaupun tetap saja, pada akhirnya laki-laki tua itu yang mengantarnya pergi ke dokter langganan.

Senja? Itu kebalikannya. Saat perempuan itu sakit, ia bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Jangankan perhatian pada Sanjaya, alih-alih begitu, ia akan mengirim pesan berupa ucapan "GWS. Gak Wafat Sekalian." Dengan bungkusan obat apapun yang ia dapat di apotek.

Laila kini mengingatkannya pada sosok perempuan yang ia temui bertahun-tahun lalu. Sosok perempuan yang teramat ia cintai dengan sepenuh hati. Cinta yang tulus tanpa celah dan harapan hingga secara tidak sadar cinta itu pula yang membuat Sanjaya harus rela kehilangannya.

Sanjaya menatap manik hitam milik Laila yang fokus mengompres dahinya. Sebenarnya Sanjaya tahu jika hal ini takkan berpengaruh besar pada suhu badannya, namun ia memilih untuk membiarkan Laila melakukan apapun yang ia mau.

Wajah perempuan itu semakin panik saat beberapa kali tangannya memegang dahi Sanjaya untuk mengecek suhu tubuhnya. Tidak ada perubahan selain wajah laki-laki itu yang malah tersenyum. Aneh.

"Panasnya nggak akan turun dengan instan. Kamu nggak usah khawatir."

"Dan lo masih bisa buat senyum gitu?" tanya Laila judes. "Gimana kalau ini gejala DBD atau tipes?"

"Di Paris kayaknya nggak ada yang kena tipes deh," sahutnya geli.

"Semisal aja."

"Ya ke rumah sakit." Sanjaya menghela napas pendek. "Lagian, saya ini jarang loh sakit. Cuma ya hari ini lagi apesnya...atau mungkin beruntung kali ya? Soalnya jarang-jarang saya dirawat perawat cantik kayak kamu."

Laila mendengus kesal, "Mulut rombeng!"

"Kamu kalau mau pulang, pulang aja nggak pa-pa. Saya juga udah enakan," kata Sanjaya saat sadar Laila terus menerus menatap jam dinding disana.

Malam semakin larut sementara Laila mulai gusar, masa iya ia harus meninggalkan Sanjaya sendirian saat sakit? Tapi disisi lain, ia sudah membayangkan bagaimana raut wajah Senja yang khawatir mencarinya kemana-mana.

Baru saja Laila memikirkan Senja, perempuan itu menelepon seolah tahu jika ia sedang memenuhi benaknya. Dengan tak sabar, Senja langsung menghujani Laila dengan serentetan pertanyaan begitu perempuan itu menjawab panggilannya.

"Lo bisa-bisanya ya pergi sampai malam? Kemana lo? Lo tau nggak kalau Paris itu bahaya waktu malam, apalagi sendirian! Dimana lo sekarang? Gue udah nyari lo kemana-mana!"

"Gue..." Laila melirik ke Sanjaya. Seolah mengerti, Sanjaya mengambil ponsel Laila setelah meminta ijin terlebih dahulu.

"Dia sama saya."

"OMG! RADEN SANJAYA KUTU KUPRET! LO MASIH HIDUP? ASTAGA!"

"Saya nggak ada niat buat mati muda," sahut Sanjaya tertawa.

Senja menghela napas lega, "Jadi lo... maksudnya...hah? Lo... ! Lo berduaan... lo lagi sama Laila? Dimana? Ngapain aja? Kok bisa?" tanya Senja kembali panik.

"Ya disini, di apart. Iya berduaan. Ngapain aja? Wah banyak! Kita main dokter-dokteran."

Laila mendelik, "SANJAYA!"

Yang diteriaki hanya tertawa meskipun sampai terbatuk-batuk.

"Ajal lo kayaknya udah dekat. Awas kalau lo macem-macem sama temen gue. Gue bakalan jadiin kepala lo kuah kaldu!"

"Siap! Jangan lupa pakai daun bawang!"

"Gue serius!" Senja berteriak. "La, kalau lo diapa-apain sama tuh bule kw, bilang sama gue ya. Gue gebuk kepalanya, gue sentil usus halusnya!"

"Astaga, psikopat!" Sanjaya mengembalikan ponselnya ke Laila.

"Mungkin gue pulang agak malam, nggak masalah kan?" tanya Laila yang takut kalau-kalau Senja marah lalu benar-benar menyeretnya pergi.

Perempuan itu tersenyum, "Okay, kebetulan juga gue ada acar di luar sampai besok siang. Lo inget kodenya kan?"

"Iya, makasih ya. Sanjaya lagi sakit soalnya."

"Sejak kapan lo perhatian sama orang lain?"

Laila terdiam. Iya juga, kenapa ia begitu perhatian pada orang asing ini? Mereka baru kenal kan?

Kenapa Laila tidak bisa berpikir buruk tentang laki-laki yang kini setengah memejamkan matanya itu? Padahal secara logika, harusnya Laila takut dengan keadaan ini. Bagaimana kalau itu cuma tipuan Sanjaya untuk memanfaatkan kebaikannya? Bagaimana kalau sebenarnya dia adalah orang  jahat?

Pertanyaan Senja tak henti-hentinya berputar di kepala Laila dan sekarang mulai memenuhi benaknya. Sejak kapan ia perhatian pada orang lain, sementara ia tidak pernah memerhatikan dirinya sendiri? 
 

🌸 kalau kamu tidak bisa menemukan laki-laki yang kamu inginkan, maka ciptakanlah sendiri

🌸Dibaca sambil denger lagu daniel caesar-best part juseyo🙏

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Best Part (bag 4)
0
0
Merelakan mimpi bukanlah hal yang mudah. Melalui perjalanan singkatnya di Paris, Laila berusaha untuk mengubur mimpinya dalam-dalam untuk tampil di festival balet internasional.Ia bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya dan membuat tiap detiknya lebih bermakna lewat sajian rasa yang menggugah selera.Namun jauh di dalam hati kecil Laila, terbesit sebuah tanda tanya tentang asal-usul laki-laki itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan