
Merelakan mimpi bukanlah hal yang mudah. Melalui perjalanan singkatnya di Paris, Laila berusaha untuk mengubur mimpinya dalam-dalam untuk tampil di festival balet internasional.
Ia bertemu dengan seseorang yang mengubah hidupnya dan membuat tiap detiknya lebih bermakna lewat sajian rasa yang menggugah selera.
Namun jauh di dalam hati kecil Laila, terbesit sebuah tanda tanya tentang asal-usul laki-laki itu.
Notes: Ini bagian kedua dari cerita kemarin. Tadinya mau stop aja, eh kok enak??? Mungkin karena saya suka genre yang angst, hurt semacam ini. Jadi kayak sakiti aku lebih jauh lagi saat nulis cerita ini. Soalnya semakin terasa sakit, semakin terasa ceritanya. Masih free dan perhaluan Sanjaya nya masih Sanji (atau mungkin Lucas Bravo yang jadi Gabriel???)
BEST PART (Bag 2)
Pagi itu, sekitar pukul tujuh waktu setempat Laila terbangun karena mendengar suara gaduh. Ia mengerjapkan matanya perlahan dan melihat sosok Senja dengan setelan baju modis berwarna lilac tengah mencari sesuatu di meja kerja yang sudah berantakan.
"Eh, lo bangun? Sorry ya, gue lagi nyari dompet gue nih."
Sungkan dengan si pemilik rumah yang sibuk sendiri, Laila akhirnya turun dari tempat tidur dan ikut berdiri di samping Senja.
"Gue bantuin ya?"
Hampir setengah jam mereka mencari-cari dompet milik Senja sampai akhirnya perempuan itu menepuk jidatnya kesal.
"Ya ampun! Dompet gue kan ada di tas yang kemarin!"
Buru-buru ia mengambil tas yang kemarin ia pakai saat meeting. Ternyata benar, ada dompet Charles and Keith berwarna hitam yang sudah usang disana. Menurut cerita Senja, itu adalah dompet pertama yang ia beli setelah beberapa bulan menabung dari uang jajannya selama kuliah. Makanya, Senja sayang banget sama dompet buluk itu.
"Banyak sejarahnya, La. Makanya gue nggak bisa gantiin dia sama yang lain," kata Senja waktu Laila bertanya mengapa ia tidak mengganti dompetnya.
Senja segera keluar dari ruangan itu, namun ia kembali lagi dengan wajah serius.
"Abis ini Sanjaya kesini. Gue nggak terlalu jago masak dan nggak ada waktu buat masak."
"Terus ngapain dia kesini?" tanya Laila heran.
"Bawa makanan buat lo. Nanti kalau dia jadi kesini, lo bilangin dia suruh benerin air ledeng sama gantiin lampu kamar mandi. Mati."
"Heh..."
Senja sudah buru-buru pergi setelah mencium pipi Laila sekilas. Sepagi ini perempuan itu tengah berlari kecil menuju pemberhentian bis lokal yang jaraknya tidak jauh dari kawasan apartemennya. Laila menghela napas pendek lalu duduk di sofa empuk berwarna cream itu.
Senja selalu memiliki hal menarik dalam hidupnya. Ia adalah sosok perempuan paling pemberani yang pernah Laila kenal. Dulu saat mereka lulus SMA, Senja dengan gagahnya berkata akan kuliah di Perancis untuk mewujudkan cita-citanya. Dia berangkat dengan modal nekat dan sedikit uang yang ia tabung selama bertahun-tahun.
Tentu saja, sesampainya di kota ini kehidupan Senja tidak langsung berubah drastis menjadi baik. Malah sebaliknya, ia harus jungkir balik bertahan hidup di negeri orang bak tersesat di negeri antah berantah.
"Gue pernah tuh nggak makan seharian, cuma minum kopi terus maag gue kambuh. Ya gimana ya, waktu itu duit gue abis, terus dikejar-kejar tugas kuliah," cerita Senja suatu hari saat mereka bertelepon ria.
"Orang-orang disini banyak galaknya. Gue bahasa inggris aja masih haha hehe, eh disini harus pake bahasa Perancis. Apa nggak pecah kepala gue?" Itu kata Senja setelah dua tahun di Paris.
Mereka sempat lost contact setelah kesibukannya masing-masing, namun Senja kembali menghubungi Laila saat ia tahu perempuan itu tertimpa musibah yang mengubah hidupnya untuk selamanya. Senja menangis dan meminta maaf sedalam-dalamnya karena tidak bisa menemani Laila disaat perempuan itu terjatuh ke dalam jurang yang tak berujung.
Mengingat masa-masa itu membuat rass sakit di hati Laila kembali tumbuh. Dengan kesal, Laila menggelengkan kepalanya dengan cepat dan bermaksud menghilangkan kenangan buruk itu.
Sepuluh menit kemudian, Laila mendengar suara ketukan di pintu. Setelah membuka pintunya, muncul sosok Sanjaya dengan celana training dan kaos hitam tanpa lengan tengah membawa sesuatu di tangannya. Ia tersenyum dengan ramah.
"Bonjour, Mademoiselle," sapa Sanjaya ceria namun tidak ditanggapi sama sekali.
Laila hanya memasang wajah asam seperti biasanya lalu meneliti laki-laki itu dengan seksama. Tahu jika dirinya sedang ditatap maut, Sanjaya akhirnya menjelaskan.
"Abis olahraga, terus bikin ini," kata Sanjaya menunjukkan satu pot berukuran kecil berisi makanan panas yang sepertinya baru ia buat.
Tanpa basa-basi, Sanjaya langsung masuk dan membuat Laila sempat merengut. Laki-laki itu meletakkan makanan tadi di meja dapur dan langsung mengambil tangga.
Laila mengambil makanan itu, "Ini buat gue?"
Sanjaya mengangguk. Selama hampir lima menit, perempuan itu menikmati makanannya sendirian tanpa obrolan atau cerita-cerita dari Sanjaya yang sibuk mengganti lampu di kamar mandi.
"Enak nggak?" tanya Sanjaya begitu melihat Laila menandaskan makanannya.
"Biasa aja."
"Itu namanya oeufs cocotte, bahasa lainnya french baked egg. Saya tambahin keju di dalamnya. Kamu nggak alergi kan?"
Laila menoleh sebentar, "Gue kayaknya alergi lo."
Sanjaya tertawa lalu menuju pantry. Sepertinya dia sangat hafal setiap sudut di apartemen Senja. Ia mengambil biji-biji kopi di sebuah toples yang Senja letakkan di laci.
"Coffee?" tawar Sanjaya.
"Nggak biasa minum kopi waktu pagi."
Sanjaya mengangguk, "Okay, then a cup of tea?"
"Sounds better than coffee. No sugar, please," jawab Laila.
Laki-laki itu segera meracik secangkir kopi hitam panas dan teh chamomile yang ia dapatkan di laci penyimpanan Senja. Kalau Senja tahu, dia pasti akan mengomeli Sanjaya karena setelah mengambil makanan atau minumannya, Sanjaya tidak merapikannya lagi.
"Kayaknya lo deket banget ya sama Senja sampai tau barang-barangnya dimana."
Sanjaya menoleh dan mendapati Laila tengah berdiri di belakangnya dengan tangan terlipat di dada.
"Hampir tiap hari saya kesini. Entah benerin sesuatu atau ngisi kulkas Senja. Dia sibuk banget sampai nggak punya waktu buat belanja."
Laila terdiam beberapa saat sebelum Sanjaya menyodorkan secangkir teh hangat yang langsung ia minum perlahan.
"Kalian pacaran?" tanya Laila menyelidik.
Sanjaya hampir tersedak begitu mendengar pertanyaan yang penuh intimidasi tersebut. Sudah banyak orang yang menyangka dirinya dan Senja berpacaran, bahkan Pak Tua pun mengiranya demikian.
Ia menggeleng, "Cuma temen," Sanjaya meminum kopinya lagi dan menyambung ucapannya, "Senja udah suka sama om-om yang jadi atasannya sekarang. Umurnya udah hampir 50. Kata Senja, itu umur laki-laki yang matang dan siap untuk menikah."
"Pasti duitnya banyak dan dia bukan om-om buncit kan?"
"Exactly!" seru Sanjaya membenarkan.
Untuk ukuran perempuan seperti Senja, ia lebih menyukai laki-laki yang dewasa, punya banyak uang dan berpenghasilan tetap, serta punya jabatan yang bisa mendukung kariernya. Laila tidak heran dengan hal itu sebab mereka pernah membicarakan hal ini saat menjelang kelulusan.
"Cita-cita gue nikah sama raja Arab atau pengusaha kilang minyak. Kalau nggak, sama yang punya Tesla."
Laila tertawa, "Elon Musk? Aneh-aneh aja lo."
"Lo sendiri gimana? Pengen nikah sama siapa?" Senja langsung menodong Laila dengan pertanyaan konyol itu, "Tunggu... Jangan bilang lo pengen nikah sama si Reyza itu! Astaga!"
"Nggak harus dia sih, tapi kalau bisa iya."
Senja menepuk pelan bahu Laila seolah menenangkan sahabatnya, "Semoga aja ya, tapi kalau sampai dia nyakitin lo..." Senja menunjukkan lengannya yang sedikit berotot, "Gue gibeng kepalanya di ketek!"
Laila tersenyum sendiri saat mengingat percakapan yang mereka di siang hari saat jam istirahat sekolah sambil makan bakso. Saat itu adalah waktu-waktu paling bahagia sepanjang hidupnya. Ia berkencan dengan Reyza, sering mengikuti kompetisi balet yang membuat namanya kian melambung, dan masih berhubungan baik dengan kedua orangtuanya.
"Kamu mikirin hal yang sama kayak Senja?" tanya Sanjaya membuyarkan lamunan Laila.
"Nggak, ketimbang itu gue lebih suka sama cowok au."
Sanjaya mengernyitkan dahinya heran, "Au? Cowok serigala?"
"Alternative Universe. AU. Cowok buatan penulis tapi dengan wajah idol."
"Idol?"
"Cowok Korea, Jepang, Thailand, atau western."
"Oh," kata Sanjaya singkat seolah dirinya paham.
Laila meletakkan tehnya yang telah tandas lalu kembali duduk di sofa.
"Umur lo berapa sih? Kayaknya lo kudet banget."
Sanjaya kini sibuk dengan alat pertukangan yang entah apa namanya, Laila kurang tahu. Kalau dilihat-lihat, sepertinya umur Sanjaya tidak jauh beda darinya. Melihat tubuhnya yang tegap dan sangat fit membuat Laila yakin jika laki-laki itu gemar berolahraga.
"Hm, bentar lagi 32 kayaknya."
Laila melotot terkejut, "For real?!"
"Kenapa? Kamu kaget karena saya masih ganteng ya?"
"Nggak, gue ngiranya lo udah umur 40-an, soalnya gaya lo jadul banget." Laila menyembunyikan wajahnya yang bersemu kemerahan. "Lo bahkan jemput gue pake setelan jas lengkap kayak mau ke kondangan."
"Emang sih, waktu itu saya abis pulang dari acara nikahan temen."
...
"Mau jalan-jalan sekarang atau nanti?"
Sanjaya masih ngotot mengajak Laila jalan-jalan. Katanya rugi jika datang ke Paris hanya untuk bergelung dengan selimut dan series di Netflix.
"Paris itu indah, La, punya banyak sejarah. Kamu harus keliling sini biar otaknya lebih fresh," katanya saat Laila menolak dengan alasan akan tidur lagi setelah sarapan.
"Kalau sekarang cuma bentar sih, soalnya jam sebelas saya harus ke restoran. Kalau nanti sekitar jam 6 sore, baru bisa jalan-jalan. Kamu mau wisata sejarah, kuliner, atau liat fashion week? Mungkin ada Senja disana."
Laila menjawab dengan ogah, "Ntar gue kirim lo pesan kalau gue mau keluar."
"Janji nggak?"
"Nggak janji, soalnya gue gampang badmood," jawab Laila sekenanya.
"Okay. Ada salad caesar kesukaan Senja, saya taruh di kulkas. Paling agak siangan dia pulang terus balik lagi," kata Sanjaya sebelum menghilang di balik pintu apartemen Senja.
Laila menutup pintu itu rapat-rapat dan berdiri di belakangnya. Laki-laki itu unik, atau mungkin sedikit aneh. Ia tidak pernah menemui seseorang yang sangat ceria dan ramah seperti Sanjaya. Bahkan Reyza yang ia anggap orang paling semangat di dunia, ternyata kalah dengan Sanjaya.
Loh, kenapa Laila jadi membanding-bandingkan antara Sanjaya dan Reyza?
Ia mengusir pikiran aneh itu dengan berendam beberapa menit di dalam bathup. Kata Senja, ia baru membeli selusin sabun dengan aroma beraneka bunga. Menurut Senja, mandi adalah ritual unik yang ia jalani sehari-hari demi mengusir kepenatan dan energi negatif di dalam tubuhnya. Makanya tak jarang ia berendam beberapa jam sebelum benar-benar siap pergi ke kantor atau sebelum ia tidur.
Laila mencoba trik yang Senja katakan, namun baru sepuluh menit ia berendam, dirinya sudah dirundung rasa bosan.
Emang paling enak mandi cepet pake shower, rutuknya setelah mengganti pakaian dengan kaos kelonggaran dan celana pendek di atas lutut.
Ia kembali mengecek ponselnya, siapa tahu ada hal yang menarik. Namun saat Laila membuka akun instagramnya, ada foto Reyza dan seorang perempuan--sepertinya itu Raina tengah melakukan sesi foto prewedding.
Laki-laki itu tersenyum bahagia dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Ia memeluk si perempuan yang sama bahagianya.
Raina, perempuan itu memiliki lebih tinggi dari Laila, namun berisi. Kulitnya kuning langsat khas perempuan Indonesia. Kalau Senja bilang Raina tidak cantik, pasti itu cuma bualan belaka agar Laila tidak sakit hati.
Lihat saja, rambutnya yang disanggul rapi terlihat manis dan sesuai dengan wajahnya yang cantik. Melihat bagaimana sempurnanya Raina, Laila jadi minder.
Pantas saja Reyza meninggalkannya dan mendapatkan perempuan secantik Raina.
Di caption, tertulis, "Happily ever after."
Lalu tertulis juga beberapa akun fotografer, MUA, butik pakaian, serta tempat mereka melakukan pemotretan itu.
Hati Laila semakin terasa sakit saat ia sadar jika semua konsep pernikahan ini pernah ia jalankan dengan Reyza. Mulai dari baju hingga tempat mereka melakukan prewedding. Bedanya hanya satu, bukan Laila yang berdiri dan tersenyum mendampingi Reyza disana.
Laila memutuskan untuk mematikan ponselnya dan menangisi dirinya sendiri sepanjang hari. Foto-foto itu terlalu menyakitkan untuk dilihat karena dia juga memiliki file berisikan foto-foto yang serupa.
Kenapa Reyza seolah ingin menjatuhkannya lebih dalam lagi?
Kenapa ia tidak menghilang saja tanpa menemuinya lagi dan membiarkan rasa benci bercampur rindu itu tetap menetap di hatinya?
Kenapa laki-laki itu ingin dirinya lebih dan lebih membencinya?
Benar kata orang, mungkin membenci adalah langkah paling ampuh untuk melupakan seseorang. Sekarang Laila sudah membenci Reyza, namun ia belum bisa melupakannya, apalagi berhenti mencintainya.
...
Sekitar pukul 6 sore, Sanjaya sudah berdiri di depan pintu apartemen Senja sambil mengapit rokok di kedua jarinya. Sanjaya sengaja menghabiskan rokoknya sebelum bertemu dengan Laila, namun betapa terkejutnya ia saat perempuan itu tiba-tiba membuka pintu.
Sanjaya buru-buru mematikan rokoknya dan menatap Laila canggung.
"Sejak kapan lo disini?" tanya Laila mengintimidasi.
Sanjaya terkekeh malu, "Dari tadi, cuma ngerokok bentar. Maaf ya?"
"No need. Lo mau ngajak gue kemana? Awas aja kalau lo ngajakin yang aneh-aneh."
Laki-laki itu segera memperlihatkan notebook yang berisi beberapa catatan di dalamnya setelah Laila mencurigainya. Ada beberapa tujuan yang bisa Laila nikmati malam ini sesuai dengan tema yang Sanjaya tulis.
"Wisata kuliner, wisata sejarah, fashion week, teater dan drama musikal, baca buku, foto-foto, ke menara Eiffel... astaga! Lo kira gue disini mau liburan apa?" tanya Laila begitu membaca catatan itu.
Sanji mengernyitkan dahinya, "Loh, kalau bukan liburan, terus ngapain?"
Butuh waktu sepuluh menit sampai Laila akhirnya memutuskan jalan-jalan apa yang sekiranya cocok untuknya.
Wisata kuliner.
Sejak insiden itu, ia tidak pernah lagi jalan-jalan sambil kulineran bersama Reyza. Janji yang Reyza buat juga tak kunjung diwujudkan. Jangankan ke Thailand atau Korea, untuk menyantap street food yang berada tak jauh dari rumahnya saja tidak pernah.
Melalui malam ini, Laila berharap jika ada hal-hal kecil yang membuat hidupnya lebih bermakna. Ia juga ingi mewujudkan salah satu mimpi lamanya, menyantap makanan yang belum pernah ia coba sebelumnya.
Bagi Sanjaya, tentu saja ini menyenangkan. Ia adalah seorang chef yang berkutat dengan makanan selama bertahun-tahun, mencari makanan-makanan baru adalah kegiatannya saat bolos kerja. Ditambah dengan ditemani seorang perempuan cantik seperti Laila, tentu Sanjaya sangat bersyukur.
Mereka memutuskan untuk sekadar berjalan keluar kompleks apartemen di daerah Le Marais dan mencari street food sekaligus angin segar.
"Mau falafel nggak?"
Laila penasaran, "Falafel?"
" A deep-fried ball or patty-shaped fritter. Dibuat dari ground chickpeas, broad beans, or both. Gimana? Mau? Kalau mau, di depan kita kayaknya ada yang jualan. Kebetulan saya juga udah lama nggak makan falafel."
"Enak?"
Sanjaya mengangguk, "Nggak ada makanan yang nggak enak. Itu kata Pak Tua waktu saya mulai belajar memasak darinya."
Laila tidak bertanya lagi dan memilih untuk berjalan di belakang Sanjaya yang sepertinya sangat antusias membeli makanan itu. Ia berhenti sejenak dan menatap laki-laki itu dari kejauhan. Langkahnya yang pelan namun lebar sulit diimbangi oleh Laila yang terasa mengejarnya.
Dilihat dari jauh, Sanjaya cukup memiliki karisma yang tinggi. Dengan kemeja berwarna mustard yang lengannya ia gulung sampai di bawah siku dan celana kain warna hitam, laki-laki itu menuju ke sebuah foodtruck sambil bersenandung lagu-lagu barat.
Cukup ganteng, tapi agak aneh, begitu pikir Laila.
"La! Ayo sini!" teriak laki-laki itu saat sadar Laila tertinggal jauh darinya.
Laila berlari kecil kearah Sanjaya. Begitu sampai disana, ia langsung disambut dengan aroma herba bercampur rempah yang berasal dari makanan itu. Indra penciuman Laila seolah sedang dimanjakan oleh aroma khas timur tengah yang menggoda selera.
"Ini dibuat dari kacang arab sama rempah-rempah loh, La. Nggak heran kan jadi sewangi ini?"Sanjaya menatap Laila dengan seksama, "Makanan ini paling enak dimakan pake lafa atau roti pipih tebal. Ditambah salad sama saus pedas tambah enak."
"Hmm."
Sanjaya menujuk ke wajan penggorengan berisikan adonan falafel yang tengah digoreng garing
"Dia kayaknya pake minyak zaitun, poin plus dalam membuat falafel. Jadi nggak heran kalau yang antri makanan ini udah banyak banget," kata Sanjaya sambil menulis sesuatu di notebook miliknya.
Eh iya, saking fokusnya Laila melihat falafel yang tengah digoreng itu, ia malah tidak sadar jika antrian di belakangnya sudah mengular. Setelah mendapat falafel yang mereka pesan, Sanjaya mengajak Laila duduk di bangku taman sambil menikmati hiruk-pikuknya orang-orang yang tengah liburan.
"Coba satu deh, La. Terus kasih tau saya gimana rasanya. Honest opinion only ya?"
Laila menggigit satu bola kecil falafel itu. Lidahnya terasa menari begitu makanan itu menyapa indra perasanya. Gurih, beraroma sedap, crunchy di luar, lembut di dalam dan oh! Kenapa Laila baru tahu ada makanan sederhana yang seenak ini?
"La? Enak kan?"
"More than delicious!"
Sanjaya tersenyum lalu menyodorkan makanan pendampingnya berupa hummus, lafa, dan saus pedas.
"Dikasih ini jadi lebih enak," Sanjaya menunjuk saus putih di wadah itu, "Namanya hummus. dibuat dari kacang arab giling yang dicampur tahini atau wijen giling, minyak zaitun, sari perasan limau, garam dan bawang putih."
Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk menghabiskan bola-bola falafel itu. Sanjaya tadi berpamitan ingin membeli kopi dan menawari Laila apakah perempuan itu juga ingin minum kopi. Ia terkejut dengan permintaan Laila yang terdengar aneh.
"8 shots of espresso, no water only ice, and venti cup?" Sanjaya melongo, "La, yang bener aja? Itu bakalan pahit banget loh."
"Gue terbiasa minum yang kayak gitu. Selain itu, gue nggak mau minum."
Setelahnya Sanjaya pergi ke kedai kopi terdekat dengan ragu-ragu. 8 shots espresso? Bahkan ia yang pecinta kopi tidak akan melakukan hal gila seperti itu. Namun melihat wajah Laila yang serius, sepertinya perempuan itu tidak berbohong.
Selera orang memang beranekaragam, cuma Laila yang aneh.
"Yakin mau minum ini?" tanya Sanjaya menyodorkan cup berisi kopi setan itu penuh penasaran.
Laila langsung menerimanya dengan ketus, "Kalau bukan gue yang minum, emangnya lo mau minum?"
"Nggak sih," Sanjaya menunjukkan minuman yang ia pesan, "Saya suka kopi, tapi saya lebih suka strawberry acai."
"Kalau di Indonesia, minuman ginian pasti mahal. Gue minum cuma buat gaya-gayaan. Kalau buat sehari-hari, mending nyeduh good day cappucino."
"Saya jadi kangen dawet sama es selendang mayang."
Laila menoleh, "Emang tahu minuman itu?"
"Tahu lah," sergah Sanjaya tidak terima. "Saya suka banget minum es selendang mayang di deket kota tua sama monas."
"Emang udah berapa lama sih lo disini? Keliatannya lo udah jadi warga lokal kalau nggak berbahasa Indonesia." Pertanyaan Laila tiba-tiba memicu wajah Sanjaya yang tiba-tiba mengkerut.
Ia menggenggam gelas strawberry acai itu lebih erat, lebih tepatnya mencengkeramnya. Pandangannya terasa kosong setelah sekian lama ia tidak mendengar pertanyaan itu lagi.
Memori suram yang sudah ia kubur lama di kepalanya kembali menyeruak hingga Sanjaya tidak sadar jika Laila menatapnya heran.
Untuk satu detik ini, Sanjaya ingin sedikit menjauh dari Laila.
...
Boleh jadi kehidupan Sanjaya yang sekarang adalah suatu berkah dari munculnya Pak Tua, sosok laki-laki berumur lebih dari 60 tahun yang menjadi malaikat penolongnya saat ia terjatuh. Sanjaya mengenal Pak Tua (nama sebenarnya Jerome Marcia, karena suatu hal, ia memanggilnya Pak Tua) saat bule asal Perancis yang berpakaian necis itu makan di sebuah restoran Jawa tempat Sanjaya bekerja sebagai pelayan dan tukang cuci piring.
Sanjaya masih ingat betul kali pertama ia bertemu dengan Pak Tua. Saat itu secara tidak sengaja, Sanjaya memecahkan puluhan piring yang harganya cukup mahal hingga membuatnya harus rela dimarahi oleh pemilik restoran yang galak itu.
"Lo kalau nggak niat kerja, nggak usah kerja disini, tolol! Lo tau nggak, harga dari piring-piring itu lebih mahal dari gaji lo sebagai pelayan!" teriak seorang laki-laki berusia 30 tahun-an yang merupakan pemilik restoran itu.
Sanjaya hanya menundukkan kepalanya sambil mengucapkan maaf berkali-kali, namun tetap saja tak menurunkan amarah si pemilik restoran.
"Mulai hari ini, lo nggak usah kerja disini lagi! Lo gue pecat! Kerjaan nggak becus, bikin rugi aja bisanya! Tolol!"
Pada akhirnya Sanjaya keluar dari restoran itu dan duduk di pinggir jalan sembari menahan air mata yang ingin meluncur sejak dari tadi. Hatinya terasa sesak, terlebih dengan pendidikannya yang sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Bahkan ijazah SMA saja ia tak punya.
"Are you okay?"
Sanjaya menoleh ke arah seorang laki-laki dengan setelan jas rapi berwarna biru laut. Rambutnya sedikit kekuningan dan wajahnya mencerminkan jika dia orang luar.
"Aku lihat kamu dimarahi tadi," katanya sedikit gagu dengan bahasa Indonesia.
Sanjaya masih mencoba tersenyum, "Nggak pa-pa, wajar karena saya yang salah."
Laki-laki itu menepuk pundak Sanjaya. Wajahnya yang tegas dan tajam menyimpan banyak ketulusan serta kelembutan disana.
"Tapi tidak seharusnya dia berkata buruk pada orang lain kan?"
"Tiap orang berbeda, sir. Yah, saya kebetulan bertemu dengan orang seperti itu," jawab Sanjaya berusaha legowo.
Laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, bermaksud untuk menawari Sanjaya. Namun dengan cepat Sanjaya menolak.
"Saya merasa belum dewasa untuk bisa merokok."
"Jerome. Jerome Marcia namaku," kata Pak Tua mengulurkan tangannya setelah ia batal merokok. "Aku harap kamu masih punya mimpi dan keinginan untuk mencapai mimpi itu."
Sanjaya tersentak.
"Temui aku disini," ia memberikan kartu namanya. "Aku akan membantumu, nak. Aku yakin, kamu adalah orang yang memiliki mimpi besar."
...
Sanjaya tahu, sepertinya konyol jika ia langsung mempercayai ucapan laki-laki bernama Jerome yang ia temui tadi siang. Membantu? Bahkan Tuhan rasanya tidak ingin membantu hidupnya.
Malam itu, Sanjaya memutuskan merebahkan dirinya di tikar tipis yang berada di kosannya yang sempit. Kata-kata orang asing itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Mimpi? Apa ia masih punya mimpi? Apa ia masih diperbolehkan bermimpi sekali lagi?
Sanjaya menatap kartu nama laki-laki itu. Jerome Marcia. Nama yang terdengar asing namun juga terasa familiar di telinganya. Tak lama kemudian, Sanjaya pun menjelajahi dunia maya untuk menemukan siapa sebenarnya Jerome Marcia yang ia temui tadi siang.
Begitu mengetik nama Jerome Marcia di web penelusuran, Sanjaya dikejutkan dengan banyak fakta tentang laki-laki itu.
Satu, dia adalah mantan kepala koki di kapal angkatan laut Perancis, La Royale.
Dua, laki-laki itu sudah pensiun lima tahun lalu, artinya dia pensiun dini tanpa adanya alasan yang jelas. Mungkin dirahasiakan. Kini ia memiliki akun youtube dengan jutaan subscribers yang menunggu video-video tutorial memasaknya setiap hari.
Tiga, dia juga seorang food traveler, mungkin ini alasannya Sanjaya bisa bertemu dengannya di restoran tadi. Selain itu, Jerome ini juga memiliki beberapa perusahaan di bidang pangan yang terkenal di negaranya.
Empat, dia menawarkan bantuan untuk Sanjaya? Bantuan macam apa itu?
Memikirkan banyak hal yang terlalu aneh membuat kepala Sanjaya pusing dan kesulitan tidur. Ia berusaha memejamkan matanya, namun tetap saja kartu nama itu terus mengganggunya.
Akhirnya, pagu itu Sanjaya memutuskan untuk menghubungi Jerome sekitar pukul sepuluh pagi. Begitu telepon berdering, Jerome langsung mengangkat panggilan itu dengan gembira.
"Jadilah koki restoranku di Paris!" pintanya tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
...
"Almost 12 years," jawab Sanjaya setelah sekian lama Laila menunggu laki-laki yang tengah termenung itu.
Wajahnya yang pahit tak bisa ia sembunyikan seperti biasanya. Rasanya Laila tidak bisa mengenali Sanjaya yang berubah murung seperti ini. Wajahnya yang ceria saat menjemputnya di bandara, saat bercerita, atau saat memasak langsung hilang.
"Did i hurt you? Lo keliatan nggak nyaman," tanya Laila pelan-pelan.
Sanjaya kali ini tidak menoleh, "Sedikit. Ada banyak hal yang sudah saya lewati sampai di titik ini. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah lewat. Nggak ada gunanya sedih terus."
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Sanjaya mengatakan hal yang seperti itu sementara wajahnya jelas menunjukkan emosi yang berbeda. Ada raut kesal, sedih, menyesal yang bercampur menjadi satu disana tapi Laila tidak tahu dan tidak bisa menebaknya.
Lalu bagaimana mungkin Sanjaya hanya menganggapnya sebagai hal yang telah berlalu tanpa bersedih?
Bagaimana laki-laki itu bisa bersikap sok kuat sementara terlihat dengan jelas jika matanya berkilat kesal?
"Lo tadi tanya kan, gue disini mau ngapain kalau bukan karena liburan?"
Sanjaya mengangguk, "Feel free kalau kamu nggak mau jawab."
"Gue lagi berlari. Bukan secara harfiah gue berlari dari Jakarta ke Paris sampai kaki gue gempor, tapi gue berlari. Lari dari kenyataan yang nggak bisa gue terima selama bertahun-tahun ini."
Mungkin ini hal terbodoh yang pernah Laila lakukan, bercerita kepada orang asing. Kalau ketahuan Senja, pasti perempuan itu bilang, "Duh, lo udah oversharing, La. Gimana kalau dia punya niat jahat sama lo?"
Tapi kalau dilihat-lihat, Sanjaya sepertinya tidak memiliki niat jahat padanya.
"Gue kehilangan mimpi gue di usia 20 tahun. Mimpi itu udah gue rajut dari kecil, mungkin dari masa kanak-kanak," kata Laila menghirup udara musim semi sejenak lalu kembali bercerita.
"Waktu itu, mama ngajak gue ke sebuah pertunjukan balet di Rusia. Gue jadi tertarik sama balet setelah ngeliat salah satu balerina terbaik disana, kata mama namanya Masha Pavlova. Kebetulan papa juga seorang musisi klasik yang ikut opera dimana-mana. Gue sama musik klasik kayak milik Beethoven atau Bach nggak bisa dipisahkan, apalagi setelah gue liat pertunjukan itu.
Kayak bocah pada umumnya, gue minta mama supaya masukin gue ke les balet. Awalnya gue menari balet untuk bersenang-senang karena pada akhirnya, gue bisa mendapatkan passion yang selama ini gue cari. Lambat laun, tujuan gue berubah. Mungkin karena desakan mama sama papa juga, gue fokus buat terus menerus ikut kejuaraan dan festival. Nggak jarang mama dengan sengaja bikinin gue resital berkedok acara amal agar gue semakin dikenal.
Dari situ, gue selalu mematok harga atas mimpi-mimpi gue sebagai seorang balerina yang tampil di festival bertaraf internasional. Harganya nggak murah, gue mesti latihan berjam-jam, kadang mengorbankan waktu bermain atau belajar. Hasilnya emang sepadan seperti yang gue inginkan. Lama-lama gue semakin nggak tau diri dan membuat mimpi-mimpi besar sampai akhirnya..."
Laila terdiam dan merasakan jika bahunya terguncang. Ia tiba-tiba menangis sesenggukan dan membuat Sanjaya memeluknya dari samping untuk menenangkan.
"Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis atau berhenti cerita, saya paham cerita kamu. Kamu udah melewati begitu banyak hal kan?"
Laila mengangguk pelan dan mengusap air matanya dengan cepat
"La, mungkin hari ini adalah bentuk dari pelarian kamu atas kepenatan yang kamu rasakan. Setiap orang pasti pernah merasakannya, setidaknya sekali seumur hidup. Bagaimanapun, mimpi tetap mimpi, La. Semua mimpi pasti akan terwujud sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Nggak ada istilah mimpi yang terlalu cepat atau terlambat, semuanya datang tepat waktu. Kalau kamu ngerasa, oh mimpiku udah nggak bisa tercapai lagi atau merasa keinginan kamu tak kunjung datang, percaya sama saya kalau suatu hari mimpi itu akan sampai sama kamu. Mungkin tidak sama atau bahkan digantikan dengan mimpi yang lebih baik dari sekarang."
"Gue nggak bisa menari lagi! Gue udah kehilangan setengah dari hidup gue. Menurut lo, apa gue pantas buat bermimpi bisa tampil di acara yang gue inginkan?"
Laila berteriak keras hingga membuat Sanjaya terkejut. Tangisannya jadi semakin nyaring dan membuat orang-orang menatap curiga mereka.
"La, nggak ada yang nggak bisa kamu lakukan. Ada banyak hal yang perlu kamu lihat dari kehidupan ini. Dunia ini luas, La. Saya harap, kamu nggak terpaku pada salah satu mimpi itu. Kamu bisa membuat mimpi-mimpi yang lain."
Laila menatap Sanjaya sengit, "Tahu apa lo soal kehilangan?"
Kali ini, Sanjaya merasa lidahnya kelu saat akan menjawab bentakan Laila.
Tentang kehilangan.
Ia sangat tahu perasaan itu. Ia sudah kehilangan segalanya di dunia ini. Jika ada orang yang bertanya demikian selain Laila, mungkin Sanjaya akan marah besar sebab dia telah merasakan banyak kehilangan di dalam hidupnya melebihi orang lain.
🌸Ini cuma lagi rajin aja, jadi nulis 4k kata dua yuk gas ngeng
🌸 Kalau males sukanya baca buku, maraton one piece, atau nonton sisi terang
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
