
Dear Beloved Readers,
Bab 1-15 cerita ini bisa dibaca di Wattpad Marrying My Enemy.
Untuk series ini bisa dibaca di Wattpad Ally Jane dengan urutan:
- Marry Me or Be My Wife
- Just Be You
- Miss Trouble vs Mr Genius
- Marrying My Enemy
- A Proposal From Mr. Stranger
- Miss Trouble vs Mr Genius Extra Part + Epilog
- Fated to Marry You
- Fated to Meet You
- Fated to be Yours
- To Choose an Enemy
- My Bestfriend, My Husband
***
Marrying My Enemy
Ada yang pernah mengatakan, menikah adalah tentang memilih teman bertengkar...
The Start
Tak perlu seorang pangeran berkuda putih
Untuk membebaskan seorang putri
Terkadang, kau hanya perlu seseorang
Yang selalu siap memegangimu setiap kali kau terjatuh
Berapa kali pun itu
- Lyra -
Tak perlu seribu alasan untuk jatuh pada seseorang
Kau hanya perlu melihatnya
Lalu, terjatuh setiap saatnya
Semakin lama semakin dalam
Hingga kau tak lagi bisa melihat apa pun
Selain dirinya
- Erlan -
Siapkah kau untuk jatuh sedalam-dalamnya?
***
Bab 1
A Sweet Start ... Or Not
Setelah penerbangan panjang yang meski nyaman, tapi melelahkan, akhirnya Lyra dan Erlan tiba di Shine World Resort yang terletak di pulau yang berada di sebelah barat Vancouver, Kanada. Selama tiga tahun, Lyra bekerja keras di Kanada untuk pembangunan resort itu, yang juga menjadi salah satu kunci keberhasilannya untuk kembali ke kantor pusat keluarganya, Grup Brawijaya.
Begitu sekretaris Lyra meninggalkan Lyra dan Erlan di villa Shine World, Erlan langsung memeluk Lyra dari belakang.
“Aku kangen kamu,” Erlan berkata.
Lyra mendengus geli. Ia mengangkat tangan dan mengusap lembut kepala pria itu.
“Perasaan dari kemarin kita bareng-bareng terus, deh,” balas Lyra.
“Tapi, kamu nggak ngizinin aku meluk kamu kayak gini dari kemarin,” keluh Erlan.
“Ya karena ada banyak orang di bandara, di pesawat. Kamu juga aneh. Masa cuma kayak gitu aja udah kangen,” ucap Lyra geli.
Tak ada jawaban. Lyra menoleh, tapi saat itu juga, Erlan langsung menciumnya. Lyra menarik diri dan menatap pria itu kesal. Erlan merengut.
“Kapan kamu mau sadar, sebesar itu cintaku ke kamu, sampai aku masih bisa kangen kamu bahkan meski kamu ada di sampingku?”
Lyra tertegun. Ia berdehem sembari menarik diri dari pelukan Erlan.
“Kita gimana makan siangnya? Mau masak atau ke restoran? Aku belum cek kulkas sih, tapi Milla bilang, dia udah belanja,” Lyra berkata seraya menjauh dari Erlan.
Seperti biasa, Erlan tak kaget dengan reaksi Lyra dan membalas, “Terserah kamu aja. Kalau kamu capek, biar aku aja yang masak. Atau, kalau kamu mau makan di restoran juga nggak masalah.”
Lyra menghentikan langkah di depan kulkas dan menatap Erlan. “Aku tanya kamu karena minta pendapatmu. Kamu capek, nggak? Mau aku yang masakin atau kalau kamu udah lapar dan nggak capek, kita ke restoran aja?”
Erlan tampak terkejut.
“Kalau kamu lupa, aku juga cinta sama kamu,” sebut Lyra. “Jadi, berhenti bertingkah seolah cuma kamu yang jatuh cinta di sini.”
Erlan tersenyum mendengarnya. “Maaf. Selama tiga belas tahun aku terbiasa sama itu, soalnya.”
Lyra mengernyit. Namun, ia tak mengatakan apa pun. Toh, Erlan mengatakan yang sebenarnya.
Sebelum mereka menikah, hubungan mereka tak bisa dibilang baik. Selama tiga belas tahun, Lyra selalu menganggap Erlan musuh dan saingannya. Sejak mereka SMA, hingga Lyra masuk ke perusahaan. Bahkan, hingga beberapa bulan yang lalu.
Selama itu pulalah, Lyra hanya menunjukkan sikap permusuhan dan kebencian pada Erlan. Meski Erlan adalah orang yang selalu ada di sampingnya setiap kali Lyra terjatuh. Bahkan, setelah semua perjuangan pria itu untuk melindungi Lyra. Juga, ketika Lyra akhirnya menyukai pria itu.
Lyra sadar, betapa ia telah menyakiti Erlan, berapa lama ia membuat pria itu menunggu. Pikiran itu juga menyakiti Lyra. Namun, ia tak tahu bagaimana harus meminta maaf pada Erlan untuk itu. Ia tak tahu ...
Kecupan di ujung hidungnya menarik Lyra dari pikirannya. Ia terkejut mendapati Erlan sudah berdiri di hadapannya.
“Kenapa kamu malah ngelamun?” tanya pria itu. “Kita jauh-jauh ke Kanada buat bulan madu, kan?”
Lyra mendengus pelan, mengangguk.
“Gini aja, deh. Kita makan siang di restoran, habis itu kita balik dan tidur. Istirahat,” putus Erlan.
Lyra mengangguk. “Nanti malam kamu pengen jalan-jalan ke Vancouver?” tanyanya.
Erlan menggeleng. “Nanti kan, malam pertama kita,” ucapnya dalam bisikan.
Lyra mendengus pelan dan mendorong Erlan. “Kamu udah lihat-lihat villa-nya? Ini villa buat honeymoon,” terang Lyra seraya melewati Erlan.
“Kita ke sini buat bulan madu, jadi jangan ngomongin kerjaan,” protes Erlan.
“Aku cuma tanya pendapatmu.” Lyra menghentikan langkah dan berbalik.
Erlan menghela napas dan menghampiri Lyra. Di depan Lyra, ia berkata, “It’s good. It’s great. Interior sama pemandangan dari jendelanya, it’s perfect for couple. Ada lagi yang mau kamu tanyain tentang pendapatku?”
Lyra tersenyum dan menggeleng. Ia berjinjit dan mencium bibir pria itu singkat. Semudah itu, Erlan kembali tersenyum. Bahkan, mata cokelatnya berbinar senang, seperti anak kecil yang baru mendapat permen.
“Ayo makan siang dan istirahat. Katamu, nanti malam kita malam pertama.” Lyra mengulangi apa yang dikatakan Erlan.
Erlan tergelak mendengar itu. Ia menggandeng Lyra keluar dari villa, tampak sangat bahagia. Mendapati bagaimana Lyra juga bahagia hanya dengan melihat itu, Lyra lagi-lagi menyadari. Ia memang jatuh cinta pada Erlan. Suaminya.
***
Semua berjalan lancar dan baik-baik saja sejak mereka makan siang tadi. Usai makan siang, mereka kembali sembari membicarakan indahnya pemandangan jalan yang mereka lalui dari restoran ke villa. Lyra tampak sangat puas dengan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan, menyajikan keindahan yang sayang untuk dilewatkan.
Mereka juga beristirahat dengan tenang di villa, berbaring berdampingan di tempat tidur dari siang hingga sore. Erlan menghabiskan sorenya menatap wajah tidur Lyra hingga petang. Baru setelahnya, ia membangunkan Lyra untuk makan malam.
Bahkan saat mereka makan malam dengan masakan Erlan pun, semuanya baik-baik saja. Lyra menyukai masakannya dan mereka saling melempar canda ketika mencuci piring bersama. Bagi Erlan, semua ini masih seperti mimpi. Menikah dengan Lyra dan berada di tempat ini sebagai suami Lyra, masih seperti mimpi baginya.
Hingga malam itu. Ketika Erlan terpaksa ditarik pada kenyataan. Lyra bukan hanya istrinya. Wanita itu juga pimpinan grup perusahaan sebesar Brawijaya. Bahkan, Erlan sendiri yang membantu mengantarkan wanita itu ke posisi puncak perusahaannya. Dulu, tak pernah ia berpikir ia akan menyesal melakukan itu. Sampai malam itu.
Erlan tak langsung bertanya ketika Lyra menutup ponsel dengan kesal, setelah mendapat telepon dari manajernya di kantor pusat. Lyra masih tampak kesal ketika naik ke tempat tidur dan duduk di sebelah Erlan yang bersandar di kepala tempat tidur.
“Baru beberapa hari aku tinggal dan mereka udah bikin masalah,” omel Lyra kesal. “Akuisisi mall yang hampir bangkrut? Dia ngelakuin itu karena itu punya sepupunya. Orang-orang benar-benar nggak bisa kalau nggak bikin aku kesal.”
“Trus, sekarang siapa yang urus masalah itu?” tanya Erlan.
“Ken,” jawab Lyra. “Kalau sampai mall itu diakuisisi, aku pecat juga Ken nanti. Berapa lama dia kerja sama aku dan nggak bisa ngurusin itu?” desis Lyra.
Ken dan Milla adalah dua orang yang banyak membantu Lyra di perusahaan selama empat tahun terakhir, sejak Lyra kembali ke kantor pusat.
“Tapi, siapa yang ngajuin akuisisi itu?” tanya Erlan.
“Pak Heru, yang megang Big Mall punya Brawijaya. Kamu juga tahu dia, kan? Dia tuh, selalu aja bikin masalah. Bahkan dari waktu dulu Papa masih mimpin perusahaan. Harusnya aku langsung mecat dia kemarin.” Lyra tampak benar-benar geram.
Erlan sudah akan menenangkan Lyra ketika Lyra melanjutkan, “Apa aku pakai kesempatan ini buat depak dia aja, ya?”
Erlan mengernyit. “Lyra, itu ...”
“Kamu tahu nggak, apa aja yang udah dia lakuin sejak aku jadi bosnya? Dari masalah pajak, izin pembangunan cabang mall, dan sekarang, ini!” Lyra menggeleng. “Bahkan meski Papa tahu gimana kacaunya Pak Heru, kenapa Papa masih aja makai dia selama ini?”
“Papa pasti punya alasan buat itu,” Erlan berkata.
Lyra menghela napas. “Dulu emang ayahnya Pak Heru lama jadi sekretarisnya Papa. Bahkan, dia baru mundur waktu sakit dan akhirnya meninggal.”
“So, that’s the reason,” celetuk Erlan.
Lyra menggeleng. “Tapi, kita nggak bisa kayak gitu. Kamu juga tahu itu, Lan.”
Erlan tak menjawab, sementara Lyra melanjutkan mengomel tentang orang bernama Heru itu. Hingga larut malam. Hingga wanita itu tertidur di pelukan Erlan ketika Erlan menenangkannya.
Erlan menghela napas, tapi ia tersenyum ketika menatap wajah lelap Lyra. Beberapa saat lalu, ia menyesal telah membantu Lyra untuk mencapai posisi puncak perusahaan. Namun, menatap wajah Lyra seperti ini, Erlan sadar. Bahkan meski Erlan menyesalinya, jika ia harus mengulang itu lagi, ia tetap akan mengambil pilihan yang sama. Karena, di sana ia bisa memberikan apa yang Lyra inginkan.
Jangankan hanya perusahaan, dunia pun siap Erlan berikan untuk Lyra.
***
Pagi itu, Lyra terbangun sendirian di atas tempat tidur. Ia mengucek mata dan turun dari tempat tidur. Tanpa mencuci muka, ia pergi mencari Erlan. Melihat Erlan di dapur, Lyra menghampirinya.
“Kenapa kamu nggak bangunin aku?” tanya Lyra sembari mengambil tempat di sebelah Erlan, melihat apa yang ia masak.
“Aku nggak mau ganggu tidur nyenyakmu,” balas Erlan. Pria itu lantas mendaratkan kecupan lembut di kening Lyra. “Good morning.”
Lyra tersenyum. “Good morning.” Ketika Erlan hendak memecah telur, Lyra menahan tangan pria itu. “Biar aku bantuin.”
Erlan menyerah dengan mudah dan menyorongkan telur serta mangkuknya ke depan Lyra.
“Aku mau bikin telur gulung,” Erlan memberitahu.
“Oke,” jawab Lyra.
“Kamu kalau mau pakai tuna, ada di kulkas tadi,” Erlan berkata.
Lyra menggeleng.
“Hari ini kamu pengen jalan-jalan ke mana?” tanya Erlan seraya memotong sayuran.
Lyra menggeleng lagi. “Aku juga nggak tahu.” Lyra merasakan Erlan menatapnya, jadi ia juga menatap pria itu. “Kamu pengen ke mana, emangnya?”
Erlan tersenyum, menggeleng. “Ke mana aja nggak masalah. Nggak ke mana-mana juga nggak masalah. Yang penting, kamu di sampingku.”
Lyra seketika protes, “Udah aku bilang, kamu nggak harus terus-terusan ngikutin mauku. Aku ...”
“Aku lebih suka kayak gitu,” Erlan memotong.
“Nggak mungkin,” desis Lyra. Ia menyipitkan mata. “Pokoknya, aku nggak akan ngelakuin apa pun sampai kamu yang minta.”
Mata Erlan berbinar. “Serius?”
Lyra tersenyum dan mengangguk. “Udah aku bilang, aku juga cinta sama kamu. Jadi ...” Kalimat Lyra terputus oleh ciuman tiba-tiba Erlan. Lyra mendorong pria itu. “Aku belum cuci muka,” panik Lyra.
Erlan tergelak. Ia sudah akan mencium Lyra lagi ketika terdengar suara bel di pintu. Mereka berpandangan.
“Kamu nggak nyiapin surprise lagi, kan? Kayak misalnya, keluargaku tahu-tahu ada di sini?”
Erlan tersenyum geli, menggeleng. “Kita kan, ke sini mau bulan madu. Ngapain aku ngajak mereka? Cuma gangguin kita aja yang ada nanti.”
Lyra mendengus geli, mengangguk setuju. Ia tahu dengan baik bagaimana keluarganya pasti akan meledeknya jika itu sudah menyangkut Erlan. Mereka tahu dengan baik, Erlanlah kelemahan Lyra.
“Biar aku yang bukain,” Lyra berkata seraya beranjak dari dapur.
Ketika Lyra membuka pintu, ia terkejut melihat Milla yang tampak panik.
“Kenapa? Ada masalah apa?” tanya Lyra, berusaha untuk tetap tenang.
“Gift Shop kita, Bu. Warga lokal protes tentang itu.”
Lyra mengerutkan kening. “Kenapa?”
Milla tampak ragu.
“Kenapa?!” bentak Lyra.
“Itu ... ada rumor yang mengatakan jika kita hanya memanfaatkan warga lokal, tapi nanti kita akan menelantarkan mereka dan membuat usaha kerajinan rumahan mereka tutup. Dan warga tahu jika Bu Lyra ada di sini, jadi mereka meminta dipertemukan dengan Bu Lyra.”
Lyra memijat pelipis. Siapa orang bodoh yang menyebar rumor itu? Lyra akan membunuhnya.
“Kamu tunggu dulu di mobil, aku siap-siap sebentar,” ucap Lyra pada Milla.
Milla mengangguk, lalu pergi. Lyra sudah berbalik, tapi ia melihat Erlan yang berdiri di ruang tamu, menatapnya. Pria itu juga pasti tadi mendengar semuanya. Lyra sesaat ragu. Apa yang harus ia katakan pada Erlan?
Namun, mengejutkan Lyra, Erlan tersenyum dan berkata, “Pergi aja. Nanti aku susul.”
Lyra tak langsung menanggapi. Ia menatap ke arah dapur.
“Biar aku yang beresin itu,” Erlan berkata lagi.
Lyra menghela napas berat, akhirnya mengangguk. “Kalau nanti kamu mau nyusul aku, sarapan dulu. Begitu urusanku selesai, kita pergi ke tempat yang kamu pengen.”
Erlan kembali tersenyum dan mengangguk. Namun, kenapa di mata Lyra, senyum pria itu tampak begitu sedih?
Meski begitu, Lyra tetap melangkah masuk ke kamar, cuci muka dan bersiap-siap. Ketika ia keluar dari kamar, Erlan sudah menunggunya di depan pintu. Pria itu mengantar Lyra sampai ke depan, melambaikan tangan dengan senyum tersungging di bibirnya seiring kepergian Lyra.
Lyra menghela napas. Kenapa orang-orang tak pernah membiarkan Lyra hidup tenang?
***
Bab 2
Too Early For a War
Setelah Lyra menjelaskan pada warga mengenai rencananya, juga tentang perjanjian yang ia buat dengan perwakilan mereka, barulah warga tenang. Usai pertemuan dengan warga, asisten sekaligus pengawal Lyra, Jesslyn, memberitahu Lyra tentang penyebar rumornya. Seorang pemuda pemabuk yang tak diterima Lyra sebagai staf resort.
“Kamu tahu kan, apa yang harus kamu lakuin?” Lyra menatap Jesslyn.
Wanita yang berusia setahun lebih muda dari Lyra itu mengangguk. Setelah membungkuk kecil pada Lyra, Jesslyn yang selalu mengenakan stelan hitam itu pergi. Lyra berbalik untuk melihat kepergian Jesslyn.
Namun, ia terkejut ketika melihat Erlan yang juga baru datang. Jesslyn sempat berhenti di depan Erlan yang baru turun dari mobil untuk membungkuk kecil, sebelum pergi. Erlan menatap Jesslyn selama beberapa saat, keningnya berkerut. Lyra segera memanggil Erlan.
Erlan menoleh pada Lyra dan tersenyum. Pria itu menghampiri Lyra.
“Udah selesai?” tanya Erlan.
Lyra mengangguk. “Cuma salah paham. Untung nggak sampai bikin ribut dan ganggu pengunjung resort.”
Erlan mengangguk. “Ayo pergi. Kita belum sarapan,” ajak Erlan.
Lyra mengerutkan kening. Kita? “Kamu juga belum sarapan?” tanya Lyra.
“Aku pengen sarapan bareng kamu. Ini sarapan pertama kita di sini,” ujar Erlan.
Lyra seketika merasa bersalah, tapi ia berhasil melemparkan senyum. “Mau sarapan sambil hiking?”
“Good idea,” balas Erlan.
“Oke. Sebentar, aku kasih tahu Milla dulu kalau aku pulang sama kamu,” kata Lyra.
Erlan mengangguk. Lyra memutar tubuh dan dilihatnya Milla berlari kecil menghampirinya.
“Aku pulang sama Erlan,” Lyra memberitahu.
Milla mengangguk. Ia membungkuk kecil padanya. Lyra kembali menatap Erlan dan menarik pria itu pergi.
“Jadi, menu sarapan pertama kita di sini apa?” tanya Lyra sembari berjalan.
“Telur gulung sama sandwich tuna. Oh, jus jeruk juga.”
“Sounds good,” ucap Lyra. “Thank you, Gentleman,” Lyra berkata ketika Erlan membukakan pintu untuknya.
“Anytime, My Lady.” Erlan bahkan memberikan hormat ala bangsawan, membuat Lyra tergelak.
Siapa sangka, tingkah Erlan seperti ini, yang dulunya selalu tampak menyebalkan di mata Lyra, bisa membuatnya tertawa kini. Memang, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
***
Usai sarapan di menara di jalur hiking, Erlan dan Lyra tidak langsung turun dan menikmati pemandangan hutan dan sungai dari menara.
“Bayangin deh, kalau kita lihat sunrise sama sunset dari sini,” Lyra berkata. “Nanti kelihatannya di sana sama di sana.” Lyra menunjuk dua arah berlawanan. “Kelihatan bagus dari sini.”
Erlan hanya mengangguk menanggapi itu. Sejujurnya, sejak ia menjemput Lyra tadi, ada yang mengusik pikirannya. Hanya saja, Erlan memutuskan untuk tak membahas itu dulu tadi.
“Oh iya, tentang jembatan yang kita bahas waktu itu, karena jaraknya terlalu jauh, jadi agak susah mau pakai itu. Tapi, ada dua menara yang dihubungkan jembatan. Sengaja dibuat menara di seberang sungai buat itu, biar bisa dapat view bagus dan lebih kerasa adventure-nya. Nggak jauh sih, dari sini. Kamu mau coba?” tawar Lyra antusias.
Erlan tersenyum kecil dan menggeleng, “Nggak sekarang, kayaknya.”
Lyra mengerutkan kening heran. “Kenapa? Kamu udah mau balik?”
Erlan tak menjawab.
Lyra tersenyum maklum. “Ya udah, ayo kita balik aja.”
Lyra sudah akan turun, tapi pertanyaan Erlan menahan wanita itu,
“Jesslyn kenapa ada di sini?”
Lyra tak langsung menjawab, pun tak menoleh pada Erlan.
“Kenapa dia ikut kita ke sini?” ulang Erlan.
Lyra akhirnya menoleh pada Erlan dan tersenyum. Senyum kaku. “Emangnya kenapa dia nggak boleh ikut ke sini? Kamu tahu, dia asistenku. Meski aku nggak selalu bawa dia di depan umum, tapi dia selalu ada di dekatku.”
Erlan mengernyit. Tidak hanya itu. Setahu Erlan, semua pekerjaan kotor Lyra ... Jesslynlah perantaranya, bahkan eksekutornya. Bahkan, sebelum Lyra kembali ke Indonesia, ketika masih di luar negeri pun, Jesslyn sudah menemaninya. Lalu, untuk alasan apa Jesslyn ada di sini? Pekerjaan macam apa ... pekerjaan kotor macam apa yang diperintahkan Lyra pada wanita itu?
Namun, semua tanya itu tak sanggup diloloskan Erlan. Ia tak berani bertanya, tak siap mendengar jawabannya.
Erlan mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Lyra. “Kamu nggak capek kerja kayak gini?” tanya Erlan dengan nada kalem.
Lyra mengerutkan kening. “Maksudmu apa?”
Erlan menarik napas dalam. “Kamu ... nggak pengen berhenti dari perusahaan?”
Lyra tertegun. Wanita itu mematung, tatapannya tampak tak percaya.
“Lyra ...”
“Jangan,” Lyra memotong. “Jangan dilanjutin lagi. Apa pun itu.”
Lyra menarik tangannya dari genggaman Erlan dan turun dari menara itu. Bahkan setelahnya, ia tak menunggu Erlan dan berjalan lebih dulu. Meninggalkan Erlan.
Namun, Erlan pun tak berusaha untuk menjajari langkah Lyra. Ia hanya menutup punggung wanita itu sembari melangkah. Ia sudah terbiasa seperti ini. Rasa sakit ini pun ... Erlan juga sudah terbiasa.
***
Sejak kembali dari hiking dan sarapan mereka di menara tadi, Lyra mengurung diri di kamar sampai jam makan siang. Ia memutuskan keluar kamar untuk memasak, tapi Erlan sudah berada di dapur dan tampak sedang memasak. Lyra seketika ragu untuk pergi ke sana.
Tadinya, ia berencana memasak untuk Erlan, lalu kembali ke kamar. Ia hanya ... sedang tak ingin melihat Erlan. Tidak, ketika perasaannya sedang seperti ini.
Lyra sudah akan kembali masuk ke kamar ketika Erlan berbalik dan menatapnya. Mereka saling menatap selama beberapa saat, sebelum Erlan yang lebih dulu memutus kontak itu dan berkata tanpa menatap Lyra,
“Sebentar lagi makanannya siap. Tunggu sebentar, ya.”
Lyra mengernyit. “Ya,” jawabnya pendek, lalu berjalan ke meja makan.
Sementara, Erlan melanjutkan memasak. Hingga entah berapa lama, setelah terjebak pada keheningan yang menyiksa dan menyakitkan, akhirnya Erlan bergabung dengan Lyra di meja makan dengan membawa makan siang mereka. Namun, saat mereka makan pun, tak satu pun dari mereka berbicara.
Lyra benci ini. Namun, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, atau katakan. Kenyataannya, ia marah pada Erlan. Hanya saja ... ia tak ingin bertengkar dengan Erlan. Ia sudah cukup bertengkar dengan pria itu selama ini.
“Kalau ada yang mau kamu omongin, ngomong aja,” Erlan lebih dulu berbicara di tengah acara makan mereka.
Lyra menarik napas dalam beberapa kali, lalu memantapkan hati dan menatap Erlan. “Harusnya aku yang bilang gitu. Kalau ada yang mau kamu omongin, ngomong aja.”
Namun setelahnya, mereka hanya saling menatap. Lyra bisa melihat Erlan terluka, tapi Lyra juga terluka, Sialan!
“Aku nggak mau berantem sama kamu,” Erlan berkata.
“Kamu pikir, aku mau?” balas Lyra, berusaha untuk terdengar sesantai mungkin, tapi ia menyadari suaranya justru terdengar dingin.
Lyra memejamkan mata, lalu menunduk. Ia menggeleng kecil. “Jangan ngomong apa pun lagi,” pintanya.
Namun, ketika Erlan benar-benar tak mengatakan apa pun lagi setelahnya, Lyra justru merasa kesal. Ia meletakkan sendok dan akan berdiri, tapi Erlan menahan lengannya.
“Aku nggak akan ngomong lagi, jadi tolong habisin makanmu,” ucap pria itu.
Lyra menghempas pegangan Erlan dan menatap pria itu marah. “Brengsek,” makinya. “Kalau kamu berkeras jatuh cinta sendirian, harusnya kamu nggak pernah maksa aku jatuh cinta sama kamu juga.”
Lyra sempat melihat keterkejutan Erlan sebelum ia berbalik dan pergi ke kamar. Lyra menutup pintu kamar dengan keras, lalu bersandar di sana. Ia memejamkan mata. Kata-kata yang ia lemparkan pada Erlan kembali terlempar padanya. Detik itu juga, Lyra menyesal.
Bagaimana bisa ia memaki Erlan seperti itu? Mereka sudah menikah. Erlan bukan lagi musuhnya. Seharusnya begitu. Seharusnya ....
Lyra berbalik. Tangannya menggenggam kenop pintu, tapi ia ragu untuk membuka pintunya. Apa yang akan ia katakan pada Erlan?
Minta maaf ketika ia masih merasa semarah ini pada pria itu? Meski ia menyesal, tapi ia memang sedang marah pada pria itu. Bagaimana jika nanti Lyra justru mengatakan hal-hal yang lebih parah lagi? Lyra tahu dengan baik betapa buruk sikapnya jika sedang sangat marah. Itu bukan hal yang bisa Lyra kendalikan dengan mudah. Lyra tak ingin menyakiti Erlan karena amarahnya lagi.
Lyra menunduk. Ia sering melihat sendiri, bagaimana teman-temannya, bahkan kakaknya sendiri, jungkir balik hingga babak belur karena cinta. Tak pernah sekali pun Lyra membayangkan, ia pun akan kelabakan karena hal yang sama.
Dalam kasusnya, karena Erlan.
***
Erlan sudah memegang kenop pintu, tapi ia ragu untuk membuka pintu itu. Memangnya, apa yang akan ia katakan pada Lyra?
Erlan mendesah berat dan menatap pintu di depannya dengan muram. Ia tahu bagaimana perjuangan Lyra untuk masuk ke perusahaan. Ia melihat sendiri. Ia pun tahu, apa arti perusahaan bagi Lyra.
Selama ini, Lyra berjuang keras demi mendapat pengakuan dari papanya, juga orang-orang di perusahaan, demi bisa masuk ke perusahaan. Bahkan Lyra harus berada jauh dari keluarga dan sahabatnya bertahun-tahun, hanya agar bisa pulang dan kembali ke perusahaan. Dan apa yang Erlan katakan tadi?
Meminta Lyra berhenti dari perusahaan? Setelah semua ini? Erlan pasti sudah gila. Erlan menarik tangan dari kenop pintu dan mengacak rambutnya kasar.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Apa ia harus mengalah lagi? Tidak. Entahlah. Erlan sebenarnya tidak keberatan jika Lyra mengurus perusahaan. Ia masih bisa menolerir kesibukan Lyra sebagai pimpinan perusahaan sebesar Grup Brawijaya. Namun, kehadiran Jesslyn tadi ... membuat Erlan takut.
Selama ini, Erlan tak pernah begitu khawatir tentang kebiasaan Lyra yang satu itu. Sikap kejam Lyra, hatinya yang dingin, Erlan bisa menerima semua itu. Namun, entah kenapa, belakangan ... Erlan mulai terusik dengan itu. Terlebih, mereka kini sudah menikah. Lyra bahkan tak bertanya maupun memberitahu Erlan tentang itu.
Erlan tak bisa untuk tak ragu setiap kali Lyra mengakui perasaannya. Wanita itu ... benarkah ia mencintai Erlan? Pernikahan ini ... benarkah Lyra menginginkannya?
Karena, saat ini, seperti yang dikatakan Lyra padanya tadi, Erlan merasa, ia yang jatuh cinta sendirian. Bagaimana bisa Lyra protes akan itu ketika itulah yang ditunjukkan Lyra pada Erlan?
Namun, lagi-lagi Erlan tak bisa menyalahkan Lyra. Seperti yang dikatakan Lyra tadi, Erlan yang memaksa wanita itu jatuh cinta padanya. Sejak awal, mungkin, Lyra tak pernah berniat jatuh cinta pada Erlan.
Erlan mengernyit, berusaha menahan pedih yang mengoyak dadanya. Bahkan meski ia terluka seperti ini, Erlan tak bisa melepaskan Lyra. Memang benar. Sepertinya, hanya Erlan yang jatuh cinta di sini.
Lyra saja yang tak menyadari itu.
***
Bab 3
How Far I Should Fall For You?
Ketika Lyra membuka pintu untuk menyiapkan makan malam petang itu, ia terkejut melihat Erlan sudah berdiri di depan pintu. Pria itu pun tampak terkejut.
“Kamu mau makan? Aku belum masak,” ucap Erlan panik.
Lyra menghindari menatap Erlan ketika menjawab, “Aku aja yang masak.”
Erlan tak menanggapi. Lyra akhirnya menatap pria itu lagi.
“Lyra, aku ... tentang apa yang aku omongin ke kamu tadi pagi ... di menara itu ...” Erlan mengernyit, “tolong lupain aja.”
Lyra tertegun.
“Aku pasti udah gila ngomong kayak gitu tadi.” Erlan mendengus pelan setelah mengatakannya, seolah menertawakan dirinya sendiri. “Aku cuma khawatir aja kamu kecapekan.” Erlan tak menatap Lyra ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
Bohong. Namun, Lyra tak sanggup untuk mengungkit itu. Terlebih, ketika Erlan kembali menatapnya dan tersenyum.
“Makan malamnya aku aja yang masak. Aku masakin pasta, ya?” tawar Erlan.
Lyra mengangguk, menerima pengakuan kalah Erlan, entah untuk yang keberapa kalinya.
“Ya udah, kamu tunggu sebentar, ya, biar aku masak dulu,” ucap Erlan lagi, masih sambil tersenyum.
Ketika pria itu berbalik, Lyra memeluknya dari belakang. Erlan terkejut, tapi ia tak bertanya. Pun ketika Lyra hanya memeluknya seperti itu selama beberapa saat, tanpa mengatakan apa pun.
Begitu Lyra melepaskan pelukannya, Erlan berbalik dan menatap Lyra. Pria itu menunduk dan mengecup kening Lyra.
“Maaf, kalau aku udah nyakitin kamu. Kamu tahu, lebih dari apa pun di dunia ini, aku nggak mau nyakitin kamu,” ucap Erlan tulus.
Erlan salah. Seharusnya Lyra yang meminta maaf. Namun, Lyra masih tak mengatakan apa pun dan kembali mengangguk. Lagi-lagi, ia hanya menerima pengakuan kalah Erlan.
“Aku pengen bantuin masak. Atau seenggaknya, biarin aku nemenin kamu aja. Aku nggak akan ganggu,” Lyra berkata.
Erlan menelengkan kepala, tampak ragu. Lyra berjinjit dan mencium bibir Erlan singkat. Ia merasakan pipinya panas, tapi Erlan tergelak puas dan menangkup wajahnya. Pria itu mengecup kening Lyra dan berkata,
“Oke. Kalau bayarannya kayak gitu, apa pun oke.”
Lyra tersenyum geli. Ketika Erlan menggandengnya, Lyra menatap tangan pria itu. Sungguh, Lyra tak ingin tangan ini melepaskan genggamannya. Karena, jika itu terjadi, Lyra ... benar-benar akan jatuh.
***
Erlan refleks ikut tersenyum ketika Lyra juga tersenyum saat mereka menonton film di ruang tamu malam itu. Seharusnya, sejak awal Erlan tidak membuat Lyra marah. Bahkan hanya dengan melihat senyum Lyra saja Erlan sudah cukup bahagia.
Ketika Lyra menoleh padanya, istrinya itu tampak heran. “Kenapa kamu nggak nonton filmnya?”
Erlan tersenyum. “Aku lebih suka lihat kamu.”
Lyra menyipitkan mata. “Ada yang mau kamu omongin?”
Erlan mengangguk. “Aku cinta kamu.”
Lyra mendekat pada Erlan dan membalas, “Aku juga cinta sama kamu.”
Erlan merangkul Lyra dan mengecup puncak kepalanya.
“Besok kita mau ke mana?” tanya Lyra.
“Kamu pengen ke mana?” Erlan balas bertanya.
“Ke mana aja yang kamu pengen.”
Gemas, Erlan mencium bibir Lyra.
“Besok kita nyoba river tour-nya aja, gimana?”
Lyra mengangguk.
“Besok aku juga pengen naik menara yang ada jembatannya.”
Lyra kembali mengangguk.
“Kamu beneran akan ngelakuin apa pun yang aku pengen?” tantang Erlan.
Lyra mengangguk tanpa ragu.
“Kamu yakin nggak akan nyesal?” Erlan menyipitkan mata.
Lyra menggeleng. “Emangnya, apa yang kamu pengen?”
“Kamu.”
Lalu, Erlan mencium Lyra. Tak ada perlawanan. Bahkan, Lyra membalas ciuman Erlan. Erlan mengerang ketika Lyra mengalungkan lengan ke lehernya. Ia menarik diri, menatap Lyra yang tampak bingung.
“Kamu yakin tentang ini?” Erlan memastikan.
Lyra menatap Erlan seolah Erlan sudah gila. “Kamu takut atau gimana?”
Alih-alih menjawab, Erlan kembali mencium Lyra. Kali ini, ia tak berhenti.
***
“Kamu nggak nyesal?” tanya Lyra yang meringkuk di pelukan Erlan.
Erlan sedikit mundur dan mengerutkan kening menatap Lyra.
“Perasaan, itu harusnya pertanyaanku, deh.”
Lyra mendengus geli. “Aku nggak.”
“Aku juga nggak.” Erlan mengecup kening Lyra. “Ya ampun, tadi tuh ...”
“Jangan dibahas,” Lyra memotong. Pipinya terasa panas.
Erlan menangkup wajah Lyra dan mencium bibirnya. Lyra menatap Erlan kesal setelahnya.
“Habis, kamu bikin gemas, sih.”
Lyra melotot mendengar itu.
Erlan tergelak. “Apa pun itu tentang kamu, aku nggak nyesal,” Erlan berkata.
“Termasuk tentang perusahaan?” tembak Lyra.
Erlan terkejut. Ia hanya tersenyum.
“Kita ... kayaknya perlu ngomongin itu,” singgung Lyra.
Erlan menggeleng. “Nggak ada yang perlu diomongin lagi tentang itu.”
“Erlan ...”
Erlan memotong protes Lyra dengan ciuman. Lyra mendorong bahu Erlan. Suaminya itu tampak terpaksa menarik diri.
“Kamu cinta kan, sama aku?” sebut Lyra.
“Seberapa dalam lagi aku harus jatuh biar kamu bisa lihat itu sejelas-jelasnya?” balas Erlan.
“Justru karena kamu jatuh sedalam itu, aku nggak bisa lihat kamu,” sahut Lyra kesal.
Erlan tersenyum. “Itu bukan hal yang bisa aku kendaliin, Lyr.”
Lyra sudah akan membantah, tapi Erlan melanjutkan,
“Dan aku sadar kok, perasaanmu nggak sedalam perasaanku. Jadi, wajar kalau kamu nggak bisa lihat perasaanku. Aku akan berusaha lebih keras buat ...”
Lyra memotong kalimat Erlan dengan ciuman. Seberapa jauh lagi sebenarnya pria ini berniat membuat Lyra merasa bersalah padanya?
***
Pagi itu, Erlan terbangun tanpa Lyra di sebelahnya. Erlan beranjak duduk, menatap sekeliling, tapi Lyra juga tak ada di sana. Erlan pun memutuskan untuk berpakaian dan keluar untuk mencari Lyra. Mungkin wanita itu sedang membuat sarapan.
Namun, ketika Erlan baru sedikit membuka pintu kamar, ia mendengar suara Lyra berbicara dengan seseorang. Erlan urung membuka pintu dan membiarkannya tetap seperti itu.
“Kamu udah beresin dia?”
Erlan mengernyit. Siapa yang sedang dibicarakan Lyra? Apa ini ada hubungannya dengan masalah protes warga tentang Gift Shop kemarin? Lyra bilang, itu hanya salah paham. Lalu, ini .....
“Sudah, Bu.” Erlan mendengar jawaban dari lawan bicara Lyra. Jesslyn.
“Keluarganya?”
“Sudah saya bereskan juga, Bu.”
Erlan mengepalkan tangan. Tak sanggup mendengarkan itu lagi, Erlan membuka pintu kamar. Seketika, Jesslyn dan Lyra menoleh ke arahnya. Lyra tampak terkejut, sementra Jesslyn langsung pamit dan pergi.
Lyra menghampiri Erlan dan tersenyum. “Hari ini aku bangun duluan dan aku udah bikin sarapan buat kita.”
Erlan ingin bertanya tentang apa yang dibicarakan Lyra dengan Jesslyn, tapi Erlan tak ingin merusak suasana pagi mereka. Jadi, ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Lyra menyisir rambut Erlan dengan tangannya. Erlan memejamkan mata.
“Good morning,” ucap Lyra. Erlan membuka mata. Lyra mencium bibirnya singkat.
“Good morning,” balas Erlan.
Masa bodoh dengan siapa pun orang malang yang menjadi target Lyra. Erlan tidak ingin hubungannya dengan Lyra rusak hanya karena itu.
“Kamu masak apa?” tanya Erlan.
“Telur gulung pakai tuna,” jawab Lyra. Wanita itu menggandeng Erlan ke meja makan.
Erlan menatap tangan Lyra dan balas menggenggam tangan wanita itu. Ke mana pun Lyra pergi, Erlan akan pergi dengannya. Bahkan meski ke jurang sekali pun. Berada di samping Lyra, Erlan tak takut akan apa pun. Selama ia berada di samping Lyra.
***
Lyra memperhatikan ekspresi Erlan, tapi pria itu tampak santai menikmati sarapannya. Untunglah Erlan tidak mendengar percakapan Lyra dengan Jesslyn tadi. Mereka baru saja berbaikan semalam. Lyra tidak ingin hubungan mereka kacau lagi.
“Hari ini kita jadi river tour, kan?” tanya Lyra.
Erlan mengangguk sambil melanjutkan sarapannya. “Habis itu, kita mau ke mana?”
Lyra berpikir. “Enaknya ke mana?”
“Tapi, kamu nggak pa-pa? Nggak capek?” Erlan malah balik bertanya.
Lyra mengerutkan kening.
“Semalam kan ...”
“Jangan dibahas!” sambar Lyra. Lagi-lagi pipinya terasa panas. Erlan tersenyum geli menatapnya.
“Aku nggak nyangka kamu akan bereaksi kayak gini,” Erlan berkata. “Atau, kita besok aja jalan-jalan dan seharian ini di rumah aja?”
“Mau ngapain?”
Erlan mengangkat alis. “Menurutmu, pasangan yang lagi bulan madu itu ngapain aja?”
Lyra melotot dan memukul lengan Erlan. Erlan tergelak dan menangkap tangan Lyra. Tak berhenti di situ, pria itu mencium pergelangan tangan Lyra, membuat Lyra berjengit. Ia menarik tangannya dengan panik dan Erlan melepaskan tangan Lyra dengan senyum geli.
“Aku ngerasa beruntung banget karena bisa lihat sisi dirimu yang ini,” Erlan berkata.
“Jangan ngeledek.”
“It’s too cute. Aku nggak rela ada yang lihat kamu kayak gini selain aku,” tambah Erlan.
“Satu kata lagi dan aku akan ngehajar kamu.”
Erlan tergelak. “Whoa, whoa ... istriku yang manis pergi ke mana?”
Lyra mengerang dan menunduk. Sungguh, setelah setuju menikah dengan Erlan, Lyra sudah berkata pada dirinya sendiri untuk mulai berubah. Setidaknya, untuk Erlan. Ketika ia hanya berdua saja dengan Erlan. Namun, ternyata ia masih saja kalah dengan sikap menyebalkan Erlan.
“Aku nggak bisa lagi kayak gini,” putus Lyra.
Erlan mengangkat alis.
“Aku beneran nyoba buat bisa kayak Prita atau Dera kalau sama cowok-cowok mereka ...”
“Suami, maksudmu?”
“Iya, itu.”
Erlan tersenyum geli. “Karena itu, sekarang kita pakai aku-kamu, bukan elo-gue lagi?”
“Itu karena kamu duluan yang mulai pakai itu,” balas Lyra tanpa menatap Erlan. Pipinya memerah. Erlan kembali tersenyum geli. “Pokoknya, aku berusaha buat bersikap manis ke kamu, tapi ...”
“Kamu nggak perlu berubah jadi siapa pun, atau apa pun. Kamu nggak perlu ngerubah sikapmu, ataupun perlakuanmu ke aku. Karena, Lyr, aku udah nerima semua sisi dirimu. Aku udah pernah lihat semuanya. Terakhir, the cute one, dan aku bisa nerima semua itu. Jadi ...” Erlan menangkup tangan Lyra, “jangan maksain buat berubah jadi seseorang yang bukan kamu dan jangan nyembunyiin apa pun dari aku. Aku akan nerima kamu, yang mana pun itu. Semuanya.”
Lyra tak bisa untuk tak terharu, sekaligus meragu. Ia tahu, Erlan sudah melihat banyak sisi dirinya. Bahkan yang terburuk sekalipun. Namun ... itu dulu. Sebelum mereka menikah.
Jika sekarang Erlan tahu, apa yang Lyra lakukan .... Lyra menggeleng.
“Aku akan berusaha buat jadi istri yang baik buat kamu. Cukup kamu tahu aja,” Lyra berkata.
“Apa itu berarti, nanti malam aku bisa minta apa pun yang aku pengen? Lagi?” Erlan tersenyum jail.
Lyra mendengus pelan. “Tidur sama kamu itu udah kewajibanku sebagai istrimu. Aku tahu, kok, jadi ...”
Gelak Erlan menghentikan kalimat Lyra. Pria itu menatap Lyra geli. “Siapa yang ngomongin tidur? Aku cuma mau bilang, nanti malam aku pengen kita makan malam romantis di Vancouver.”
Lyra mengerjap. Oh, memalukan sekali. “Kamu serius?”
Namun, Erlan kembali tersenyum usil ketika tiba-tiba berdiri dan mencondongkan tubuh ke arah Lyra. “Enggaklah. Siapa orang bodoh yang nolak tidur sama istrinya?”
Lalu, Erlan mencium Lyra di sana. Lyra sampai kehabisan napas karena ciuman tiba-tiba pria itu. Ketika pria itu akhirnya berhenti, ia masih bisa berkomentar,
“Kalau aku nggak berhenti, bisa-bisa kita nggak jadi river tour dan malah seharian nggak keluar kamar.”
Lyra mendesis kesal menanggapinya, sementara Erlan tersenyum tanpa rasa bersalah.
***
Bab 4
Still The Same
Langkah Erlan terhenti ketika Lyra tiba-tiba menarik tangannya. Erlan menoleh. Lyra menunjuk ke arah menara di sisi jalan.
“Mau istirahat dulu di sana?” tanya Erlan.
Lyra menggeleng. Ia menarik Erlan ke sebuah batu besar di sisi jalan, lalu mendorong Erlan duduk di sana. Erlan seketika merasa dejavu. Ia melihat ke sekeliling dan tersenyum melihat jalan bercabang di depannya. Tiga tahun lalu, ia juga pernah berada di tempat ini bersama Lyra.
Kala itu, Erlan berhasil membujuk, dengan agak memaksa, agar Lyra mau berkencan dengannya di sini selama tujuh hari. Begitulah, Erlan melewati hari-hari kencannya dengan mengikuti Lyra yang memang kemari untuk bekerja, membangun resort ini. Tiga tahun berlalu, dan kini mereka kembali, dengan Lyra sebagai istri Erlan. Bahkan Erlan pun tak menyangka akan hal ini tiga tahun lalu.
“Kamu juga masih ingat?” tanya Erlan.
Lyra mengangguk. “Kamu ngikutin aku berhari-hari pas aku kerja gitu. Gimana bisa aku nggak ingat?”
“Waktu itu, kita kencan, tahu. Meski cuma aku yang senang.” Erlan tersenyum geli.
“Aku juga,” Lyra membalas. “Meski aku kesal, tapi aku senang juga.”
Erlan menggeleng. “Mana ada orang yang kesal tapi senang.”
“Ada. Aku orangnya. Karena orang yang bikin aku kesal itu kamu.”
“Kalau mau confess, yang manis, dong,” Erlan menggoda Lyra. Ia melingkarkan lengan di pinggang Lyra, menarik wanita itu mendekat.
Lyra seketika melotot panik dan berusaha menarik diri.
“Kalau ada yang lihat gimana?” protes Lyra.
“Ya, biar mereka lihat. Trus kenapa?” Erlan tersenyum geli.
Lyra mendesis kesal seraya menarik diri. Erlan mengalah dan melepaskannya.
“Cukup kamu tahu aja, aku akan nunjukin perasaanku dengan caraku sendiri,” Lyra berkata. “Bahkan habis kamu pulang dan ninggalin aku di sini tiga tahun lalu, nggak pernah sehari pun aku bisa ngelupain waktu-waktu yang aku lewatin sama kamu di sini. Setiap aku lewat jalan yang kita lewati bareng, aku selalu keingat kamu. Setiap aku lihat gambar capilano bridge dan canyon light-nya, bahkan cuma dengar itu aja, aku langsung ingat kamu. Itu tiga tahunku tanpa kamu waktu itu.”
Erlan tertegun, tak menyangka Lyra akan mengatakan itu. “Bodoh,” ucap Erlan.
Lyra melotot galak. “Kamu mau mati?”
Erlan tergelak. Ia kembali menarik Lyra ke arahnya dan memeluk wanita itu. “Harusnya dulu kamu bilang. Bukannya malah nyiksa dirimu sendiri kayak gitu.”
“Ini nih, yang aku benci tentang cinta,” singgung Lyra tiba-tiba.
Erlan mendongak dan mengangkat alis heran.
Lyra berdehem dan memalingkan wajah saat mengaku, “Cinta itu idiot. Lihat apa yang terjadi sama aku.”
Erlan tersenyum sayang melihat pipi Lyra yang merona. Erlan menyelipkan rambut hitam Lyra yang pagi itu tergerai bebas ke belakang telinganya. Kemudian, ia menangkup wajah Lyra dan menariknya turun. Diciumnya penuh kelembutan bibir itu.
“Barusan, aku jatuh cinta lagi sama kamu, Alyra. Tanggung jawab,” tuntut Erlan usai ciuman itu berakhir.
Lyra menatap Erlan protes.
“Cinta itu gila. Buat aku gitu. Cukup kamu tahu aja,” aku Erlan.
“Kamu curang.” Lyra masih tak terima. “Kenapa kamu selalu bikin perasaanku ke kamu tuh, nggak ada apa-apaanya dibanding perasaanmu ke aku?”
“Kenyataannya emang gitu. Kamu aja yang nggak tahu,” balas Erlan.
“Aku rela mati buat kamu,” ungkap Lyra keras kepala.
“Aku rela ribuan kali mati buat kamu,” sahut Erlan.
“Tuh! Kamu tuh, nggak masuk akal. Manusia cuma bisa mati sekali. Kamu bikin perasaanku seolah nggak berarti ...”
“Berarti banget. Perasaanmu berarti banget buat aku,” Erlan memotong. “Aku jadi orang paling bahagia di dunia karena perasaanmu. Juga, cintaku ke kamu senggak masuk akal itu.” Erlan tersenyum.
Lyra tampak terkejut. Ia bahkan kehabisan kata-kata untuk membalas. Wanita itu berdehem canggung, lalu melepaskan tangan Erlan yang masih di pinggangnya.
“Ayo pergi. Sebelum panas.”
Baik dulu maupun sekarang, Lyra tak berubah. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya kalah berdebat adalah tentang perasaan Erlan padanya. Kapan Lyra akan menyadari betapa dalamnya, gilanya, tak masuk akalnya, perasaan Erlan padanya?
***
Lyra memejamkan mata ketika semilir angin berembus. Dingin, tapi sejuk. Lyra membuka mata dan melihat sungai yang jernih di bawahnya, menampakkan batu-batu di dasar sungai. Sungai itu membentang di hadapannya dengan iringan pepohonan di kanan-kirinya. Dari sini juga tampak dermaga yang dibangun di sisi sungai. Hangatnya sinar matahari menetralisir dinginnya cuaca di sini.
“It’s beautiful, Lyr,” ucap Erlan tulus.
Lyra mengangguk. “Aku juga suka pemandangan dari sini.”
“I mean, you.”
Lyra tersenyum geli, tak membalas pernyataan Erlan. Tatapannya lurus ke depan. Pepohonan di kanan kiri sungai mengingatkan Lyra akan tiga tahun lalu, ketika Erlan membawanya ke capilano bridge. Saat itu, pria itu menyatakan perasaannya. Namun, layaknya pengecut, Lyra tak mau mengakui perasaannya. Bodohnya ia dulu.
“Kenapa kamu malah ngelamun?” tanya Erlan di belakangnya. Suaranya begitu dekat. Lyra menoleh. Pria itu mencondongkan tubuh ke depan, kedua tangannya berpegangan di tali jembatan, mengurung Lyra. “Padahal harusnya kamu tuh, takut gitu ke tempat kayak gini. Lihat, di bawah ada sungai. Kita ada di tengah jembatan. Kalau jembatannya putus gimana?”
Lyra mendengus geli. “Emangnya kenapa aku harus takut? Lagian, aku tahu kualitas jembatan ini. Kan, aku juga yang planning. Meski idenya dari kamu.”
Erlan mengerang. Ia menyurukkan kepala di bahu Lyra, menyandarkannya di sana.
“Padahal, kalau kamu takut kan, aku bisa sok nenangin kamu.”
Lyra tersenyum geli. “Yang benar aja,” dengusnya.
“Hampir aja aku lupa, kalau istriku nggak kayak cewek lain.”
Lyra menarik diri dan memutar tubuh, menatap Erlan. “Trus, kamu kecewa?”
Erlan menggeleng. “Cewek lain nggak seseru kamu kalau diajak debat.”
Lyra memukul lengan Erlan kesal, sementara pria itu tergelak. Ketika Erlan hendak menciumnya, Lyra menahan bahu pria itu. Erlan tersenyum geli.
“Cewek lain kalau dibandingin kamu nggak ada apa-apanya,” ucap pria itu. “Lagian, gimanapun kamu, tetap aja aku jatuh cinta sama kamu.”
Lyra berdehem. “Oke.” Lyra sudah akan berbalik, tapi Erlan menahan bahunya. “Kenap ...” Pertanyaan Lyra tak selesai karena Erlan sudah menciumnya.
“Gawat,” ucap Erlan saat ia menarik diri.
Lyra mengerutkan kening. “Gawat kenapa? Ada masalah?”
Erlan mengangguk. “Kamu. Aku makin cinta sama kamu, gimana ini?”
Lyra mendesis kesal dan memukul lengan Erlan.
Pria itu tergelak. “Aku serius,” ucapnya. “Dan pipimu merah, tuh.”
Lyra langsung berbalik. Di belakangnya, Erlan masih tertawa. Pria itu memeluknya dari belakang, tangannya melingkar di perut Lyra.
“Kamu nggak akan tahu betapa bahagianya aku sekarang,” Erlan berkata. Benar-benar terdengar bahagia.
Lyra menunduk menatap tangan Erlan, lalu menggenggam tangannya. Erat.
“Kamu mau kencan sama aku, nggak?” tawar Lyra. “Selama tujuh hari. Tujuh hari aja. Ayo kita kencan.”
Erlan mematung di belakang Lyra. Pria itu jelas terkejut. Lyra melepaskan pelukan Erlan dan kembali menatap pria itu.
“Aku cinta sama kamu. Jadi, kamu mau nggak, kencan sama aku selama tujuh hari?”
Erlan menatap Lyra, terharu, bahagia. Mungkin sebentar lagi ia akan menangis.
“Aku pasti gila kalau nggak mau,” ucapnya. “Barusan, aku jatuh cinta lagi sama kamu. Aku harus gimana sama perasaanku ke kamu? Kenapa rasanya aku terus jatuh kayak gini di depanmu?”
Tahukah Erlan betapa kata-katanya itu berefek pada Lyra? Seperti anak remaja yang baru jatuh cinta, jantung Lyra berdegup kencang. Namun, alih-alih mengakui itu, Lyra membalas,
“Bodoh.” Aku juga, tambah Lyra dalam hati.
Namun, Erlan bahkan tersenyum mendengarnya. “Mau gimana lagi? Kamu emang benar. Cinta itu idiot. But, I have no regret. You’re all that I need.”
Seandainya Erlan tahu, Lyra pun merasa begitu.
***
Erlan tak menyangka, Lyra akan mengajaknya berkencan lebih dulu. Dari river tour tadi, Lyra langsung mengajak Erlan luncheon di cruise ship. Mereka makan siang sembari menikmati pemandangan sekitar pulau dari kapal.
Ketika Lyra menceritakan tentang sungai dari lelehan gletser dan sebagainya, Erlan hanya mendengarkan sambil tersenyum. Hanya melihat Lyra saja hati Erlan sudah meleleh. Untung saja Lyra tak bisa mendengar pikiran Erlan. Atau wanita itu akan terkejut, lalu tersipu malu dan salah tingkah sendiri.
“Habis ini, kamu mau ke mana?” tanya Lyra.
“Kan kamu yang ngajak kencan,” balas Erlan enteng.
Lyra mendecak kesal. “Aku bingung kamu pengen ke mana. Kamu mau ke rose garden? Nggak, kan? Itu kan, kalau cowok ngajak cewek ke sana.”
Erlan tersenyum. “Aku mau pergi ke mana aja kalau sama kamu.”
Lyra tampak berpikir. Ia menatap Erlan. “Habis makan, kita istirahat di sini, trus nanti sore kita jalan-jalan ke seawall. Kita bisa jalan-jalan sambil lihat laut sepanjang jalannya.”
Erlan mengangguk. “Trus?”
“Nanti malam, sebelum pulang, kita naik kapal lagi. Kalau malam bagus banget di sini. Ada event kembang api juga,” beritahu Lyra. “Banyak juga orang yang makai kesempatan itu buat ngelamar kekasihnya.”
“Oh.” Erlan mengangguk-angguk. “Ini kode atau gimana? Kamu minta dilamar lagi atau ...”
“Nggak, lah!” Lyra menatap Erlan seolah itu ide paling gila.
Erlan tersenyum geli. Lyra melanjutkan ceritanya tentang beberapa event yang pernah dilakukan para penumpang kapal untuk kekasihnya.
“Ada juga dulu yang sampai pura-pura ketinggalan sampai kekasihnya panik. Ternyata pas balik ke dermaga, udah disiapin event buat ngelamar. Kebetulan aku harus lihat itu juga waktu itu.” Lyra memutar mata, Erlan kembali tersenyum geli.
“Kalau kamu yang dikasih event kayak gitu, gimana? Kamu mau?”
“Jangan coba-coba!” Lyra menatap Erlan tajam.
“Ah, iya. Kamu nggak suka pertunjukan ramai dan jadi tontonan, ya?” Erlan mengangguk-angguk.
“Norak, tahu!” omel Lyra.
Erlan tergelak. “It’s romantic!”
“No, it’s crazy!” balas Lyra.
Erlan sampai sakit perut karena tertawa, sementara Lyra tampak kesal.
“Jangan bilang, sekarang kamu nyesal karena aku nggak suka dikasih event di depan orang banyak gitu,” singgung Lyra.
“Kamu kan, belum pernah nyoba.”
Lyra menggeleng keras. “Udah cukup di pesta pernikahan kita itu,” katanya ngeri.
“Tapi, itu pesta pernikahan kita.”
“Tetap aja, semua orang merhatiin kita di acara itu.”
“Ya iya, lah! Kan, kita pengantinnya.”
Lyra merengut.
“Kayak gini, gimana kamu muncul di depan orang banyak sebagai pimpinan perusahaan? Kamu fine-fine aja tampil di depan umum.”
“Iya, sebagai diriku sendiri. Bukan sebagai cewek didandanin yang makai gaun berat dan jadi tontonan orang banyak.”
“You look so beautiful in that dress, anyway.”
“Dan Ryan ngeledekin aku tentang itu. Makasih.”
Erlan tergelak. Sahabat Erlan dan Lyra itu memang tahu cara bersenang-senang. “I’ll punch him when we’re back.”
Lyra menggeleng. “I’ve done that already.”
Erlan terbahak. Astaga! Tak ada bagian dari Lyra yang gagal membuat Erlan jatuh cinta.
“Perasaanku aja, atau emang mood-mu lagi baik?” tanya Lyra heran.
“Aku lagi bahagia, kalau kamu belum tahu,” jawab Erlan.
“Karena aku udah mukul Ryan gara-gara dia ngeledek aku?”
Erlan tersenyum geli dan menggeleng. Ia menggenggam tangan Lyra. “Karena aku sama kamu.”
Lyra terkejut, sepertinya tak menyangka Erlan akan, lagi-lagi, mengakui perasaannya. Lyra berdehem, mengangguk.
“Aku juga bahagia,” Lyra membalas.
“Karena udah mukul Ryan gara-gara dia ngeledek kamu?” Erlan melemparkan kembali kata-kata Lyra.
Lyra mendesis kesal. “Karena ada kamu di sini. Karena aku sama kamu. Karena ... kamu bahagia.” Wajah Lyra memerah saat mengatakan itu.
Ketika Lyra hendak mengalihkan tatapan, Erlan menangkup wajah Lyra dan mencium kening wanita itu.
“Kamu bahagiaku, Lyr. Cukup kamu tahu itu,” ucap Erlan tulus.
***
Bab 5
When You’re in Love
Lyra tak keberatan berpegangan tangan dengan Erlan sepanjang mereka berjalan menyusuri jalanan di tepi laut di seawall. Itu masih normal. Namun, ketika Erlan hendak menciumnya ketika mereka berhenti dan duduk di taman sambil menikmati pemandangan laut, Lyra langsung melotot kaget dan mendorong pria itu. Erlan mengerang protes karenanya.
“Nanti,” janji Lyra.
Erlan mengalah, lagi. Meski, beberapa kali, sering sebenarnya, ia mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala Lyra. Sepertinya Lyra harus mengingat untuk mencuci rambutnya setiap kali mereka akan jalan-jalan keluar. Diam-diam, Lyra menarik rambutnya yang terurai dan menciumnya.
“Kamu ngapain?” tanya Erlan.
Lyra berdehem. “Rambutku ... nggak bau, kan?”
Lyra memejamkan mata ketika Erlan tergelak. Lyra menggeser duduknya dan menatap Erlan kesal.
Erlan berusaha menenangkan diri, tapi tawa masih tersisa di wajahnya. “Maaf, maaf. Aku lupa, kamu kan, nggak pernah kencan selain sama aku.”
Lyra melotot galak. “Kamu ...”
“Aku juga nggak pernah kencan selain sama kamu,” potong Erlan. “Oh iya, mulai sekarang, kalau kamu mau ngasih aku hadiah, ajak aku kencan aja. Itu hadiah favoritku. Aku senang kencan sama kamu.” Erlan tersenyum geli.
“Kamu nggak lagi ngeledek aku, kan?”
Erlan mengulurkan tangan dan menarik Lyra mendekat. Lyra memekik kaget ketika ia terlempar dan menubruk pria itu. Wajah mereka sangat dekat. Lyra menahan napas.
“Jangan nahan napasmu. Aku jadi tergoda buat nyium kamu di sini,” ucap Erlan.
Lyra meloloskan napasnya dan menarik diri, mengambil jarak yang pantas. Didengarnya dengusan geli Erlan.
“Kenapa kamu jadi sepemalu ini, sih? Padahal semalam ...”
“Lanjutin dan aku bakal nendang kamu di sini,” ancam Lyra.
Erlan memang tak melanjutkan, tapi ia menatap Lyra dengan tatapan geli. Sorot jail di matanya membuat Lyra menggeleng. Namun, pria itu berkata,
“It was amazing for our first time, right?”
Lyra memukul lengan Erlan kesal, sementara pria itu tergelak puas. Namun, Lyra tak bisa kesal lama-lama melihat betapa bahagianya pria itu. Benar kata Erlan.
Lain kali, jika Lyra ingin memberi hadiah pada Erlan, ia akan mengajak pria itu kencan. Sebelum menikah dulu, di kencan mereka, mereka banyak membicarakan masalah pekerjaan, terkadang membicarakan teman-teman mereka, bahkan seringnya hanya makan dan nonton sekadarnya karena kesibukan masing-masing. Namun, kali ini berbeda.
Berkencan dengan suamimu ... benar-benar gila. Dan menakjubkan.
***
Erlan menyenggol Lyra ketika wanita itu berjalan sambil melamun ketika mereka akan meninggalkan seawall, menuju mobil.
“Kamu ngelamun lagi,” singgung Erlan sembari menarik Lyra ke arahnya ketika wanita itu hampir tertabrak pengunjung lain. “Kalau ada pekerjaan yang harus kamu selesaiin ...”
“Aku mikirin kamu,” Lyra memotong.
Erlan terkejut. Ia mengerjap. “Mikirin ... aku?”
Lyra mengangguk. “Tentang kencan kita besok. Kamu pengen ke mana, apa yang pengen kamu lakuin, dari tadi aku mikirin itu.”
Erlan menahan Lyra hingga mereka berhenti. Ia memutar bahu wanita itu dan menangkup wajahnya.
“Aku udah bilang, ke mana aja nggak masalah. Aku cuma pengen sama kamu. Jadi, lebih baik kita pergi ke tempat yang kamu pengen aja. Ke rose garden juga boleh. Kalau kamu mau ngelamar aku di sana dan ngasih bunga, aku akan dengan senang hati nerima lamaran dan bungamu,” ucap Erlan.
Lyra mendengus geli dan menarik wajahnya dari tangkupan Erlan. “Kalau gitu, besok dan seterusnya sampai kencan kita selesai, jangan protes,” ucapnya.
Erlan menggeleng. “Aku udah bilang, kencan sama kamu aja aku udah bahagia banget.”
“Oke, cukup. Jangan dilanjutin lagi,” Lyra berkata. “Mending, sekarang kita buruan pergi sebelum ketinggalan kapalnya.”
“Kenapa? Kamu malu, ya? Mukamu merah terus tiap kali aku ngomongin hal-hal yang romantis. Atau jangan-jangan, kamu beneran alergi sama hal-hal romantis?” cerocos Erlan. “Aku sama Ryan pernah ngebahas itu sih, dulu. Makanya ...”
Erlan melotot kaget karena tiba-tiba Lyra menarik Erlan ke arahnya dan mencium bibir Erlan. Hanya sekilas, tapi itu cukup untuk mengosongkan otak Erlan, sekaligus mengacaukan degup jantungnya.
Erlan menatap Lyra kaget. “Hampir aja aku jantungan, Lyr.”
Lyra berdehem.
“Jadi, nggak cuma malu nunjukin kemesraan di depan orang, tapi kamu juga alergi sama hal-hal romantis,” sebut Erlan.
Lyra mengabaikan Erlan dan melanjutkan langkah. Erlan menyusul Lyra.
“Nanti lama-lama kamu akan terbiasa kalau sama aku. Pantas aja kamu selalu ngamuk kalau aku ngerayu kamu di depan yang lain. Kamu pasti nggak mau mereka tahu, kan? Jadi, ini cuma aku kan, yang tahu? Berarti ...”
“Satu kata lagi dan malam ini kamu tidur di ruang tamu,” ancam Lyra.
Erlan seketika menutup mulut. Meski begitu, bibirnya masih saja tersenyum.
Begitu mereka tiba di depan mobil, Lyra bertanya, “Mana kuncinya?”
Erlan mengedik, menolak menjawab dengan kata-kata.
Lyra mendesis kesal. Ia mendekati Erlan dan tiba-tiba merogoh celana Erlan. Refleks, Erlan menahan tangan wanita itu.
“Jangan godain aku di sini. Aku nggak sekuat itu, Sayang.”
Wajah Lyra seketika memerah. Oh, Erlan ingin sekali mencium Lyra di sini, tapi ia menahan diri. Nanti, Lyra sudah berjanji tadi. Maka, alih-alih mencium Lyra di sana, Erlan menarik keluar kunci mobil dan membukakan pintu mobil untuk Lyra.
Bahkan wajah Lyra masih memerah ketika wanita itu masuk ke mobil. Yah, itu cukup memuaskan juga untuk saat ini.
***
Usai makan malam di restoran kapal, terdengar pengumuman bahwa event kembang api akan dimulai dalam sepuluh menit. Lyra ingin ikut keluar untuk menunjukkan event kembang apinya pada Erlan. Namun, pria itu tadi pamit ke kamar mandi dan belum kembali juga.
Lyra mengecek jam dengan tak sabar. Ia menatap ke arah pintu menuju toilet, tapi Erlan belum tampak juga. Waktu terus berjalan. Sepuluh menit hampir habis. Sebentar lagi event-nya akan dimulai. Namun, karena tak mungkin pergi sendiri tanpa Erlan, Lyra tetap duduk di kursinya sementara penumpang lain sudah keluar.
Begitu restoran kosong, terdengar suara letusan kembang api dari luar sana. Lyra hanya menatap dari jendela, percikan cahaya warna-warni yang menghiasi langit malam itu. Begitu pertunjukan kembang api itu selesai, para penumpang masih di luar, tapi Erlan belum juga kembali.
Lalu, Lyra mendengar suara yang tak asing dari live music stage di depan sana. Lyra menoleh dan terkejut melihat Erlan sudah berdiri di sana dengan membawa gitar.
“It’s for you, Love.”
Lalu, Erlan mulai memetik gitar, mengiringinya menyanyikan lagu Can’t Help Falling in Love. Lyra mematung di tempat, tatapannya tertuju hanya pada Erlan. Pria itu pun, sepanjang menyanyikan lagunya, terus menatap Lyra.
Shall I stay
Would it be a sin
If I can’t help falling in love with you
Lyra tak tahu kenapa, mendadak dadanya terasa sesak, seiring matanya terasa panas. Lyra mengerjap menyadari air matanya siap jatuh. Namun, ketika Erlan menyelesaikan lagu itu, lalu berjalan menghampirinya, air mata Lyra jatuh juga. Keharuan menyesakkan dadanya.
“Aku nggak tahu kamu sebenci itu sama event kayak gini. Padahal, aku udah nunggu orang-orang pada keluar semua.”
Lyra tersenyum, tapi ia tak lagi berusaha menahan air matanya.
“It’s beautiful and I love it,” Lyra berkata sembari menatap Erlan. “And I love you. Makasih, udah berjuang sekeras ini buat aku, buat ada di sampingku.”
Erlan tersenyum lembut. Ia menghapus air mata Lyra dan mengecup jejak air matanya. “I love you too. For life, with everything I have.”
Oh, tahukah Erlan, satu-satunya pria yang bisa mengguncang hati dan dunia Lyra sekeras ini hanyalah dirinya?
***
Erlan menatap tangan Lyra yang menggenggam tangannya sepanjang koridor supermarket yang mereka lewati. Sebelum mereka pulang ke villa, Lyra mengajak Erlan belanja lebih dulu. Namun, sejak mereka tiba di supermarket tadi, Lyra terus menggenggam tangan Erlan seperti ini. Meski Erlan sama sekali tak mengeluh.
Lyra berhenti dan mengambil roti, lalu memasukkannya ke troli yang didorong Erlan. Ia kembali berjalan, masih menggandeng tangan Erlan. Gemas, Erlan menarik tangan wanita itu, membuat Lyra terlempar dan menubruk tubuhnya.
“Kamu takut aku pergi atau gimana, sih?” tanya Erlan seraya mengangkat tangan mereka.
Lyra ikut menatap tangan mereka, lalu menatap Erlan lagi. “Bukan gitu, aku cuma ... berterima kasih buat apa yang kamu lakuin buat aku tadi.” Lyra mengedik sok cuek. “Bukan hal besar.”
Erlan tersenyum geli. Bukan hal besar?
Erlan mengecup bibir Lyra singkat. Wanita itu seketika melotot dan menatap sekitar. Namun, tak ada siapa pun karena memang malam sudah larut.
“Aku senang kamu dari tadi gandeng aku kayak gini, tapi aku khawatir aja. Aku takut kalau kamu punya pikiran aneh-aneh lagi,” singgung Erlan.
Lyra menggeleng. “Kenapa? Kamu terganggu, ya?”
Lyra hendak melepaskan genggamannya, tapi Erlan malah menggenggam tangan wanita itu erat.
“Sama sekali nggak terganggu. Malah, aku senang. Tapi, aku justru khawatir. Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya. Kamu ngelakuin ini nggak terpaksa, kan?” Erlan menggoyangkan tangan mereka.
Lyra menggeleng. “Aku cuma ... rasanya aku nggak ngasih kamu sebanyak yang kamu kasih ke aku. Karena itu, aku ...”
Erlan tak membiarkan Lyra melanjutkan kalimatnya dan mencium wanita itu di sana. Bukan ciuman singkat, tapi ciuman panjang yang membuat mereka berdua kehabisan napas di akhir ciuman.
“Kamu salah. Kamu udah ngasih banyak ke aku. Banyak banget sampai rasanya aku nggak berhak buat minta apa pun lagi. Kamu Lyr, adalah segalaku. Selama ada kamu, aku nggak butuh yang lain lagi,” ucap Erlan mantap.
Lyra terkejut. Lagi, ia tersipu dan menunduk. Erlan menangkup wajah wanita itu dan mencium keningnya.
“Jadi, kamu nggak perlu ngelakuin apa pun buat aku. Cukup kamu ada di sampingku aja,” Erlan berkata.
Lyra mengangguk. “Cinta itu ... nggak masuk akal, tapi ternyata benar-benar ada.”
Erlan mengangkat alis. “Kenapa mendadak kamu ngomong gitu?”
“Well, dengan perasaanku kayak gini ke kamu, mana mungkin aku ngelak lagi.” Lyra mengedik kecil.
Erlan tersenyum geli, tak tahan untuk menggoda istrinya itu. “Setelah selama ini, kamu baru mau ngakuin itu? Setelah semua ini, kamu baru sadar tentang itu?”
Lyra berdehem, lalu memutar tubuh dan melanjutkan langkah, masih menggandeng Erlan. Namun, Erlan melanjutkan,
“Setelah aku jungkir-balik, jatuh-bangun, kamu baru sadar itu, Lyr? Kamu becanda, kan? Setelah perjuanganku selama ini ...”
“Jangan mulai resek, deh,” potong Lyra.
Erlan sok mengerang kesakitan. Lyra sempat menatapnya cemas, tapi Erlan mengerdip. Lyra mendesis kesal.
“Yang begini ini pasti ajarannya Ryan, kan?”
Erlan mengangguk. “Aku belajar dengan keras dari dia sejak kita jadian dulu,” akunya.
“Dia tuh, selalu aja ngajarin kamu hal nggak penting kayak gitu,” omel Lyra.
Erlan mengangguk. “Makanya, ke depannya, kamu siapin diri aja. Ini baru awalnya.” Erlan kembali mengerdip, membuat Lyra melotot dan memukul lengannya. Erlan tergelak puas.
“Kurang ajar tuh si Ryan. Suka ganggu suami orang,” desis Lyra.
“Sayang, cemburumu tuh, yang masuk akal, dong. Masa cemburu sama Ryan,” protes Erlan.
“Trus kenapa? Toh, cinta emang nggak masuk akal.”
Jawaban Lyra mengejutkan Erlan, sebelum Erlan kembali tergelak. Lagi-lagi Lyra membuatnya jatuh cinta. Bahkan tanpa berusaha.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
