
Mereka bertiga bengong dan saling berpandangan. Beni segera naik lagi ke dalam gerbong, dan ternyata benar. Dia hanya menemukan tumpukan carrier pendaki lain di deretan seat paling belakang! Lalu yang duduk dan ngobrol dengan dia tadi siapa?
Mendaki gunung bagi sebagian orang selalu menyisakan sebuah cerita. Bisa cerita yang menggembirakan, menyedihkan bahkan terkadang menyeramkan.
Ini cerita tentang teman-temanku yang mendaki ke gunung Arjuno di Jawa Timur bersama Rio. Seperti diceritakan sebelumnya, setelah Rio hijrah untuk melanjutkan sekolahnya di Malang, petualangannya di gunung semakin menjadi-jadi. Sementara aku, Teguh, Beni dan Ari sibuk menjalankan status lazimnya seorang mahasiswa, Rio justru intens di Mapala.
Sejak SMA Rio memang terobsesi untuk mendaki gunung-gunung yang eksotis di Jawa Timur. Hampir semua gunung dengan grade paling menantang memang berada di provinsi satu ini.
Cerita ini dimulai saat ketiga temanku, Teguh, Beni dan Ari berencana mendaki ke gunung Arjuno. Saat itu memang sedang masa libur perkuliahan menjelang tahun ajaran baru. Aku sendiri tidak ikut karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan. Iya, biaya yang dihabiskan untuk hobi yang satu ini memang tidak sedikit. Apalagi jika harus ke luar kota seperti Malang.
Malam itu ketiga temanku menuju Malang dengan menggunakan kereta api Matarmaja. Tahun 90 an kereta ini memang masih melewati jalur selatan, Purwokerto. Dan seperti musim liburan sebelumnya, Matarmaja selalu dipenuhi oleh para pendaki yang akan pergi ke gunung-gunung di Jawa Timur, terutama Semeru.
Tujuan ketiga temanku adalah ke tempat tinggal Rio di Malang, di sana Rio tinggal bersama tantenya. Rencananya mereka berempat akan mendaki Arjuno lewat jalur Tretes, yang walaupun relatif terjal tapi ketersediaan airnya sangat melimpah.
Pukul 21.45 kereta yang akan membawa mereka tiba di stasiun Purwokerto, di sini nampak beberapa penumpang turun. Di antara mereka terdapat beberapa orang pendaki, tujuan mereka biasanya ke gunung Slamet, Sindoro ataupun Sumbing. Saat itu gunung Prau belum menjadi destinasi pendakian.
Beni dan yang lainnya mendapat tempat duduk di gerbong 5, beruntung karena mereka bisa mendapatkan tempat duduk. Setelah menempatkan carrier di bagasi mereka duduk sambil mengamati keadaan dalam gerbong, orientasi, barangkali menemukan teman seperjalanan.
Di sebelah seatnya Beni melihat dua penumpang perempuan tengah tertidur. Sepertinya kelelahan setelah beberapa jam berada dalam kereta. Melihat dari barang yang dibawa, mereka nampaknya pendaki juga, mungkin dari Jakarta. Keduanya duduk di deretan paling belakang yang seatnya hanya untuk dua orang. Tepat pukul 22.00 kereta Matarmaja bergerak meninggalkan stasiun Purwokerto.
Ari yang seharian tadi membantu ibunya di restoran langsung tertidur. Dia adalah koki yang di setiap kegiatan pendakian selalu diandalkan untuk memasak buat kami. Dia paling piawai mengatur manajemen logistik dan memasak, mungkin sudah DNA dalam keluarganya. Sementara Beni dan Teguh menghabiskan waktu sambil ngobrol. Aku juga heran, kakak beradik ini memang unik, mereka bisa ngobrol selayaknya teman saja.
Sampai di stasiun Lempuyangan kedua pendaki perempuan tadi nampak terbangun. Lusuh dan lelah sekali nampak dari pakaiannya. Carier yang mereka bawapun nampak kotor meskipun terlihat masih baru. Beni mencoba membuka percakapan dengan mereka.
"Kelihatan capek sekali mbak, baru turun dari mana?"
"Dari Gede mas, ini mau ke Arjuno."
Beni mengernyitkan dahi, jauh amat dari Gede langsung mau ke Arjuno, kata Beni dalam hati.
"Dari Jakarta mbak?" Beni melanjutkan pertanyaannya.
"Iya mas. Mas bertiga mau ke mana?"
"Kami mau ke Arjuno juga, lewat Tretes."
"Oh kebetulan ada teman, nanti ketemu di basecamp ya mas."
Beni yang awalnya berniat mengajak mendaki bersama akhirnya mengurungkan niatnya. Dari ucapannya sepertinya mereka tidak mau diganggu. Lagian dia masih harus ke tempat Rio dulu sebelum ke Tretes.
Saat pedagang kopi lewat Beni memesan 3 gelas kopi hitam. Dia menawarkan juga kepada kedua pendaki di sebelahnya. Saat itu si pedagang kopi menengok ke seat sebelah Beni lalu memandang Beni sambil mengernyitkan dahi. Setelah menerima pembayaran kopinya dia bergegas pergi.
Tanpa mereka sadari sebenarnya ada keanehan yang terjadi selama perjalanan. Pedagang yang lewat di gerbong itu tidak pernah menawarkan dagangannya kepada dua orang pendaki perempuan yang duduk di ujung gerbong.
Sampai kemudian kereta berhenti di stasiun Madiun. Ari, Teguh dan Beni turun dari kereta untuk sekedar menghirup udara segar setelah berjam-jam di dalam kereta. Beni berpapasan lagi dengan si penjual kopi.
"Mas, tadi menawarkan kopi ke siapa?"
"Hah? Oh, ya ke penumpang yg duduk di sebelah saya itu," sahut Beni.
"Penumpang yang mana mas? Orang isinya tumpukan carrier pendaki."
Mereka bertiga bengong dan saling berpandangan. Beni segera naik lagi ke dalam gerbong, dan ternyata benar. Dia hanya menemukan tumpukan carrier pendaki lain di deretan seat paling belakang! Lalu yang duduk dan ngobrol dengan dia tadi siapa?
Berangkat dari rasa penasaran, setelah kereta berjalan Beni dan Ari lalu menyisir ke seluruh gerbong. Ada 8 gerbong yang mereka jelajahi tapi mereka tidak menemukan kedua perempuan itu.
Beni agak shock tapi dia berusaha menguasai keadaan. Dia meyakinkan kepada Teguh dan Ari bahwa kedua pendaki itu juga mau ke Arjuno.
"Aku tadi sempat ngobrol sama mereka," kata Beni menegaskan.
"Aku nggak perhatiin keberadaan mereka, ngantuk banget soalnya," balas Ari.
"Apalagi aku yang duduk di pojok deket jendela," lanjut Teguh.
Saat Beni ngobrol dengan dua perempuan tadi Teguh dan Ari memang tengah tertidur dan dibangunkan oleh Beni ketika kopi sudah agak dingin. Penerangan di dalam kereta memang tidak terlalu bagus, apalagi di seat yang paling ujung. Beni masih saja penasaran dengan apa yang baru saja dialaminya.
"Harusnya Wawan ikut nih. Dia yang betah nemenin aku melek," kata Beni.
"Alah udah tidur aja, Malang masih jauh Ben," Ari menyahut.
Beni masih belum bisa memejamkan mata. Setiap dia mencoba terpejam dia merasa seperti ada yang mengajaknya bicara. Sampai akhirnya Beni bertukar tempat duduk dengan Teguh barulah dia bisa tertidur.
Saat lewat tengah malam giliran Teguh yang terjaga, gerah sekali, katanya. Waktu sudah lewat pukul 2 dinihari saat matanya melihat sosok perempuan berjalan mondar-mandir di dekat selasar dekat pintu keluar dan toilet. Seluruh penumpang dalam gerbong itu sudah terlelap, juga dengan Beni dan Ari.
Teguh tidak mempunyai cukup nyali untuk membuka pintu gerbong walaupun dia penasaran siapa perempuan yang tengah malam begini jalan mondar-mandir di dekat toilet. Di sisi lain dia juga tidak enak jika harus membangunkan kedua temannya yang tertidur lelap.
Dengan mengumpulkan segenap keberaniannya Teguh berjalan ke sliding door. Tapi ketika dia baru saja bangkit dari tempat duduknya tiba-tiba,
"Brukkk.."
Daypack yang sedari tadi ada di bagasi terjatuh dari tempatnya. Teguh kaget setengah mati karena persis mengenai kakinya. Anjing, batinnya. Memang sejak berangkat tadi posisi daypack itu diletakkan di atas carrier karena tidak cukup tempat di bagasi.
Ketika matanya kembali mengarah ke sliding door perempuan itu terlihat melintas lagi. Teguh nekat berjalan mendekat dan dibukanya sliding door itu seketika.
"Sreeeekkk..."
Tak seorangpun dijumpainya di sana. Dia hanya mendapati kedua pintu keluar gerbong yang terbuka. Angin dari luar seperti menampar wajahnya karena kereta berjalan dalam kecepatan tinggi.
"Sampai bertemu di Gunung Arjuno"
Teguh terperanjat menemukan tulisan yang digoreskan di atas embun yang menempel pada kaca sliding door.Saat itu dia akan kembali ke tempat duduknya setelah menutup kedua pintu. Kalimatnya sangat intimidatif dan sepertinya belum lama ditulis karena masih bisa terbaca dengan jelas.
Kereta terus berjalan menuju Malang meninggalkan segudang tanya dalam benak Teguh dan Beni. Sementara Ari masih terlelap dalam tidurnya. Belum lagi menyapa Arjuno mereka sudah menemui banyak kejanggalan selama perjalanan. Ini akan menjadi sebuah pendakian panjang.
Satu bulan sebelumnya
Sore hari udara di Malang terasa sejuk. Rio bersama temannya sudah berada di Stasiun Malang. Mereka berdua mendapat tugas dari organisasinya untuk berbelanja kebutuhan ekspedisi Mapala. Fajar yang memiliki kerabat di Jakarta mengajukan diri untuk ikut, biar tidak usah mengeluarkan biaya akomodasi saat di sana, ungkapnya.
Hampir setiap tahun para pegiat outdoor di Indonesia mengadakan semacam expo, lokasinya selalu berbeda, kali ini expo diadakan di Jakarta. Selama kegiatan berlangsung biasanya dijual banyak perlengkapan untuk kegiatan outdoor. Yang namanya expo pastilah harga yang ditawarkan lebih murah. Maka tidak heran jika setiap tahun acara itu selalu ramai dikunjungi oleh para pegiat outdoor.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya Rio sudah menelepon salah satu konter langganannya yang ikut dalam expo tersebut. Tujuannya supaya dia bisa memesan lebih awal, tidak kehabisan stok dan pesanan bisa segera disiapkan. Setelah itu dia menghubungi temannya di salah satu Mapala sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Rio minta supaya bisa dijemput di stasiun dan bisa singgah sejenak di sekretariat Mapala untuk sekadar istirahat.
Setelah berjam-jam perjalanan dari Malang sampailah Rio dan Fajar di Jakarta, keduanya dijemput oleh seorang teman dari Mapala. Sekitar satu jam dijamu di sekretariat, lalu mereka melanjutkan perjalanannya ke acara expo. Karena banyak sekali titipan dari teman yang harus dibeli, Rio dan Fajar langsung menuju konter yang jadi tujuan mereka.
“Selamat siang mas, saya mau ambil pesanan atas nama Rio, Malang,” kata Rio kepada salah seorang pegawai di konter itu.
Pegawai konter itu nampak kebingungan setelah membaca daftar pesanan dari Rio karena ada salah satu item yang tidak dia temukan. Sebuah carrier keluaran terbaru dari salah satu pabrikan carrier ternama. Carrier itu titipan Dina, pacar Rio. Kalau pulang ke Malang tanpa membawa pesanannya bisa terjadi perang Bharatayudha.
“Maaf mas, sepertinya carriernya sudah terjual. Sudah saya cari tidak ketemu,” kata si penjaga konter agak panik.
“Lho kok dijual mas? Kan saya sudah pesan dari seminggu yang lalu!”
Kali ini Rio yang panik, nada bicaranya mulai tinggi, bayangan Dina yang bakal ngamuk berkelebat di dalam benaknya.
“Maaf mas baru saja terjual ke mbak itu,” kata pegawai itu lagi sambil menunjuk dua perempuan yang sedang membayar di kasir.
Pegawai itu kemudian menghampiri kedua perempuan yang ditunjuknya tadi. Dia sepertinya sedang bernegosiasi supaya mereka mau membeli carrier jenis lain, mengingat yang mereka beli sudah dipesan oleh Rio sebelumnya.
Rio mengikuti di belakangnya, dia juga berusaha membujuk perempuan itu. Rio bahkan mau menggantinya dengan harga lebih tinggi asal mereka bersedia menukar dengan carrier lain. Tapi keduanya bersikukuh karena sudah merasa cocok dengan carrier yang baru saja dibayarnya.
Carrier hi-tech brand impor itu memang istimewa, didesain khusus sesuai dengan anatomi tubuh seorang perempuan. Kalau bukan di acara expo harganya bisa 20% lebih mahal. Dina sudah lama mengincarnya untuk mengganti carrier yang sudah lama sekali dipakainya.
Keributan antara Rio dan penjaga toko hampir saja terjadi ketika tidak lama kemudian datanglah si pemilik konter. Rio protes karena barang yang sudah dipesannya dijual ke orang lain, sambil menunjuk kepada dua perempuan di sebelahnya.
“Tunggu sebentar,” kata si pemilik konter sambil berjalan menuju mobilnya.
Beberapa saat kemudian dia kembali ke dalam konter sambil membawa carrier. Pesanan Rio itu rupanya sudah disimpannya supaya tidak terjual karena jumlahnya yang terbatas.
Ada perasaan lega yang tersirat di wajah Rio begitu melihat pemilik konter itu kembali dengan membawa carrier pesanannya. Hal yang sama dirasakan oleh si pegawai dan kedua pembeli yang tadi sempat bersitegang. Karena kesalahpahaman yang terjadi Rio meminta maaf kepada mereka, suasanapun menjadi cair kembali.
Bahkan Rio sempat berkenalan dengan kedua perempuan itu, namanya Friska dan Anna. Keduanya mahasiswa pecinta alam dari sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Fajar dan Rio juga mengenalkan diri sebagai mahasiswa sebuah kampus di Malang.
“Lho, aku punya kenalan di kampus itu, namanya Dina. Kami pernah mendaki bareng ke Gunung Lawu tahun lalu,” kata Anna.
“Dina yang galak itu bukan?” tanya Fajar.
“Iya, iya bener, galak!” Friska menjawab sambil tertawa.
“Ya dia itu yang pesen carrier. Dia pacar Rio, makanya tadi Rio panik,” kata Fajar lagi.
“Ooo...aku dan Friska kenal baik sama Dina,” kata Anna lagi.
Rio ikut tertawa sambil mendengar obrolan Fajar dan Anna. Setelah membayar semua pesanannya Rio dan Fajar mengajak mereka makan siang bersama sebagai penebus rasa bersalahnya.
Sambil menunggu pesanan mereka datang Rio menceritakan rencananya untuk mendaki ke Arjuno bersama Beni dan teman yang lain. Friska dan Anna nampak antusias karena belum pernah ke Arjuno sebelumnya.
“Kayaknya seru. Nanti aku kabari deh, soalnya kita juga ada rencana mau ke Gede. Kalau masih memungkinkan kita pasti ikut ke Arjuno,” kata Friska.
Mereka kemudian berpisah setelah sebelumnya saling bertukar nomor telepon. Rio dan Fajar kembali melanjutkan membeli kebutuhan yang lain sementara Friska dan Anna kembali ke rumah mereka.
Pendakian ke Gunung Arjuno
Sekira pukul 8.30 kereta ekspres Matarmaja yang membawa Beni, Teguh dan Ari akhirnya sampai di stasiun Kota Baru, Malang. Rombongan Beni dijemput oleh Rio dengan meminjam mobil tantenya. Tidak butuh waktu lama mereka sampai di kediaman Rio di daerah Dinoyo. Setelah berbasa-basi dengan tuan rumah, keempatnya menuju lantai atas, tempat yang biasa dipakai untuk menerima tamu teman-teman Rio.
Usai sarapan pagi mereka beristirahat sambil membahas rencana pendakian esok hari. Rio memberitahukan kalau bakal dua orang dari Jakarta yang akan ikut dalam rombongan mereka.
Rio lalu menceritakan perkenalannya dengan Friska dan Anna di acara expo sebulan yang lalu. Juga tentang ajakannya untuk mendaki ke Arjuno bersama. Karena itu dia mengajak Dina untuk menemani mereka, karena kebetulan keduanya adalah kenalan Dina.
Teguh terkesiap mendengar penjelasan Rio, dia teringat cerita Beni dan kejadian di kereta yang dialaminya tadi malam. Ada satu firasat tidak enak yang dia rasakan, tapi sengaja tidak dia sampaikan kepada yang lain supaya tidak mengganggu rencana yang sudah tersusun.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Beni, hanya saja dia tidak berpikir lebih jauh. Peristiwa di kereta semalam sudah berusaha dilupakannya, toh tidak sekali dua kali dia mengalami keganjilan seperti itu.
“Awal liburan yang lalu mereka menelepon untuk memastikan rencana kita. Katanya sih mereka jadi ikut, cuma sebelumnya mereka akan ke Gede dulu. Ada nazar katanya,” lanjut Rio.
“Lalu kita ketemuan sama mereka di mana?” tanya Ari.
“Mereka langsung ke basecamp Tretes, kita besok ketemu di sana,” jawab Rio.
Mendengar itu mau tak mau Teguh dan Beni kembali mencoba mengaitkannya dengan peristiwa di dalam kereta. Teguh bahkan masih ingat sekali dengan tulisan di kaca sliding door itu “Sampai bertemu di Gunung Arjuna”. Beni pun tidak lupa dengan kalimat yang diucapkan oleh salah satu dari mereka, “Nanti ketemu di basecamp ya...”.
Masalahnya adalah sejak terakhir Beni ngobrol di Jogja sampai akhirnya tiba di Malang kedua pendaki perempuan itu tidak terlihat lagi. Ah, mungkin hanya sebuah kebetulan saja. Beni mencoba menepis semua kejanggalan yang terjadi di kereta dengan apa yang dikatakan Rio.
Hari itu, tanggal 20 September, Ari masih ingat persis karena bertepatan dengan ulang tahun ibunya, teman-temanku berangkat menuju basecamp gunung Arjuno di Tretes. Dina juga ikut dalam rombongan, mereka berlima menempuh perjalanan selama hampir dua jam sebelum akhirnya sampai ke basecamp Tretes.
Setelah beberapa saat menunggu mereka tidak kunjung bertemu Friska dan Anna, begitupun saat ditanyakan kepada petugas dan melihat buku registrasi, mereka tak menemukan nama keduanya. Setelah ditunggu sekitar satu jam dan ternyata belum juga muncul akhirnya diputuskan untuk mulai bergerak menuju pos 1, Pet Bocor.
Walaupun menawarkan pemandangan yang eksotis tapi Arjuno juga penuh dengan suasana mistis. Pada beberapa pos pemberhentian terdapat area yang menyerupai makam, entah makam siapa. Suasana mistis akan lebih terasa jika melalui jalur Purwosari karena di sana banyak situs peninggalan kerajaan yang masih disakralkan.
Beberapa kali mereka berpapasan dengan para pendaki yang turun, namun belum juga ada jawaban tentang posisi Friska dan Anna. Tak ada satupun yang mengetahui keberadaan mereka sampai akhirnya mereka tiba di pos 3.
Saat maghrib tiba mereka beristirahat sejenak, suasana pergantian waktu dari siang ke malam di gunung selalu memiliki aura tersendiri. Jalur pendakian mulai sepi karena penduduk lokal yang menambang belerang sudah tidak nampak beraktivitas lagi. Yang terdengar hanya suara gesekan ranting dan daun yang tertiup angin ditingkahi nyanyian binatang malam. Irama yang ditimbulkannya kadang terdengar seperti tangisan menyayat.
Cuaca yang mulai gelap memaksa mereka menggunakan headlamp. Jalur yang menyempit di beberapa bagian memaksa untuk berjalan beriringan. Trekking malam hari di Arjuno benar-benar menguras energi dan nyali. Bayangan daun yang bergerakpun bisa menimbulkan halusinasi. Pokoknya jangan pernah mendaki sendiri ke gunung satu ini.
Setelah dihajar beberapa tanjakan akhirnya sampailah teman-temanku ini di Lembah Kidang. Di dekat mata air mereka mendirikan camp untuk beristirahat. Tak ada siapapun di sana kecuali mereka berlima.
“Astaga! Kita kok berlima ya?” kata Beni sesaat setelah dia mendirikan tenda.
Dia menyadarinya ketika di depan matanya terbentang luas Alas Lali Jiwo. Hutan paling disegani oleh kalangan pendaki karena cerita-cerita misterius yang mengiringi tumbuhnya pepohonan di dalamnya. Beberapa gunung memang memiliki mitos yang “mengharamkan” mendaki dalam jumlah ganjil. Celakanya, salah satu gunung itu adalah Arjuno!
“Kamu masih percaya juga dengan mitos itu, Ben,” Rio menjawab sambil tertawa.
“Itu sebagai penghormatanku pada kearifan lokal saja, Yo. Tidak ada urusannya dengan logika yang selalu kamu Tuhankan itu,” jawab Beni ketus.
“Kenapa tidak Ben? Semua hal di dunia ini bisa dijelaskan secara logika kok,” sanggah Rio tak mau kalah.
“Sudah-sudah, debat nggak mutu! Kalian kayak orang nggak pernah ngopi,” kata Teguh sambil menuangkan kopi ke dalam beberapa cangkir. Dia berusaha menengahi suasana yang mulai memanas.
Dua tenda sudah disiapkan oleh Rio dan Beni, sementara Teguh membuat minuman, Ari dibantu Dina menyiapkan makan malam. Usai mengisi perut Ari dan Teguh menggelar matras, sambil rebahan pandangannya menatap langit Argopuro. Lalu lalang pesawat terbang yang kerap kali terlihat di atas langit Arjuno tak mampu mengusir kelelahan yang mereka rasakan.
Jalur Tretes ini memang dikenal kejam bagi para pendaki karena sejak dari pos 1 mereka selalu dihajar oleh trek berbatu dan tanjakan curam. Tidak heran, karena basecamp Tretes hanya berada di ketinggian 900an mdpl. Itu sebabnya para pendaki harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menaklukan elevasi setinggi 2400 m sebelum sampai ke puncak Ogal-Agil di ketinggian 3300an mdpl.
Perut yang kenyang dan tubuh yang lelah sudah tak mampu lagi menangkal rasa kantuk meskipun sudah digelontor kopi. Hanya butuh beberapa menit saja setelah masuk ke dalam tenda akhirnya semua tertidur. Hanya Dina saja yang malam itu tidak bisa memejamkan matanya. Mungkin karena terlalu gelisah musabab terus memikirkan keberadaan Friska dan Anna.
Dia tidak menyadari, ada dua pasang mata yang mengawasi dari Alas Lali Jiwo sejak kedatangannya di sabana Lembah Kidang.
Belakangan diketahui ternyata mereka adalah Friska dan Anna, lalu dengan siapa mereka di Alas Lali Jiwo? Mengapa pula tidak bergabung dengan Rio dan teman-temannya?
Bersambung
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
