Bertukar Jiwa dengan Setan

0
0
Deskripsi

Niat Hati ingin melaksanakan upacara puncak 17 Agustus, namun apa daya. Semua harus berubah pada malam yang tak berdosa itu…

Agustus memang memiliki efek magis bagi siapa saja yang berjiwa nasionalis tinggi. Ragam ekspresi coba dicurahkan untuk merayakan hari kemerdekaan atau hanya sekedar memperingati peluh para pahlawan yang telah gugur. Aku dan sebagian besar anak puber lainnya berusaha mengekspresikannya melalui hal yang baru memasuki dalam cerita kehidupan: sebuah pendakian. 

Agustus 2017 merupakan babak baru bagiku dalam dunia pendakian. Kali ini aku berencana untuk melakukan sebuah perjalanan mengunjungi puncak tertinggi Jawa Tengah tanpa sebuah pengawalan dari Ayah. Genap setahun aku memutuskan untuk bergabung dalam sebuah organisasi pencinta alam, yang awalnya juga tak terlalu disetujui Ayah. Bukan karena bahaya, bukan pula mengandung unsur kegiatan separatis, namun karena persoalan biaya. 

Para pegiat alam bebas yang acapkali berpenampilan layaknya tunawisma: kumuh, dekil, tak terurus. Sebetulnya membutuhkan biaya yang cukup besar untuk melengkapi peralatan keamanan selama berkegiatan di alam. Namun niat telah mencuat, tekad sudah dibulatkan, aku memberanikan diri untuk membujuk Ayah memberi restu agar bisa bergabung. Aku pernah bermimpi untuk menapakan kaki di setiap dataran paling tinggi di Nusantara.

16 Agustus 2017, aku memutuskan untuk mendaki bersama seorang kawan yang kutemui ketika aktif berorganisasi. Seorang remaja yang cukup tinggi dan penuh kepercayaan diri tinggi. Memiliki tenaga seperti 100 ekor kuda, dan tekad kuat melebihi baja. Remaja asal Toyareka, Kec. Kemangkon,bernama Prima mendampingi misiku mengikuti upacara bendera yang rutin dilakukan setiap 17 Agustus pukul 10.00 WIB. 

Sebuah waktu yang mengingatkan seluruh elemen masyarakat akan momen paling bersejarah bangsa ini: sebuah pembacaan naskah proklamasi. Sebuah peristiwa penuh haru yang sukses digambarkan oleh guru sejarah Sekolah Dasar dulu begitu terkenang dalam ingatanku. Aku ingin merasakan gelora yang membara, mengibarkan sang saka merah putih di puncak tertinggi jawa tengah seraya berseru “TERIMAKASIH PARA PAHLAWAN, JASAMU SUNGGUH BESAR. BERKATMU AKU MAMPU MENIKMATI INDAHNYA LUKISAN TUHAN DENGAN TENANG!!”. 

Pendakian kali ini harusnya bisa kulalui tanpa kendala yang berarti. Sudah 2 kali aku mengunjungi gunung Slamet, pertama gagal bersua dengan dataran paling tinggi, dan percobaan kedua sukses. Dua catatan sejarah dalam hidupku selama mendaki itu menjadi modal yang berharga. Pengalaman tersebut mengajarkanku tentang detailnya persiapan dan kebulatan tekad yang harus kokoh. 

Pengalaman itu kutorehkan bersama seorang pengawal yang diutus Ayah untuk membantuku merasakan dinginnya suhu pegunungan. Aku dan Prima sudah cukup mengenal satu sama lain, kami merasa telah ada ikatan tak kasat mata yang mengikat satu sama lain dengan cukup kuat. Harusnya ini akan menjadi pendakian yang mudah untuk dilakukan tanpa kendali yang berarti.

Perjalanan kami tempuh pada pagi hari, dengan harapan akan sampai pada tempat camping pada sore atau malam yang tak terlalu larut. Tegur sapa, saling berbincang antara satu kelompok dan kelompok lainnya merupakan hal yang lazim ditemui ketika pendakian. Namun, ada satu kelompok yang menyita perhatianku. Bagaimana tidak, mereka pergi mendaki seolah tanpa persiapan yang matang. 

Kelompok tersebut beranggotakan 6 orang: 2 laki-laki dan 4 perempuan. Perbekalan yang mereka bawa tak sebanyak yang kami bawa. Sungguh kurang untuk kelompok mereka. Kami yang hanya beranggotakan dua orang saja membawa air sejumlah 8 botol berukuran 1,5 liter. Sedangkan mereka hanya membawa 4 botol saja. Betapa nekatnya kelompok yang akhirnya kuketahui berasal dari Cilacap. 

Kelompok asal Cilacap ini memiliki anggota yang tampak seragam. Bertubuh mungil dengan paras yang cukup menggoda lawan jenisnya. Entah mengapa ada sebuah perasaan yang berbeda ketika aku memandang cukup lama salah seorang perempuan dari kelompoknya yang menggunakan kupluk berwarna coklat. Segera aku berdiskusi dengan Prima untuk menawarkan pada kelompok Cilacap itu mendaki bersama, sebagai sebuah kelompok yang solid. 

Prima mengangguk tanda setuju dengan ideku. Ketika aku melempar ideku pada kelompok Cilacap tersebut, mereka semua mengiyakan. Akhirnya kami berubah menjadi tim yang terdiri dari 8 orang dengan kekuatan seimbang: 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Setelah penggabungan kelompok kami terjadi, Aku dan Prima mengubah tempo pendakian menjadi sedikit lebih lambat. 

Kami yang telah ditempa dengan latihan fisik semi-militer agaknya memang memiliki kekuatan fisik yang diatas rata-rata remaja rumahan pada umumnya. Aku dan Prima membagi tugas. Prima bertugas sebagai penunjuk jalan yang berada di depan, sedangkan tugasku menjadi sweeper  yang berada di belakang kelompok. Pada awalnya semua berjalan biasa saja, seolah sudah terencana dengan matang tanpa terdapat gangguan-gangguan yang pasti. 

Ketika sang surya mulai memperlihatkan warna jingga yang menjadi pertanda kepergiannya setelah rampung menunaikan tugas. Keganjilan mulai kurasakan. Bukan hanya waktu pendakian yang mulai molor dari yang seharusnya. Namun ada hal-hal yang kurasakan semakin kuat dan acapkali membuat bulu kudukku berdiri. Ketika adzan berkumandang memanggil para orang islam untuk segera menuju surau menunaikan kewajibannya sebagai hamba. 

Kami masih terjebak diantara perjalanan pos 1 menuju pos 2. Meskipun kurasa sebentar lagi kami akan dipertemukan dengan pos 2. Kegelisahan mulai merasuk kedalam jiwaku yang direspon oleh tubuhku. Kami sepakat untuk berhenti sejenak, mengambil nafas dan berusaha mengembalikan tenaga yang terkurang didampingi bias jingga yang indah seolah menghantam bumi.

Kami tak punya banyak waktu lagi, karena ketika sudah berhadapan dengan gelap. Pendakian mulai akan terasa berat. Bukan hanya soal stamina yang harus dijaga. Tapi juga soal pikiran yang harus tetap dijaga kewarasannya. Sejujurnya aku merupakan orang yang cukup skeptis dengan hal-hal yang berbau mistis. 

Aku beranggapan semua hal bisa dirasionalisasikan dengan baik. Ketika kecil dulu, aku sempat mendengar suara kuntilanak yang tertawa terbahak-bahak hanya karena kau sulit untuk terpejam. Namun tak lama setelahnya, aku melihat paman yang melongok dari balik tirai pintu dan berkata pada kakak perempuannya: “alif uwis turu mba?”. Dalam pikiran yang serba kecil lagi terbatas, aku menyimpulkan itu keusilan pamanku yang mungkin saja ikut jengkel akibat rengekanku yang belum ingin terpejam. Namun, jika Ibu sudah memerintah. 

Adakah yang berani melawan? Sesekali aku melihat kebelakang, karena entah mengapa seperti ada sesuatu yang menggerakkan kepalaku untuk segera memeriksa. Hal tersebut seringkali kulakukan selama sisa-sisa perjalanan kami menuju pos 2. Ketika pada akhirnya kami sampai di pos 2 dalam keadaan yang masih genap. Tanpa ada diskusi dan perbincangan terlebih dahulu, masing-masing dari kami langsung merebahkan tas yang sungguh membuat pundak ini meradang.

Setelahnya dibarengi dengan langkah mengeluarkan kompor dan seperangkat alat masak beserta logistik yang kami miliki. “Mungkin saja aku lapar, sehingga sedikit berhalusinasi” gerutu dalam hati yang berusaha menidurkan kembali bulu kuduk yang entah dari kapan mulai berdiri. Menu yang kami masak tidaklah terlalu mewah dan mungkin menggiurkan untuk segera disantap, hanya mie instan polos yang dimasak sedikit melebihi batas. Namun apapun hasil masakannya, kami harus menyantapnya dengan penuh semangat. 

Karena boleh jadi itu terakhirnya kalinya kami menyantap mie instan. Seberesnya makan, maka kami para lelaki melanjutkan ritual setelahnya, sebat. Ritual ini bukan saja menjadi hal yang wajib dilakukan sehabis makan. Tapi lebih mirip perasaan yang terbalaskan. Barang-barang yang tadi dikeluarkan, kembali dikemas dengan rapi dalam tas-tas yang mampu menampung dengan sangat banyak. Setelahnya kami berdoa kembali, sebelum melanjutkan perjalanan menuju pos 3 dengan tenaga yang sudah terisi kembali. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 adalah perjalanan yang paling membuatku lelah dan ingin menyerah. 

Suara-suara yang seolah memanggil untuk ditunggu terus berdatangan dari belakangku. Anehnya, ketika aku menengok tak ada suatu apapun yang kulihat selain cahaya headlamp yang menjadi sumber penerangan. Aku berusaha menghiraukan suara-suara itu, dan mencoba fokus melihat kedepan. 

Setelahnya langkah-langkahku terasa begitu berat, seolah beban yang kubawa bertambah 2 kali lipat. Padahal seharusnya akan jauh lebih ringan. Sebab sudah banyak perbekalan yang terkuras selama kami beristirahat tadi. Sesekali aku meminta untuk berhenti sejenak untuk mengembalikan ritme jantung yang mulai acak-acakan, sembari menetralisir segala pikiran negatif yang sedang melanda. “breeakk!” teriakku agar yang lain memperhatikanku yang membutuhkan sedikit waktu. 

Seketika semua mematung dan menoleh kebelakang, ke arahku yang sedang ngos-ngosan. Disela aku mengatur nafas, aku sempatkan untuk melihat kedepan dan anehnya sekelebat aku merasa kita berkurang 1, menjadi 7: 4 laki-laki dan 3 perempuan. Dimana perempuan yang memakai kupluk itu, yang menarik bagiku ketika aku melempar ide menggabungkan kelompok. 

Kemana perginya dia? Mungkinkah tertinggal dibelakang, atau sedang permisi untuk membuang hajat? Seharusnya jika memang membuang hajat, ada kawan yang menemani. Aku berusaha memfokuskan pandanganku yang sedikit ngawur itu, sambil mengucek-ucek mataku yang cukup lelah kurasa. Anehnya perempuan berkupluk itu tengah duduk selonjor sambil menyender pada pohon yang tepat berada di bawah Prima. Kenapa tadi aku tak melihatnya? Mungkin aku sudah cukup kelelahan.

Setelah istirahat singkat yang dibalur keganjilan, kami melanjutkan perjalanan. Tak lama setelahnya, kami disambut oleh papan bertuliskan “Pos 3 – Pondok Cemara”. Akhirnya kami sampai juga di pos 3 yang ternyata telah ramai oleh pendaki lainnya, banyak dari mereka yang tengah mendirikan tenda untuk segera pergi menuju alam mimpi. Kami memutuskan beristirahat di sebuah tempat yang cukup lapang yang berada sedikit menjauh dari jalur pendakian. Mereka ber-enam (kelompok Cilacap) segera menyelonjorkan kaki dan beristirahat. 

Sementara aku dan Prima pergi berkeliling membaur dengan kelompok lain. Anehnya, rasa lelah yang teramat besar tadi kurasa sirna seketika. Aku mampu berjalan mondar-mandir, dari warung menuju pendaki yang tengah kesulitan mendirikan tenda, kembali lagi ke warung dan berdiri mematung di pinggir jalur pendakian. Ketika tengah asyik menghirup rokok yang sisa setengah, ada suara yang bersumber dari tempat mereka beristirahat memanggil aku dan Prima. “mas..!! mas..!!” sontak panggilan tersebut mengejutkanku dan membawaku untuk segera mendekat. 

Ada apa gerangan, sehingga mereka begitu panik memanggil. Sesampainya kami di hadapan mereka. 3 perempuan saling menyerobot untuk menceritakan kondisi yang sedang terjadi. Suaranya begitu bertabrakan, sehingga informasi yang disampaikan kurang jelas.

“Bentar..bentar.. Berarti tadi mba ini (perempuan berkupluk) tidur karena kelelahan? Terus ketika coba dibangunkan karena melantur tak kunjung bangun? Begitu?” kataku mencoba merangkum secercah informasi yang bertebaran. Mereka kompak mengangguk. Sontak aku langsung teringat gejala-gejala hipotermia (penyakit akibat kedinginan) yang dipelajari selama pelatihan. Segera aku langsung memerintahkan Prima untuk melakukan pertolongan pertama agar kondisinya segera membaik. Namun sial, segala cara yang kami pelajari, baik ketika pelatihan atau dari internet tak ampuh untuk membuat perempuan itu sedikit baikan. 

Matanya masih terpejam kuat, tangannya kaku. Sangat kaku. Prima seolah mendapatkan ilham yang entah dari mana datangnya. Ia memerintahkan salah seorang teman perempuannya untuk membisikan ayat kursi persis di mulut telinga. Anehnya perempuan berkupluk itu bereaksi seperti kepanasan. Prima tetap menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti membacakan ayat suci tersebut. Namun kini, reaksinya makin brutal. Terdengar eraman suara laki-laki yang begitu berat keluar dari mulutnya yang sedari tadi terkunci rapat. 

Prima langsung menyadari bahwa perempuan berkupluk itu bukan terserang hipotermia melainkan gangguan makhluk yang tak kasat mata. Prima berusaha untuk menyusun dialog dengan sosok yang kini telah menguasai tubuh perempuan itu seutuhnya. Sisanya kompak untuk memegangi tubuhnya yang selalu memberontak kepanasan. Kami hanya takut perempuan berkupluk itu celaka, benar-benar celaka. Kini ia berada di tengah alas gunung Slamet yang entah siapa saja penghuninya. Belum lagi, tempat kami bergelut dengan sosok yang belum diketahui itu sangat dekat dengan jurang. 

Dialog yang dilakukan Prima cukup alot, namun perlahan membuahkan hasil. Prima mendapatkan titik terang dari permasalahan yang terjadi waktu itu. Ia merespon kejanggalan yang terjadi di tangannya, jari-jarinya yang semakin kau. Tapi paling kaku adalah ibu jarinya. Prima tiba pada sebuah kesimpulan, bahwa cincin yang dikenakan perempuan berkupluk itu merupakan sarang dari sosok yang kini mengambil alih raganya.

“Kamu ada disini kan?” Prima menunjuk cincin yang seperti dilindungi oleh jiwa yang bukan pemilik raganya. Sial! Perempuan berkupluk itu merespon dengan tertawa lebar sembari mengumpat pada Prima. “Jangan kau coba-coba lepas tempatku. Perempuan ini milikku, aku sudah mendapat perintah. Pergi kau sana!” jawab sosok itu dengan nada yang mengancam. Prima bukanlah lelaki yang mudah menyerah, semakin dia ditantang semakin kuat pula tekadnya. Ia memerintahkan kami untuk memegang tubuhnya yang makin kuat meronta. 

Sementara ia tengah menyiapkan serangan pamungkasnya untuk melepas cincin itu. Pada akhirnya aku bisa bernapas lega. Segala mimpi buruk yang kami alami selama pergulatan panjang itu berakhir. Dengan kemenangan diraih oleh Prima tentu saja. Seketika setelah cincin itu terlepas dari ibu jari perempuan berkupluk dan bersarang pada kantong di kemeja Prima. Perempuan berkupluk itu kembali pada dirinya yang serba kebingungan. 

Dengan sigap salah seorang dari mereka segera menenangkan dan mengajaknya beristirahat karena kami telah memutuskan akan bermalam disini dan melanjutkan perjalanan ketika subuh nanti. Ketika aku dan Prima tengah berbincang di luar tenda sembari menikmati rokok kretek ditemani kopi panas. Salah seorang perempuan lainnya dalam kelompok Cilacap itu keluar dari tenda dan menemui kami.

Perempuan itu memberikan penjelasan seolah menangkap gelombang kegelisahanku atas hal yang baru saja terjadi. Katanya, perempuan berkupluk itu pernah ditaksir oleh seorang lelaki di kampungnya. Parasnya tidak terlalu tampan apalagi membuat perempuan berkupluk itu tertarik. Berkali-kali perempuan berkupluk itu tak membalas cinta dari lelaki yang menaksirnya. 

Namun, lelaki itu juga tak kunjung jera dan terus-terusan mengganggu perempuan berkupluk itu hingga membuat risih satu keluarga. Hingga pada akhirnya, setelah menerima penolakan mentah-mentah ke sekian kalinya lelaki yang menaksir perempuan berkupluk itupun menyerah penuh arti. Ternyata, menyerahnya lelaki itu mendorongnya untuk menggunakan cara-cara yang tak halal: menyantet perempuan berkupluk. Sejak santet yang dilancarkan itu berhasil, perempuan berkupluk berubah total tingkah lakunya. 

Sering marah dan kerap kali merengek minta dipertemukan dengan lelaki yang cintanya tak dibalas olehnya. Namun, pihak keluarga geram akan tingkah lelaki itu dan memutuskan untuk memanggil orang pintar. Berkat ritual yang telah dilakukan orang pintar itu, perempuan berkupluk dihadiahi sebuah cincin yang sampai tadi masih dikenakan oleh perempuan berkupluk itu. Kata orang pintar itu, cincin itu berisi sosok jin yang jauh lebih kuat daripada jin yang menjadi media santet lelaki itu. 

Namun tanpa sadar, pihak keluarga seperti menggali kubur sendiri. Ketika santet berhasil ditaklukan, jin penghuni cincin itu tak mau melepasnya. Begitu penjelasan dari teman perempuan berkupluk itu. “Oalah..pantesan aja tubuhku tadi sempat terasa berat. Ada yang ngikut ternyata?” tanpa sadar kalimat itu keluar dari mulutku yang membuat Prima menoleh paham dan teman perempuan berkupluk itu keheranan. Atas kejadian itu, aku tersadar bahwasanya kita hidup di dunia ini berdampingan dengan yang tak terlihat. Saling menghormati menjadi kunci agar harmonisasi tetap terjaga. Sekian…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Penuh Sesak
0
0
Renungi dan resapi dikala kau kacau!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan