
Cerita ini akan aku dedikasikan untuk aku dan teman-teman, yang semasa remaja terlalu takut untuk memberontak demi kedamaian diri kita sendiri.
Playlist :
- Belle Of The Boulevard by Dashboard Confenssional
- The Climb by Milley Cyrus
- Learn To Fly by A1
- Strong by London Grammar
- Jangan Berhenti Mencintaiku by Titi Dj
- Tuhan Maha Cinta by Nidji
- Rumpang by Nadin Amizah
Selamat menikmati!
RAMELIA ABIGAIL CHAVALI
Suasana sekolah milik pemerintah hari senin itu nampak ramai, di depan gerbang sekolah ada seorang pria setengah baya dengan kopiah hitam dikepalanya dan kacamata bundar yang menaungi kedua netranya. Didepannya ada seorang siswa yang sedang diceramahi karena menggunakan kaus kaki milik adiknya, terlalu kecil.
“Ini punya adik saya pak, jangan disita dong. Bisa disabet nenek nanti saya kalau kaos kaki adek saya enggak balik.” ujar laki-laki dengan rambut cepak itu berusaha mempertahankan kaus kaki berwarna merah muda dengan stroberi kecil yang imut.
“Loh itu derita kamu, yang benar aja dong lagian, masa kaus kaki anak TK kamu pakai? Kamu anak SMA atau anak kecil hah?!” kata guru tersebut. Selain perkara kaus kaki, hari senin juga identik dengan berbagai aksi murid perempuan yang tidak patuh dan taat aturan untuk tidak memakai dan membawa alat kecantikan selain parfum dan lipbalm.
“Kesya, kamu pikir ini sekolah atau Mall hah? Pipi merah-merah, bibir juga merah begini, kamu abis minum darah dimana?” Bu Tiwi, seorang guru wanita disekolah itu yang merangkap guru konseling yang tidak pernah absen satu haripun untuk memantau perangai siswanya, kini makin merah wajahnya, kesal, karena melihat pakaian Keisya dan teman-temannya yang super ketat dan roknya yang super pendek, sangat jauh dari peraturan sekolah.
“Kesya, Lita, Alin, nanti kalian baris didekat tim paduan suara.” artinya, kalian akan baris bersebrangan dengan siswa lainnya dan jadi pusat perhatian.
Dengan tenang seorang murid perempuan menyalami tangan Bu Tiwi setelah menyalami Pak Gatot. “Selamat pagi bu,” sapa murid tersebut. Tertulis di badge namanya adalah Ramelia A.C .
“Selamat pagi, Milea. Dilan-nya mana?” balas guru tesebut sambil terkekeh, sedangkan Melia hanya tersenyum tipis mendengar gurauan yang hampir membuatnya bosan, karena setiap pagi selalu ditanya hal yang sama.
“Lagi keramas bu.” sahut suara disampingnya lalu tiba-tiba sebuah tangan merangkulnya, “Mari bu kita masuk ke kelas dulu.” Bu Tiwi mengangguk.
“Tumben jam segini udeh sampe lu?” Tanya Ruli, atau Ulie. Sahabat sefrekuensi, sejurusan, sejalan, sepulang, seberangkat, sepiring, segelas, bahkan teman seperbokeran. Tau boker kan? Buang hajat. Alias poop.
“Mangapa si? Heran amat lu liat gue dateng jam segini. Masalah?” Balas Melia.
“Ya nggak sih, biasanya kan lu mesti anter Nyak lu dulu ke pasar.” Ruli sesekali menyapa murid lain yang berpapasan dengan mereka disepanjang koridor menuju kelas XI IPA-5, kelas mereka.
“Nyak nggak ke pasar, semalem udeh belanja banyak, dia lagi banyak pesenan katering. Jadi libur dulu dagangnye Li.” Nyak nya Melia adalah seorang pedagang nasi uduk betawi paling tersohor se pasar ditempatnya tinggal. Selain menjual nasi uduk, Nyak juga menjual berbagai jajanan pasar yang dititipkan ke beberapa pedagang pasar tempat Nyak jualan. Selain itu, Nyak jago masak hampir semua masakan tradisional Indonesia, jadi dia punya katering yang hanya akan buka pesenan tiga kali seminggu, kecuali ada yang pesan banyak, hari apa aja oke asal menghasilkan cuan.
“Terus bekel buat gue kagak ada dong Mel?” seru Ruli.
“Nih bekel lu, spesial bukan nasi uduk. Isinya ayam kecap paha dua, bukan dada, soalnya kalo dada ada pentilnya nanti bahaya keluar susu.” Melia memberikan satu bagian dari rantang susun miliknya yang memang dikhususkan oleh Nyak untuk Ruli.
“Masih pagi Mel, yang waras aja ape kalo ngomong.”
Melia hanya berdeham, lalu mengeluarkan headset dari saku roknya. Masih ada waktu sebelum upacara bendera, dia ingin merilekskan otot sarafnya dulu.
Sebuah lagu dari penyanyi kondang negeri ini terputar di playlist Melia.
“Jangan berhenti mencintaiku, meski mentari berhenti bersinar.” Ramelia merapalkan kata-kata itu dalam hati, seperti sebuah doa yang selalu dia panjatkan. Seperti sebuah mantra yang seolah menenangkannya.
☀️☀️☀️
Baru saja bel istirahat kedua berbunyi nyaring, murid-murid berhamburan keluar kelas dengan excited. Apalagi kelas mereka yang baru saja selesai dengan pelajaran kimia yang susahnya sampai membuat rambut Ulie jadi mengembang, pusing.
“Mel, lo tau si Hanin gak? Anak EC yang lagi deket sama Alif ketua basket baru.”
Melia menggeleng sambil menyedot teteh sri rasa mawar—karena kalo melati semuanya indah—dengan serius, dan lagipula dia nggak kenal dengan nama yang disebutkan oleh Ulie. Fyi, hampir setahun sekolah disini yang Melia kenal sepertinya tidak sampai dua puluh orang. “Siapa itu? Gue nggak kenal.”
Mata Ulie melotot, perempuan berambut sebahu itu berdecak gemas, “Gila, lu pindah kesini udah mau setaon cuy. Masa iya nggak tau Hanin? Alif? Fix, lu keterbelakangan!” Ulie duduk dibangku taman belakang sekolah yang dinaungi pohon beringin besar, bikin adem. “Lu selama disini kenal ama siapa aja coba? Pengen tau gue.”
Melia terdiam sebentar, berpikir, lalu tersenyum bodoh, “Ruliane, Ulie, Cecilia, Hutabarat.”
Ulie langsung mengamuk, dia memukul bahu Melia dengan kesal, “Blok, goblok, Ramelia bloon. Itu nama gue semua, Ruliane Cecilia Hutabarat. Allah Bapa di sorga, salah apa anakmu ini punya temen macam bodoh begini. Bodat!”
Melia malah terbahak-bahak melihat sahabatnya kesal sampai begitu. Dia meredakan tawanya saat Ulie menatapnya kejam, “Gue kenal ketua kelas kita, Mario, bendahara kelas Gita, wali kelas kita, bu Retno, ketua osis kita, Ferdian, guru BK, bu Tiwi, hmm… siapa lagi ya? Bentar gue lupa, oh iya ketua MPK kita si Agnia anak kelas kita itu.” Melihat respon Ulie yang makin menatapnya bengis membuat Melia mengkerut, “Kenapa? Gue salah ya?”
“Makin bodohnya dia, ampun. Ferdian itu udah kelas dua belas, udah sertijab kemarin, butanya telinga mu hah? Kau kan juga lihat pas senin bulan lalu mereka sertijab tuh. Bengak benar kau, bikin malu aku aja kau ini.” Ciri khas sahabatnya itu kalau marah pasti logat ibunya keluar.
“Masa sih? Gue nggak inget ah pernah liat sertijab nya." Melia menatap Ulie polos, makin membuat Ulie gemas dan emosi dengan sahabatnya itu yang kelewat tidak peduli dengan sekitarnya. Luar biasa Ramelia ini.
“Makanya kau kalau punya mata itu digunakanlah, jangan kau liat buku aja sama liat si siapa itu yang maen pilem dokter strenjer? Gak tau pula aku nama dia siapa, belom kenalan. Jangan lah kau cuek kali jadi manusia ni Mel, bersosialisasi itu perlu.”
“Bukan Doctor Stranger Lie, tapi Stranger Things, namanya Noah. Tapi bukan Ariel, itu peterpan.” Melia membetulkan ucapan Ulie yang salah, “Lagian gue juga bersosialisasi kok ame lu, ama Nyak, kadang juga nanya ama guru. Salahnya dimanee dong?”
Ulie mendengus keras, sambil tangannya seperti ingin meremukkan Melia didepan wajahnya, sedangkan tersangka pembuat kekesalannya malah cengengesan. “Panjangkan sabarku menghadapi ujian ini, Tuhan.”
Melia makin ngakak. Inilah menyenangkannya berteman dengan Ulie, membuatnya marah adalah hiburan karena Ulie itu sangat ekspresif berbeda dengan dirinya yang terkadang pasif. Hanya dengan Ulie, Nyak dan Abah, Melia bisa merasa bersikap nyaman. Dengan orang lain, dia tidak merasa perlu.
“Mel, noh lu liat, kenal gak lu ama dia? Kalo nggak kenal mah parah.” Tiba-tiba Ulie memaksanya melihat kearah yang ditunjuk oleh perempuan itu.
Melia mengerutkan kening, dia tidak kenal dengan orang yang Ulie tunjuk itu, tapi cukup sering melihatnya selama dia sekolah disini. Cowok itu terlalu menonjol untuk dilewatkan. “Tau dia, tapi nggak tau namanya. Sering liat sih.”
Ulie menoyor pelan bahu Melia, “Ketua osis baru, ketua tim Futsal sekolah juga. Selain itu, dia atlet renang sekolah kita yang berhasil juara tingkat nasional. Otaknya encer, juga loh. Dia peringkat kelima paralel disekolah.”
“Wow, amazing!” Seru Melia namun wajahnya biasa saja seperti tidak se-amazing pujian yang terlontar dari mulutnya.
“Ck elah, lu mah.” Gerutu Ulie, “Namanya itu, lu inget-inget nih yak mana tau kedepannya lu nggak sengaja ada kegiatan atau keperluan bareng dia, Guntara Rhummer Usman. Bagus ya namanya?” Ulie tersenyum sendiri.
“Hmm. Naksir lu ama dia?” Tanya Melia langsung pada Ulie yang gelagapan.
“Nggaklah gila aja lu, bisa dicoret dari jatah warisan gue kalo suka ama dia. Walaupun se-aamiin, tapi tidak seiman untuk apa?”
“Yah elah. Banyak kali yang tidak se-iman tapi amin amin barengan. Di instajram noh banyak.”
“No! Cinta menye-menye gak bikin kenyang, harta opung gue lebih bikin senang.”
“Iyah aja dah.”
“Udah ayok balik kelas.”
“Gas ngenggg…” Mereka berdua terkekeh bersama.
☀️☀️☀️
Sepulang sekolah Melia langsung pulang karena tidak ada kegiatan apapun dihari itu yang harus dia ikuti, sedang sahabatnya ada latihan cheerleaders. Sungguh ketimpangan sosial yang nyata bukan? Ulie yang sangat aktif justru bersahabat baik dengan Melia yang cenderung pendiam dan cuek akan sekitar.
Dia memilih jalan ke belakang sekolah menuju gerbang belakang, disana lebih mudah mendapat akses angkutan umum. Tidak jauh dari gerbang belakang tempatnya menunggu angkot, Melia melihat dia, cowok yang kata Ulie adalah ketos sekolahnya sedangkan berbicara dengan seorang pria yang kelihatannya seorang mahasiswa, jika dilihat dari gaya berpakaiannya. Mereka tampak berbicara serius, namun Melia enggan memperhatikan lebih lanjut. Itu bukan urusannya.
Tak lama angkot pun datang dan Melia memberi kode agar angkot itu berhenti. Setelah dia naik dan dapat duduk yang nyaman, tiba-tiba cowok yang berbicara dengan ketosnya itu memukul pelan badan angkot, isyarat ingin naik.
“Bang, tunggu bang.” Katanya dengan suara serak. Melia berusaha bersikap biasa saja, namun ketika dia tidak sengaja bertataapan dengan cowok itu, dia merasa terganggu dengan ekspresi dan mimik wajah yang kini duduk didepannya.
Dia mengerutkan kening, tidak nyaman. Akhirnya sepanjang perjalanan sampai akhirnya cowok itu turun di lokasi yang lagi-lagi membuatnya mengerutkan kening. Sebuah asumsi terlintas dibenaknya, namun buru-buru dienyahkan, tidak baik berasumsi disaat kita tidak tahu apapun.
Tapi, yang mengganggu Melia adalah, kenapa si ketos nya itu mengobrol bahkan sampai memberi uang pada cowok barusan? Mereka teman?
Tapi kenapa dengan orang itu…
Melia berdecak kesal dengan pikirannya yang merasa perlu tau, dia sudah lama membuang rasa peduli dan keingintauannya tentang sesuatu diluar hal yang memang penting untuknya.
Dan si Amer, ketosnya itu tidaklah penting sampai harus dia pikirkan dengan serius.
Namanya benarkan Amer?
☀️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
