Warkop SM - Lee Dong Wook

3
0
Deskripsi

hello jangan lupa baca fake chat dan fake tweet sebelum masuk ke chapter ini yahh! scroll aja threadnya.

 

also… i would like to get some likes and comments too! so feel free to dropped it! anw happy reading! ☺️ 

Chapter 3 - Lee Dong Wook


 

Kak Jo: Hari ini interviewnya jam berapa?

Syabin: Infonya sih jam setengah dua, kak

Kak Jo: Good luck, ya. Nggak usah nervous, lo pasti bisa! 😁

Kak Jo: Sori banget nggak bisa nganterin. Soalnya ada bimbingan🥲

Syabin: It’s okay, kak

Syabin: Doanya aja juga udah cukup☺️

Kak Jo: Always kalo itu😊

Syabin: Thanks😇


 

 

Syabin mematikan daya ponselnya begitu kereta yang ditumpanginya berhenti di stasiun Sudirman, sebab itu berarti tinggal dua stasiun lagi sampai ia tiba di stasiun tujuannya yakni Tanah Abang. Berhubung Syabin naik kereta di siang hari, kondisi kereta tidak sepadat jam-jam sibuk. Saat ini saja Syabin bisa duduk dengan leluasa di gerbong yang berisi kurang dari sepuluh orang. Lain ceritanya jika dia positif diterima dan mesti pulang-pergi Bogor-Jakarta atau Depok-Jakarta setiap rush hours. Kereta pasti akan sesak sehingga bisa berpijak pun masih sangat untung.

Kepala Syabin menoleh pada jendela kereta di sebelahnya. Dihelanya napas agar tegang yang mulai merambat di tubuhnya bisa mereda. Karena terlalu banyak hal yang ia kerjakan, gugup itu baru terasa sekarang.

“Lupain dulu soal rumah. I need to get this job, so I shall focus.” Syabin mengingatkan dirinya sendiri.

Sebelum berangkat menuju kantor Om Mirza, perempuan itu memang sempat pulang ke rumah untuk mengambil dokumen-dokumen pendukung macam ijazah SMA dan transkrip nilainya. Harusnya itu bukan suatu kegiatan yang luarbiasa, tapi Syabin tidak menyangka pulang ke rumah ternyata bisa terasa begitu melelahkan. Apalagi ketika keheningan dan hidangan basi di meja makan menyambut kehadirannya. Hati Syabin mencelus saat kepalanya teringat bahwa seharusnya hidangan itu tersaji buat merayakan kepulangan abangnya alih-alih menjadi pertanda dimulainya kehancuran keluarga.

Syabin selalu tahu keluarganya memang jauh dari kata cemara, tapi tetap saja melihat kehancuran yang dampaknya sebegini besar itu mengguncangnya. Bohong jika Syabin tidak merasa sedih dan terluka. Tapi seperti yang dikatakan Tante Suri, Syabin tidak boleh terlalu lama goyah. Tidak boleh berlarut-larut. Tidak boleh banyak-banyak membuang air mata, apalagi menunjukkan tanda-tanda putus asa. Jadi lagi-lagi, dia berakhir dengan berusaha untuk mengenyampingkan perasaannya.

Saat ini, cuma Syabin yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri—dan mungkin keluarga jika kondisinya sendiri sudah sedikit lebih stabil. Menyalahkan abang dan merutuki keadaan tidak akan ada gunanya. Percuma berandai-andai kalau saja semua ini tidak terjadi, kalau saja abang tidak brengsek, ataupun kalau saja orangtuanya bisa jauh lebih tegas kepada anak laki-laki mereka… sebab nyatanya semua sudah terjadi. Abangnya memang brengsek dan orangtuanya tidak bisa menarik kembali didikan mereka yang terlalu memanjakan anak laki-laki mereka itu. Waktu tidak bisa diputar kembali, jadi langkah paling konkret yang harus diambil saat ini memang fokus kepada solusi.

Syabin dituntut untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini dan semoga saja,  kesempatan bekerja ini akan menjadi pembuka bagi langkah awal Syabin sampai kemudian dia bisa berlari.

“You got this. You can nailed it like how you nailed every single problem in your life. You’ll survive anyway.” Syabin mencoba menyuntikkan semangat secara mandiri. Diembuskannya napas kasar, seolah dengan begitu semua hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan interview bisa ikut keluar.

Dua hari ini, Syabin berusaha melakukan apa yang Om Mirza suruh—yakni membaca-baca artikel dan informasi mengenai dunia forwarding dan bagaimana kebijakan ekspor impor secara umum. Syabin juga membuka web perusahaan untuk mempelajari seluk-beluk perusahaan dan jasa apa saja yang ditawarkan. Ada banyak hal yang ia catat di buku tulisnya karena fokusnya sering hilang-hilangan, jadi ia mengingatkan dirinya sendiri untuk membaca ulang catatannya sekali lagi nanti. Syukur-syukur bisa sekalian membunuh waktu sambil menunggu giliran interview.

“Harusnya sih dari Stasiun Tanah Abang cuma naik Jaklingko sekali dan turun di pemberhentian ketiga….” Syabin menggumam manakala dia berhasil keluar dari Stasiun Tanah Abang. Seperti yang dia ingat, Stasiun satu ini memang selalu sibuk. Ada banyak kendaraan umum terparkir dan begitu pula angkutan kota yang sekarang sebagian tergabung dengan sistem Jaklingko. Begitu pula pedagang kaki lima yang berderet persis di luar gerbang.

Syabin mengetatkan ranselnya yang lumayan berat, kemudian berjalan menuruni tangga ke halte Jaklingko. Sebenarnya dokumen di ranselnya tidak banyak, namun baju yang ia bawa cukup memakan tempat. Ah, ya, Tante Suri mengundangnya buat menginap. Mungkin kasihan karena Syabin sendirian. Ibu masih menemani Bapak di rumah sakit dan abang tidak jelas keberadaannya, sementara orang-orang masih berdatangan untuk meminta tanggung jawab. Rumah Tante Suri dan Om Mirza sendiri memang terletak di perumahan yang sama dengan lokasi ruko kantor, jadi Syabin bisa berjalan kaki kesana setelah selesai interview.

Syabin pernah beberapa kali main ke rumah Tante Suri, tapi terakhir kali dia berkunjung itu sudah dua tahun yang lalu. Ingatan Syabin agak samar sehingga dia sengaja memilih tempat duduk di belakang sopir supaya bisa memerhatikan kondisi jalan.

Beberapa lokasi sudah berubah, tapi Syabin ingat keberadaan taman kecil yang penuh oleh kumpulan pedagang kaki lima. Ia pernah membeli jasuke di sana—yang akhirnya malah membuat dirinya dan Abang ribut karena Syabin cuma membeli satu.

“Syabin, bagi dua dengan Abang, dong. Jangan pelit. Harus sama-sama. Kalau punya sesuatu itu harus ingat sama saudara.”

Syabin ingat Ibu menitahnya untuk berbagi, tetapi ia bersikukuh tidak mau membagi. Jasuke itu miliknya. Dia yang berjalan kaki ke taman dengan Camelia dan Agatha, anak Tante Suri. Jasuke itu juga dibeli dengan uang jajannya sendiri. Jadi menurutnya, Abang tidak punya hak buat ikut makan dan ia juga tidak punya kewajiban buat berbagi.

Keributan itu makin meledak manakala Abang merebut paksa jasuke itu dan Syabin tidak kuasa mempertahankan. Akhirnya sudah bisa ditebak, tangis Syabin pecah. Ia tidak tahu kenapa dirinya bisa sekesal itu. Tapi yang jelas, setiap kali Ibu mencubitnya agar tangisnya berhenti, Syabin malah melakukan hal yang sebaliknya. Ia menjerit lebih keras. Seolah-olah insting mendorongnya untuk melakukan sesuatu demi mempertahankan apa yang menjadi miliknya, karena cuma dia yang bisa. Hanya dia seorang. Ibu dan Bapak tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan melindungi kepunyaannya. Akhirnya, Om Mirza mengalah dan pergi dengan motornya buat membelikan Syabin jasuke yang baru.

Tapi Syabin ingat, ia tidak begitu senang saat menerima jasuke yang baru.

“Ini tamannya….” Syabin menggumam saat taman itu terlewati. Itu berarti dia hanya perlu turun di pemberhentian selanjutnya. Dari pemberhentian Jaklingko, Syabin tinggal menyebrang dan masuk saja ke gang sebuah perumahan. Akan ada warung kopi di mulut gang, dan lokasi kantor berada dua rumah dari warung kopi tersebut.

“Depan kiri ya, Pak.”

Syabin menempelkan kartu e-money-nya di mesin sebelum mobil benar-benar berhenti. Setelahnya, ia mengucap terimakasih kepada Pak Sopir dan bergegas turun.

Matahari bersinar dengan sangat terik sehingga Syabin mesti mengangkat tangannya untuk menghalau sengatan panas di wajahnya. Dengan separuh wajah yang tertutup, matanya mengintip bangunan kecil dengan tirai kain yang terbuka setengah.

“Warkop SM…,” kata Syabin sesampainya di seberang jalan. “Kayaknya ini warkop yang dibilang Om Mirza.”

Kepala Syabin mulai celingak-celinguk guna memastikan bahwa dirinya berada di jalan yang benar. Jika kantor berada dua rumah dari warkop, maka seharusnya ia sudah sampai. Namun entah mengapa bukannya lega, Syabin malah jadi khawatir. Sebab penampakan kantor yang ada di hadapannya sangat jauh berbeda dengan apa yang ia bayangkan. Di web perusahaan memang tidak ada foto bagian depan kantor, hanya ada foto resepsionis yang kelihatan rapi dan berkelas. Jadi Syabin membayangkan bentuk bangunan kantor juga akan seperti itu. Bukan seperti gedung yang ada di hadapannya ini….

“Ada perlu apa, Dek?”

Syabin nyaris terlonjak manakala satu suara datang menegurnya. Perempuan itu mundur selangkah. Dipandanginya seorang lelaki berambut gondrong pirang yang barusan menegurnya itu. Ia mengenakan seragam, dan logo yang terbordir di kemejanya menuliskan nama perusahaan dengan jelas yakni Terus Maju logistik.

“Ini kantor Terus Maju Logistik, benar?” tanya Syabin sedikit gugup. Ia menurunkan tangannya dari wajah agar bisa leluasa melihat orang itu.

“Benar. Ada perlu apa, ya?”

“Eh… ini, Pak. Saya mau interview.”

“Oh… keponakannya Pak Mirza.” Kalimat itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Siapapun laki-laki gondrong pirang ini pastilah sudah tahu kabar bahwa keponakan direktur mereka bakal interview hari ini. “Masuk aja, Dek. Tunggu di dalem. Orang-orangnya lagi pada istirahat, ada yang solat jumat juga. Kalau hari jumat istirahatnya emang panjang.”

“Oh… gitu?”

“Iya. Duduk aja dulu. Di dalam ada ruang tunggu, kok.”

“O-ke… makasih, Pak.”

“Sama-sama.”

Maka dengan ragu-ragu, Syabin pun melangkah masuk ke gerbang kantor tersebut. Bukannya Syabin ingin meremehkan kantor ini, tapi sumpah, deh, penampakan gedungnya sangat tidak meyakinkan. Alih-alih head office suatu perusahaan yang maju, kantor ini dari depan lebih mirip seperti bengkel tambal ban. Mungkin karena bentuknya benar-benar seperti rumah, ya. Pagarnya menempel dengan teras dan ada banyak motor terparkir di sana. Belum lagi ada kerat-kerat kayu yang sepertinya bekas packing suatu barang. Kalau bukan karena Om-nya yang mengarahkan, Syabin mungkin bakal berpikir ia hendak kena penipuan. Saat ini banyak sekali modus penerimaan karyawan baru yang berujung pada penculikan, dan Syabin membayangkan kantor ini bisa jadi lokasi paling pas untuk skenario itu.

“Permisi….”

Seperti instruksi laki-laki tadi, Syabin pun akhirnya masuk. Untungnya, kondisi di dalam persis seperti foto yang Syabin lihat di web. Hanya saja lampunya tidak seterang di foto. Beberapa ruangan dimatikan, begitu pula AC. Syabin belum pernah masuk kantor selain kantor bank, kantor guru, kantor kepala sekolah, kantor dosen, dan kantor administrasi di kampus, jadi dia tidak begitu familier dengan pengiritan listrik macam ini. Mungkin seperti itu karena sedang jam istirahat. Atau memang aslinya seperti itu?

Berhubung di lobby itu tidak ada orang lain selain Syabin, perempuan itu pun langsung berderap ke meja resepsionis. Menurut Om Mirza, ia hanya perlu memberitahukan kedatangannya kepada resepsionis bernama Tania supaya info itu bisa diteruskan kepada Bu Ira, orang yang akan meng-interview dirinya.

“Selamat siang….”

“Hm?”

Lagi-lagi, Syabin mesti dibuat bingung karena bukan perempuan yang berada di balik meja resepsionis itu—melainkan laki-laki sipit berkacamata yang saat ini tengah sibuk mengunyah stik nyam-nyam. Satu tangannya memegang ponsel dan Syabin bisa melihat dia tengah memainkan game candy crush sambil mendorong push up notification yang masuk. Untuk sepersekian detik, Syabin merasa menyesal karena mungkin sudah mengganggu. Tapi untungnya laki-laki itu membuang fokusnya dari candy crush dan memutuskan untuk meladeninya, “Selamat siang.”

Laki-laki itu berdiri dan betapa terkejutnya Syabin karena berbanding terbalik dengan wajahnya yang kecil, dia ternyata memiliki tinggi yang menjulang. Syabin mendadak jadi merasa kecil di hadapannya. Ia terlongo sebentar sebelum laki-laki itu melanjutkan, “Cari siapa, Mbak?”

“Sori… gue—saya Syabin,” jawab Syabin ketika dirinya berhasil menemukan suaranya. Ia mencoba berbicara dengan professional. “Saya kesini mau ada interview dengan Bu Ira. Kata Pak Mirza, saya harus info ke Tania kalau sudah datang.”

“Oh, keponakan Pak Mirza.” Laki-laki itu menggumam. Sama seperti sebelumnya, kalimat itu merupakan pernyataan. “Duduk aja dulu. Orang-orang di sini lagi pada istirahat. Paling balik jam setengah dua. Bu Ira sih kayaknya ada di atas, tapi kan ini masih jam istirahat.”

Kening Syabin mengernyit samar karena sudah dua orang langsung tahu siapa dirinya ketika dia bilang dia ada agenda interview. Mau tidak mau benaknya jadi berpikir jangan-jangan seluruh karyawan memang sudah tahu.

Apa Om Mirza sudah melakukan deklarasi sebelumnya, ya?

Tapi kenapa?

Syabin jadi merasa dirinya seperti nepobaby betulan… padahal belum tentu juga dia diterima, namun semua orang sudah tahu dia mendapatkan privilej.

“Oke… Kak—eh, Mas.”

Mengenyampingkan intrusive thoughts-nya untuk bertanya kenapa laki-laki itu tahu siapa dirinya, Syabin pun berderap menuju bangku panjang di depan meja resepsionis. Tanpa diduga-duga, laki-laki itu ternyata membuntutinya. Ia berderap persis di belakang Syabin dengan ritme langkah yang sama. Syabin mau tidak mau jadi berpikir apa dia sedang menerima keistimewaan lain karena dia adalah keponakan bos di sini? Sebab masa untuk duduk di bangku tunggu yang jaraknya tidak ada tiga meter saja dia mesti diantar segala?

“Ehm… Mas. Kayaknya nggak perlu dianterin, deh. Bisa sendiri, kok. Hehe…,” ungkap Syabin dengan canggung.

Di luar dugaan, laki-laki itu membalas, “Iya, tahu.”

Kening Syabin berjengit. Senyumnya mulai kaku. “Terus kenapa Mas ngikutin saya?”

“Maksudnya?”

“Ini.” Syabin menunjuk laki-laki itu dari atas ke bawah. “Mas lagi ngikutin saya, kan? Mau anter saya ke bangku situ?”

“Hah?” Laki-laki itu memandang Syabin dengan tatapan bingung luar biasa. “Siapa bilang gue ngikutin lo?”

“Buktinya Mas bangun dari kursi terus ini—“

“Gue bangun karena mau ngambil pesanan grabfood. Tuh, udah di depan abangnya,” potong laki-laki itu sambil menunjuk jendela. “Ni lobby sempit, makanya gue jalan di belakang lo. Mau ngeduluin nggak enak.”

“Oh-OH!” Syabin refleks ber-Oh ria sembari menoleh ke arah yang ditunjuk oleh laki-laki tersebut. Benar saja, seorang ojol berseragam hijau sudah menunggu di depan gerbang. Ada bungkusan plastik berwarna putih yang tergantung di dekat stang motornya.

Pipi Syabin memanas. Tengsin…

“Sori. Sori. Saya kira Mas mau nganterin saya duduk,” ucap Syabin. Ia malu luar biasa. “Silakan kalo gitu. Maaf kalo saya ngalangin, hehe…”

Laki-laki itu cuma mengernyit tipis sebelum membuka pintu dan berjalan keluar, bikin Syabin refleks menampar pelan pipinya sendiri karena sudah kepedean. Saking tidak maunya dia menerima privilej ala nepobaby, ia sampai mengira dikira diperlakukan terlampau baik karena orang-orang ingin cari muka. Dia lupa sekarang jam istirahat dan selazimnya jam istirahat, semua orang pasti menggunakannya untuk istirahat dan makan. Termasuk laki-laki itu. Pasti ada alasan kenapa dia menetap di kantor sementara karyawan lain sepertinya sudah bubar—dan alasannya adalah ia sudah memesan makanan secara daring.

“Bodoh banget, Syabin. Lo udah melakukan sesuatu yang nggak perlu….” Syabin meringis. Dia sudah cukup nervous karena hendak interview, tapi sekarang malah harus ketambahan menanggung malu. Kalau laki-laki itu kembali ke meja resepsionis dan makan di sana, tamat lah riwayat Syabin. Pasti bakal canggung bukan main. “Gue baca notes aja, deh. Pura-pura fokus supaya nggak perlu interaksi sama mas-mas itu.”

Tidak sampai satu menit kemudian, laki-laki itu sudah kembali masuk ke lobby. Dalam sekejap, aroma pisang goreng gula cokelat merebak masuk ke indera penciuman Syabin.

“Makan, Mbak,” kata laki-laki itu.

“Iya, Mas. Silakan.” Syabin menjawab dengan kepala tertunduk. Pura-pura sibuk dengan catatannya.

Karena sibuk menunduk itu pula lah, Syabin tidak melihat kalau laki-laki itu sudah membuka kotak berisi pisang goreng dan menyodorkan kotak itu ke dekat Syabin. “Maksud gue, ini gue nawarin lo makan beneran.”

“Eh?”

“Mau, nggak?”

Syabin mengerjap karena tiba-tiba saja disuguhi pisang goreng. Ia kira laki-laki itu cuma berbasa-basi. Formalitas orang Indonesia setiap makan kan memang menawari orang di sekitarnya makanan. Karena bingung mesti bagaimana, akhirnya Syabin mengambil satu. “Makasih….”

Laki-laki itu cuma menggumam samar sambil mencomot satu pisang dan memasukkannya ke mulut, bikin pipinya langsung melembung seperti kemasukkan bakso. Agaknya ia hendak kembali ke meja resepsionis, tapi satu suara dari arah dalam menghentikannya.

“Heh, Juju, jajan apa lo?”

“Pisang goreng, Mbak. Mau?” Laki-laki yang dipanggil Juju itu langsung menyodorkan kotak di tangannya pada siapapun perempuan yang datang dari arah dalam.

“Makan manis mulu, ntar diabetes lo. Bagi sini satu.” Perempuan itu merespon sambil mendekat. Dia mencomot pisang goreng dari kotak dan melanjutkan, “makan siang tuh nasi, Ju. Jangan jajan manis. Kayak anak gue lo, makanin cokelat mulu. Ntar lagi juga bolong tuh giginya.”

“Belom lapar, Mbak.” Juju menjawab tidak acuh. “Oh iya, Mbak hari ini ada jadwal interview, kan? Tuh, orangnya udah dateng.”

“Mana—OH, ini keponakannya Pak Mirza, ya?”

Mendadak dilibatkan seperti itu membuat Syabin menegang. Ia buru-buru bangkit untuk mengenalkan diri. “Saya Syabin, Bu.”

“Gue Ira,” sahut perempuan bernama Ira itu dengan santai. Tapi entah mengapa, sorot matanya jauh dari kata santai, sebab tatapannya tampak seperti sedang melakukan scanning alias memindai Syabin habis-habisan. “Duduk aja. Nanti kita interview jam dua, ya.”

Bu Ira tersenyum, tapi entah mengapa Syabin mendapat kesan kalau interviewnya beberapa menit lagi tidak akan berjalan mudah.



 

*



 

“Psst! Pssst! Mas Juju!”

Langkah Juno belum juga memijak anak tangga terakhir ketika telinganya mendengar panggilan dari Pina. Divisi Pricing memang belum punya ruangan sendiri, jadi tempat kerja Pina berada tepat di samping tangga pada lantai 4. Cuma ada  meja yang dikelilingi kubikel setengah badan sehingga mudah saja bagi perempuan itu untuk mengetahui siapapun yang lewat. Ia hanya perlu menyembulkan kepala tanpa harus keluar dari kubikel. Dan benar saja, saat Juno menengadah, matanya sudah disuguhi kepala Pina yang cuma kelihatan setengah. Kedua tangannya memegang tepi kubikel macam meerkat yang sedang antusias.

“Gimana di bawah? Lo denger apa aja?” lanjut Pina. “Gosip, dong!”

“Istigfar, Pin. Kerja. Malah minta gosip,” balas Juno sambil pura-pura menggelengkan kepala. “Mentang-mentang si Babeh di bawah.”

“Halah. Pelit lu Mas Juju.” Pina mencebik. “Padahal lo ini mau ke ruangan anak SM, kan? Di sana juga pasti lo diminta buat ngespill. Liat aja tuh mereka nggak ada yang duduk di meja kerja masing-masing. Malah berembuk di pojokan. Ke gue dulu, lah. Kita kan sohib. Besok kalo lo nitip nyam-nyam gue bonusin beng-beng, deh!”

“Dih? Nyogok.”

“Atuhlah, Mas. Gue penasaran! Tapi gue lagi nunggu telepon dari si Bella. Ntar kalo gue ikut lo ke SM, si Bella ngoceh-ngoceh. Kan lo tau sendiri tu orang ribetnya kayak apa.”

“Masalah apaan, sih? Yang pengiriman laptop itu?”

“Iya!” Pina berseru. “Lo tahu lah Pak Adnan. Udah berpuluh-puluh tahun pengalaman kerja masih aje salah. Padahal gue udah ngasih note untuk laptop ini harusnya bisa masuk ke general cargo karena UN numbernya comply dengan UN number sekian-sekian. Bukan DG. Eh dia kagak nulis di Air Waybill-nya. Ya orang gudang airlines kagak tau. Ditolak lah tu barang. Kacau emang Pak Adnan. Pasti nanti abis dikeramas Bella gue kena juga sama Babeh.”

“Masukin monthly meeting, lah. Print email-email-an lo sama Pak Adnan. Jangan mau disalahin,” komentar Juno. Pina ini sebenarnya sudah hampir satu tahun bekerja di sini, tapi karena dia masih muda jadi sering kena semprot. Kalau tidak karena modal mental sekuat baja, pasti Pina sudah resign di masa probation.

“Itu dia masalahnya, Mas!” Pina cemberut. “Gue info ke Pak Adnan di Whatsapp, bukan di email.”

“Yah… wasalam aja, Pin. Lo sendiri yang gali kuburan lo kalo begitu.” Juno berkata prihatin. Semua orang di Terus Maju Logistik juga paham bagaimana karakter Babeh atau Pak Botak atau Pak Mirza yang terkenal galak itu. Semua harus based on data dan bukti. Maka dari itu, email adalah hal yang krusial. Ketahuan menggunakan media lain selain email? Sekalipun lo jujur dan benar, lo akan tetap terkena damprat. “Dah, lah. Gue mau ke SM dulu. Internet lantai 2 bermasalah. Anak-anak pada nggak bisa akses Cargo Wise.”

“Ih, Mas Jujuuu! Gue mau tau gosip jugaaa. Nanti apdet yaa kalo dah kelar di SM???”

“Ogah.”

“Ya elah, Mas Jujuuu! Pelit banget males.”

“Memang.” Juno membuka pintu di sebelah kanan—pintu yang mengarah pada toilet, musholla, dan ruangan SM. Tidak dipedulikannya Pina yang mengancamnya ini itu. Ia melangkah masuk karena persoalan internet di lantai 2 lebih penting. Namun seperti informasi dari Pina, anak-anak SM betulan tidak ada yang duduk di meja kerja masing-masing. Alih-alih, mereka duduk berdempetan di pojok ruangan—seolah tengah berembuk tentang hal penting.

“Nah, ini dia bintang utamanya udah dateng!” Banyu yang kedapatan berkontak mata dengan Juno langsung menepuk tangan, bikin kepala-kepala yang tadinya menatap satu sama lain jadi berpaling ke arah Juno.

“WAH! KEBENERAN BANGET, NIH! JU, SINI DULU JU!” Pak Surya ikut semangat.

“Kursi panas menanti lo, Ju!” Yang ini kata Julia. “Sini! Sini!”

Telapak tangan Juno bahkan belum lepas dari kenop pintu saat telingannya diberondongi oleh suara-suara itu. Wajah mereka yang sebelumnya harap-harap cemas langsung semringah, seolah-olah Juju adalah oasis yang muncul di tengah padang pasir. Sudah pasti mereka tahu Juno berada di ruang meeting bersama Bu Ira dan calon kandidat karyawan SM, dan sudah tentu mereka ingin sedikit bocoran mengenai apa yang terjadi di ruangan itu. Seakan-akan apapun yang terjadi di sana akan menentukan nasib mereka di masa depan.

“Apa, sih? Pada heboh banget….”

“Eh, Juju, lo nggak usah sok chill di depan kita semua, ya!” Pak Surya bereaksi. “Kasih tahu aja di bawah tadi gimana. Kita ni lagi ketar-ketir semua, tau lo?”

“Iya, Ju. Plis info. Tadi di dalam gimana? Bu Ira gimana ke anak itu?” Feby menimpali. “Auranya positif, kah? Atau sebaliknya?”

“Kayaknya sih diterima,” jawab Juno apa adanya. Dia santai saja melenggang masuk dan berjalan ke meja server. “Tadi obrolan Bu Ira sama keponakan Pak Mirza kayak seru banget.”

“Hah? KOK BISA?” Julia langsung menyerobot mendekati Juno. Matanya membola karena shock. “Ceritain, Ju! CERITAIN SELENGKAP-LENGKAPNYA!!!”

“Duduk dulu nih, Mas Juju. Minum dulu minum.” Danen berinisiatif menggeser kursi ke tengah-tengah ruangan dan menawarkan Juno sebotol air mineral. “Kasihan loh Mas Juju capek naik ke lantai empat. Kalian jangan terlalu bar-bar gitu lah.”

“Nggak usah sok berbudi luhur lo ya, Bocil. Kan lo yang ngasih tau kita kudu mengorek info dari si Juju karena dia ada di ruang meeting bareng Madam dan keponakannya si botak!” Feby nyeletuk. “Buruan spill deh, Ju. Gue mau ngedraft SIR, nih.”

“Napas dulu si Jujunya, Anjir!” Banyu berkomentar. “Tenang, Ju. Gue belain.”

“Halah. Bilang aja lu abis ini mau info lebih dari Juju, kan? Emang gue nggak denger lu ngomong keponakannya Si Botak lumayan?” Julia ngegas. “Gue laporin Sinta, loh!”

“Eh—jangan fitnah lo ya, Juleha! Orang gue nggak ada maksud apa-apa, kok.” Banyu mengelak lalu mengedip kepada Juno. “Iya, kan? Ju?”

“Bohong bisulan.”

“Dih? Kampung banget cara main lo sumpah-sumpahan.”

“Bisulan, fix.”

“Heh. Lo semua bisa diem, nggak?” Pak Sur angkat bicara. “Fokus! Kita butuh info dari Juju. Jangan pada ribet sendiri! Jadi gimana, Ju? Kasih tahu jelasnya gimana.”

“Jelas macam apa? Gue udah keluar sebelum ada keputusan apa-apa.” Juno menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia berada di ruang meeting tidak terlalu lama. Cuma sekitar dua puluh menit untuk memperbaiki proyektor yang ngadat. “Gue kudu ceritain apa? Obrolannya… gue nggak ngerti. Tapi ya… mereka kelihatan cocok.”

“Cocok gimana?” tekan Julia.

“Ya nyambung aja gitu. Bu Ira ngomong apa, Syabin antusias. Syabin ngomong apa, Bu Ira jauh lebih antusias.”

“Syabin, Syabin… kenal tuh lo langsung sebut-sebut nama,” komentar Feby.

“Lah dia ngenalin diri?”

“Masa. Kok ke gue nggak?” Banyu cemberut.

“Ni laki bener-bener nggak ada kapoknya, ya? Gue doain Sinta mergokin lu kalo lu lagi genit.” Julia geleng-geleng, lalu lanjut mengembalikan kepala kepada Juno. “Terus, terus gimana? Udah selesai belum interviewnya?”

“Pas gue cabut sih belum.” Juno mengangkat bahu. “Lagi seru banget mereka sampe ketawa-tawa heboh.”

“Masa sih bisa ngobrol dengan seru?” Pak Sur kelihatan ragu. “Bebep nggak mungkin menghianati kita semua. Obrolan apa coba yang bisa meluluhkan hati Bebep? Sebelumnya dia bilang ke gue bakal ngetes tu anak dengan kejam, loh.”

“Iya, bener. Jangan bohong lo, Ju.”

“Yah… terserah mau percaya atau nggak. Intinya sih di mata gue mereka cocok, dan kayaknya Bu Ira bakal nerima anak itu. Tapi ya nggak tau… nanti kalian tanya aja kalau Bu Ira udah balik kesini.”

“Ngomong apaan sih sampe bisa cocok?” Feby menggaruk-garuk pelipisnya.

“Dunno.” Juno mengangkat bahu, bersiap-siap untuk jalan ke meja server dan bekerja. “Tapi kayak… something about wook? Do wook?”

“Jangan bilang Lee Dong Wook???” Julia menebak.

“Nah, itu!” Juno mengiyakan. “Kayaknya ngobrolin drama korea juga mereka tuh.”

“UDAH GUE DUGAAAAA!” Julia langsung stress, begitu juga Feby. Keduanya jelas tahu kalau bos mereka itu drakor addict, dan kedatangan personil yang paham akan drakor dan artisnya tentu merupakan kelemahan buatnya. Pantas saja dia bisa luluh. “Yah, guys. Alamat kita harus say goodbye kepada ketenangan. That fucking impostor pasti bakal diterima masuk ke team ini, lalu menjadi duri dalam daging. Gue 100% yakin. Liat aja ntar, pas Bu Ira masuk dia pasti bakal ngomong ke kita.”

“Hah? Apaan, sih? Maksudnya apa, Jules?” Banyu bertanya.

“Untuk kali pertama, gue mengerti maksud Juleha.” Pak Sur menimpali dengan dramatis. Sama seperti kedua perempuan itu, ia juga lesu. “Kayaknya kita emang udah waktunya berperilaku dengan civil. Anak itu pasti bakal diterima sama Bebep. Nanti pura-pura happy aja yah sama apapun keputusannya.”

“Pak?” Banyu mengerjap. “Lo ngerti apa? Ini ada apa? Kok gue nggak ngerti? Lo ngerti, Nen?”

Danen yang mendadak diikutsertakan cuma membalas dengan helaan napas pendek. “Masa lo nggak tahu, sih, Kak?”

“Tahu apaan?”

“Lee Dong Wook tuh artis korea kesukaan Bu Ira.” Feby yang menjawab. “Kalo mereka beneran ngomongin Lee Dong Wook, udah pasti bakal klop. Bu Ira pasti seneng punya anggota team yang suka juga sama minatnya. Its over for us, guys. Gue nggak pernah mempertimbangkan soal faktor ini sebelumnya. Kalau gini sih… pantes aja Juno bilang mereka nyambung.”

“Sekalipun anak itu zodiaknya gemini?”

“Sekalipun anak itu zodiaknya gemini.”

“Hah?” Banyu makin tidak mengerti. “Kok nerima kerja cuma sebatas suka atau nggak suka sama Lee Dong Wook, sih? Gue nggak ngerti.”

“Ya lo kira ni perusahaan nerima orang dari aspek apa lagi?” Julia mencetus. “Di sini tuh lo cuma bakal dapet ilmu, bukan duit. Orang yang pinter udah pasti nggak mau dibayar ilmu doang. Namanya kerja ya pasti harus liat duitnya, lah. Perusahaan juga tahu diri. Mereka nggak ngerekrut orang yang skillful. Mereka cuma lihat orang yang sekiranya nyambung dan bisa diajarin. Kayak nggak paham aja yang beginian lo, Nyu.”

“Gue pake skill, ya? Gue kuliah di ITL, Anjir!” Banyu tidak terima.

”Tapi pas masuk sini, lo bahkan nggak tahu bentuk-bentuk Sea Waybill, FCR, HBL, dan semacamnya, toh?” tuntut Feby.

”Yah… iya, sih.”

“Sama aja lo juga diajarin dari awal! Meskipun lo ada background logistik. Kita semua yang masuk sini juga rata-rata gitu. Mentahan!”

Banyu speechless. Egonya tersentil, tapi dia tidak membalas karena jika dipikir lagi, Julia ada benarnya. Hampir semua yang bekerja di sini adalah fresh graduate, kecuali atasan-atasan mereka. Bagian-bagian yang tidak terlalu menuntut keterampilan mumpuni juga didatangkan dari lulusan SMA/SMK. Julia bahkan seorang university dropped out alias dia masuk kesini saat menjalani skripsi, namun berakhir lebih memilih kerja dibanding menyelesaikan skripsinya—dan perusahaan oke-oke saja dengan kenyataan itu.

“Betul, Si Kamfred.” Pak Surya manggut-manggut. “Buktinya dia aja diterima di sini dan kagak dipecat-pecat sampe sekarang.”

“Maksud lo apa ya, Pak?”

“Ups.”

“Dahlah, guys. Mending balik kerja.” Feby memotong sebelum Pak Sur dan Julia ribut. Ia sudah tidak berantusias, dan energinya seolah menular ke seisi ruangan. “Kita nikmatin aja masa-masa sebelum impostor itu datang.”

Juno melihat situasi SM yang berubah lesu itu dengan sedikit simpati. Bagi sebagian besar orang, kantor memang hanyalah tempat mencari rezeki. Mereka bekerja untuk mendapat gaji dan hanya sebatas itu saja. Namun bagi sebagian sisanya, kantor bisa jadi rumah kedua. SM adalah rumah kedua itu. Sebagai satu-satunya staff IT di kantor, sudah tentu Juno mesti siap menyatroni lantai demi lantai setiap kali ada masalah. Tentunya, dia turut menyaksikan bagaimana situasi kerja di setiap lantai. Jadi dia bisa menjamin tidak ada team yang seseru dan seberisik SM. Boleh dibilang, ruangan SM ini adalah ruangan yang paling hidup. Mereka santai, tapi serius.

Isi kepala Juno mau tidak mau terbang ke peristiwa di ruang meeting. Ia tidak bisa menilai karakter orang dengan sekali lihat, tapi entah mengapa ia merasa keponakan Pak Mirza bukan orang yang akan mengambil keseruan di SM. Ia kelihatan ceria. Matanya bersinar saat membicarakan topik dengan Bu Ira. Dia banyak tersenyum dan tertawa lepas, seolah-olah sedang bercengkerama dengan teman lama padahal Bu Ira baru dikenalnya hari ini. 

Apalagi saat pertama datang. Anak itu salah sangka terhadap tindakan Juno, tapi tidak lantas menjadi kikuk dan malu. Ia bahkan masih bisa menerima dengan santai saat Juno membaginya sepotong pisang goreng.

Juno tersenyum samar.

Dengan personality semacam itu, sulit membayangkan bahwa perempuan itu akan menyedot habis keseruan di ruangan ini. Malah menurut Juno, ia bisa berdampak sebaliknya. 

Mungkin saja kehadirannya nanti malah bisa membuat suasana ruangan semakin hidup?

Entahlah. 

Tapi dengan pemikiran itu, berbeda dengan penghuni SM lainnya yang lemas seolah baru mendapat hukuman mati, Juno malah merasa antusias.

 

 

*
 

 

Hari ini, Syabin jadi percaya kalau Tuhan itu memang maha adil. Sebab setelah beberapa hari sebelumnya ia diberondongi oleh musibah demi musibah, akhirnya kini ia bisa merasa sedikit kelonggaran juga. Jujur saja, ia tidak menduga Bu Ira dan dirinya akan sangat cocok. Sebelum masuk ruangan meeting, ia sangat yakin dirinya pasti bakalan dibantai habis-habisan. Soalnya Bu Ira tidak kelihatan welcome sama sekali. Boro-boro bakal menyambutnya dengan ramah tamah, aura Bu Ira sebelumnya itu lebih mirip dengan singa betina yang tengah mengintai mangsa. Salah langkah sedikit saja, Syabin merasa dia bisa diterkam.

Tapi semuanya berubah ketika Bu Ira melakukan screening pada CV-nya, dan menemukan ‘menonton drama korea’ sebagai hobi dan interest Syabin. Awalnya Syabin kira dia sudah melakukan kesalahan. CV itu sudah dibuat lama sejak Syabin baru menjadi mahasiswa, cuma CV iseng-iseng saja. Dia belum pernah memakainya untuk melamar kerja ke manapun, dan bodohnya, huru-hara yang terjadi membuat ia lupa melakukan revisi dan menghapus  bagian yang tidak perlu. Tamat sudah kesempatannya. Pasti Bu Ira akan menganggap Syabin tidak professional, begitu pikir Syabin.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kalimat itu justru menjadi semacam ice breaker ampuh yang melunturkan kecanggungan Syabin dan aura mematikan Bu Ira. Karena satu kalimat itu, Syabin dan Bu Ira malah menghabiskan satu jam waktu interview dengan mengobrol. Padahal Syabin sudah tegang luarbiasa, takut akan ditanya hal-hal yang tidak ia mengerti. Tidak pernah terpikirkan sedikit pun di kepalanya bahwa ia akan fangirling Lee Dong Wook dengan calon atasannya.

“Di lantai empat tuh banyak anak mudanya. Ya di atas lo dikit, lah. Mereka kebanyakan fresh graduate dan baru kerja kurang dari dua tahun. Anak-anaknya seru dan berisik, tapi nggak ada yang suka drakor. Pas banget nih gue ketemu lo,” kata Bu Ira setelah mereka selesai membicarakan kedatangan Lee Dong Wook di acara youtube Yoo Jae Seok. Oh iya, selain kesemsem dengan Lee Dong Wook, Bu Ira juga ternyata fans berat running man. Dan sebagai mahasiswa yang butuh hiburan dengan budget minim, tentu saja Syabin tahu acara tersebut! Bisa dibilang, dia juga penggemar berat. Kalau saja dia sudah punya uang untuk menonton fanmeeting mereka beberapa bulan lalu, sudah pasti Syabin akan datang. 

“Lo tahu nggak sih, Bin. Gue tuh udah minta orang cukup lama, tapi nggak dikasih-kasih. Sebelom lo, sebenernya ada yang interview dua hari lalu. Dia laki-laki dan jauh lebih berpengalaman dari lo, tapi gue agak kurang sreg.” Bu Ira lanjut bercerita. “Terus nih Om lo promosiin lo mulu ke gue, makanya gue rada males. Mana zodiak lo gemini, pula. Sebenernya gue males banget sama gemini, soalnya aneh. Suka moody nggak jelas. Di atas juga ada dua orang gemini, nanti lo bakal satu team sama mereka kalo lo masuk sini. Makin pusing aja gue ngeladenin tiga gemini. Tapi ya… gue sih ngerasa cocok ya setelah kita ngobrol begini. Nanti kemungkinan, lo bakal interview sekali lagi sama HR. Bilang aja lo bisa bekerja secepatnya, Bin.”

Syabin membelalak samar kala mendengar kalimat terakhir dari Bu Ira. Itu lampu hijau… kan?

Demi Tuhan, Syabin tidak pernah berpikir hidupnya bisa berjalan semulus ini sebelumnya. 

“O-oke, Bu! Pasti!” Syabin ikut berseru antusias. Dia nyaris menangis, tapi buru-buru dia tahan karena toh keputusannya belum final. “Tapi nanti kerjanya gimana, Bu? Maksud saya, saya kan bener-bener nggak tahu apa-apa soal pekerjaan ini….”

“Tenang, nanti gue yang ngajarin,” balas Bu Ira. “Semua pekerjaan itu bisa dipelajari, Bin. Di sini ada gue yang bisa ngajarin, nanti ada juga Pak Surya yang bakal jadi leader lo. Asal lo mau belajar, pasti cepet ngerti. Anak-anak di atas kurang dari tiga bulan udah lancar pegang sistem, kok. Lo tenang aja. Proaktif tanya-tanya.”

“Siap, Bu! Kalau belajar sih saya pede.” Syabin tersenyum. 

“Bagus. Training sih biasanya tiga bulan, Bin. Tapi mungkin lo bakal lebih cepet dari itu, karena satu bulan lebih sedikit dari sekarang tuh kita bakal masuk peak season.”

“Peak season itu apa, Bu?”

“Jadi buat akun lo itu, kita bakal ngerjain shipment punya perusahaan yang namanya Dollar Ten. Perusahaan ini basednya di US. Kalau lo tau Target atau Costco, ya mirip kayak gitu lah. Kita ngirim paper bag mereka. Dan biasanya mereka harus menuhin barang buat stok Christmas, Valentine, Thanks Giving, ya pokoknya hari-hari besar di US. Dan untuk itu, pengiriman bakal padet tiga sampai empat bulan sebelumnya karena kita kan ngirim pakai laut. Butuh waktu sebulan buat barang sampai. Ini yang biasa kita sebut sebagai peak season. Karena kita harus kirim barang terus dengan target tertentu, kan. Biasanya anak-anak bakal lembur di masa-masa kayak gini.”

“Oh gitu….” Syabin cuma bisa manggut-manggut, sebenarnya ia tidak begitu mengerti. Tapi kalau dari mekanisme pemenuhan stok di gudang sebelum hari besar, ia sedikit banyak paham. 

“Biasanya tuh bisa ratusan container setiap bulan, Bin. Nanti lo siap-siap aja makanan yang banyak sama vitamin. Kalau soal snack urusan gue, deh.” Bu Ira melanjutkan. “Tapi ya nggak usah tegang. Lo ini anak baru kok itungannya. Nggak akan langsung gue cemplungin. Pelan-pelan aja nanti gue ajarin.”

“Ratusan container… container yang suka ada di pelabuhan itu kan, Bu? Itu dikirim ratusan dalam sebulan?”

“Paling sedikit itu empat ratus lah, Bin.”

“Wow….” Syabin berdecak takjub. “Banyak banget ya, Bu?”

“Gue bilangin ya, Bin. Shipment kita itu emang paling banyak dibanding divisi lain. Tapi kita sibuknya nggak setahun full. Mungkin dalam setahun, kita sibuk cuma enam bulan aja. Sisanya normal. Paling ya 5-10 container per minggu.”

“Oh? Jauh juga perbedaannya….”

“Maka dari itu, gue mau waning sedikit.”

“Warning apa tuh, Bu?”

“Soal hari-hari ketika kita nggak banyak kerjaan. I mean… lo kan keponakannya Pak Mirza, nih. I hope you don’t mind gitu kalau ngeliat anak-anak santai di ruangan. Kadang mereka suka nonton film, atau ngeliwet, atau main uno, atau ya tidur aja. Gue pun begitu, kalau nggak ada kerjaan ya nonton drakor aja. Ini gue jujur di awal, ya. Gue harap kalau nanti lo lihat kita begitu, lo nggak akan ngadu gimana-gimana ke Pak Mirza. Gue males kalau dia ngoceh. Padahal Pak Anwar, owner di sini tuh nggak masalah.”

“Hah? Enggak, Bu! Tenang aja. Saya nggak akan kayak gitu, kok. Saya bakal berusaha professional aja kalau di kantor, meskipun Pak Mirza memang Om saya,” sergah Syabin. Ia tidak berpikir kemungkinan semacam itu. “Semuanya bakalan aman, Bu. Jangan khawatir.”

“Bagus kalau gitu.” Bu Ira tersenyum lega. “Tapi ngomong-ngomong, Om lo itu memang selalu begitu ya, Bin?”

“Selalu begitu gimana, Bu?”

“Hng… nanti aja deh, lo lihat sendiri,” kata Bu Ira, seperti sungkan ingin melanjutkan. “Ya udah, deh. Interviewnya gue cukupkan sampai sini aja ya, Bin. Nanti lo tunggu kabar lanjutan aja dari HR. Jangan lupa rajin cek email, ya.”

“Siap, Bu!” Syabin menjawab sambil ikut bangkit dari kursi, mengikuti Bu Ira. Keduanya lantas berjalan berdampingan ke pintu keluar. “Kalau gitu saya pamit ya, Bu. Makasih atas waktu dan kesempatannya.”

“Iya.” Bu Ira mengangguk santai. “Ngomong-ngomong ini lo balik ke Bogor, Bin?”

“Nggak, Bu. Saya pulang ke rumah Pak Mirza, kok. Tadi tante saya nyuruh nginap di sana.”

“Oalaah. Yah, masih jam setengah tiga. Kalo nggak mah lo bisa bareng si Juju, Bin.”

“Si… Juju?”

“Junovan. Tadi Mas-Mas yang di resepsionis gantiin Tania itu, loh. Dia tuh rumahnya deket rumah Pak Mirza. Sering bareng juga mereka.”

“Oh, Mas yang ngasih pisang goreng itu, ya?” Syabin bertanya balik. Ternyata nama aslinya Junovan.

“Iya dia. Dia anak IT satu-satunya di sini, nanti kalo lo fix di sini lo bakal minta email ke dia.” Bu Ira memberi tahu. “Jomblo loh, Bin. Mau nggak? Cina kan dia tuh, mirip-mirip lah sama Oppa Korea.”

“Ih, Ibu. Apa deh….” Syabin merespons dengan tawa samar. Sebelumnya dia memang terlalu tegang dan malu buat menilai laki-laki yang memberinya pisang goreng tadi. Sekarang setelah dia jauh lebih santai dan gembira, dipikir-pikir omongan Bu Ira benar juga. Juno memang kelihatan macam Oppa-Oppa Korea, sih. Apalagi dia tinggi dan proporsi tubuhnya macam karakter manwha. Wajahnya juga kecil sekali. Kalau dilihat-lihat, dia punya kemiripan yang banyak dengan penyanyi indie yang Syabin gemari—eaJ. 

“Lo jomblo nggak, Bin? Kalo jomblo ntar gue deketin,” lanjut Bu Ira, malah makin menggoda Syabin.

“Pacar sih nggak ada, Bu. Tapi situasionship ada,” jawab Syabin diplomatis. 

“Yaelaaaah.” Bu Ira mengibaskan tangan dengan malas. “Ada-ada aja gebrakan gen Z.”

“Lagi musim, Bu.” Syabin terkekeh. “Ya udah, deh. Saya pamit dulu ya, Bu.”

Bu Ira mengangguk sambil mengeluarkan rokok dari saku celananya. Ia mengangguk sembari menyelipkan sebatang di bibirnya. “Hati-hati, Bin.”

“Oke.”

Syabin mengangguk sekali lagi sebelum berjalan ke luar gerbang. Ia juga kembali berpamitan dengan mas gondrong yang sebelumnya menegurnya. Setelah mengobrol dengan Bu Ira, suasana hatinya berubah seratus delapan puluh derajat sekarang. Rasanya tubuhnya begitu ringan. Begitu pula dengan kepalanya. 

Mungkin keputusan untuk break kuliah dan mulai bekerja tidak terlalu buruk. Syabin memang mesti menunda satu tahun masa studinya, tapi ia juga bakal mendapatkan pengalaman kerja yang berharga. Selain itu, mungkin gajinya nanti bisa membuatnya sedikit lebih merasa merdeka secara finansial.  

Syabin menyusuri jalan komplek menuju rumah Tante Suri dengan senyum semringah. Ia tidak sabar ingin bercerita, tapi langkahnya mesti terhenti ketika matanya melihat keberadaan seekor kucing bulat berwarna abu-abu tengah celingak-celinguk di pinggir jalan.

“Meow!” Kucing bulat itu mengeong menyapa Syabin. 

“Ih! Ada kucinggggg!!!” Syabin langsung bersemangat. Sepertinya hari ini dia memang dititah Tuhan buat berbahagia. “Pssst pssst! Hallo Menggggg!”

Seperti mengerti, kucing itu lantas lompat dan mendekat ke kaki Syabin. Dia menciumi mata kaki Syabin sebelum berakhir duduk dan mendongak menatap Syabin, bikin Syabin otomatis berjongkok dan mengelus kepala kucing itu dengan lembut. “Aku punya treats, Meng! Kamu mau, nggak?”

Lagi-lagi seolah paham dengan kata-kata Syabin, kucing itu mengeong. Tentu saja persetujuannya membuat Syabin buru-buru melepas ransel dan merogoh seleting depannya—mengeluarkan treats berbentuk stik panjang berwarna pink dari sana. Syabin memang sangat menyukai kucing, tapi belum berani berkomitmen untuk memelihara hewan berbulu satu itu. Jadi dalam rangka menyalurkan kecintaannya pada makluk menggemaskan itu, Syabin sering membeli treats atau wetfood dan menaruhnya di tas. Persediaan saja karena di kampus maupun di jalanan ia sering berpapasan dengan kucing-kucing.

“Bentar ya, Meng. Dibuka dulu.” Syabin menyobek treats itu, bikin si kucing abu-abu antusias dan menaruh kedua kaki depannya di dengkul Syabin karena penasaran. “Nih, Meng. Makan pelan-pelan.”

Begitu Syabin menyodorkan treats, kucing itu pun mundur sedikit dan mulai makan dengan lahap. Melihatnya, Syabin jadi tidak kuasa buat mengelus-elus kepala kucing itu. Dia tersenyum, ikut senang karena kucing itu menyukai treatsnya. “Anggap aja traktiran aku karena tadi interview aku lancar ya, Meng.”

Kucing itu tidak merespon. Ia sibuk memakan treats itu dengan lahap. “Tapi Meng, kamu ini kayaknya bukan kucing liar. Kamu bersih dan gendut banget. Terus juga bulu kamu panjang dan lebat. Kamu kucingnya siapa, Meng? Kenapa main keluar sembarangan? Nanti diculik, loh!”

“Meow.” Kucing itu menanggapi sebentar, lalu kembali fokus pada makanannya yang sisa sedikit. Begitu habis, dia pun mundur dan mendongak kembali kepada Syabin. Barangkali dia meminta lebih banyak treats.

“Satu aja ya, Meng. Nggak boleh banyak-banyak, soalnya ini treats. Garamnya banyak, kayak ciki. Nanti kamu batuk kalo kebanyakan.” Syabin menyentuh hidung kucing itu, bikin si kucing memejamkan mata dengan imut. Setelahnya, tangan Syabin bergerak buat mengelus-elus kepala dan badan si kucing sampai dia mengeluarkan suara purring halus. “Abis ini kamu pulang ya, Meng. Jangan keluyuran. Kalau kucing cantik kayak kamu itu rawan diambil orang. Nanti babu kamu sedih loh, Meng.”

Kucing itu cuma melirik Syabin sekilas, lalu malah berguling-guling seolah meminta dielus lebih banyak. Kalau sudah begitu, Syabin jadi tidak kuasa buat tidak mengelusnya. “Kamu gembul banget, Meng. Ini perutnya lemak semua. Aduh, aduhhhh. Gemes banget! Gemes banget! Anak siapa si ini huuuuuu. Babu kamu pasti loyal, deh.”

“Meow.” 

“Aku masih mau main, tapi Tante aku udah nunggu di rumah. Jadi udah dulu, ya? Aku mau pulang sekarang. Kamu juga pulang, Meng. Jangan mencari kucing garong, oke?” Syabin bangkit dari posisi jongkoknya, lalu melambaikan tangan kepada si kucing. Meski kucing itu lucu, Syabin mesti bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. “Dadaaaah!”

Tapi kucing itu tidak balas mengeong. Bukannya pulang seperti yang Syabin suruh, ia malah mengikuti Syabin. Setiap kali Syabin berjalan, kucing itu berlari. Setiap kali Syabin berhenti melangkah, kucing itu ikutan berhenti. 

“Jangan ikutin aku, Meng…,” kata Syabin. “Kamu pulang ke rumah kamu, aku mau pulang ke rumah tanteku.”

“Meow.”

“Jangan ikutin aku, ya?”

”Meow.”

“Aku pergi ini—“

“Meow!”

“Kok kamu masih ngikutin sih, Meng?” Syabin mulai khawatir. Masalahnya ia tidak mungkin mengajak kucing ini sampai rumah Tante Suri. Takutnya, kucing ini tidak ingat jalan pulang nanti. Bagaimana kalau pemiliknya mencari? 

“Pulang ya, Adek. Jangan ikutin aku.”

“Meow.” Kucing itu duduk, tapi pupil matanya yang menatap Syabin membesar. Seolah-olah dia bersedih karena Syabin melarangnya.

Syabin jadi tidak tega….

Akhirnya, dengan berat Syabin bertanya lagi, “Kamu mau ikut aku, Meng?”

Si Kucing langsung melompat dengan semangat. “Meow!”

“Tapi nanti bisa pulang sendiri, nggak? Aku kan nggak tau rumah kamu di mana….”

“Meow?”

“Jangan meong-meong aja, Meng. Kamu jawab dulu, kamu tau jalan pulang atau nggak?”

Kucing itu berguling-guling lagi di kaki Syabin. Bikin Syabin merasa dia bakal jadi orang paling jahat karena sudah meninggalkan kucing gembul yang hendak diajak main itu. 

“Ya udah, deh. Kamu boleh ikut.” Syabin mengalah. Dia mengulurkan tangan buat menggendong kucing itu. Ternyata bukan bulunya saja yang mengembang, kucing itu juga terasa sangat berat. Untuk sejenak, Syabin mendapatkan urgensi untuk menurunkan kucing itu dan mengembalikannya ke jalan tempat pertama ia bertemu. Tapi mata si kucing yang menatapnya dengan dalam membuatnya iba. “Tapi inget ya, Meng. Main aja. Nanti kalau udah selesai main, kamu pulang lagi. Oke?”



 

A/N

 

maf kmrn sy cramps jd baru update sekarang wkwk
 


 


 


 


 


 


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Warkop SM - Doomsday and New Beginnings
2
0
sekedar info: gue salah memperhitungkan timeline kwkw maklum soalnya kagak dicatet. Ini versi revisi fixxxx bgt ya: Prolog around 3 tahun yang lalu, dua minggu sebelum Juno nabrak. Jadi Juno sama Tamara ketemu setelah 3 tahun berlalu juga ya bukan empat tahun hehehe 🤡🙏🏻jangan lupa baca fake chat dan fake tweet sebelum baca chapter inihhh scroll aja threadnya ok happy reading and please doain aku yang baik-baik supaya bisa menulis dengan rajin xixiixTW//Illness
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan