Wiski, Alter Ego, dan Dia yang Tak Pernah Disebutkan Namanya

2
0
Deskripsi

Sebuah cerpen tentang dia yang tak pernah disebutkan namanya.

Wiski, Alter Ego, dan Dia yang Tak Pernah Disebutkan Namanya

Dia harap gelas yang kini sedang dipegangnya berisi wiski, tetapi dia tahu betul dirinya bukanlah tipe orang yang sudi menenggak minuman keras. Kenyataannya: itu memang cuma es teh manis bikinan sendiri. Hanya warnanyalah yang sekilas mirip dengan wiski. 

Kekacauan di kepalanya itu tiba-tiba membuat dia menginginkan mukjizat Yesus yang konon mampu mengubah air menjadi anggur atau vodka atau wiski atau cairan apa pun yang memabukkan, sehingga dia bisa segera teler—setidaknya khusus buat malam ini. Dia entah mengapa bisa-bisanya teringat ujaran salah seorang kawannya tentang luka di kulit yang perlu diobati dengan alkohol supaya lekas sembuh, begitu pula luka di hati. Makanya beberapa orang yang sedang patah hati sering melarikan diri ke minuman-minuman keras.

Dia tentu tak pernah percaya dengan gagasan konyol semacam itu, yang jelas-jelas berseberangan dengan prinsip hidupnya (enggak merokok, mabuk, serta seks bebas). Namun, untuk kali ini saja dia sungguh kepengin mabuk demi melupakan pahitnya hidup. Dia mau ketika terbangun keesokan harinya, dia sudah tak begitu ingat atas yang terjadi semalam. Sejauh yang dia tahu, begitulah cara alkohol bekerja. Dia pun tertawa dan langsung meneguk es teh manis itu sampai tandas seakan-akan minumannya telah berubah menjadi alkohol.

Hatinya masih sesak, tanda bahwa sugestinya gagal. Sama gagalnya seperti berbagai usaha yang telah dia coba dalam dua tahun terakhir untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Tapi dia tak mau menyalahkan keadaan busuk semacam ini, dan kadang-kadang malah suka berpikir, seumpama tak terjadi pandemi, apakah rencana-rencanaku dapat berjalan mulus? Mengingat hidup penuh dengan ketidakpastian, barangkali saja nasibnya tak jauh berbeda dengan yang dia hadapi sekarang, bahkan bisa lebih buruk. Selain Tuhan, tak ada yang tahu misteri kehidupan, bukan?

Dia bukanlah seorang penjudi yang suka menebak bermacam-macam kemungkinan, tapi pikiran liar terkadang muncul begitu saja untuk mempertanyakan ini dan itu. Dia berandai-andai kalau hidupnya bisa lebih sejahtera, mungkin insomnia yang belakangan ini menimpanya tak akan pernah datang. Dia pasti sudah tidur nyenyak sebelum pukul 10 malam, bukan malah mengetik puisi atau racauan setiap pukul dua pagi demi mengecoh pikiran-pikiran jahat yang muncul seenak udel.

Andai alter ego jahanam itu masih ada, pikirnya, mungkin aku tak akan selemah ini.

Dia lantas teringat dengan tulisan berbentuk surat untuk alter egonya yang dia tulis pada pertengahan Februari sekitar dini hari, yang dia beri judul Aku Bukan Kau.

--

Aku Bukan Kau

Kata “baka” yang pertama kali muncul di kepalaku berarti ketololan, sedangkan bagimu ialah kekekalan. Jadi, jika kita bersatu apakah itu tandanya kita sedang menantang maut, sebab kita bermaksud melahirkan ketololan abadi? Terpisah mungkin akan jauh lebih baik sekalipun aku memang goblok telah membiarkanmu hidup di memoriku untuk selamanya. Yah, kautahu, selamanya merupakan waktu yang teramat panjang, atau seminimalnya sampai aku mati kelak, sehingga tak akan ada yang mengingatmu lagi. Namun, aku akan menuliskan racauan ini agar ada orang lain yang percaya bahwa kau memang benar-benar nyata.

Maksudku, meskipun kau hanyalah tokoh fiktif, aku sudah berusaha menghidupkanmu sebaik-baiknya walaupun tidak semua yang kutulis tentangmu itu tampak menarik. Apa kau ingat sewaktu suaramu pada tengah malam mampu menyentuh relung hatiku, supaya aku berhenti menulis dan tak perlu lagi mengisahkan tentangmu?

Aku tak yakin bisa menepati janji yang pertama karena sekarang pun aku sedang menulis, tapi setidaknya aku akan mencoba menepati yang kedua, sampai-sampai aku bertindak lebih gila ketimbang biasanya: mengirimkan surat untukmu dan berharap kau akan membacanya. Aku tak tahu apakah diriku kini masih waras atau otakku sudah miring. Yang jelas, aku tahu bahwa menulis akan menyelamatkanku dari kegilaan.

Pada hujan dini hari yang dinginnya terasa keparat itu (baik lantaran cuaca ataupun kesepian), aku mendengarmu mengoceh tak keruan soal ketakutan akan masa depan, dan aku mengubah ocehanmu menjadi puisi yang menurutku paling buruk se-Jakarta Barat (aku tadinya ingin bilang sedunia, tapi aku rasa itu terlalu lebay):

 

Jiwa semakin lama kian gelap,

kecemasan pun terbangun dari tidur lelap.

Seperti saat gelombang pertama Covid,

ketika para manusia bersembunyi

di bawah atap, menetap, sembari meratap,

dan dia pun terkurung dalam murung.

Dia mencoba bertahan hidup

walaupun cahaya terus meredup.



 

Untuk menjelaskan ucapan yang penuh

dengan omong kosong itu,


dia tak punya pilihan lain, kecuali berfantasi

demi menciptakan uang dan ruang.

 

Kenyataannya: uang malah menjauhinya.


Jauh dari finansial dan mental stabil,

dia bagaikan manusia dewasa

yang menyusut menjadi pemuda labil.

 

Bayangan dirinya terpantul dalam garis

yang memisahkan atau menyatukan

sesuatu harapan tak masuk akal,

lalu mimpi buruk pun menyelinap

pada kesunyian malam

dan akhirnya menjadi jeritan,

tapi adakah yang mendengarkan?

 

Waktu mulai mengaburkan ingatannya,

meski setelahnya dia teringat masa remaja

yang membuatnya menangis karena cinta.

 

Dia seharusnya tidak mengenang

air mata yang tumpah dan menggenang.

Tidak barang sedetik pun,

sebab itulah pertama kali dia paham

betapa perihnya pengkhianatan

dan memutuskan ingin mampus.

 

Pemicu gagasan lebih baik mati daripada menderita

sudah berulang kali menghantui

ataupun meneror hidupnya.

 

Kini terbukti dia masih menangkap

bebunyian sialan itu lagi

hingga datang malam kelam,

dan matanya cuma bisa memejam

seraya mengutuk hidup sungguh kejam.

 

Hari baru telah terbit.

Dia masih diperbolehkan membuka mata.

Seakan-akan ini belum saatnya untuk pergi.

Dia ingin bergembira dan menyambut pagi,

tapi bagaimana jika dia kehabisan energi

atau yang keluar dari mulutnya selalu elegi?

 

Aku kira, diriku tak akan pernah berani lagi menyusun kata-kata macam barusan setelah malu menerbitkan dua buku kumpulan puisi yang kuanggap nonsens. Tapi sebagaimana judul salah satu puisi yang pernah kutulis, bahkan kucoba komersialkan: aku ini memang tidak tahu malu, maka aku menulis surat ini tanpa rasa malu. Lagian, aku harus malu kepada siapa? Kepadamu yang fiktif? Kepada pembaca blogku yang orangnya itu-itu saja? Atau kepada Tuhan?

Oke, untuk yang terakhir, aku memang malu kepada Tuhan. Tak perlu kujelaskan apa yang membuatku malu, sebab membicarakan hal tersebut hanya akan menerbitkan kalimat-kalimat gelap, dan aku tak mau suratku bernuansa semakin muram dan cengeng.

Aku akan berterus terang di sini. Sebagaimana Bolaño meminjam karakter Arturo Belano untuk bertutur dan muncul di beberapa cerita sebagai perwakilan dirinya, aku juga bermaksud menjadikanmu seorang protagonis ataupun karakter sampingan dalam sebagian ceritaku. Jadi, tolong hentikan ocehanmu kalau aku itu sedang menirunya. Aku memang mengakui bahwa caranya membual itu keren dan ada beberapa tekniknya yang asyik buat dicuri. Meski begitu, aku sudah menghidupkanmu jauh sebelum aku membaca karya-karyanya.

Aku kira memang banyak penulis yang berupaya mengisahkan pengalamannya sendiri, lalu menjadikannya sebagai karya fiksi. Untuk itulah aku akan memperjelasnya di surat ini: aku bukan kau dan kau pun bukan aku. Aku menjadikanmu karakter karena aku masih membutuhkan kesadaran selagi diriku yang lain tengah melarikan diri dari kenyataan.

--

Dia kadang-kadang suka percaya kalau yang selama ini menulis prosa dan puisi adalah dua kepribadian yang berbeda, sebab setiap kali dia masuk dalam mode penyair, sosok narator yang luwes mendongeng mendadak lenyap dalam dirinya, begitu pun sebaliknya. Dia tak bisa berganti-gantian sesukanya seolah-olah perpindahan karakter itu cukup dengan menekan tombol on/off. Untuk membuktikan dugaan sinting itu, dalam kasus terbarunya setelah dia berjanji untuk membunuh alter egonya sendiri (yang biasa dia jadikan narator dalam bercerita atau sosok yang muncul di dalam cerpen), dia secara ajaib langsung asyik berpuisi sejak akhir Februari hingga awal Maret, lalu justru kesulitan menulis cerpen sampai hari ini.

Dia sesungguhnya paham dalam menulis ada yang namanya method writing, mirip cara aktor/aktris menjiwai kepribadian karakter yang sedang dia perankan dalam film, tapi bagaimana jika asumsinya benar terkait dia memiliki ataupun menciptakan alter ego saat menulis? Dalam kesehariannya, dia merupakan orang yang kalem dan tak gampang tersinggung, sementara saat menulis adakalanya dia berubah jadi sosok yang sinis, penggerutu, dan gemar mengejek.

Dia jadi teringat dengan seorang teman perempuan yang pernah berkata, “Aku selalu berusaha mengurangi baca tulisan teman-teman dekat biar penilaianku ke mereka enggak berubah.” Kala dia bertanya apakah ada suatu kejadian yang bikin si teman perempuan menerapkan sikap seperti itu, jawaban yang dia peroleh sungguh mengejutkan: “Aku pernah baca cerpen si anu yang tokohnya seorang psikopat, terus aku secara enggak sadar langsung ngejauhin dia. Sumpah, sehabis baca cerpen itu aku jadi takut ketemu dia. Kalau ketemu sama dia harus ada teman yang lain, enggak berani cuma berduaan.”

“Nah, kan aku pernah nulis mesum tuh,” ujar dia. “Kok kamu enggak takut kita berduaan begini?”

“Sejujurnya, aku takut banget, lho. Ini aku di dalam hati sebetulnya juga lagi baca ayat kursi biar aku enggak diapa-apain kamu.”

“Anjing!”

Si teman perempuan spontan mengakak sembari bilang itu cuma bercanda, lalu menjelaskan bahwa sudah mengenal baik dia sebelum dirinya menuliskan kisah-kisah vulgar. “Toh, kamu sekarang udah berhenti, kan?”

 

Benar, dia kini nyaris tak pernah lagi mengisahkan cerpen yang menjurus erotis. Cerpen yang akhir-akhir ini ditulisnya juga sering tak memiliki alur, seperti beberapa cerpen Bolaño di kumcer The Secret of Evil yang belum rampung lantaran penulisnya sudah keburu dijemput maut. Bedanya, dia mengerjakan cerpen yang tak selesai itu sewaktu masih hidup dan dalam kondisi sadar, terutama cerpen yang sedang dia garap kali ini. Dia menuliskannya dengan penuh kesadaran sebab es teh manis yang dia anggap wiski itu gagal membuatnya mabuk.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Cerpen
Selanjutnya InstaStory
1
0
Esai yang membahas InstaStory. Dimodifikasi sedikit dari tulisan yang pernah terbit di akbaryoga.com pada 2018.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan