Jodoh dan Takdir - Bab 4, 5

0
0
Deskripsi

"Motor saya kenapa belum balik ke tempatnya, Pak?”

“Mana saya tahu,” cueknya seraya melangkah melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan kunci mobil dari saku celana bahannya.

“Eh, eh, Pak kok gitu? Kan Bapak yang bertanggung jawab atas motor saya semalam.”

“Saya cuma minta orang bawa motor kamu ke bengkel, selebihnya urusan kamu."

Bab 4

 

Bunga?

Itu yang aku lihat ketika tiba di meja kerjaku. Membuat keningku mengernyit, bingung. Namun tak urung aku mengambilnya dan mencium bau harum dari tulip merah muda yang begitu cantik itu, lalu mengambil kartu ucapan yang terselip di sana. Ada sebaris kata dengan inisial si pengirim yang aku tebak sebagai seseorang yang dua hari lalu mengutarakan ketertarikannya.

Woahh, Bunga!” seru heboh seseorang di belakang cukup mengejutkanku yang sedang memikirkan apa maksud dari si pengirim bunga ini. “Pagi-pagi udah dapat bunga aja. Sweet banget sih,” lanjut suara itu lagi yang tidak lama kemudian menarik paksa kartu ucapan yang tadi tengah aku pandangi.

Ish, Nara, gak sopan banget!” protesku kesal, tapi perempuan cantik nan imut itu hanya memberikan cengiran tak berdosanya, memilih membaca apa yang ada di kartu ucapan tersebut hingga kemudian melirik kepadaku.

“N? Siapa Cha?” tanyanya ingin tahu. Aku hanya mengedikkan bahu, pura-pura tidak mengenal seseorang dengan inisial itu, lagi pula aku belum bisa memastikannya. Bisa saja ‘kan ‘N’ itu bukan inisial dari pria yang aku pikirkan? Meskipun tidak ada bayangan lain yang menjurus pada nama lain selain dia. Ya, siapa lagi jika bukan bos-ku sendiri. Hanya dia satu-satunya orang yang blak-blakan mengutarakan ketertarikannya beberapa hari lalu, bahkan ketika kami belum saling mengenal. Oke, kenal, tapi hanya sebatas nama tidak lebih.

“Serius kamu gak tahu siapa orangnya?” Nara mencoba memastikan dan aku memilih untuk menggelengkan kepala sebelum kemudian menjatuhkan diri di kursi tanpa melepas pandangan dari bunga yang ada di tanganku. Jujur ini adalah kali pertama aku mendapatkan bunga dari seseorang. Meskipun tidak terlalu suka dengan bunga tapi ada letupan bahagia yang tidak bisa aku jabarkan dalam hati ini. Entahlah ini karena bunganya atau karena si pemberi, yang jelas dadaku berdebar tidak pada ritme biasanya.

“Kamu punya pengagum rahasia, Cha?” masih saja Nara penasaran dengan si pengirim bunga berinisial ‘N’ itu, membuatku mendengus kecil dan mengambil alih kartu nama yang tadi direbutnya

“Mana aku tahu,” jawabku sedikit ketus lalu menyimpan bunga tersebut di samping komputer yang belum aku nyalakan. Bersikap seolah masa bodo dengan benda cantik itu, karena aku tidak ingin Nara semakin kepo jika aku menunjukkan ekspresi yang sebenarnya.

Nara berdecak dengan jawabanku dan menjatuhkan diri di kursinya dengan wajah cemberut tanda tak puas. Dan aku tidak sama sekali menghiraukan itu, memilih untuk menyalakan komputer dan memulai kerjaku agar cepat selesai dan aku bisa segera pulang ke kos, membawa serta bunga tulip merah muda ini untuk aku simpan di kamar sebagai penghargaan pada diriku sendiri yang baru pertama kali mendapatkannya. Lebay memang, tapi bagaimana lagi, aku yang baru pertama kali mendapat kiriman bunga tentu saja senang meskipun tidak tahu jelas siapa yang memberikannya. Tapi jika tebakanku benar, apa yang harus aku lakukan? Berterima kasih kah, atau biasa saja? Ah, entahlah. Itu biar nanti saja aku pikirkan.

“Cha laporan bulanan di minta Pak Rino siang ini, bisa ‘kan?”

“Tumben lebih cepat?” heranku menatap asisten dari Pak Rino.

“Gak tahu juga, katanya sih permintaan dari atas,” jawabnya dengan kedikkan bahu singkat, membuatku mengangguk paham. Atasan kami sudah bukan Pak Kenda yang santai lagi, dan sejak awal Pak Naren sudah terlihat disiplin dan tegas. Bos baruku itu juga menjanjikan akan membuat perubahan dan sepertinya perubahan itu diawali dari ini, laporan yang selesai lebih cepat dari biasanya. Aku sebagai karyawan bisa apa selain patuh.

“Oke May, nanti aku serahkan sebelum jam makan siang,” jawabku pada akhirnya. Mau tidak mau aku harus mengerjakan laporan yang di minta dulu sebelum mengerjakan yang lainnya, padahal pekerjaanku yang lain sudah menanti untuk di serahkan. Huftt.

Niat yang semula ingin pulang lebih awal, nyatanya malah lebih malam dari yang aku perkirakan. Gara-gara laporan yang di minta lebih awal, aku harus lembur untuk mengerjakan yang lainnya, dan itu sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam sekarang, yang tentu saja kantor sudah sepi karena orang-orang yang lembur hanya sampai pukul tujuh malam, hanya aku sendiri sepertinya yang kerajinan hingga jam delapan.

“Kamu belum pulang?”

Aku berjengit kaget ketika mendapati suara di belakangku, dan semakin terkejut ketika menoleh dan mendapati sosok bos-ku di belakang.

“Pak Naren ngapain di sini?” pertanyaan bodohku itu refleks meluncur, entah karena saking terkejutnya atau justru gugup, yang jelas dadaku berdebar cepat saat ini.

“Mau pulang,” jawabnya seraya menunjuk satu mobil yang terparkir tak jauh dari motorku. “Kamu kenapa belum pulang jam segini? Lembur?”

“Ngemis!” ketusku sebal ketika teringat apa alasan dibalik adanya aku di jam sembilan malam ini di area kantor yang benar-benar sudah sepi dan gelap. Baru pertama kali ini aku pulang selarut ini, dan itu gara-gara bos baruku. Pak Naren.

Tawa renyah terdengar dari arah sampingku, dan aku di buat melongo karenanya. Lebih tepatnya terpesona, karena harus aku akui bahwa ketampanan Pak Naren naik berkali-kali lipat saat tertawa selepas ini. Tapi tak urung kesal juga karena objek dari tertawaannya adalah aku. Eh, apa iya? Aku tak yakin, tapi memangnya apa lagi, hanya aku yang ada di samping pria itu.

“Sepertinya kamu sedang kesal, kenapa?” tanyanya masih dengan sisa tawa yang sepertinya sulit pria itu hentikan.

Karena situ yang minta laporan sebelum waktunya! Ingin aku meneriakannya tepat di depan wajah bos terhormatku itu, tapi aku tidak berani, bagaimanapun aku masih butuh pekerjaan ini. Jadi dari pada di pecat aku lebih memilih untuk mengungkapkannya di dalam hati.

“PMS.” Jawaban singkat, padat, dan jelas itu yang aku berikan, agar tidak ada lagi tanya yang Pak Naren layangkan, dan aku semakin terpancing untuk mengatakan yang sebenarnya. Tidak, aku masih ingin aman dari kalimat pemecatan.

Beruntung Pak Naren mengangguk paham, dan selanjutnya tidak ada lagi yang membuka suara, aku dan dia sama-sama diam menatap ke depan untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku tersadar dan cepat-cepat berjalan menuju kendaraanku yang terparkir cantik di depan.

Aku mengerutkan kening kala menghidupkan motor yang tidak juga memberi respons, kendaraan roda dua yang kubeli dengan hasil jerih payah sendiri itu tidak mau menyela meski di coba berkali-kali.

“Kok gak mau hidup!” panikku, kembali turun dari motor ungu kesayanganku, melirik samping, depan, belakang mencari apa penyebab dari ketidak hidupannya. Namun aku yang tidak paham apa-apa perihal otomotif jelas saja tidak tahu masalahnya ada dimana, dan itu membuatku merutuk, merasa sial dengan apa yang aku alami malam ini.  Tapi tak lama kemudian menoleh ke arah berdiriku tadi, dan bersyukur karena sosok yang tidak sengaja aku harapkan masih setia berada di sana, menatap ke arahku dengan raut biasa.

“Pak, dari pada bengong di sana mending bantu saya,” ucapku tak sopan sama sekali, tapi masa bodo dengan itu, yang penting sekarang motorku hidup dulu dan aku bisa pulang secepatnya. Malam semakin larut dan jujur saja aku sudah mengantuk.

“Saya gak bisa benerin motor,” katanya sambil melangkah mendekat.

“Ish, kok gitu? Bapak cowok bukan sih, masa benerin motor aja gak bisa?!” sebalku seraya mengentak kaki, semakin panik karena itu artinya aku harus pulang dengan taksi, atau tidak jalan kaki sambil mendorong motorku dan mencari bengkel. Tapi di jam seperti ini apa masih ada yang buka?

“Tidak semua laki-laki paham pada mesin kendaraan, Icha,”

“Ya, tapi masa Pak Naren sedikit pun gak bisa, sih, Pak.  Ayo dong Pak di coba dulu, udah malam ini, saya pulangnya gimana,” rengekku benar-benar tidak tahu malu dan juga berani, mengingat yang sedang berdiri menatap si ungu yang tak bisa menyala apalagi bergerak adalah atasanku sendiri. Tapi apa boleh buat, tidak ada orang lain lagi disekitarku karena ini sudah benar-benar sepi, satpam saja sepertinya sedang terlelap di posnya.

“Kamu bisa pulang dengan saya,” ujarnya yang tiba-tiba membuatku memicing curiga. “Kalau gak mau, ya, sudah,” cueknya seraya melangkah meninggalkanku, berjalan menuju mobil miliknya yang terparkir tidak terlalu jauh dari posisiku sekarang. Untuk beberapa saat aku berpikir, menimbang tawaran Pak Naren. Sampai akhirnya aku berlari menghentikan langkah pria tampan yang mengaku tertarik tapi tidak ada inisiatif bertindak manis. Cih, meragukan.

“Saya ikut bapak aja deh, tapi motor saya gimana?” putusku pada akhirnya. Terpaksa, sungguh.

“Biar nanti saya suruh orang untuk mengantarkan motor kamu ke bengkel.”

Aku mengangguk seraya mengucap terima kasih, lalu masuk ke dalam mobil Pak Naren, setelah di persilahkan tentu saja.

Tidak ada obrolan yang terjadi sepanjang perjalanan selain jalan menuju kos-ku yang pria itu tanyakan, dan aku pun hanya menjawab seadanya, selebihnya keheningan yang menyelimuti hingga mobil yang Pak Naren kendarai berhenti di depan kos-ku yang memang memiliki pekarangan cukup luas.

“Motorku aman ‘kan Pak?” tanyaku memastikan seraya melepas seatbelt. Dan jawaban berupa anggukan aku dapatkan dari pria tampan di sampingku yang menatap lurus ke depan, tepatnya ke kos-ku yang sunyi.

“Syukurlah kalau begitu. Ngomong-ngomong saya harus bayar ongkos gak Pak? Eh, enggak dong, ya, kan Pak Naren yang nawarin,” ralatku cepat-cepat seraya melempar cengiran polos yang membuat Pak Naren mendengus kecil.

“Sebagai gantinya saya minta nomor kamu,” ucapnya menyerahkan ponsel mahal yang jujur saja sudah lama aku inginkan, tapi karena kondisi dompet yang tidak memadai jadilah aku urungkan untuk membelinya.

“Buat apa?” tanyaku polos dengan kening mengerut bingung.

“Untuk PDKT,” jawabnya sedikit ketus, membuatku melongo antara percaya dan tidak. “Saya mau ngasih tahu gimana mengenai keberadaan motor kamu jika tidak memiliki nomor kamu,” lanjutnya masih dengan nada yang sama di tambah tatapan datarnya yang menghadirkan cibiran di hatiku yang semakin meragukan perasaan pria itu atas pengakuan ketertarikannya. Mungkinkah Pak Naren sudah berubah pikiran?

Tanpa ingin lebih lama lagi terjebak dengannya, kuambil ponsel Pak Naren dengan kasar tanpa peduli kesopanan yang mana harus aku berikan pada seorang atasan. Masa bodo lah, namanya juga terlanjur kesal. Aku hanya berharap besok pagi gaji dan masa kerjaku masih aman.

***
 

Bab 5

 

 “Mbak Icha, ada titipan,” langkahku terhenti ketika baru saja menampakkan kaki di lobi, dan seorang resepsionis yang cukup dekat denganku melambaikan tangannya memanggil.

“Titipan apa?” keningku berkerut heran, menghampiri Nila yang berdiri di depan meja resepsionis.

“Makanan. Driver-nya bilang untuk sarapan Mbak Maricha Pricila dari Mr. N,” jawabnya dengan tatapan menggoda. Membuatku mendengus dan menerima kantong berlogo sebuah restoran itu dengan pikiran yang lagi-lagi tertuju pada si pengirim yang belum aku tahu kebenarannya, pasalnya jika Pak Naren, kenapa semalam pria itu tidak membahas bunga tulip yang kubawa? Apa mungkin bukan bos tampan itu yang menjadi secret admirer-ku? Siapa pun itu, aku harap tidak ada maksud jelek di dalamnya.

“Ya udah, deh, La, terima kasih,” kataku seraya melangkah masuk sambil membawa makanan yang entah diberikan oleh siapa, yang jelas aku berterima kasih, karena kebetulan juga aku belum sarapan sebab tidak sempat mengingat hari ini motorku tidak ada, yang mana itu mengharuskan aku pergi lebih awal agar tidak telat sampai di kantor.

“Mbak Icha gak niat ngasih aku?” teriakan Nila menghentikan langkahku yang hampir tiba di depan lift yang sudah di tunggu cukup banyak orang.

“Enggak La, makanannya ada racunnya,” jawabku sedikit berteriak agar resepsionis cantik itu dapat mendengar, tapi tidak aku hiraukan teriakannya yang lain, yang menanyakan kebenaran dari apa yang kuucapkan barusan.

“Bisa banget bohongin orang,” bisikan itu aku dengar dari arah belakang dengan suara yang begitu amat pelan, dan ketika menoleh kudapati sosok Pak Naren di sana, sama-sama menunggu lift terbuka. Sebenarnya ada lift yang khusus untuk para petinggi, tapi berhubung sejak kemarin lift itu belum selesai di perbaiki jadilah semua menggunakan lift karyawan termasuk Pak Naren. Sialnya, kenapa harus aku yang bersamanya.

Tidak ada jawaban yang aku beri untuk kalimat sarat akan cibiran bos tampanku itu selain cebikan diam-diam karena tidak ingin orang lain memergoki dan menganggapku tidak sopan pada atasan sendiri, meskipun aku akui, berkali-kali aku sudah melakukan itu sejak semalam.

Ketika lift terbuka aku berniat untuk cepat-cepat masuk ke dalam, tidak ingin lebih lama berada dekat dengan Pak Naren, selain itu karena aku ingin segera menikmati sarapanku sebelum jam kerja di mulai. Namun sayang, belum berhasil kakiku menyentuh lantai besi itu peringatan muatan maksimum mengurungkan langkahku untuk masuk.  Dan sialnya Pak Naren menolak ketika salah satu karyawan menawarkan tukar posisi. Jadilah aku terjebak bersama pria itu di sini, di dalam lift yang hanya di sini oleh kami berdua, karena memang aku dan dialah yang tersisa setelah lift sebelumnya penuh.

“Motor saya gimana, Pak?” tanyaku memecah keheningan. Penasaran juga dengan si ungu kesayanganku yang pagi ini tidak menemani perjalananku seperti biasanya.

“Mana saya tahu,” jawabnya seraya mengedikkan bahu cuek.

“Ish, Pak!” geramku sebal dan hendak melayangkan pukulan, tapi beruntun aku sadar dengan cepat, hingga kepalan tanganku berhenti di udara. Dalam hati aku terus saja mengintrupsikan agar sabar menghadapi pria di samping, yang tak lain adalah atasanku sendiri.

“Usia kamu berapa sih, Cha?”

“Ngapain tanya-tanya?” sewotku mendelik.

“Tidak, hanya saja ekspresi kesal kamu lucu, saya jadi gemas!” ujarnya dengan tangan refleks bergerak mencubit pipiku yang sedikit mengembung akibat dari cemberutku. Dan hal itu membuatku terdiam, menatap Pak Naren yang juga ikut diam dengan pandangan yang saling mengunci untuk beberapa saat sebelum pria itu menurunkan tangannya perlahan dari pipiku dengan raut salah tingkah, tidak jauh berbeda denganku yang juga berubah canggung. Beruntung tak lama kemudian lift berhenti di lantai ruang kerjaku, jadi cepat-cepat aku bisa terbebas dari kecanggungan tersebut, meskipun detak jantung yang menggila masih sulit aku tenangkan.

“Kenapa, Cha, kok kayak habis di kejar setan gitu?” Nara mengejutkan dengan cara menepuk pundakku, yang meski pelan, tetap saja membuatku berjengit kaget.

“Aku takut telat, Na,” elakku berbohong. Lalu melangkah menuju meja kerjaku dan langsung menyalakan komputer agar ketika selesai sarapan nanti bisa langsung aku gunakan.

Ngomong-ngomong soal sarapan, aku tidak sama sekali melupakan itu meskipun kegugupan masih mendera, dan salah tingkah akibat apa yang dilakukan Pak Naren barusan belum bisa sepenuhnya aku hilangkan walau sekuat mungkin aku coba, berharap saja Nara tidak dapat melihatnya, karena jika sampai itu terjadi, habislah aku di tanya-tanya ratu kepo itu.

Wow, sarapannya mahal,” seru Nara takjub ketika aku mengeluarkan sarapanku. “Tumben banget, Cha? Biasanya juga nasi uduk atau bubur ayam,” herannya masih memperhatikan bungkusan dengan logo terkenal yang baru saja aku buka dan menampilkan nasi goreng ayam dengan bau nikmat yang menggugah selera. Bukan hanya itu, di kotak kedua ada potongan buah apel, anggur dan strawberry. Dan di kotak lain ada sandwich juga susu. Ini benar-benar sarapanku yang tidak biasa, wajar Nara melongo melihatnya.

“Iya dong, Na, mumpung semalam baru dapat orderan om-om kaya. Gak salah dong sekarang sarapan yang mahalan dikit,” kedipan nakal aku berikan pada Nara yang cepat-cepat melayangkan jitakan di keningku.

“Untung cuma ada aku di sini, kalau yang lain dengar, bisa-bisa mereka mikir yang enggak-enggak. Seriusan deh, Cha, tumben banget kamu sarapannya mahal gini, dapat rezeki dari mana sih?” Nara bertanya penasaran, sambil meraih satu sandwich milikku tanpa izin lebih dulu, membuat dengusanku meluncur, tapi tetap aku biarkan karena aku pun tidak mungkin menghabiskan semua itu sendiri.

“Gak tahu. Tadi begitu sampai, Nila manggil, katanya ada titipan dari abang driver. Eh ternyata makanan, ya alhamdulillah, rezeki anak sholeh di pagi hari,” jelasku apa adanya, seraya melahap satu sendok penuh nasi goreng ayam yang rasanya benar-benar nikmat. Berbeda dengan nasi goreng yang biasa aku beli di si mamang depan kompleks. Ini ayamnya lebih banyak, telur dadarnya lebih enak, dan sayurannya terlihat masih segar. Pokoknya mantap, apalagi semua ini gratis. Dimakannya pun makin nikmat karena tidak perlu memikirkan berapa uang yang harus keluar.

“Kemarin bunga, sekarang sarapan, besok-besok apa lagi?!” ujarnya dengan dengusan iri, dan aku hanya menanggapi dengan tawa.

Sore ini aku dibuat kembali bingung untuk pulang karena motorku ternyata tidak ada di tempat kemarin aku parkirkan dan sialnya Nara tidak membawa kendaraan yang mana aku tidak bisa ikut menumpang. Pak Naren pun belum ada menghubungi bagaimana nasib si ungu kesayanganku. Ingin menanyakan tapi bingung harus bagaimana caranya, aku tidak memiliki kontak pria itu, karena semalam lupa menghubungkannya lebih dulu.

“Sial!” rutukku seraya menendang kerikil kecil yang berada di depanku, sampai sebuah ringisan menyadarkanku dan semakin membuatku merutuk kecerobohan yang kadang kala meresahkan.

“Apa yang kamu lakukan, Maricha!” geraman itu terdengar menyeramkan di pendengaranku, apalagi tatapannya yang menusuk membuatku menciut.

“Maaf Pak, saya gak sengaja,” ringisku seraya mengangguk singkat sebagai tanda maaf. “Sakit, ya, Pak?” tanyaku melangkah mendekat pada sosok tampan yang berdiri dengan tangan menyentuh pelipisnya. Membuatku mengernyit seraya berpikir mengenai kemungkinan pria itu bohong, pasalnya aku tidak yakin mampu menendang kerikil tadi sampai bisa mampir ke sana. Tapi ketika aku memberanikan diri menarik tangan Pak Naren demi melihat bukti, ringisanku semakin keras karena di sana, tepat di pelipis sebelah kiri Pak Naren terdapat tanda kemerahan yang aku yakini hasil dari sentuhan krikil yang kutendang tadi.

“Sumpah, gak sengaja,” ujarku seraya memberi acungan jari tengah dan telunjuk, membentuk huruf ‘V’. “Salah Bapak kenapa tiba-tiba muncul di sana,” lanjutku tidak ingin sepenuhnya merasa salah. Karena itu memang benar, salah pria itu kenapa tiba-tiba datang di saat aku melampiaskan kekesalan.

“Kamu yang gak ada kerjaan, menjelang malam gini malah keluyuran di parkiran bukannya pulang,” dengusan Pak Naren terdengar, membuatku melayangkan delikan.

“Motor saya kenapa belum balik ke tempatnya, Pak?” tanyaku mengalihkan, selagi ingat tujuan keberadaanku di tempat sepi ini.

“Mana saya tahu,” cueknya seraya melangkah melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan kunci mobil dari saku celana bahannya.

“Eh, eh, Pak kok gitu? Kan Bapak yang bertanggung jawab atas motor saya semalam.”

“Saya cuma minta orang bawa motor kamu ke bengkel, selebihnya urusan kamu,” Pak Naren mengedikkan bahu seolah tak ingin tahu, membuatku gemas dan ingin sekali menendang pria itu, kini dari pada merasa bersalah aku rasanya menyesal kenapa tidak batu besar saja yang di tendang hingga wajahnya, biar pria yang sialnya tampan itu tahu rasa.

“Kalau gitu motornya di bengkel mana?” tanyaku yang ingin menyudahi perdebatan menyebalkan ini. Aku juga ingin segera terbebas dari pria tidak jelas itu. Tapi sialnya Pak Naren malah lagi-lagi mengedikkan bahu, menambah kekesalanku yang kini tak segan-segan menimpuknya dengan tas.

“Gak mau tahu, anterin saya pulang!” ujarku melenggang begitu saja menuju mobil Pak Naren yang kemarin malam aku tumpangi. Tidak ada rasa segan, karena aku sudah lebih dulu di liputi kekesalan. Masa bodo dengan kesopanan, toh Pak Naren sendiri yang memulai membuatku kesal.

“Cepat Pak, saya lapar!” aku yang sudah duduk nyaman di mobil Pak Naren menyembulkan kepala, menatap geram si bos yang masih tidak bergerak di tempatnya.

“Kamu yang lapar, urusannya sama saya apa?” tanya heran itu datang ketika Pak Naren duduk di balik kemudi, sama sekali tidak menoleh ke arahku yang berada di sampingnya.

“Karena Bapak yang anter saya pulang,”

“Saya gak bilang setuju,” liriknya sekilas karena kini pria itu sudah melajukan mobilnya meninggalkan parkiran. Dan aku baru tersadar bahwa apa yang dilakukan barusan bisa saja dipergoki orang lain. Akan bahaya jika itu karyawan terlebih yang haus gosip-gosip baru. Tiba-tiba saja aku berubah panik dan terus melirik ke belakang, mencari tahu kebenaran atas pikiranku yang mendadak tak karuan.

“Kamu nyari apa?” pertanyaan Pak Naren aku abaikan masih terus lirik-lirik ke belakang, lalu cepat-cepat membuka ponsel dan melihat grup kantor yang biasanya selalu ramai. Aku takut menjadi sasaran gibahan para karyawan kantor. Gak lucu ‘kan nanti kalau benar ada yang memergoki dan berhasil mengambil potretku di parkiran tadi bersama Pak Naren.

“Cha?” panggilan Pak Naren lagi-lagi aku abaikan karena lebih memilih untuk fokus pada ponsel di tangan. “Cha-Cha kamu mau ikut turun apa saya tinggal?!” terdengar geraman kesal Pak Naren yang membuatku refleks mendongak lalu menatap sekeliling, takut-takut aku tidak menyadari telah sampai di depan kosan. Tapi salah, aku malah justru bingung karena yang kulihat di kanan, kiri, depan belakang, bukan bangunan yang aku hafal di daerah kos, melainkan area apartemen yang cukup terkenal dan pastinya berharga mahal.

“Kok, ke sini, Pak?” tanyaku dengan kening mengerut dalam, bingung mengapa aku di bawa ke daerah ini. Apa mungkin Pak Naren salah mengenali kos-ku semalam? Tapi masa iya?

“Saya ada urusan di sini sebentar. Kamu mau ikut turun apa nunggu di mobil?”

“Seberapa lama urusan Bapak?” Pak Naren mengedikkan bahunya seraya membuka sabuk pengaman yang membalut tubuhnya lalu keluar tanpa memberi jawaban pasti. Membuatku pada akhirnya mengikutinya meskipun tidak tahu pria itu mengizinkan atau tidak. Tapi bukankah tadi Pak Naren mengajak? Ah, masa bodo lah, yang penting sekarang aku ikuti saja dulu. Karena aku juga yang salah sudah menumpang tanpa bertanya lebih dulu pada Pak Naren yang pastinya memiliki kesibukan lain selain pekerjaannya di kantor. Bisa saja ‘kan Pak Naren diam-diam open BO.

“Pak Naren mau ketemu klien?” tanyaku ketika sudah menyamakan langkah dengannya.

Tidak ada jawaban yang Pak Naren berikan, dan itu membuatku berdecak kesal sambil terus mengikutinya yang kini masuk ke dalam lift yang kosong. Lagi dan lagi aku terjebak bersamanya di dalam kotak besi itu. Sungguh aku deg-degan, tapi berusaha untuk terlihat biasa saja walau sebenarnya bayangan tadi pagi terbayang begitu saja, membuat wajahku tiba-tiba saja menghangat. Tapi semoga saja semburat merah itu tidak nampak kepermukaan. Bisa semakin malu aku kalau sampai itu terjadi.

“Mau keluar gak?”

Aku tersadar dari lamunan tidak jelas ini. Pak Naren berdiri di luar lift menahan pintu besi itu agar tidak dulu tertutup. Cepat-cepat saja aku keluar karena tidak ingin semakin terlihat bodoh di depan bos-ku yang tampan meskipun sedikit menyebalkan, tidak-tidak, tepatnya lebih banyak menyebalkannya.

Aku tidak tahu ke mana Pak Naren akan membawaku karena sekarang fokusku tertuju pada tempat mewah yang baru pertama kali aku kunjungi. Luarnya sudah membuatku terpesona, aku jadi penasaran bagaimana isi di balik pintu yang tertutup itu. Tapi seketika keningku mengerut, sadar akan pertemuan dengan klien yang tidak mungkin dilakukan di sebuah apartemen. Benar bukan? Lalu urusan apa bos tampanku itu di sini? Apa benar apa yang aku pikirkan tadi, mengenai Pak Naren yang open BO?

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jodoh dan Takdir - Bab 6
0
0
"Pak Naren,” panggilku dengan suara pelan dan terkesan lirih karena aku malah jadi semakin tak kuat berlama-lama menyaksikan punggung lebar itu. Baru punggung, apa kabar dengan bagian lainnya. Tuhan selamatkan aku dari keadaan ini! Jeritku membatin.“Pak,” kembali suaraku meluncur dengan niat membangunkan Pak Naren yang terlihat nyenyak dalam tidurnya.  Tapi bukan hanya panggilan saja, tanganku pun sudah bergerak menyentuh permukaan lengan bagian atas Pak Naren yang telanjang, hingga rasa hangat dari sentuhan itu seakan tersalur dan melumpuhkan semua saraf dalam tubuhku. Sampai aku tak sadar dengan tarikan Pak Naren yang tiba-tiba dan sesuatu yang memiliki tekstur kenyal nan hangat menyentuh permukaan bibirku.Untuk beberapa saat tidak ada yang terjadi selain bibir yang menempel dengan tatap saling terkunci, sampai beberapa detik terlewati aku merasa gerak lembut dari benda kenyal itu. Terasa hangat dan manis dengan aroma mint tercium jelas, terasa menenangkan hingga tanpa sadar mataku terpejam. Menikmati gerak lembut yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan