SUAMIKU SUAMIMU

17
0
Deskripsi

"Lebih baik melepaskan dengan keikhlasan dari pada bertahan dengan keterpaksaan."
(Nuri Wulandari)

"Aku lelah, aku kehilangan arah. Bantu aku menemukan diriku kembali."
(Andri Firmansyah)

"Jangan pedulikan aku, agar aku tidak terjebak lebih dalam. Aku takut tak mampu mengendalikan perasaanku."
(Rini Anggraini)

Kisah cinta segitiga yang penuh drama dan konfik. Bagaimana akhir dari takdir ketiganya?

SUAMIKU SUAMIMU (PART 1 SAMPAI 10)

Part 1. Siapa Dia?

Kulirik jam dinding di atas kepalaku. Pukul 12:10. Astaghfirullah, pantas saja perutku mulai berontak minta diisi rupanya sudah masuk jam istirahat makan siang. Segera kubenahi berkas-berkas yang masih berserakan di meja kerjaku. Ya, sedari pagi aku tidak meninggalkan meja kerjaku sebab ada beberapa pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Aku bekerja sebagai  staff Aparatur Sipil Negara sejak 5 tahun lalu setelah mencoba peruntungan dengan mengikuti tes masuk ASN.

“Nuri, masih di sini? Bukannya tadi sudah izin mau pulang lebih awal?” terdengar suara Pak Indra, atasanku di kantor ini.

“Iya, Pak. ini lagi siap-siap mau cari makan sekalian pulang. Maaf ya, Pak. Berkas kontrak kerjanya belum selesai Insya Allah akan saya selesaikan besok,” jawabku sambil meraih gawai dan tas kerjaku.

“Tidak masalah Nuri, batas perjanjiannya masih sampai senin depan. Uruslah dulu putramu hingga benar-benar sehat kembali baru memikirkan kerjaan kantor.”

Aku memang minta izin pulang lebih awal untuk membawa anak sulungku Aldy ke dokter, 2 hari ini badannya panas dan setiap malam tidur mengigau bahkan semalam Aldy mengangis dalam tidurnya.

“Terima kasih pengertiannya Pak Indra, saya pamit dulu, ya, Pak. Assalamualaikum,” sahutku sambil berjalan keluar kantor.

***

Baru sekitar sepuluh menit di jalan raya, terdengar adzan Dzuhur berkumandang. Kubelokkan mobilku ke arah restoran yang ada di pinggir jalan raya. Selain untuk mengisi perut juga membeli makanan untuk Aldy karena selama sakit dia tidak berselera makan. Di area resto juga ada mesjid, aku berencana sholat Dzuhur dulu. Aku menengok kanan kiri mencari tempat parkir namun sepertinya area parkir penuh, restoran ini memang selalu penuh sesak di jam-jam istirahat seperti ini.

Setelah menunaikan sholat Dzuhur di mesjid sebelah resto, aku melangkah ke arah restoran dan kemudian memilih naik tangga yang agak memutar ke lantai 2 resto karena di bawah sepertinya penuh.  Aku memilih duduk di dekat jendela kaca yang lebar dan menyajikan pemandangan jalan dan sebagian sudut restoran dilantai bawah. Desain restoran ini dibuat sedemikian rupa sehingga lantai 2 dan lantai 1 nya terlihat seperti bangunan yang berbeda. 

Aku makan dengan lahap sambil sesekali berbalas chat  dengan Aldy, kusuruh ia bersiap untuk segera kujemput. Aku mengedarkan pandanganku ke bawah melihat lalu lalang kendaraan pengunjung restoran yang baru datang dan yang keluar dari parkiran.

Tiba-tiba netraku menangkap sosok yang tidak asing lagi di resto bawah. Ya aku tidak salah lihat itu Mas Andri, suamiku. Dia terlihat lagi makan sambil bercengkrama. Aku tersenyum senang. Segera kuraih tasku, aku akan menyapanya dahulu sebelum pulang kerumah. Namun, tubuhku mematung ketika melihat Mas Andri yang lagi mengarahkan tangannya ke arah wanita yang ada di depannya. Kufokuskan netraku dan terlihat tangan Mas Andri lagi mengelap bibir wanita di depannya dengan jarinya.

DEGGG!!

Aku terhuyung dan kembali terduduk di kursiku semula. Mas Andri suamiku, yang selama ini kukenal soleh dan tidak pernah menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Tapi kenapa dia menyentuh wanita di depannya? Kembali kufokuskan netraku untuk melihat siapa wanita yang ada di sebelahnya, namun karena posisinya agak membelakangiku, aku tak bisa melihat wajahnya.  Aku mengenali  beberapa orang di meja sebelah Mas Andri, mereka adalah para karyawan di kantor Mas Andri. Namun di meja Mas Andri hanya ada dia dan wanita itu.

Ahh, aku tak mau beburuk sangka pada suamiku. Kuputuskan mengunggu mereka selesai dan keluar dari restoran. Sekali lagi jantungku serasa mau meledak ketika kulihat Mas Andri keluar dari pintu restoran sambil menggenggam tangan wanita yang tadi makan bersamanya.

“Rini ... ” lirihku sambil menutup mulutku dengan tangan. Air mataku seketika jatuh melihat pemandangan di depan mataku. Rini, dia adalah ....

Bersambung🥰

 

Part 2. Pengakuan Aldy

Rini, dia adalah karyawan bagian marketing di perusahaan Mas Andri. Rini sudah kuanggap sebagai adik seligus sahabatku. Usianya sekitar 10 tahun lebih muda dariku, kami berasal dari daerah yang sama. Rumahnya berjarak 6 rumah dari rumah ibuku. Bahkan aku yang membawanya dari kampung dan mengusulkan kepada Mas Andri untuk menerimanya sebagai karyawan di perusahaan advertising yang dikelola Mas Andri.

Tapi mengapa suamiku tadi menggenggam tangan Rini? Bukankah selama ini kami menjalani hubungan suami istri yang mencontoh sunnah Nabi. Aku dan suamiku sudah beberapa tahun belakangan sepakat untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahrom agar tidak bersentuhan selain kepada mahrom kami. Lalu mengapa tadi Mas Andri begitu gampangnya menyentuh Rini? Kepalaku mendadak pusing. Kuputuskan untuk segera pulang sebelum air mataku kembali jatuh. Buru-buru kuselesaikan transaksi di kasir dan mengambil beberapa bungkus makanan yang kupesan untuk anak – anakku.

“Assalamualaikum …” sapaku sambil membuka pintu rumah.

“Walaikumsalam, Ma ...” sahut Aldy. Dia lagi berbaring di ruang tengah sambil memainkan gawainya. Segera Aldy beranjak dan meraih punggung tanganku seraya menciumnya. Sedetik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai sepuluh detik Aldy belum juga melepaskan tanganku. Ini membuatku sedikit heran, kemudian kuusap kepala anak remajaku ini dengan tanganku yang satunya. Sekilas setelah melepaskan punggung tanganku kulihat mata Aldy merah seperti menahan tangisan.

Aldy Habibie, anak sulungku yang kini beranjak remaja. Aldy sekarang duduk di kelas 1 SMP sedangkan adiknya Nanda Zafira baru berusia 5 tahun. Aldy adalah anak yang tidak banyak bicara, namun pembawaannya terlihat lebih dewasa. Hal yang sangat kusyukuri bahwa Mas Andri mendidik anak lelakinya dengan sangat baik, sehingga Aldy di usia remajanya termasuk anak yang kalem. Dia tidak suka keluyuran dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama adiknya ataupun bersama kami pada saat aku dan suamiku lagi libur bekerja.

Kutatap mata Aldy yang masih merah  namun aku enggan menanyakan padanya, mungkin karena pengaruh Aldy lagi demam.

“Makanlah dulu, Nak” kataku setelah menyiapkan makanan yang tadi kubawa.

“iya, Ma,” jawabnya singkat.

“Mama nengokin adikmu dulu ya ke kamarnya sekalian pamit sama Bi Ina” ucapku sambil berlalu menuju kamar anak bungsuku.

*** 

“Maaf bu, sepertinya anak ibu lagi banyak pikiran. Apakah di sekolahnya dibebani tugas sekolah yang berat? Anak ibu seperti lagi depresi, telapak tangannya dingin dan pandangan matanya tidak fokus. Saya menyarankan Ibu membawanya ke Psikiater," kata dokter setelah memeriksa Aldy. 

WHAT??? Aku mengerutkan kening, setahuku tidak ada masalah dengan kegiatan sekolah Aldy. Dan psikiater??? Mengapa harus ke psikiater? Apakah kejiwaan Aldy bermasalah? Beribu pertanyaan melintas di benakku mendengar penjelasan dokter tadi.

Kupacu mobilku dengan kecepatan sedang, kuputar musik insrument agar bisa lebih rileks. Sesekali kulirik Aldy yang lagi duduk di sampingku, tatapannya lurus kedepan tanpa ekspresi. Aku memutuskan mampir ke taman kota ada danau kecilnya, Aldy tidak protes ataupun bertanya dia hanya mengikuti langkahku. Aku harus mencari tau ada apa dengan Aldy.

“Duduk di sini dulu yuk, Nak. Mama agak capek hari ini, di kantor tadi banyak pekerjaan. Boleh kan mama rileks sebentar di taman ini,” kataku sambil mengajak Aldy duduk di kursi taman yang menghadap ke danau buatan. Aldy hanya tersenyum dan duduk. Dia belum bicara satu kata pun sejak pulang dari doker tadi.

Hening

Hening

“Ma ... Apa mama dan papa baik-baik saja?” katanya lirih membuka percakapan.

DEGGG!!! Aku terkejut dan melirik cepat kedalam matanya. Tiba-tiba Aldy memelukku erat sambil menangis sesegukan. Oh My God,  ada apa ini? Baru beberapa jam yang lalu aku melihat suamiku menggandeng tangan wanita lain dan sekarang anak lelakiku bertanya dan menangis seperti ini. Sungguh aku benar-benar tidak mengerti, aku menerka – nerka apa yang terjadi. Kepalaku pusing, aku seperti mengurai benang kusut. Aku tak tau dimana ujung pangkalnya. Aldy melepaskan pelukannya padaku dan kembali duduk dengan tegak di sampingku.

“Ma, Aldy tau Mama dan Papa lagi ada masalah. Aldy beberapa kali melihat papa jalan dengan Tante Rini tanpa Mama. Aldy takut ....” Dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya dan air matanya sudah membanjiri pelupuk matanya.

Bersambung.

 

Part 3. Informasi Alamat

“Astaghfirullahaladzim ....” Aku berkali-kali mengucapkan istighfar menanggapi cerita Aldy. Aku sungguh tak menyangka dan aku tak tau apa-apa selama ini. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang kulihat tadi siang di restoran masih menggantung di benakku. Dan kini anakku mengungkapkan cerita tentang papanya yang selama ini tidak kuketahui. Ya Allah, aku bahkan belum sempat menanyakan hal ini kepada Mas Andri tapi sekarang harus menghadapi pertanyaan Aldy yang aku sendiri pun tak tau harus menjawab apa.

“Kita pulang yuk, Nak. Kasian adik kamu menunggu di rumah. Tidak semua apa yang kita lihat itu seperti apa yang kita bayangkan, Nak. Aldy tau papa kan, selama ini papa adalah papa yang sangat baik bagi kalian. Sebaiknya jangan berprasangka buruk dulu sebelum memastikan semuanya. Mama dan papa baik-baik saja Nak, tidak ada yang mama sembunyikan dari kamu dan adik kamu,” ucapku kemudian, walaupun batinku sendiri ragu dengan apa yang kuucapkan.

***

Aku memarkirkan mobilku di samping mobil Mas Andri. Ternyata Mas Andri pun sudah pulang ke rumah. Kuhela nafas panjang sebelum keluar dari mobil, Aldy melirikku sekilas. 

“Assalamualaikum,” ucapku berbarengan dengan Aldy.

“Walaikumsalam, horee mama dan abang sudah pulang,” sahut Mas Andri sambil menggendong Nanda yang terlihat baru mandi. 

“Gimana Abang sudah sehat belum? Abang kok agak pucat?” tanya Mas Andri pada Aldy, tangannya berusaha memegang kening Aldy. Mas Andri memang bisa memanggil Aldy dengan sebutan ‘abang’ katanya agar Nanda juga ikut terbiasa dengan panggilan abang pada kakaknya. Aldy tak menjawab, dia melengos ke arah kamarnya kemudian masuk dan menutup pintu. Kuhela nafasku. Mas Andri menatapku matanya seolah bertanya ada apa.

“Aldy kecapean Mas, biarkan dia istirahat dulu. Aku juga mau mandi dulu,” sahutku berlalu sambil tersenyum pada Nanda dan mencubit pipinya.

***

“Makanan ini dari siapa, Dek?” tanya Mas Andri sambil memegang kotak makanan yang kubawa tadi siang. Dia pasti membaca merk restorannya, restoran yang tadi siang dikunjunginya bersama Rini. Aku terdiam sambil memperhatikan perubahan wajahnya, dia tak menampakkan ekspresi apapun.

“Aku yang membelinya Mas, sengaja mampir di sana tadi siang beli makanan buat Aldy, beberapa hari ini dia kehilangan selera makan,” sahutku. “Aku tadi pun tadi siang sempatkan makan siang dan sholat Dzuhur di sana,” lanjutku kemudian sambil menatapnya, aku menunggu reaksinya.

“Loh, mas juga tadi siang makan di sana bareng anak-anak marketing. Mereka sukses mencapai target pemasaran bulan lalu, jadi mas traktir makan biar mereka tambah semangat. Mungkin kita selisihan waktunya jadi gak ketemu,” ucapnya panjang lebar.

“Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu, Mas. Apakah mas ada waktu?”

Ddddrrrtttttt….. DDdrrrrrtttt…. Gawaiku berbunyi. Kuraih dan melihat panggilan masuk dari Eko, orang kepercayaan Mas Andri. Sepertinya dia akan memberi kabar mengenai tugas yang kuberikan padanya.

“Assalamualaikum, Eko."

“Walaikumsalam, Bu. Saya sudah menemukan alamat yang ibu cari, bisakah malam ini Ibu ke sana? Sepertinya ada yang mereka mau sampaikan tapi mereka menunggu Ibu sendiri yang datang,” jelas Eko di telpon. Aku melirik Mas Andri, kurasa dia juga mendengar apa yang Eko katakan dari speaker ponselku.

“Baik Eko. Terima kasih atas informasinya. Insya Allah sore ini saya langsung kesana. Kirimkan alamat lengkapnya padaku,” jawabku mengakhiri panggilan.

Aku berdiri sambil menatap Mas Andri. “Mas, temani aku ke alamat yang dikirim Eko, ya,” pintaku.

“Iya, Sayang. Mas tak mungkin membiarkanmu menemuinya seorang diri. Tunggulah sebentar mas bersiap-siap dulu,” ucapnya berlalu di sampingku sembari mencuri membelai kepalaku.

Bersambung.

 

Part 4. Sepenggal Masa Lalu

Namaku Nuri Wulandari. Aku adalah anak tunggal. Ralat, aku memiliki 2 orang saudara kandung beda ibu. Namun sejak kecil aku tidak pernah tau tentang kedua kakakku itu. Mereka hampir tidak pernah berkunjung ke rumah kami. Aku hanya mengetahui keberadaan mereka dari cerita ayah dan ibuku dahulu sewaktu aku kecil. Yang kuingat, pertama dan terakhir kali aku bertemu mereka pada saat pemakaman ayahku, waktu itu usiaku baru 8 tahun. Beberapa bulan yang lalu aku mengambil cuti tahunan yang berbarengan dengan jadwal libur sekolah Aldy anakku dan pulang kerumah ibu di kampung. Kami bertiga aku, Aldy dan Nanda hampir 2 minggu berada dirumah ibu. Suatu hari, aku membersihkan gudang dirumah ibu dan menemukan beberapa catatan ayah serta diary usang milik ibu di masa mudanya. Iseng kubuka buku usang yang berisi catatan pesanan pelanggan konfeksi ayah. Ya, ayah dulunya membuka usaha konfeksi setelah resign dari profesinya sebagai guru, ini cerita yg kudengar dari ibu bahwa sebelum aku lahir ayah adalah seorang guru pegawai negeri namun kemudian resign dan membuka usaha menjahit.

Dari buku tersebut aku menemukan jejak keberadaan kedua kakakku. Aku penasaran seperti apa mereka sekarang? Mengapa tak pernah sekalipun mengunjungiku? Padahal dalam agama Islam saudara seayah adalah saudara kandung, artinya kami saudara kandung. Kemudian kuputuskan untuk mencari mereka setelah kembali dari rumah ibu dengan bantuan Eko, orang kepercayaan Mas Andri. Tak lupa kubawa buku ayah dan diary ibu yang kutemukan digudang rumah ibu.

Dan disinilah aku sekarang, di alamat yang dikirimkan Eko lewat aplikasi Whatsapp tadi. Tidak mudah menemukan titik alamat ini, perlu waktu 2 minggu Eko menelusuri jejak petunjuk alamat awal yang ada di buku catatan ayah. Rupanya selama ini mereka sudah berkali-kali berpindah tempat tinggal.

Mas Andri menatapku kemudian memegang tanganku seolah memberiku kekuatan untuk masuk ke dalam rumah tujuan kami. Sejenak kulupakan masalah diantara kami. Ah ralat, sepertinya masalahku sendiri karena sampai detik ini Mas Andri tidak membahas apapun dan tetap sama seperti Mas Andri yang telah bersamaku selama 13 tahun pernikahan.

'Ayo dik, kita masuk. Biar gak kemalaman pulangnya, kasian anak-anak," ucap Mas Andri sambil meremas tanganku. Dia tau aku gugup akan bertemu dengan saudara yang mungkin tidak pernah menganggap aku ada.

"Assalamualaikum," sapaku sambil mengetuk pintu rumah yang terlihat sederhana itu.

"Walaikumsalam." Terdengar sahutan dari dalam rumah. Kemudian muncullah seorang ibu yang sebaya dengan ibuku.

"Ini Nuri ya, silahkan masuk. Mari kita bicara didalam," katanya sambil membuka lebar pintu mempersilahkan kami masuk.

"Maaf bu saya Andri suaminya Nuri, kami langsung saja pada tujuan kami kesini. Istri saya ingin bertemu dengan kakak-kakaknya Amir dan Rizal. Apakah benar mereka tinggal disini?" tanya suamiku setelah kami duduk. Aku melihat beberapa map lusuh diatas meja. Walaupun penasaran, aku memilih tidak menanyakannya.

Ibu itu menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya. Perlahan tangannya meraih map yang ada dimeja kemudian membukanya pelan. "Saya bu Lina, adik dari ibunya Amir dan Rizal. Sebenarnya saya bingung harus mulai dari mana menceritakan kepada nak Nuri. Silahkan ambil dan baca berkas-berkas ini. Ibu harap ini bisa menjelaskan semuanya."

Dengan sigap kuambil berkas yang disodorkan bu Lina padaku, aku penasaran mengapa mau bertemu saudaraku tapi yang disodorkan adalah map-map lusuh ini. Perlahan kubuka map pertama, kubaca berkas paling atas kertas berkop Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aku mengerutkan dahi saat membaca "surat penahanan" atas nama Rizal Arifin yang ditahan atas dakwaan kasus pembunuhan. Lututku terasa lemas, badanku bergetar setelah membacanya. Aku merasakan Mas Andri memeluk pundakku dan mengusap bahuku memberiku kekuatan. Kututup map itu kemudian beralih membuka map yang satunya. Netraku seketika berembun membaca berkas selanjutnya pada map itu, surat keterangan pemakaman atas nama Amir Mulyadi kakak pertamaku. Yang dilengkapi dengan surat keterangan dari rumah sakit bahwa penyebab meninggalnya karena overdosis. Ya Allah, tak sanggup lagi kutahan air mataku. Niat untuk bertemu kembali dengan kedua kakak ku membawaku pada kenyataan pahit seperti ini. Kakak pertamaku sudah meninggal 7 tahun lalu dan kakak keduaku sedang menjalani hukuman penjara karena kasus pembunuhan. Cobaan apa lagi ini ya Robb, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku bersandar. Aku menagis didada Mas Andri, dia membelaiku lembut memberi kekuatan.

***

"Masih pusing dik?" tanya Mas Andri ketika kami sudah di kamar. Aku tadi memang meminta untuk mampir ke apotek membeli obat sakit kepala sepulang dari rumah bu Lina. Kepalaku terasa berat menghadapi beberapa kejadian beruntun hari ini.

"Sudah agak mendingan, istirahatlah, Mas. Aku mau ke kamar Nanda dulu, seharian ini aku tidak memberinya perhatian karena fokus ke pemulihan Aldy," kataku. Aku berjalan keluar kamar tanpa menunggu jawaban Mas Andri.

Saat kembali kekamar, kulihat mas Andri belum tidur dan masih memainkan gawainya sambil tersenyum. Sepertinya dia lagi asyik chatting dengan seseorang hingga tak menyadari kehadiranku. Kusibak bed cover disebelahnya kemudian tidur memunggunginya. Tiba-tiba tangan kekarnya memeluk pinggangku dari belakang. Ahhh, aku kembali teringat kejadian tadi siang di restoran. Ingin rasanya kutepis tangannya. Namun disisi lain hatiku merasa sangat nyaman dalam pelukannya. Aku sudah melalui hari yang berat hari ini dan aku benar-benar perlu tempat untuk bersandar. Inilah yang membuatku terdiam dan menikmati dekapan mas Andri.

"Dik, tadi sore katanya ada yang mau dibicarakan dengan mas? Apa yang ingin adik bicarakan?" tanyanya lembut di telingaku. Aku bergidik merasakan hembusan nafasnya yang mengenai telinga dan leherku. Kuubah posisiku menghadapnya, kamipun bertatapan.

"Iya, Mas, Ada hal yang ingin kutanyakan padamu. Tapi sepertinya tidak malam ini, aku terlalu lelah dan masih syok dengan berita tentang kakak kandungku. Taukah kamu Mas, mereka seperti itu karena perpisahan orang tua mereka yaitu ayahku dan ibu mereka. Aku pernah membaca sepenggal diary ibu yang kutemukan di gudang rumah ibu. Sejak ayah menikah dengan ibu, kedua kakakku dan ibunya kemudian menjauh dan tidak mau berhubungan lagi dengan ayah. Bahkan Kak Amir dan Kak Rizal kemudian sepertinya sangat membenci ayah, ibu dan aku. Itulah mengapa diwaktu kecil mereka tidak pernah mengunjungi kami, cerita tentang mereka berdua hanya kudengar dari mulut ayah. Ayah sangat menyayangi dan membanggakan mereka, ayah menceritakan semua tentang mereka padaku." aku bercerita panjang sambil menahan rasa sesak di dadaku mengingat masa kecil dan ayahku. Mas Andri mendengarkanku dengan seksama. 

Matanya menatap tajam kepadaku dan tangannya mengusap-usap kepalaku.

"Mas, aku tidak mengerti kenapa Kak Amir dan Kak Rizal membenciku. Aku memang lahir dari pernikahan kedua ayah, itu yang membuat mereka membenciku dan ibu. Mereka menganggap kami merebut kasih sayang ayah." Aku menyeka air mataku.

"Sudahlah, Dik, itu semua sudah takdir dari Allah. Kita manusia hanya perlu pasrah dan menerima apa yang sudah digariskan oleh-Nya," katanya. Dia memelukku, membenamkan kepalaku di dadanya.

"Semoga rumah tangga kita dan keturunan kita tidak mengalami hal seperti itu ya, Mas." Aku mendongakkan kepalaku menatap matanya. Lelaki itu diam tidak menjawab. Dia mengeratkan pelukannya padaku.

"Istirahatlah, Sayang, aku mencintaimu," sahutnya lirih kemudian mengecup bibirku sekilas.

Bersambung.

 

Part 5. Bahasa Tubuh Mereka Menggangguku

Kulangkahkan kakiku memasuki kantor Mas Andri. Para karyawan menyapaku dengan ramah. Hari ini hari Sabtu, kantorku libur di hari sabtu tapi bukan hari libur untuk Mas Andri, perusahaannya hanya libur di hari Minggu dan tanggal merah. Aku mememcet tombol lift dan menunggu, ruangan Mas Andri ada di lantai 3. Lama menunggu, dari arah sebelah kiriku kulihat Rini yang sedang berjalan membawa beberapa berkas. Dia terlihat begitu senang melihatku kemudian tersenyum dan menghampiriku.

"Mbak Nuri, masya Allah  Rini kangen sama Mbak. Gimana kabarnya Mbak Nuri dan anak-anak soleh solehanya?" sapanya riang sambil menyalamiku kemudian cipika - cipiki.

"Baik Rin, anak-anak juga kabarnya baik. Kamu sendiri apa kabar, Rin? Kamu sekarang terlihat lebih cantik dan lebih segar," jawabku sambil memperhatikan penampilannya. Rini memakai gamis dan jilbabnya terjulur panjang menutupi dadanya. Penampilannya jauh lebih agamis dibanding pertama kali aku mengajaknya ke kota ini. Aku tersenyum padanya.

"Alhamdulillah Rini juga baik, Mbak. Ini semua juga karena kebaikan Mbak Nuri sehingga Rini bisa seperti ini. Bagi Rini, Mbak Nuri itu malaikat yang dikirim Allah untuk mengangkat kehidupan kelam Rini," ujarnya, matanya berkaca-kaca.

"Ah kamu berlebihan Rin. Kamu begini karena memang kamu memang punya kualitas. Kudengar dari Mas Andri divisi kalian sukses besar ya bulan lalu, selamat ya Rin, kamu memang bisa diandalkan tidak salah mbak membawamu ke sini."

"Wah anak marketing bisa ge-er nih Mbak kalo dengar Pak Andri sampai memujinya. Iya Mbak itu semua karena kekompakan anak-anak marketing mbak. Rini senang sekali bekerja di sini dan bekerja sama dengan mereka. Oh iya, ini Rini juga mau ke ruangan Pak Andri. Nggak apa-apa kah Mbak Rini ganggu? Kalau Mbak Nuri keberatan Rini bisa menunda berkas-berkas ini," katanya sambil mengangkat berkas di tangannya.

"Tidak apa-apa, Rin. Justru Mbak yang ganggu, ini kan masih jam kerja ... Hmmm ... Rin, gimana kabar ibu kamu dikampung?"

"Alhamdulillah baik, Mbak. Sejak Rini bekerja, ibu juga sudah mulai sehat kembali dan tidak berurusan lagi dengan para rentenir itu. Sekali lagi terima kasih Mbak atas kebaikan hati Mbak Nuri mau membawa saya kesini dan menerima saya bekerja," ucapnya. 

Kondisi Rini dan ibunya memang sangat memprihatinkan dulunya. Mereka setiap hari diteror oleh rentenir yang menagih hutang almarhum ayah Rini yang semasa hidupnya suka bermain judi. Ibunya sakit-sakitan dan kurus kering memikirkan nasib mereka, bahkan Rini hampir saja dibawa paksa oleh rentenir untuk jaminan hutang ayahnya. 

Beruntung pada saat itu kami sekeluarga kebetulan lagi berkunjung ke rumah ibu. Mas Andri kemudian bernegosiasi dengan rentenir itu meninta waktu pelunasan hutang ayah Rini. Kemudian aku menawarkan Rini untuk ikut denganku ke kota kami mencari pekerjaan yang layak. Dan akhirnya di sinilah dia, setelah aku merengek pada Mas Andri agar mencoba menerima Rini bekerja di perusahaan mas Andri. Walaupun Rini hanya berijazah SMU namun dia gadis yang jujur. Bukankan kejujuran adalah modal utama, ilmu yang lain bisa dicari dan dipelajari. Dan Ternyata dugaanku benar, Rini sukses membawa perubahan pada perusahaan Mas Andri terutama divisi marketing. Ide-ide marketingnya sangat cemerlang dan selalu sukses. Itu yang kudengar dari cerita suamiku.

Tak terasa langkah kami sudah sampai di depan ruangan mas Andri. 

"Rini tunggu di sini aja ya Mbak, nggak enak ganggu," katanya berhenti dan duduk di kursi tunggu di depan ruangan.

"Masuk aja Rin, urusan pekerjaan lebih utama dari urusan Mbak. Ayok masuk sama-sama," sahutku sambil menggandeng tangannya.

"Assalamualikum ...." Mas Andry menoleh ke pintu, kulihat dia sedikit terkejut melihat kedatanganku dan Rini.

"Walaikumsalam, kok bisa bareng Rini, Dik?" Senyumnya merekah.

"Iya Mas, tadi ketemu di lift. Aku duduk di sofa. Mas selesaikan saja dulu urusan dengan Rini. Aku nunggu di sini," kataku sambil menunjuk berkas-berkas ditangan Rini.

Rini kemudian duduk berhadapan dengan Mas Andri dan mulai menjelaskan sesuatu. Aku pura-pura melihat ke arah tv namun ekor mataku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mas Andri terlihat bererapa kali mengangguk dan menandatangi berkas. Namun sesekali mereka saling menatap kemudian sama-sama tertunduk kembali. Ingin rasanya aku bertanya tentang kejadian beberapa hari lalu di restoran serta memberitahu pengakuan Aldy pada keduanya. Tapi kutahan semua pertanyaan di benakku. Aku harus menyelidiki lebih jauh, aku tidak mau gegabah ataupun berburuk sangka. Apalagi Rini terlihat sangat menghormatiku.

“Mbak, Rini pamit ya. Sampaikan salamku pada Aldy dan Nanda ya mbak. Rini kangen celotehan mereka,” kata Rini berdiri setelah urusannya dengan Mas Andri selesai.

“Baik Rin, nanti Mbak sampaikan salam dari Tante Rini-nya. Oiya Rin, Mbak mau nanya sesuatu ke kamu, tapi bukan sekarang dan bukan di sini. Kapan-kapan Mbak main kerumahmu ya Rin, masih di alamat yang dulu kan?” tanhaku. 

Rini terlihat terkejut lalu menoleh sekilas ke arah Mas Andri. Mas Andri pun terlihat menatap sekilas pada Rini. Aku terdiam, ada rasa sakit di dadaku melihat interaksi mereka saling menatap sekilas. Mungkin pemandangan ini adalah pemandangan biasa bagiku seandainya tidak melihat kejadian beberapa hari lalu Mas Andri menggandeng tangan Rini.

“Maaf Mbak, Rini lupa mengabari Mbak. Rini sudah pindah sekitar sebulan yang lalu Mbak. Nanti Rini kirim alamat barunya ke Whatsapp Mbak Nuri ya,” jawabnya, suaranya agak pelan dibanding tadi saat berpamitan.

“Oh ya? Kamu pindah kontrakan Rin? Kok nggak bilang-bilang sih, untung aja Mbak belum nongol ke rumah lamamu. Wah kebetulan ini mbak mau sekalian liat kontrakan barumu Rin, lebih dekat dari kantor kah sampai Rini memilih pindah. Padahal kontakanmu yang dulu asik loh Rin, daerahnya aman dan tetangganya juga baik-baik kan."

Sekali lagi Rini menoleh ke arah Mas Andri.

“Rini tidak ngontrak lagi, Dik. Perusahaan memberikan bonus rumah padanya karena Rini berhasil memenangkan proyek besar dua bulan yang lalu. Maaf, Mas juga lupa mengabarkannya padamu. Kapan-kapan kita boleh berkunjung kesana bersama anak-anak." Mas Andri menjelaskan.

Hatiku kembali merasa perih. Banyak yang tidak kuketahui tentang mereka berdua. Aku harus mencari tau, entah mengapa aku merasa mereka berdua seperti salah tingkah dan menyembunyikan sesuatu dariku. Aku menganggukkan kepala, tak sanggup lagi menjawab apapun kepada Rini maupun Mas Andri. Sungguh banyak sekali yang ingin kutanyakan pada Rini, pada Mas Andri, namun aku takut bibirku bergetar dan air mataku mengalir, sekuat tenaga aku mencoba berusaha tenang.

“Yuk Dik, kita berangkat sekarang. Dan Rini tolong kamu handle pertemuan divisi marketing hari ini ya. Aku percayakan padamu," sahut Mas Andri kembali.

Bersambung.

 

 

Part 6. Semakin Penasaran



 

Lembaga Pemasyarakatan.

Aku duduk dengan gelisah menunggu pertemuan pertamaku dengan kakakku Rizal Arifin yang sedang menjalani hukuman di Lapas ini. 

"Mas, kita pulang aja yuk.Aku nggak yakin dia mau bertemu denganku," ucapku lirih.

"Tenang, Dik, jangan berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik memastikan lebih dahulu dari pada menyimpulkan sendiri. Kita tunggu beliau keluar ya." Mas Andri meremas jemariku memberiku kekuatan.

"Saudara Rizal, Anda diberi waktu 30 menit sebelum kembali ke sel Anda." Suara tegas petugas Lapas membuyarkan lamunanku. Kulihat sesosok laki-laki dengan perawakan tinggi menatap ke arahku. Mataku berkabut, aku teringat ayah. Sungguh penampilan Kak Rizal di depanku mengingatkanku pada ayah. Kembali kurasakan jariku diremas lembut oleh Mas Andri, sepertinya ia memahami jika aku sedang tidak baik-baik saja.

"Kak Rizal ..." gumamku lirih sambil berdiri.

"Duduklah, Dek," ucapnya menyuruhku duduk kembali. Dek??? Apa dia memanggilku adek? Apa dia mengingatku yang dulu masih sangat kecil dan polos? Dia duduk di hadapanku dengan menatap tajam padaku. Aku menunduk menerima tatapan tajamnya.

"Aku tau suatu saat kau pasti datang menemuiku. Tapi aku tidak menyangka kita akan bertemu di tempat seperti ini. Aku tidak punya banyak waktu. Apa ada yang mau kau sampaikan padaku?" kata Kak Rizal tetap dengan menatap padaku.

"Tidak ada yang ingin kusampaikan, Kak. Aku hanya ingin bertemu dengan kakak kandungku. Apakah itu salah? Aku tidak mengerti apa yang terjadi di masa lalu, yang aku tau dan ku dengar dari cerita ayah aku mempunyai 2 kakak laki-laki. Aku menemuimu sekarang karena Allah baru memberikan petunjuknya sekarang." Aku tiba-tiba menemukan kekuatan untuk berbicara dan menatapnya. 

Kulihat di luar Mas Andri lagi mengobrol dengan petugas Lapas, dia memberikan waktu padaku dan Kak Rizal untuk bicara. 

Kak Rizal tersenyum. "Gaya bicaramu persis ayah, Dek. Kakak rindu pada ayah. Kakak sudah banyak dosa pada ayah. Kamu tau, kakak berada di sini mungkin ini hukuman yang Allah berikan karena Kakak sudah terlalu banyak melukai hati ayah." kak Rizal menyeka air matanya. Matakupun sudah basah dengan air mata. Kusodorkan tisu padanya tanpa kata. "Terima kasih," ujarnya.

"Apa sebenarnya yang terjadi pada Kak Rizal dan Kak Amir, mengapa sampai seperti ini? Aku merasa menyesal terlambat menjumpai Kakak. Bahkan aku cuma bisa mengunjungi pusara Kak Amir. Kenapa Kakak dulu tidak pernah mengunjungiku? Apakah kau tidak pernah menganggapku adikmu?" Kembali  kutatap matanya. Dia tertunduk, menarik nafas panjang.

"Itulah yang menjadi penyesalan terbesarku sekarang dek. Dulu kakak begitu terpukul dengan kehadiranmu, kau mengambil ayah dari kami. Kami merasa kasih sayang ayah pada kami memudar karena kamu. Ayah sangat jarang mengunjungi kami, bahkan semakin menjauh dari kehidupan kami. Setelah dewasa baru kuketahui bahwa ayah sama sekali tidak meninggalkan kami, bahkan seharusnya kehadiranmu menjadi kebahagiaan kami juga. Ibukulah yang melarang ayah menemuiku dan Kak Amir, ibu juga merubah surat-surat tanah dan rumah serta semua harta atas namanya, bahkan ibu yang membuat ayah dipecat dari Pegawai Negeri Sipil. Hidup ayah terlunta-lunta hingga akhirnya mencoba membuka usaha jahitan. Dan ibumulah yang setia di samping ayah menemani ayah memulai hidupnya kembali dari nol. Sebelum ibuku meninggal, beliau membeberkan semuanya. Tapi sudah terlambat, aku dan Kak Amir sudah terlanjur kehilangan sosok ayah yang membuat kami berdua tumbuh dengan jiwa kekerasan. Akhirnya di sini lah aku sekarang, aku beruntung masih diberi Allah kesempatan untuk merenung dan menyesali serta bertaubat pada-Nya. Tapi kak Amir ...." Dia terisak, kembali kusodorkan tisu yang kupegang.

"Pulanglah, Dek, terima kasih sudah mengunjungiku. Maafkan semua yang sudah terjadi sampaikan pula maafku pada ibumu. Kau adalah adikku, sekarang kau satu-satunya saudaraku. Kakak berharap hiduplah dengan baik, setidaknya ayah punya satu anak yang tidak tersesat sepertiku dan Kak Amir. Kulihat suamimu sepertinya orang baik dan soleh (dia menoleh ke arah Mas Andri) ikutilah dia, dia surgamu. Sering-seringlah mengirim doa pada ayah, semoga ayah diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya dijauhkan dari siksa kubur." Kak Rizal berdiri dan menepuk nepuk bahuku. Aku tergugu, tak sanggup berkata-kata.

Petugas Lapas kemudian masuk untuk membawa Kak Rizal kembali ke sel nya. 

Kuraih lengannya. "Aku pulang ya, Kak, Insya Allah aku akan sering mengunjungi Kak Rizal setelah ini. Semoga Allah memberi kekuatan pada Kak Rizal, pada kita semua." Aku mengucapkannya sambil mengingat masalahku dengan Mas Andri yang bahkan belum sempat kubahas.

***

"Dik, kemarin mau bahas apa dengan Rini?" Suara Mas Andri memecah kesunyian di mobil saat kami berdua pulang dari Lapas.

"Ada sesuatu yang ingin kupastikan padanya Mas, kenapa? Tumben mas jadi 'kepo' gini?" Aku menoleh padanya.

"Hehe gak boleh ngomong gitu, Dik. Bukankah Mas suamimu, Mas harap kamu tidak melakukan hal yang aneh-aneh ya, Dik." Tangan kirinya mengusap pahaku sedang tangan kanannya memegang stir. Aku kembali menoleh.

"Aneh-aneh gimana maksudnya, Mas? Kenapa juga aku harus aneh? Kurasa Mas deh yang aneh sekarang," sahutku ketus.

"Ya sudahlah, Dik. Kita nggak usah bahas 'keanehan' lagi," katanya sambil tertawa. Aku terdiam, tidak ada yang lucu menurutku, malah sekarang aku merasa makin tertantang untuk menyelidiki ada apa sebenarnya antara Mas Andri dan Rini.

***

Drrrtttt... ddrrtttt... Ponselku berbunyi. Kulihat Rini memanggil.

[Asalamualaikum, Rin.]

[Walaikumsalam Mbak Nuri. Mbak sibuk kah? Rini mau ketemu Mbak ada yang ingin Rini sampaikan,] ucapnya 

[Mbak masih di kantor Rin? Rini mau ketemunya kapan dan di mana? Nanti mbak usahakan waktunya. Mau ngomongin apa sih, Rin? Sudah ada yang ngelamar kah?] sahutku bercanda. Kudengar helaan nafasnya di telpon.

[Hehe kalau sekarang masih rahasia Mbak, Insya Allah ini salah satunya yang mau Rini ceritakan pada Mbak Nuri]

[Oke Rin, gini aja. Besok sepulang kantor Mbak ke rumahmu ya.]

[Dengan senang hati, Mbak. Rumah itu rumah Mbak Nuri juga karena itu pemberian perusahaan. Rini akan sangat senang kalau Mbak Nuri mau mengunjungi rumah Rini. Jangan lupa ajak anak-anak ya Mbak,] sahutnya.

[Aduh kalau itu belum bisa Rin, Mbak kan rencananya besok sepulang kantor langsung mampir, jadi gak pulang kerumah dulu. Lain kali lah Mbak bawa anak-anak berkunjung.]

Entah kenapa hatiku merasa kali ini aku tak boleh melibatkan anak-anakku, apalagi Aldy. Aku kembali teringat pernyataan Aldy yang merasa ayahnya dan Rini ada hubungan khusus.

***

Kunyalakan sambungan google map pada ponsel ku dengan memasang alamat Rini yang dikirimnya beberapa hari yang lalu. Memasuki perumahan yang lumayan bagus menurutku. Sepertinya ini perumahan baru, penataannya rapi dan bangunan-bangunannya masih terlihat baru. Aku membuka kaca mobilku ketika melewati pos satpam, kusampaikan detail alamat blok yang kutuju. 

"Ohh ... rumah Nyonya Rini ya, silahkan Bu," kata pak satpam. 

Nyonya Rini??? Bukankan Rini belum menikah? Seharusnya satpam menyebutnya Nona Rini atau Mbak Rini. Setauku Nyonya adalah sebutan bagi perempuan yang sudah menikah. Ah ... entah kenapa aku semakin takut dengan kenyataan yang akan kuhadapi. Apakah Rini memang sudah menikah? Apakah suaminya adalah Mas Andri? Aku bertanya-tanya dalam hati. Hatiku tiba-tiba menciut, aku merasa takut jika apa yang ada dipikiranku menjadi kenyataan.

"Bu, kok malah melamun. Silahkahkan Bu ..." kata pak satpam terkekeh membuyarkan lamunanku.

Kuedarkan pandanganku mencari blok dan nomor rumah Rini. 

Degggg!!! 

Aku terkejut ketika kulihat di depan rumah bernomor 17 tepat dengan alamat yang diberikan Rini padaku ada mobil Mas Andri parkir di sana. Jantung serasa memompa dengan cepat, telapak tanganku dingin, perasaanku tidak enak. Aku memang tipe orang yang cepat gugup. Ada apa ini ya Allah? Dengan tangan gemetar aku mencari celah yang aman untuk memarkirkan mobilku.

Bersambung.

Part 7. Pengakuan (1)

Kumatikan mesin mobil kemudian menghela nafas untuk menguatkan hatiku. Aku melangkah ke arah rumah Rini. Kulihat Mas Andri duduk di kursi teras depan sedangkan Rini langsung berjalan ke arah pagar menyambutku.

"Assalamualaikum," sapaku. Aku merasakan suaraku bergetar saat mengucapkan salam.

"Walaikumsalam Mbak Nuri, ayo masuk mbak. Pak Andri ada di dalam," kata Rini.

"Walaikumsalam, Dik," sahut mas Andri hampir berbarengan dengan jawaban Rini.

Aku berdiri tepat didepan suamiku. "Kok ada di sini mas?" tanyaku menyelidik.

"Ayo kita masuk dulu, Sayang, tidak enak mengobrol di luar," kata mas Andri.

Akupun melangkah memasuki rumah Rini. Rumah yang menurutku lumayan bagus, sangat nyaman walaupun tidak begitu luas. Rumah ini terkesan elegan dengan penataaannya, dan yang pasti rumah ini bersih, rapi dan masih kelihatan baru.

Aku duduk di sofa di ruang tamu, empuk sekali, sofanya pun terlihat masih baru. Beruntung sekali Rini dihadiahi rumah senyaman ini oleh perusahaan. Tentu saja pencapaiannya juga fantastis sampai bisa mendapatkan reward satu unit rumah. 

Sejenak terlintas di benakku rumah Rini di kampung yang sangat sederhana. Kulihat Rini berjalan ke arah kami sambil membawa nampan berisi gelas minuman.

"Duduk di sini Dik, dekat Mas, jangan melamun aja dong."  Mas Andri membuka suara sambil menepuk sofa disebelahnya. Aku lebih memilih sofa di seberangnya.

"Silahkan diminum Pak Andri, Mbak Nuri," kata Rini sambil meletakkan nampannya. Aku tersenyum. 

Hening.

"Oiya Rin, ada apa ya manggil Mbak kemari. katanya kemarin ada hal penting yang mau disampaikan," kataku memecah keheningan. Rini melirik mas Andri sambil mengangguk. Bola mataku bergerak melihat ke arah Rini kemudian ganti ke arah mas Andri. 

"Biar Mas yang jelaskan ya, Dik." Mas Andri berbicara sambil memperbaiki duduknya, ia terlihat salah tingkah. Sejurus kemudian ia kembali tenang.

"Sebelumnya Mas minta maaf jika apa yang Mas ungkapkan ini akan melukai perasaanmu, Dik."

Jantungku memompa lebih cepat.

"Status Rini sekarang selain sebagai karyawan di perusahaan, juga adalah istri Mas."

Aku mematung.

"Mas sudah menikahi Rini sekitar tiga bulan lalu."

Badanku serasa terbang. Aku serasa tidak berpijak pada bumi lagi.

"Maafkan Mas baru mengatakannya sekarang. Sebenarnya Mas menunggu saat yang tepat, tapi sepertinya kamu sudah mulai mencari tau sendiri. Mas tau kamu bukan wanita bodoh, instingmu  sebagai istri pasti sudah merasakannya. Sekali lagi maafkan kami. Mas punya alasan kuat menikahi Rini. Mas akan menjelaskan sejelas-jelasnya jika adik meminta penjelasan," sambungnya lagi.

Hening.

Aku kehilangan kekuatan. Aku tetap mematung. Bahkan air mataku tidak bisa menetes, padahal hatiku telah basah dengan air mata.

"Mbak Nuri ...." Rini meraih tanganku. Wajahnya terlihat khawatir. Aku sendiri tidak mengerti dengan tubuhku. Rasanya aku ingin menangis, ingin teriak, ingin memaki mendengar pengakuan langsung dari mulut suamiku bawha dia telah menikah dengan wanita lain. Ingin menerkam dan mencabik-cabik merka berdua, bahkan ingin melenyapkan mereka berdua sekarang juga. Tapi, tubuhku bergeming, aku bahkan tidak punya kekuatan sedikitpun untuk bergerak. Beberapa detik tubuhku mematung. Aku seolah kehilangan diriku sendiri.

"Astaghfirullahaladzim." susah payah kuucapkan istighfar berkali-kali. Kumulai dari mengucapkannya dalam hati hingga akhirnya terucap oleh bibirku yang bergetar. Akhirnya sedikit demi sedikit aku kembali mulai bisa menguasai diriku. Sungguh menyebut nama Allah adalah sumber kekuatan terbesar dalam situasi apapun.

"Meminta penjelasan katamu Mas? Kamu mengaku menikahi Rini dan mempertanyakan apakah aku akan meminta penjelasan? Aku tak butuh penjelasan dan pembelaan atas nafsu kalian. Kamu gila Mas. Kamuuu ...." Aku kembali kehilangan kata-kata. "Dan kamu Rin ... kamu sudah kuanggap adikku bahkan kuanggap sahabatku, kenapa kamu tega berbuat seperti ini padaku? Apa sebenarnya yang ada di pikiran kalian berdua." Aku menatap tajam pada Rini kemudian pada Mas Andri. Mas Andri bergeser berpindah duduk ke sampingku, tangannya terulur hendak meraih pundakku. Segera kutepis tangannya menjauh.

"Jangan seperti ini Sayang, Mas benar-benar minta maaf jika ini menyakitimu."

"Jika ini menyakitiku? Kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan Mas? Kamu menikahi Rini, kalian mengkhianatiku!!!" Aku berteriak dengan lantang.

Mas Andri kembali ingin menggapai pundakku dan kembali kutepis tangannya, kali ini dengan hentakan kasar aku menepisnya. Mas Andri menatapku, matanya terlihat sayu.

Aku menoleh ke arah Rini, kulihat dia menangis sesegukan. Pundaknya naik turun. Tidak ada satu kalimat pun yang keluar dari bibirnya. 

"Hehhh kamu Rin! Aku yang tersakiti di sini. Aku yang dikhianati oleh kalian berdua. Kenapa kamu yang menangis. Apa maumu hah?? Belum cukupkah kebaikanku selama ini padamu. Kalau aku tidak merebutmu dari cengkraman rentenir itu mungkin sekarang kamu sudah dijual oleh mereka. Mungkin sekarang kamu sudah dijadikan wanita pemuas nafsu oleh mereka. Lalu sekarang suamiku pun kau rebut dariku!!! Jangan berpura-pura polos di depanku perempuang j*lang!!!" Aku berteriak melotot padanya. Aku telah dikuasai amarah, walaupun hati kecilku menolak. Tidak seharusnya aku mengungkit-ungkit kebaikanku padanya. Maafkan aku ya Allah jika keikhlasanku menolongnya harus ternoda oleh lisanku sendiri.

"Maafkan Rini, Mbak. Sekali lagi maafkan Rini. Rini tidak akan membela diri, di sini Rini yang salah sudah menyakiti Mbak Nuri. Rini pun sakit melihat Mbak Nuri seperti ini. Maafkan Rini, Mbak." Rini terisak-isak di hadapanku.

"Munafik kamu Rin, di depanku kau bersikap baik tapi kau menusukku dari belakang. Kau tidak tau terima kasih, Rin. AKU MEMBENCIMU!!! DASAR PEREMPUAN MUNAFIK!!" Suaraku bergetar. Aku baru menyadari tangan Mas Andri sedang mengusap pundakku. Kembali kutepis tangannya dengan kasar.

"Astaghfirullah, istighfar, Dik. Jangan mengotori lisanmu Sayang." Suara mas Andri lembut namun serasa hambar di telingaku. Tiba-tiba aku merasa muak mendengar suaranya.

"Maaf Mbak ... maafkan Rini." Rini masih menangis dan sesegukan.

"Percuma kamu meminta maaf Rin, kamu juga Mas. Ribuan kali kata maaf dari bibir kalian pun sudah percuma. Kalian sudah berhasil melukaiku sangat dalam," ucapku menatapnya tajam.

"Asal kalian berdua tau, sakitnya Aldy beberapa hari yang lalu penyebabnya adalah karena tekanan batin. Dokter bahkan menyarankan aku membawanya ke psikiater karena yang sakit adalah jiwanya yang kemudian berimbas pada fisiknya. Apa kalian tau penyebabnya? Aldy bercerita sambil menangis di depanku bahwa dia beberapa kali melihat papanya dan tante Rini jalan berdua." Aku berhenti sesaat.

Kulihat ekspresi mas Andri seperti terkejut. 

"Aku tidak akan membiarkan kalian menyakiti anak-anakku. Kalian boleh saja tidak mempedulikan perasaanku, tapi jangan pernah menyakiti batin anakku." Aku berdiri meraih tasku. 

Aku menoleh sekali lagi pada Mas Andri. "Kalian berdua pengecut, apa maksud kalian menyuruhku ke sini ke sarang madumu untuk membongkar kebusukan kalian di sini. Mana wibawamu sebagai suami Mas?" 

Aku tidak mau lagi berlama-lama di sini. Aku muak, aku sakit, hatiku berdarah-darah dengan pengakuan mereka. Aku berlalu tanpa mengucapkan salam. Rini masih terus menangis sesegukan, dia tak berkata apapun lagi. Sementara Mas Andri berdiri dan menyusul langkahku.

"Dik, masuklah ke mobil Mas. Jangan menyetir dalam kondisi seperti ini, sangat membahayakan keselamatanmu," ajaknya.

"Sudahlah Mas, jangan pedulikan aku lagi. Uruslah istri mudamu yang lagi menangis itu, dia pasti membutuhkan belaianmu," ucapku sinis. Mas Andri menggeleng, kemudian tangan kanan memegang keningnya dan tangan kirinya di pinggang, lalu memejamkan matanya sesaat. Gaya khas mas Andri jika lagi ada masalah, lagi berpikir keras atau lagi pusing. Hahhhh ... pusing ... dia pusing karena kelakuannya sendiri, karena nafsunya. Aku berlalu dari hadapannya. 

Aku memasukkan kunci mobil dan menyalakan mesin. Kuremas kuat-kuat  setir mobilku berusaha mengumpulkan kekuatan. Aku beristighfar berkali-kali mengharapkan kekuatan dari Tuhanku. Aku harus fokus, jarak dari sini ke rumahku memerlukan waktu sekitar 20 menit. Kujalankan mobilku perlahan setelah membaca Bismillah. Saat mencapai jalan besar setelah keluar dari kompleks perumahan Rini aku melihat dari spion ada mobil mas Andri mengikutiku dari belakang.

***

"Assalamualaikum," lirihku sambil membuka pintu depan.

"Walaikumsalam," jawab Bi Ina menoleh kearah pintu. Bi Ina terkejut melihatku, penampilanku sekarang pasti sangat kusut. Aku mengangguk dan tersenyum padanya, mengisyaratkan kalau aku baik-baik saja.

"Anak-anak mana, Bi?"

"Nanda lagi main di depan tv bu, kalau abang ada di kamarnya, tadi cuma keluar sewaktu makan siang."

Aku menghela nafas, alhamdulillah aman. Aku tak mau anak-anakku melihatku dalam kondisi begini. Terlebih Aldy, dia pasti akan langsung menanyakan apa yang terjadi.

Aku berdiri di bawah shower, mengguyur tubuhku dengar air. Air dingin menembus kulitku sedikit memberikan sensasi rileks. Air mataku tumpah berbaur dengan air dari shower, aku tergugu, aku menangis meratapi nasibku. 

Puas dengan kegiatan membersihkan diri, aku keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar utama ini. Kulihat mas Andri duduk menunduk di tepi ranjang.

Huhhhh, tak bisakah lelaki ini membiarkanku rileks sebentar saja. Melihatnya membuat hatiku kembali bergejolak. Dia mendogakkan kepalanya menyadari kehadiranku.

"Tolong tinggalkan aku sendiri Mas." 

"Mas takut kamu bertindak nekat Dik, Mas ingin menjagamu, tolong kendalikan dirimu. Jangan berbuat yang tidak-tidak," ucapnya.

Aku menghembus nafas kasar.

"Maksud Mas aku akan nekat bunuh diri? Tenang saja Mas, aku masih punya iman di dadaku. Aku juga punya anak-anak yang membutuhkanku. Jika ada yang hendak kubunuh sekarang, itu adalah kamu dan istri mudamu," sahutku dengan suara tegas.

"Dik, tolong dengarkan penjelasan Mas. Kita perlu waktu bicara empat mata."

"Kenapa baru sekarang kamu mengajakku bicara empat mata Mas? Kenapa bukan sebelum kamu menikahinya?" Emosiku meluap. Aku meraih gelas di atas nakas dan melemparnya ke dinding.

PRANGGG!!! 

Mas Andri kaget, ia menatapku sayu, sekilas kulihat ada air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

"Baiklah, Mas akan memberimu waktu. Marah itu manusiawi Dik, tapi jangan biarkan setan menang dengan membiarkan kemarahan terlalu lama menguasaimu. Mas pergi dulu, jaga dirimu dan anak-anak. Mas menyayangi kalian." Lelaki itu berlalu kearah pintu.

"Abang ...." Kulihat ekspresi terkejut Mas Andri tepat di depan pintu kamarku.

Bersambung.

Part 8. Penuh Rahasia

“Abang .…” Kulihat ekspresi terkejut Mas Andri tepat di depan pintu kamarku.

Tanpa harus melihat keluar aku yakin di balik pintu itu ada putraku Aldy. Kututup pintu kamarku pelan, aku belum siap berhadapan dengan Aldy dalam situasi dan kondisi kacau seperti ini. Kujatuhkan tubuhku hingga terduduk di karpet kamarku, kusandarkan punggungku pada tempat tidur.

Tiba-tiba terlintas di benakku cerita Kak Rizal tempo hari sewaktu mengunjunginya di Lapas. Aku merasa de javu dengan kondisi ini. Dulu, ayah dan ibuku pun terlibat hubungan rumit seperti ini. Hubungan yang kemudian menghancurkan masa depan kedua kakakku. Waktu itu ibunya Kak Amir dan Kak Rizal begitu membenci ayah dan ibuku. Kebencian yang kemudian ditularkannya kepada anak-anaknya yang akhirnya dikemudian hari membawa kak Amir dan kak Rizal salah langkah.

Selama 30 menit aku duduk terpekur di atas karpet kamarki. Berkali-kali kutarik nafas panjang. Aku harus bisa mengendalikan emosiku. Aku harus bisa menahan egoku. Bukan untuk membenarkan tindakan suamiku. Tapi semata-mata untuk kebaikan anak-anak ku. Masa depan mereka dipertaruhkan di sini. Aku harus belajar banyak dari pengalaman kedua orang tuaku dahulu.

Ku kuatkan kembali hatiku. Aku harus menata kembali emosi dan egoku demi Aldy dan Nanda. Aku tidak mau mereka berdua hidup dalam kebencian kepada ayahnya sebagaimana Kak Amir dan Rizal dulu. Naudzubillahi min dzalik.

***

"Assalamualaikum Eko, bisakah besok sore mengantar kami ke rumah ibu? Saya lagi gak enak badan, gak sanggup menyetir selama 5 jam perjalanan ke sana." Aku menelpon Eko. Dia sudah sering mengantar keluarga kami ke rumah ibu jika aku lagi malas menyetir sendiri.

"Siap, Bu. Seperti biasa, ya, Bu, motor saya titipkan dirumah Ibu," sahutnya.

"Iya, Ko. Terima kasih, ya. Saya tunggu besok sore, ya. Assalamualaikum." Aku mengakhiri telpon.

Kudengar adzan maghrib berkumandang dari speaker mesjid. Kupejamkan mata menjawab seruan-Nya. Akupun segera mengambil wudhu dan menunaikan kewajibanku. Di akhir sujud kupanjatkan doa agar Allah memberiku ketegaran dan kekuatan menghadapi setiap masalahku. Aku yakin Allah menguji umat-Nya sesuai dengan kemampuannya. Itu artinya, ujian yang sedang menimpaku sekarang pasti bisa kulalui. Aku hanya perlu berdoa dan berpasrah pada-Nya.

Aku membenahi penampilanku agar tidak terkesan kusut. Setelah yakin dengan penampilanku aku keluar kamar. Kulihat Nanda masih bermain di depan tv, mainannya penuh berserakan di karpet. Kuhampiri gadis 5 tahun itu lalu ikut duduk bermain dengannya. Aku mendengarkan celotehnya bercerita tentang keseruan harinya.

"Assalamualaikum." Aldy muncul dari pintu depan. Dia baru pulang dari mesjid untuk sholat Maghrib berjamaah. Aku menyambutnya dengan senyum setelah menjawab salamnya. Ahhh, anak solehku, penyejuk hatiku. Segala api amarah yang tadi menguasaiku seketika tenggelam  saat berada di hadapan anak-anakku. Alhamdulillah ya Allah, sungguh Engkau Maha Baik, di balik sakit hati yang sedang kurasakan, Engkau sudah menyiapkan penawarnya dengan sempurna.

"Aldy, ganti baju dulu ya, Nak. Makan malam sudah disiapkan Bi Ina. Papa masih ada urusan di luar jadi kita makan malamnya duluan aja," sambutku sambil mengusap kepalanya.

Kami makan malam dalam diam. Hanya sesekali aku bersuara ketika mengarahkan atau mengajari Nanda makan dengan rapi.

Setelah makan, Nanda merengek mau ikut Bi Ina ke kamarnya. Nanda memang sangat akrab denga Bi Ina, sangat suka masuk ke kamar Bi Ina dan mengacak-acak kamar Bi Ina. Kesempatan ini kugunakan untuk mengobrol dengan Aldy di depan tv.

Aldy sudah remaja, aku yakin dia sudah bisa membaca apa yang tadi terjadi antara aku dan ayahnya.

"Nak, mama dan papa lagi ada sedikit masalah. Mungkin Aldy sudah tau apa yang mama maksud. Mama dan papa masih berusaha mencari jalan keluarnya, jalan keluar yang terbaik dan Insya Allah diridhoi oleh Allah. Mama harap anak-anak mama terutama Aldy turut mendoakan agar secepatnya diberi jalan keluar untuk masalah ini."

"Aldy benar kan, Ma? Papa sudah jahat pada Mama," serunya.

"Jangan berkata seperti itu, Nak. Papa dan Mama sangat menyayangi kalian. Masalah apapun yang terjadi tidak akan mengurangi rasa sayang papa dan mama pada Nanda dan Aldy. Hilangkan prasangka buruk pada Papamu, Nak. Untuk masalah ini biarlah Mama dan Papa yang mencari jalan keluarnya, Aldy dan Nanda cukup mendoakan. Insya Allah akan ada hikmah dari semua kejadian ini. Jangan lupa baca Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kamaa Robbayaanii Shogiiroo dalam doamu, Nak. Yakinlah bahwa dengan doa yang menembus langit akan mampu mematahkan masalah seberat apapun. Aku memeluk pundaknya lembut.

Aldy pun tersenyum padaku. "Iya, Ma. Aldy sayang Papa dan Mama"

"Mama juga minta maaf jika tadi Aldy sempat melihat kekacauan komunikasi antara Mama dan Papa. Kami berdua tidak ada niat saling menyakiti, tapi Aldy tau kan setan selalu mencari celah untuk membuat manusia jatuh kedalam dosa.  Oiya, siapkan beberapa pakaianmu ,ya, Nak. Besok sore kita berangkat ke rumah nenek. Sudah lama kita tidak menghabiskan akhir pekan di rumah nenek. Mama sudah kangen," ucapku. 

Sekolah Aldy memang libur di hari Sabtu dan Minggu. Jadi kami selalu berangkat di jumat sore jika berakhir pekan dirumah ibu.

***

Jumat pagi.

Ting ... tong .... Bel rumah berbunyi.

"Eko?? Kan saya bilang sore berangkatnya," ucapku setelah kami berbalas salam.

"Saya nyari Bapak, Bu. Tadi Pak Andri telepon hari ini enggak masuk kantor. Ada beberapa berkas yang harus ditandatangani jadi saya diminta ke sini."

"Tapi ...." Ucapanku terhenti. Aku terkejut ketika melihat Mas Andri keluar dari kamar tamu.

"Berkasnya lengkap kan, Ko?" Suaranya tegas ke arah Eko. Kemudian Eko dan mas Andri mengobrol dengan serius di ruang tamu.

Rupanya tadi malam Mas Andri tidur di kamar tamu. Kupikir dia menginap di rumah istri mudanya. Ah, hatiku kembali perih.

Koper dan beberapa oleh-oleh untuk ibu sudah siap di teras untuk dimasukkan ke bagasi mobil. Sementara aku masih sibuk di kamar Nanda menyisir dan mengikat rambut Nanda, dia minta rambutnya dikepang dengan ikat rambut boneka lucu yang dibelikan ayahnya seminggu yang lalu. Saat berjalan ke depan kulihat Eko sedang memasukkan barang-barang kami kedalam bagasi mobil Mas Andri.

“Loh, kok pakai mobil ini, Ko?”

“Bapak menyuruh saya memakai mobil Bapak, Bu. Katanya biar lebih nyaman di jalan,” sahut Eko sambil terus menyusun barang di bagasi belakang.

Mobilku memang mobil kecil yang hanya terdiri dari 2 baris penumpang. Sedangkan mobil mas Andri sejenis MPV yang lebih luas dan nyaman untuk perjalanan jauh. Kulihat Aldy sudah duduk di kursi depan dengan headphone menutup kedua kupingnya. Kulepas headphone-nya kemudian memasangnya pada kupingku, kudengar lantunan Murrotal mengalun indah dari headphone itu. Aku tersenyum bangga.

“Sudah pamit pada papa, Nak?” tanyaku padanya.

“Sudah dong, Ma. Tadi pagi Aldy jogging keliling kompleks sama Papa,” jawabnya sambil kembali memasang headphone-nya.

“Ko, tadi minta tanda tangan berkas apa?" Aku membuka pertanyaan pada Eko ketika kami sudah berada di jalan tol.

“Ohh itu berkas kontak kerja, Bu. Bu Rini menyuruh saya ke rumah Pak Andri minta tanda tangan beliau."

Bu Rini? Sejak kapan Eko memanggilnya dengan sebutan ibu. Seingatku dulu dia memanggilnya Mbak Rini. Aku memang jarang sekali kekantor mas Andri dan tidak ikut campur dengan urusan perusahaan karena aku juga disibukkan dengan tanggungjawabku sebagai seorang ASN. 

"Ko, enak ya kamu sekarang punya 2 boss di kantor.” aku sengaja memancingnya, dia orang kepercayaan Mas Andri. Kurasa dia pasti mengetahui banyak perihal hubungan Mas Andri dan Rini. 

Eko meliatku sebentar melalui spion. Nanda sudah terlelap di pangkuanku, ikat rambut bonekanya bahkan sudah terlepas dari rambut tipisnya.

“Iya, Bu. Kerjaan saya jadi sedikit lebih ringan. Bu Rini sangat cerdas, Bu. Dia bisa menghandle semua divisi dengan baik, bukan cuma divisi marketing. Bahkan beberapa kali mewakili Pak Andri mempresentasikan proyek-proyek baru perusahaan dan hasilnya sangat memuaskan,” ucap Eko.

Aku melirik Aldy sekilas, dia hanya menatap lurus kedepan, kurasa dia tidak mendengar percakapanku dengan Eko sebab headset nya masih terpasang di kedua telinganya. Aku ingin memancing informasi lebih jauh pada Eko, namun aku khawatir Aldy mendengarnya.

“Kita mampir rest area enggak, Bu?” tanya Eko.

Aku menepuk bahu Aldy, dia melepas headphone-nya. “Mau mampir ke toilet, Nak? Di depan ada rest area,” tanyaku pada Aldy.

“Iya, Ma. Aldy kebelet nih dari tadi.”

Eko memarkirkan mobil di halaman parkir rest area. Aldy pun turun mencari toilet.

“Ko, sejak kapan kamu mengetahui kalau Mas Andri sudah menikahi Rini?” tanyaku.

“Bahkan saya hampir yang mengucapkan ijab qobul atas Bu Rini, Bu.” Eko menjawab sambil terkekeh.

Aku mengerutkan kening. “Maksud kamu apa Ko?”

Eko terlihat terkejut. “Astaghfirullah, maaf, Bu. Saya pikir Ibu sudah tau ceritanya."

“Cerita apa? Cerita tentang siapa? Apa masih ada yang kalian sembunyikan dariku?” Aku memberi tatapan menuntut penjelasan pada Eko. 

Kulihat Aldy berjalan menuju mobil. “Kamu berutang penjelasan padaku, Ko,” lanjutku.

“Maaf, Bu. Sepertinya bukan kapasitas saya untuk menjelaskan. Tadinya saya pikir Ibu sudah tau semuanya, karena Ibu terlihat sangat tenang. Maaf, Bu," ucap Eko tepat ketika Aldy membuka pintu mobil.

Bersambung.

 

Part 9. Cerita Ibu

Eko langsung berpamitan pulang setelah tiba dirumah ibu, dia beralasan ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikannya. 

Aku tau dia berusaha menghindari bicara denganku sejak aku menanyakan 'rahasianya' di perjalanan tadi. Namun ibu dengan segala dalil nya memaksa Eko untuk masuk terlebih dahulu. Ibu menyuguhi teh hangat dan kue bolu kukus, ibu memang hobi membuat kue dan kadang menerima pesanan kue-kue basah. Kulihat Ibu dan Eko mengobrol santai di ruang tamu, aku kemudian ikut duduk di sebelah ibu berhadapan dengan Eko. 

"Assalamualaikum." ibu kedatangan tamu dua orang ibu-ibu. 

"Walaikumsalam," sahut kami bertiga. 

"Ibu kedepan dulu, ya, ada sedikit urusan dengan ibu-ibu pengajian. Silahkan dinikmati ya, Nak Eko," lanjut ibu kemudian berlalu dan bergabung dengan kedua ibu tadi di kursi teras.

Aku harus menggunakan kesempatan ini untuk bertanya pada Eko. Kulihat dia mulai salah tingkah.

"Eko, tolong jawab yang jujur. Saya cuma ingin bertanya satu pertanyaan padamu. Kapan tepatnya mas Andri menikahi Rini?" Aku menatap tajam padanya.

"Bu, maaf. Saya sungguh tidak mau terlibat. Saya tidak tau kalau Pak Andri belum menjelaskan semua pada Ibu," ucapnya. 

Mas Andri memang belum menjelaskan apapun karena aku menolak dan menghindarinya. 

Bagiku penjelasannya pastilah disertai dengan pembelaan dan pembenaran tindakannya. Dan aku belum siap mendengarnya. Memikirkannya saja aku merasa muak.

"Saya tidak bermaksud melibatkanmu dalam masalahku dan mas Andri, Ko. Tapi tolong jawab satu pertanyaanku tadi. Aku cuma mau memastikan kapan dan dimana aku pada saat mereka menikah? Itu saja. Selebihnya aku akan menuntut penjelasan dari mas Andri sendiri." 

Eko menarik nafas panjang. "Baik bu, saya cuma akan menjawab satu pertanyaan Ibu, Pak Andri mengucapkan ijab qobul pada Bu Rini pada pertengahan bulan April lalu Bu, saya lupa tanggal persisnya. Hanya ini yang bisa saya sampaikan, Bu. Maaf, saya pamit pulang dulu. Jika Ibu perlu dijemput silahkan hubungi saya kembali, Insya Allah saya selalu siap." 

"Oke, terima kasih Ko. Berpamitanlah pada ibu dan hati-hati di jalan. Jika merasa capek istirahatlah dulu di rest area. Ini sedikit ucapan terima kasihku, belikanlah ole-ole buat anak dan istrimu dan sampaikan salamku pada mereka." Aku menyodorkan amplop pada Eko.

"Tidak usah, Bu. Pak Andri tadi pagi sudah memberi bonus padaku, sewaktu mewanti-wanti aku hati-hati mengendarai mobil karena penumpangnya adalah orang-orang yang dicintainya. Amplopnya bahkan masih utuh," sahutnya sambil merogoh kantongnya. 

Aku terdiam, selain menyuruh Eko memakai mobilnya agar kami merasa nyaman, rupanya Mas Andri juga tetap dengan kebiasaannya mewanti-wanti Eko jika menyupiri aku dan anak-anak. Tidak ada yang berubah dari kebiasaannya ini.

"Ambil saja, Ko. Yang tadi kan dari Mas Andri, nah yang ini dariku dan anak-anak. Rejeki enggak boleh ditolak, Ko." Aku memaksanya menerima amplop dariku.

Eko kemudian berpamitan pada ibu kemudian melajukan mobil mas Andri meninggalkan rumah ibu.

Aku masih duduk di sofa ruang tamu ibu. Pertengahan April? Dimana aku pada saat itu? Mengapa aku tidak pernah mencium hal yang mencurigakan? Pertama kali aku menaruh curiga adalah pada saat meliat mereka di restoran seminggu yang lalu. Tiba-tiba aku teringat di bulan April aku dan 2 rekan kantorku mengikuti kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) selama sebulan di Jakarta. Diklat yang kami ikuti merupakan syarat untuk kenaikan jabatan. Aku selama sebulan itu cuma 2 kali pulang kerumah karena padatnya jadwal diklat. Itupun pulang sabtu dan balik lagi di hari minggu karena kami selama Diklat difasilitasi menginap di asrama. Jadi sewaktu aku mengikuti kegiatan diklat itu mas Andri menikahi Rini? Apakah alasannya karena kutinggal selama sebulan itu? Bukankah waktu itu setiap hari jika ada waktu kosong di sela-sela jadwal diklat aku selalu melakukan panggilan video padanya. Dan tidak ada yang aneh pada saat aku menelpon ataupun melakukan panggilan video padanya, Mas Andri selalu antusias menjawab telpon bahkan rela meninggalkan ruang meeting demi menjawab telponku. Begitupun dengan anak-anak selalu rebutan untuk berbicara dan menceritakan kegiatannya. 

Aku bingung, sepertinya banyak cerita tersembunyi dibalik pernikahan siri mas Andri. Hufffttt, aku masih harus menyiapkan hati dan mentalku untuk masalah ini.

***

Aku menyiapkan menu makan malam kami bersama ibu dan Lina, sepupuku. Lina adalah anak dari adiknya ibu yang sudah yatim piatu, ayah dan ibunya meninggal sewaktu Lina masih SMP dan sejak itu ibu membawanya kerumah ini dan tinggal bersama ibu. Kamipun makan sambil sesekali bercengkrama. 

"Suamimu kok gak ikut, Nak. Apa lagi banyak pekerjaan?" tanya ibu sambil menyendokkan lauk ke piring Aldy.

"Iya, Buk. Nuri enggak merencanakan jauh-jauh hari mau kesini jadi mas Andri tidak bisa menyesuaikan jadwal perkerjaannya," jawabku asal. 

Ibu menatapku dalam diam, aku merasa ada yang lain dari tatapan ibu. Mungkinkah ibu bisa membaca kegundahan hatiku saat ini? Sejak kecil aku tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu dari ibu, ibu seolah selalu bisa membaca pikiranku. Sekuat apapun aku menyembunyikan setiap masalahku, ibu selalu bisa membacanya sehingga dengan sendirinya aku akan menceritakannya pada ibu. 

***

"Kok melamun aja, Nak? Ibu panggil-panggil dari tadi enggak nyahut. Apa ada yang sedang mengganggu fikiranmu, Nak?" Ibu tiba-tiba muncul saat aku sedang duduk di teras. Aldy dan Nanda sedang berkeliling kampung bersama Om Candra, adik bungsu ibu.

"Astaghfirullah maaf, Buk. Nuri enggak dengar."

"Lagi mikirin apa to, Nak. Sepertinya Nuri lagi ada masalah. Jika berkenan Nuri boleh cerita pada ibu, jangan dipendam sendiri tidak baik untuk jiwamu, Nak."

Aku menarik nafas panjang beberapa kali kemudian menoleh pada ibu. Sepertinya aku harus menceritakan semua pada ibu, aku khawatir ibu akan lebih kaget jika mendengar berita mas Andri menikahi Rini dari orang lain. Bagaimanapun juga ibunya Rini adalah tetangga dekat ibu, aku yakin suatu saat berita ini akan menyebar di kampung ini.

"Nahh kan melamun lagi. Yuk kedalam, Nak,. Tidak enak dilihat orang lalu lalang di sini." Sekali lagi ibu membuyarkan lamunanku.

"Buk, ada yang Nuri mau ceritakan pada Ibu. Kita bicara di kamar Nuri ya, Buk."

"Ayo, Nak. Di sini juga anginnya kencang. Ibu takut masuk angin," kata ibu tersenyum.

Hening.

Hening.

"Katanya mau cerita, mau ngobrolin apa to, Nak?" 

Aku masih terdiam, bingung memulai dari mana.

"Apa kamu lagi ada masalah dengan suamimu, Nak?". Ahhh ibu selalu begini, membaca tema dengan tepat kemudian aku yang akan menguraikan isi ceritanya.

Aku masih terdiam sambil menarik nafas berkali-kali.

"Iya, Buk. Nuri lagi ada masalah dengan mas Andri." Aku mulai bercerita pada Ibu. "Mas Andri sudah mengkhianati Nuri, Buk." Air mataku mulai menetes.

Ibu terdiam. Ekspresi ibu sangat tenang, jauh dari dugaanku sebelumnya. Aku tadinya khawatir ibu akan shock mendengarnya. 

"Mas Andri menikah lagi tanpa sepengetahuan Nuri, Buk." Aku tak tahan lagi, air mataku mengalir semakin deras.

"Menangislah Nak jika itu bisa membuat perasaanmu lebih baik." Ibu mengusap pundakku. Aku tak menyangka reaksi ibu seperti ini, ibu terlihat sangat tenang. Tidak ada ekspresi kaget mendengar mas Andri sudah menikah lagi dan menduakanku.

"Taukah Ibuk siapa yang dinikahi suamiku, Buk? Dia menikahi Rini, Buk. Rini anak Bu Endang. Nuri menyesal dulu menolongnya, Buk. Nuri dikhianati, Buk." Tangisku bertambah nyaring, suaraku bahkan terputus-putus diselingi tangisanku.

Ibu masih terdiam mendekapku. Sejurus kemudian ibu menarik nafas panjang.

"Ibu sudah tau, Nak. Bahkan suamimu sendiri yang datang dan menyampaikannya pada Ibu." Suara ibu terdengar lembut namun sangat mengejutkanku.

Deg. Deg. Deg.  Jantungku berdetak lebih cepat. Apa maksudnya ini? Apa mas Andri meminta ijin pada ibu untuk menikahi Rini? Mengapa cuma aku yang merasa asing di sini?

Aku menggeser posisiku dan duduk tegak menghadap ibu. Aku mengerutkan kening dan menyipitkan mataku meminta penjelasan.

"Apa maksud Ibuk?"

***

POV Ibu.

Hari itu, ditanggal 13 Bulan April aku terkejut dengan kehadiran menantuku Andri di rumahku. Tidak biasanya dia datang sendiri tanpa istri dan anak-anaknya. Setauku, putriku Nuri lagi berada di Jakarta ada kegiatan dari kantornya yang mengharuskannya tinggal di sana selama sebulan. Penampilan Andri tidak seperti biasanya, kali ini dia kelihatan agak kusut.

“Nak Andr, ayo masuk dulu." 

Belum sempat aku menanyakan apapun tiba-tiba menantuku berlutut di hadapanku sambil menangis. 

“Ada apa, Nak. Jangan seperti ini." Aku berusaha menarik pundaknya menyuruhnya bangkit. Namun dia semakin tertuduk, membuatku semakin bingung.

“Maafkan Andri, Buk. Andri sudah melakukan kesalahan besar pada Ibu. Andri sudah salah langkah, Buk. Maafkan Andri!” 

“Tenang dulu, Nak. Ceritakan pada Ibu apa yang terjadi?” Kupaksa dia bangkit dan duduk di sofa.

“Andri sudah menyakiti putri Ibuk. Andri sudah mengkhianati pernikahan kami, Buk. Andri jahat, Buk. Andri minta maaf. Andri gak mau jika harus kehilangan Nuri. Andri mencintai Nuri, Buk.” Ia berhenti sesaat. Aku tetap diam menunggunya melanjutkan kalimatnya.

"Andri baru saja menikah lagi, Buk." 

"Astaghfirullahaladzim." Aku beristighfar.

Kemudian Andri mulai menceritakan dengan detail kejadian yang membuatnya harus menikahi Rini, anak dari tetanggku bu Endang.

Andri bercerita sambil sesekali menangis dan memastikan bahwa dia mencintai Nuri dan tidak mau kehilangan putriku.

***

POV Nuri.

"Apakah kamu sudah mendengar penjelasan dari suamimu, Nak?"

"Tidak, Buk. Hati Nuri terlalu sakit dengan pengakuan Mas Andri," isakku. 

"Jelaskanlah padaku apa yang terjadi, Buk."

"Suamimu sudah berjanji pada Ibu akan menceritakan semua detailnya padamu di waktu yang tepat, Nak. Luangkanlah waktumu dan lapangkanlah dadamu mendengarkan ceritanya. Setelah itu Nuri boleh memutuskan langkah apa yang akan Nuri ambil setelah itu. Berilah kesempatan pada suamimu untuk mejelaskannya, Nak. Apapun yang terjadi dia masih suamimu, jalanmu menuju surga-Nya." 

"Sekarang Mas Andri bukan cuma suamiku, Buk. Dia juga suami dari wanita lain," ucapku lirih menahan perih.

Ibu menatapku penuh iba.

"Nak, Ibu pernah mengalami hal seperti ini di masa lalu. Ibu harap Nuri jangan salah melangkah. Ada Aldy dan Nanda yang harus kalian prioritaskan."

Aku tau arah pembicaraan ibu. 

"Nuri tau, Buk. Nuri bahkan sudah bertemu dengan Kakak Rizal, kakak kandung Nuri, anak-anak Ayah," ucapku pada ibu.

Ibu tersenyum. "Alhamdulillah, Nak. Ibu sudah menunggu lama berita ini, kalian saudara seayah, saudara kandung. Ibu sangat berharap suatu saat kalian akan kembali menjalin silaturahmi sebagaimana layaknya saudara. Ibu bersyukur Allah memberikan kalian kesempatan untuk bertemu kembali. Bagaimana kabar kakak-kakakmu Nak?"

Aku kemudian menceritakan semua kisah tentang Kak Amir dan Kak Rizal pada ibu. Ibu terlihat kaget, sedih, kemudian mengucapkan istighfar bebarapa kali. Inilah yang selalu membuatku kagum pada ibu. Ibu bisa tenang dalam situasi apapun.

"Buk, apa yang harus Nuri lakukan? Nuri tidak sanggup dipoligami, Buk. Nuri enggak sanggup!"

"Bicarakanlah empat mata dengan suamimu, Nak. Jangan lupa meminta petunjuk pada Allah."

Aku mengakhiri obrolanku dengan ibu karena kudengar suara Aldy dan Nanda dari arah depan mengucapkan salam.

Bersambung...

Part 10. Mulai Bertanya

Minggu pagi kulihat ada mobil putih memasuki pekarangan rumah ibu. Aku buru-buru ke teras depan memastikan kalau itu mobil Mas Andri. Mengapa Eko menjemput sepagi ini? Padahal kemarin sewaktu menelponnya aku menyuruhnya menjemput kami minggu sore. Namun pertanyaanku terjawab ketika melihat bukan Eko yang turun dari mobil putih kesayangan Mas Andri tersebut melainkan pemiliknya, Mas Andri, suamiku. Wajahnya terlihat begitu lelah, jika sepagi ini dia sudah tiba di kampung ibu maka bisa kupastikan dia berangkat dari kota kami tadi subuh, mungkin saja setelah sholat subuh atau malah dia sholat subuh di jalanan. Mengapa dia ke sini? Padahal aku sudah menyuruh Eko yang menjemput kami. 

Ia tersenyum melihatku ke arahku. Aldy dan Nanda masih bermalas-malasan di kamar, mungkin karena udara di sini adem membuat mereka selalu sulit mandi pagi jika berada di rumah ibu, ibu dan Lina lagi di dapur. Aku tadinya lagi menyapu di ruang tamu sewaktu mobil mas Andri tiba. Maka, hanya aku yang berada di sini, di teras rumah ibu, memandang lelaki itu berjalan kearahku.

“Assalamualaikum, Dik,” sapanya tersenyum padaku.

“Walaikumsalam," jawabku datar. Aku sedikit khawatir melihat kantung hitam di bawah kelopak matanya. Bagaimana pun keadaannya dia adalah suamiku, seperih apapun luka yang sudah ditorehkannya padaku, aku masih harus tetap berbakti padanya. Itu yang diajarkan dalam agamaku, dan juga dinasehatkan oleh ibu kepadaku.

“Kenapa ke sini? Aku sudah menyuruh Eko menjemput kami sore nanti,” tanyaku berusaha menetralkan hatiku.

“Mas kan libur, Dik, jadi Mas memutuskan menjemput kalian. Anak-anak di mana?” tanyanya mengedarkan pandangan.

“Anak-anak masih pada di kamar mas. Masuklah dulu, mas terlihat kelelahan.” Aku beranjak dari tempatku berdiri. Kulihat sekilas dia tersenyum.

“Papaaaa!!!” lengkingan suara Nanda memenuhi rumah ibu membuat Aldy, Ibu dan Lina berdatangan ke ruang tamu. Mas Andri segera menggendong dan mencium Nanda, Nanda terkekeh geli saat papanya menggelitik pinggangnya.

“Loh ada Nak Andri, kapan tiba nya  Nak? Lina, tolong buatkan teh hangat, ya,” kata ibu.

“Biar aku aja, Buk,” sahutku sambil berjalan menuju dapur. Memang untuk urusan membuat teh untuk mas Andri selama ini selalu aku yang membuatnya. Hanya sesekali aku menyuruh Bi Ina jika memang terpaksa, hanya aku yang tau takaran pemanis dan kekentalan teh yang disukai mas Andri.

Mas Andri masih berbincang dengan ibu sambil sesekali menggelitik Nanda ketika aku mengantarkan minuman untuknya. Ia menatapku saat aku meletakkan gelas berisi teh di hadapannya, sekilas kulihat binar kerinduan di matanya. Namun tetap bersikap datar. Aku tau ibu sengaja masih di sini dan menemani kami, ibu tidak tega membiarkan aku salah tingkah. Ibuku memang sangat mengerti aku, dia tau bahwa bukan sekarang saatnya aku ngobrol berdua dengan suamiku, akan terasa lebih canggung jika ibu meninggalkan kami di sini.

Tadi malam ibu sudah memberiku nasehat agar memberikan mas Andri kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku meminta ibu menjelaskan semua yang ibu ketahui tentang pernikahan suamiku. Namun ibu bersikeras agar aku mendengarkan langsung dari Mas Andri, sebab Mas Andri sudah berjanji pada ibu akan memjelaskan padaku pada waktu yang tepat menurutnya. 

“Dengarkanlah dulu penjelasan suamimu, setelah itu semua keputusan ada di tangan Nuri. Ibu percaya Nuri mampu mengambil keputusan yang terbaik. Ibu hanya berpesan janganlah menaruh harapan terlalu tinggi pada manusia, sebab kamu akan hanya akan menemukan kekecewaan. Sesungguhnya hanya Allah pemilik kesempurnaan. Ujian dan cobaan yang Allah berikan pada umat-Nya adalah merupakan jalan untuk lebih dekat kepada-Nya jika kita bisa melaluinya dengan kepasrahan." Begitu nasehat ibu padaku.

Entahlah, aku merasa harus segera mengetahui ada cerita apa dibalik semua ini. Aku sendiri sedikit heran dengan sikap Rini, pada saat Mas Andri mengakui telah menikahinya dia malah menangis. Aku baru menyadarinya sekarang, sikap dan reaksi yang ditunjukkan Rini sama sekali tidak seperti reaksi pelakor-pelakor yang marak di sinetron atau novel-novel perselingkuhan. Yang akan dengan bangga mendongakkan kepalanya di depan istri yang direbut suaminya. Dia malah menangis bahkan meminta maaf berkali-kali padaku. Waktu itu aku dikuasai amarah sehingga aku tidak menyadari kejanggalan pengakuan mereka. Belum lagi ‘rahasia’ Eko yang membuatku semakin penasaran.

Kubiarkan Mas Andri istirahat di kamarku agar staminanya kembali fit untuk menyetir kembali ke kota kami. Aku melangkah memasuki kamarku untuk mebereskan beberapa pakaian kedalam koper. Kupandangi wajah mas Andri yang tertidur dengan pulas, aku merindukannya. Ingin rasanya aku memeluknya, dia selalu jadi sandaranku kala lelah, dekapannya selalu menenangkan hatiku. Namun, justru lelaki ini lah yang menjadi sumber lukaku kini. Wajahnya begitu teduh, lelaki yang telah bersamaku selama 13 tahun, lelaki yang beberapa hari lalu telah membuat hatiku merintih perih dengan pengakuannya. Aku tak tau apa yang akan terjadi pada hubungan ini kedepannya. 

***

Suasana perjalanan pulang kembali ke kota kami berjalan seperti biasa, mas Andri menyetir sambil mengajak Nanda bernyanyi seperti yang biasa mereka lakukan di perjalanan. Aldy dan Nanda duduk di belakang sementara aku duduk di depan. Tak terhitung sudah berapa lagu yang dinyanyikan Nanda berduet dengan papanya, dari lagu “Naik Delman” ketika di jalan kami berpapasan dengan delman, lagu “Pelangi-Pelangi” ketika di jalan melihat ada pelangi hingga lagu “Kereta Api” ketika mobil kami berhenti di pintu perlintasan kereta. Aku hanya sesekali tersenyum sambil menoleh ke kursi belakang. Aldy terlihat sesekali menggoda adiknya jika lagunya salah, kemudian sesekali melepas pasang headphonenya.

Di pertengahan perjalanan kulihat Aldy dan Nanda sudah terlelap di kursi belakang. Keheningan pun menyeruak diantara kami. Hanya terdengar deru mesin mobil serta suara kendaraan lain yang melaju di jalan tol ini. Mas Andri begitu tenang, kantung matanya sudah tidak nampak mencolok seperti tadi ketika dia baru tiba di rumah ibu. Mungkin karena tadi dia sudah tidur dengan sangat lelap di kamarku. 

“Mas.”

“Dik.”

Suaraku dan Mas Andri terucap berbarengan. Kami saling menatap sesaat, kemudian Mas Andri kembali berkonsentrasi menatap kedepan.

“Mas duluan,” ucapku

“Mas ingin mengajakmu bicara serius, Dik, bisakah nanti malam mas kembali tidur di kamar kita?” kata Mas Andri. 

Aku kembali teringat sebelum ke rumah ibu aku mengusirnya dari kamar kami. Huhhh, sejujurnya aku masih ingin marah padanya. Tapi semua ini harus dihadapi, aku tak mau membiarkan masalah ini berlarut-larut. Aku harus tau semuanya agar aku bisa mengambil keputusan hidupku kedepannya.

“Iya, Mas. Aku juga mau mendengar penjelasan darimu. Aku harap kita berdua bisa bersikap dewasa, aku tidak anak-anak ku kena imbas buruk dari masalah orang tuanya.” Aku menoleh sesaat ke kursi belakang. Aldy dan Nanda terlihat masih tertidur pulas.

“Mas mencintaimu, Dik.” 

“Sudahlah, Mas jangan membahas apapun sekarang, ada anak- anak di sini,” sahutku pelan.    

*** 

“Duduklah, Dik. Mas tau kamu adalah istri soleha. Mas yakin kamu bisa mendengarkan penjelasan mas dengan hati yang lapang. Mas akan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya penyebab petaka ini,” kata mas Andri ketika kami sudah berada di dalam kamar kami, kamar utama di rumah ini.

Petaka??? Apa tadi dia menyebut petaka??? Bukankah dia berpoligami dengan menikahi Rini? Mengapa dia menyebutnya petaka? Aku mengerutkan kening semakin tak mengerti.

Aku tak mau semakin berlarut-larut dengan beribu pertanyaan di benakku. Aku duduk di sampingnya mengikutinya bersandar pada headboard tempat tidur. Dia tersenyum, membelai kepalaku beberapa sesaat. Aku mematung, rasanya ingin menepis tangannya tapi akhirnya aku membiarkannya. Hening sejenak, hanya terdengar hembusan nafas kami silih berganti.

“Apa yang akan Mas jelaskan padaku, apa Mas akan membela diri dan mencari pembenaran atas tindakan Mas?” Aku tak sabar memulai percakapan ini.

Mas Andri tersenyum. “Kamu memang wanita yang tegas, Dik. Inilah yang membuatmu berhasil dalam karirmu dan berhasil mendidik anak-anak kita dengan baik."

“Jangan basa-basi dan mengalihkan pembicaraan, Mas. Aku menunggu penjelasan darimu tentang pengkhiatanmu padaku.” Aku menegaskan ujung kalimatku.

Dia menarik nafas panjang.

“Apa kamu ingat pada saat menjemputmu di bandara sepulang dari kegiatan Diklat di Jakarta? Saat itu kamu bertanya kenapa muka Mas kusut dan tumben memakai kaca mata hitam."  Ia kembali menghela nafas panjang.

Ingatanku melayang saat Mas Andri menjemputku di bandara bulan April lalu. Saat itu aku dan kedua rekanku keluar dari pintu kedatangan di bandara. Di luar kulihat sudah berdiri Mas Andri di balik pagar pembatas penjemput. Kedua rekanku bahkan menggodaku bahwa aku sungguh beruntung begitu tiba sudah ditunggu sang pangeran. Aku sedikit heran melihat penampilannya, tidak biasanya dia memakai kaca mata hitam. Saat kutanyakan padanya, dia berkilah matanya merah karena kelilipan dan membuatnya harus memakai kaca mata hitam. 

Penampilannya juga terlihat tidak fresh seperti biasanya, tapi aku hanya menduga Mas Andri mungkin lagi banyak pekerjaan. 

“Itu adalah hari ketiga di mana aku menikahi Rini. Aku menikahinya tanggal 13 April lalu.” Suara mas Andri membuyarkan lamunanku.

Ia terisak, menangis di depanku.

Heyyy ... kenapa dia menangis? Harusnya aku yang menangis (lagi) mendengar pengakuan yang kedua kali darinya.

B e r s a m b u n g ….

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SUAMIKU SUAMIMU (PART 11 SAMPAI 20)
9
0
Lebih baik melepaskan dengan keikhlasan dari pada bertahan dengan keterpaksaan.(Nuri Wulandari) Aku lelah, aku kehilangan arah. Bantu aku menemukan diriku kembali.(Andri Firmansyah) Jangan pedulikan aku, agar aku tidak terjebak lebih dalam. Aku takut tak mampu mengendalikan perasaanku.(Rini Anggraini) Kisah cinta segitiga yang penuh drama dan konfik. Bagaimana akhir dari takdir ketiganya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan