
“Aku belum puas, Mas.”
Bab 1. Kurang Puas
"Kamu jangan banyak protes! Aku melakukan semua ini demi kamu, dan anak kita," sergah Ryan.
"Aku tahu, tapi aku juga butuh kamu, bukan cuma uang kamu," jawab Devita. "Aku kesepian, Mas. Setiap malam tidur sendiri seperti janda saja," ucap Devita sembari terisak. Ia terduduk di pinggir ranjang sambil menangis.
Melihat sang istri menangis, Ryan mendekati istrinya. Ia menangkup wajah sang istri, lalu menyeka air mata di wajah cantik ibu muda itu.
"Sayang, maafkan aku, sudah berbicara kasar sama kamu," ucap Ryan dengan lembut. "Aku benar-benar sedang banyak kerjaan, saat ini. Perusahaanku sedang berkembang pesat." Ryan mengecup kening Devita dengan mesra.
"Kalo begitu, bawa Devan pulang, biar aku nggak kesepian." Devita memberikan penawaran pada sang suami.
Devan adalah anak mereka yang berumur enam tahun. Ia tinggal bersama orang tua dari Ryan. Sang mertua telah menguasai anak semata wayangnya dengan alasan ingin menghabiskan masa tuanya dengan sang cucu.
Devita hanya bisa bertemu setiap seminggu sekali, itu pun tidak bisa ia ajak pulang atau sekadar jalan-jalan bersama.
Devan sangat dimanja dan dilimpahi kasih sayang selama tinggal di kediaman keluarga papinya, sehingga ia tidak mau jauh dari sang oma.
"Tapi, Devannya juga tidak mau pulang, Sayang. Biar saja dia menemani omanya. Kamu ikut aku saja!" bujuk Ryan pada sang istri.
"Percuma aku ikut kamu juga, seharian hanya di dalam hotel, kamu terlalu sibuk dengan kerjaan kamu," sahut Devita. Ia merasa suaminya tidak perhatian seperti dulu lagi.
Ryan semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ia tidak punya banyak waktu bersama keluarga karena perusahaannya baru merintis. Mendapat peluang untuk berkembang ia tidak mungkin menyia-nyiakannya.
"Kamu yang sabar ya, Sayang! Aku bekerja keras hanya untuk kamu. Silakan kamu bersenang-senang dengan teman kamu, kamu bisa shopping atau ikut arisan mungkin, supaya kamu ada kegiatan." Ryan menarik sang istri ke dalam pelukannya.
"Apa kamu mau pergi hari ini juga?" tanya Devita. Ia sudah berhenti menangis, percuma ia protes pada sang suami, tetap tidak ada solusi untuk rasa kesepiannya.
Ryan melepas pelukannya. Ia menangkup wajah cantik sang istri. "Tidaklah, Sayang. Selama satu Minggu ini, aku akan menghabiskan waktu dengan istriku yang cantik ini," ucap Ryan sambil menyolek hidung lancip sang istri. "Aku ingin menghabiskan waktuku di ranjang ini dengan kamu," kata Ryan sambil merebahkan tubuh istrinya dengan hati-hati.
Devita tersenyum dengan hati yang berdebar-debar menunggu belaian Ryan. Mereka telah terpisah selama beberapa bulan karena Ryan bekerja di luar kota. Rindu yang mereka rasakan begitu besar, dan saat ini, saat-saat penuh kerinduan itulah yang mereka tunggu-tunggu.
Ryan membelai pipi sang istri perlahan sambil mengulas senyum lebar di wajahnya. Mata mereka saling bertemu, dan dalam sekejap, semua rasa rindu itu terbayar lunas.
Ryan mendekati Devita. Mereka saling berpelukan erat, merasakan kehangatan tubuh satu sama lain. Rasa rindu yang terpendam selama ini terasa semakin besar.
"Sayang, aku sangat merindukanmu," bisik Ryan di telinga Devita.
Devita tersenyum dan mencium lembut bibir Ryan. "Aku juga mencintaimu. Nggak ada yang lebih aku inginkan selain momen seperti ini."
Ryan mulai membelai bagian tubuh sensitif sang istri sambil mengunci bibir istrinya dengan penuh kelembutan. Mereka saling menatap dengan penuh cinta dan keinginan.
Ryan memeluk Devita erat, mencium lembut bibirnya. Mereka saling merasakan kehangatan tubuh masing-masing, menyatukan jiwa dan raga setelah begitu lama terpisah.
Dalam pelukan yang intim, mereka saling menjelajahi dan mengekspresikan cinta mereka yang begitu dalam. Setiap sentuhan, setiap ciuman, mengalirkan rasa sayang dan kerinduan yang tak terhingga.
Malam itu, mereka berdua menikmati saat-saat yang penuh kasih sayang dan keintiman. Mereka melepaskan rindu dan menggantinya dengan kehangatan yang tulus, menghadirkan kedamaian dalam kamar yang penuh cinta.
Namun, Devita belum mencapai puncak kenikmatannya saat Ryan menyudahi pergulatannya. Lelaki itu pergi ke luar kamar begitu saja setelah puas melepas rindunya.
Di dalam kamar yang remang-remang, Devita duduk di pinggir tempat tidur dengan ekspresi kesal di wajahnya. Hari ini ia ingin melepas rindu dan memuaskan hasratnya yang terpendam, namun kekecewaan dan ketidakpuasan dalam hubungan suami istri terus menghantuinya.
Devita teringat pada hari-hari pertama pernikahannya. Kemesraan dan antusiasme mereka berdua begitu kuat, tetapi seiring berjalannya waktu, semangat itu meredup. Devita merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang belum terpenuhi dalam hubungan mereka.
Mengambil napas dalam-dalam, Devita memutuskan bahwa dia harus mengungkapkan perasaannya kepada suaminya, Ryan. Dia pikir komunikasi yang jujur adalah kunci untuk memperbaiki hubungan mereka.
Setelah beberapa saat merenung, Devita memutuskan untuk membicarakan semuanya dengan Ryan. Dengan langkah-hati, dia berjalan ke ruang keluarga, di mana sang suami sedang duduk menggenggam secangkir kopi.
"Mas, bisakah kita berbicara sebentar?" gumam Devita sambil menarik napas dalam-dalam.
Ryan meletakkan cangkir kopinya dan melihat istrinya dengan wajah penuh perhatian. "Tentu, Sayang. Ada apa?" tanyanya.
Devita merasa gugup dan malu, tapi ia harus membicarakan semuanya supaya tidak menjadi masalah yang berlarut-larut. "Mas, aku merasa ada sesuatu yang masih kurang dalam hubungan kita sebagai suami istri," katanya dengan jujur.
Ryan menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang sedang dikatakan istrinya. "Apa yang kamu maksud, Sayang? Aku pikir kita berdua baik-baik saja."
"Tapi aku merasa belum puas," jawab Devita dengan jujur. "Aku ingin kita dapat kembali merasakan kemesraan dan keintiman yang kita miliki di awal pernikahan kita. Jujur saja, aku belum puas memadu kasih denganmu. Entah karena rasa rinduku yang menggebu atau apa, tapi sekarang kamu tidak seperti dulu."
Ryan mengangguk perlahan, seolah dia mengerti. "Aku akui, sekarang aku tidak bisa seperti dulu, mungkin karena aku terlalu kelelahan." Ryan membelai wajah istrinya sambil tersenyum. "Apa yang dapat aku lakukan untuk memperbaiki hal ini, Sayang? Aku ingin membuatmu bahagia."
Devita tersenyum lembut, merasa lega karena Ryan mendengarkannya. "Aku berpikir kita harus saling berbicara lebih banyak tentang apa yang kita inginkan dan harapkan satu sama lain. Mungkin kita bisa mencoba mengenali keinginan dan fantasi masing-masing, dan menjalankannya dalam hubungan kita," saran Devita.
Ryan mendekat dan duduk di samping Devita, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku setuju, Sayang. Aku merasa kita harus membuka diri satu sama lain dan mengungkapkan keinginan-keinginan kita. Hubungan suami istri ini adalah tentang saling memahami dan memenuhi kebutuhan satu sama lain."
Devita merasakan kelegaan dan kebahagiaan sekaligus. Merencanakan waktu khusus untuk bercengkrama dan mendalam dalam diskusi mereka adalah langkah awal untuk memperbaiki keintiman mereka.
Dalam momen itu, Devita menyadari bahwa komunikasi terbuka adalah kunci dalam hubungan suami istri yang sehat dan memuaskan. Devita dan Ryan bersama-sama memulai perjalanan mereka menuju kepuasan penuh, dengan saling mendengarkan dan memperhatikan kebutuhan masing-masing.
"Mas, bagaimana kalau kita menonton film dulu sebelum melakukannya lagi?"