SEKAR GEDANG - Bab 1

0
0
Deskripsi

 

Pernah dengar pesugihan dengan media buah pisang? Cerita ini adalah kisah dari si pelaku dengan segala lika-likunya.

Dia rela kehilangan anak, dia tak perduli ketika ditinggal istri, bahkan dia tetap lanjut meski harus korbankan sahabat dekat.

Tapi semua itu harus berakhir ketika pesugihan itu memaksanya melakukan hal gila yang tak sanggup dia lakukan..

 

 

SEKAR GEDANG - Bab 1

 

***

 

Samsuri melemah, punggungnya membungkuk hingga duduknya tak lagi sempurna. Kakinya kebas akibat bersila begitu lama. Bahkan untuk gerakkan jari kaki pun dia tak bisa.

Rasa kantuk membuat kepalanya sedikit miring, namun dia cepat menggugah semangati dirinya sendiri, Ayo Sam! Kamu bisa!

Terhitung sudah dua malam dia begitu, duduk bersila kaku tak ubahnya patung candi. Diam berkhidmat di antara jajaran pohon pisang liar di tengah hutan sambil menahan haus dan lapar.

"Bersemedi dan berpuasalah di tempat itu sampai ada yang mendatangimu, lalu mintalah apa yang kamu mau." Begitu pesan mbah kuncen, sang pembuka jalan bagi Samsuri untuk bersekutu dengan kegelapan.

Samsuri tergiur untuk melakukannya. Kesulitan hidup membuatnya patah arang. Sekarang dia mau melakukan apa saja demi dapatkan uang, termasuk mendatangi tempat ini, tempat dimana dia coba berkhianat pada Tuhannya.

Kini, di tengah hutan yang gelap dan dingin, Samsuri tak mampu lagi menerka sudah seberapa larut malam ini. Yang jelas tekadnya sudah bulat. Dia harus bisa menuntaskan apa yang sudah dia mulai.

Tapi ternyata melakukan ritual semacam itu butuh kekuatan ekstra. Segalanya tak semudah yang Samsuri kira. Tekadnya memang sekuat baja, tapi tidak dengan tubuhnya. Pelan tapi pasti, Samsuri ambruk lalu terkulai lemah di atas tanah.

Mata Samsuri sayu meredup. Napasnya lemah satu-satu. Kerongkongannya kering, perutnya perih, tubuhnya seolah melayang bagaikan kapas tertiup angin.

Dalam kondisi setengah sadar, tiba-tiba muncul semburat cahaya berpendar bagai pijar lampu merkuri. Samsuri spontan memicingkan mata, cahaya itu terlalu silau untuk dilihat. Namun ketika silaunya mereda, dia terkesima...

Dunia seakan-akan berubah. Dia kini ada dalam sebuah ruangan yang begitu megah. Apakah ini mimpi? Atau dia sudah mati?

Samsuri pelan-pelan bangun dari rebah. Sebentar pastikan kalau dirinya baik-baik saja. Lalu dia perhatikan sekelilingnya dengan takjub. Namun lebih takjub lagi begitu melihat pemandangan yang membuatnya spontan menelan ludah.

Entah darimana, datang seorang wanita cantik bermahkota bak putri raja. Tubuhnya menebarkan aroma pisang berpadu dengan Vanilla. Auratnya hanya ditutupi pakaian tipis menerawang mempertontonkan lekuk tubuh yang mengundang hasrat.

"Wahai anak manusia, siapa kamu? Apa maumu datang ke tempat ini?" Tanya wanita itu dengan suara merdu mendayu-dayu.

Samsuri menjura hormat sambil tundukkan kepala. Dirinya yakin kalau wanita ini adalah sosok yang dia tunggu-tunggu.

"Nama saya Samsuri, saya datang untuk minta kekayaan."

"Hmm... Begitu? Aku bisa berikan apa yang kamu mau. Tapi apa kamu sanggup penuhi syarat-syaratnya?" Tanya wanita itu.

"Sanggup. Apa pun syaratnya akan saya penuhi." Balas Samsuri penuh keyakinan.

"Baiklah. Aku terima permintaanmu. Sekarang kamu makan ini sebagai syarat yang pertama." Sahut sang wanita cantik sembari menyodorkan sebuah pisang emas yang ranum dan menggoda.

Samsuri pun menerimanya sembari membatin. Cuma ini? Sebuah syarat yang terbilang mudah. Tanpa ragu, Samsuri cepat-cepat memakannya. Lagi pula dia memang lapar, sementara wanita itu terus menatapnya sambil tersenyum penuh misteri.

Sebentar saja, pisang itu telah masuk ke dalam perut Samsuri. Laparnya seketika terobati, tenaganya pun pulih kembali. Ajaib!

"Sekarang, apakah kamu mau penuhi syarat berikutnya?" Tanya wanita itu kemudian.

"Apa itu? Sebutkan saja. Aku siap melakukannya." Sahut Samsuri penuh percaya diri. Syarat yang pertama saja begitu mudah, dia yakin syarat yang berikutnya tak jauh berbeda.

"Bercintalah denganku." Pinta wanita itu.

Samsuri terhenyak. Dia sampai ternganga bagai hilang kata-kata. Apa aku tak salah dengar? Dia minta untuk ditiduri? Begitu batin Samsuri bertanya pada diri sendiri.

Sang wanita cantik tersenyum, seakan tau kalau diamnya Samsuri bukan berarti sebuah penolakan. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu mendekati Samsuri lalu rebah di hadapannya.

Seketika dada Samsuri bergemuruh. Aliran darahnya berdesir kencang mengantarkan hasrat yang bergejolak naik sampai ke ubun-ubun.

Wanita itu tergolek pasrah, seolah membuka diri dan menantang untuk dijamah. Setan dalam diri Samsuri langsung pegang kendali. Ayo Sam! Kapan lagi? Hanya lelaki bodoh yang menolak tawaran seperti ini!

Tanpa harus disuruh, Samsuri mulai meraba dan menyentuh. Sang wanita cantik menggeliat dan melenguh, Samsuri pun terpancing untuk berbuat semakin jauh.

Lalu terjadilah. Persetubuhan lelaki dan perempuan layaknya sepasang suami istri. Samsuri begitu meledak-ledak, padahal tadi tubuhnya layu bagaikan tanaman yang habis terinjak-injak.

Tapi Itu kan tadi. Kini Samsuri bagai binatang liar penuh energi. Permainannya sungguh gila. Baginya, kesempatan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Bercinta dengan wanita cantik adalah momen berharga yang selama ini hanya ada dalam angan-angan.

Entah berapa lama semua itu terjadi. Hingga akhirnya semuanya selesai. Samsuri terkulai dengan sisa-sisa tenaga. Sementara sang wanita tergolek dengan wajah sumringah.

Namun tanpa diduga, wanita cantik itu tiba-tiba menghilang begitu saja, bersamaan dengan dunia yang mendadak berputar cepat. Kepala Samsuri jadi pusing dibuatnya. Matanya berkunang-kunang, hingga dia terkapar tak sadarkan diri.

***

Samsuri terbangun saat merasakan dingin yang menusuk. Perlahan dia membuka mata dan mendapati dirinya masih ada di antara pohon-pohon pisang. Segalanya telah kembali seperti semula. Apakah tadi hanya mimpi?

Sejenak Samsuri duduk sambil berpikir. Kalau memang hanya mimpi, kenapa rasa letih sisa pergumulan tadi masih terasa? Bahkan wangi tubuh wanita tadi masih melekat kuat pada indra penciumannya.

Tapi di situ dia hanya sendiri. Tak ada siapa-siapa di sisa malam menjelang pagi. Samsuri lalu meninggalkan tempat itu dengan hati bertanya-tanya, apakah dia sudah berhasil? Atau malah gagal? Dia benar-benar tak tau.

Sebentar berjalan kaki, tibalah Samsuri di gubuk kayu tempat dimana mbah kuncen tengah menunggu.

"Bagaimana?" Tanya mbah kuncen. Samsuri lantas menceritakan apa yang sudah dialaminya tanpa ada yang terlewatkan. sementara mbah kuncen menyimak sambil manggut-manggut.

"Bagus. Itu tandanya kamu sudah berhasil. Ketahuilah, wanita itu adalah Dewi Sekar Gedang, dialah sosok yang memang kamu tunggu-tunggu, wanita gaib yang akan memberikanmu kemudahan dalam mencari harta kekayaan."

"Pisang yang kamu makan adalah perlambang dari tumbal yang siap kamu berikan. Sedangkan hubungan badan merupakan malam pertama pertanda kamu telah menikah dengan sang Dewi yang kelak akan kuasai tubuh istrimu. Sampai sini kamu paham?"

Samsuri mengangguk tanda mengerti. "Iya mbah. Tapi apakah istri saya akan baik-baik saja?"

"Jangan khawatir. Sang Dewi hanya akan kuasai tubuh istrimu pada waktu tertentu saja. Perlakukan dia sebaik mungkin. Buatlah hatinya senang, karena semakin dia senang, semakin banyak pula hasilnya nanti."

"Tapi mbah, bagaimana nanti kalau sampai istri saya tau?"

"Itu urusanmu! Tapi saranku, jangan pernah kecewakan sang Dewi. Kalau memang istrimu sampai tau lalu dia mau macam-macam, ceraikan saja!"

"I--iya mbah." Samsuri menyahut dengan wajah kecut. Mbah Kuncen memang selalu ketus dan galak sejak pertama kali mereka bertemu. Andai saja Samsuri tak butuh jasanya, mungkin sejak awal kakek tua itu sudah dia tantang berkelahi.

"Tapi kalau sampai kamu benar-benar pisah dengan istrimu, kamu hanya punya waktu enam bulan untuk menikah lagi, dan kamu tak bisa sembarangan menikahi wanita lain. Harus ada persetujuan dari sang Dewi lebih dulu." Lanjut mbah Kuncen.

"Walah? Sampai harus minta persetujuan segala mbah?"

"Iya. jangan tanya kenapa, memang begitu persyaratannya. Kamu juga harus benar-benar menikah walau cuma nikah siri, bukan sekedar kumpul kebo apalagi sampai sewa pelacur."

"Lalu cara minta persetujuannya bagaimana mbah?"

"Kamu harus tirakat seperti yang kamu lakukan tadi. Tapi tidak perlu ke sana, cukup dalam satu kamar khusus. Pada saat tirakat, kamu harus sediakan sesaji berupa satu sisir pisang emas lalu sang Dewi akan datang untuk merestui."

"Lalu setelah itu apalagi mbah?"

"Nanti pisang itu kamu berikan pada calon istrimu untuk dia makan. Kalau rasanya manis, berarti dia bisa dinikahi. Tapi kalau rasanya sepet, berarti tidak bisa. Saranku, lebih baik kamu punya istri lebih dari satu untuk jaga-jaga, supaya kamu tidak grasa-grusu cari istri baru kalau sampai terjadi apa-apa. Gimana? Berminat untuk kawin lagi?"

"Ah, nggak mbah, untuk saat ini cukup satu istri saja. Saya masih cinta sama istri saya. Lalu tumbalnya bagaimana mbah?"

"Memangnya kenapa?"

"Apa harus anak saya?"

Seketika mbah kuncen mendelik mendengar pertanyaan bodoh itu.

"Harus! Perjanjian seperti ini tak bisa kamu tawar-tawar! Sang Dewi akan mengambil anak dalam kandungan istrimu sebagai tumbal yang pertama. Baru setelah itu kamu bisa berikan orang lain sebagai tumbal berikutnya. Kamu juga dilarang makan pisang jenis apa pun entah disengaja atau tidak."

"I--iya mbah. Saya paham. Lalu kira-kira siapa saja yang bisa dijadikan sebagai tumbal pengganti mbah?"

"Terserah kamu. Tapi harus orang yang sudah ikut menikmati hasilnya. Entah itu pembantu, karyawan, atau siapa saja, sebutkan saja namanya pada sang Dewi. Cara itu juga bisa kamu gunakan untuk menyingkirkan orang yang berniat mencelakai kamu."

Samsuri kembali mengangguk. Kini dia benar-benar tercerahkan. Setelah itu, Samsuri pulang dengan perasaan campur aduk. Senang dan bahagia sudah pasti. Tapi dia juga khawatir sekaligus sedih.

Istrinya kini tengah mengandung anak kedua. Anak yang kini telah dia gadaikan demi gelimang harta.

Tapi mau bagaimana lagi? Sudah lama dia berkawan dengan kemiskinan. Jadi kuli bangunan serabutan tak pernah cukup untuk penuhi kebutuhan hidup yang kian hari kian menuntut.

***

"Assalamualaikum." Teriak Samsuri di ambang pintu rumahnya. Lalu muncul Warsih, istrinya yang tengah hamil tua.

"Waalaikum salam. Alhamdulillah kamu sudah pulang pak, dapet kerjaannya?" Tanya Warsih sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

"Enggak." Samsuri menjawab pelan sembari duduk lalu regangkan badan.

"Lalu gimana?" Tanya Warsih yang ikut duduk di samping suaminya.

"Kalau untuk saat ini, kerjaannya belum ada. Tapi temanku janji beberapa hari lagi dia akan hubungi aku. Ya sudah, sekarang aku cuma bisa nunggu." Jawab Samsuri lagi sambil meletakkan tasnya dekat kaki.

"Oo gitu. Ya sudah, kamu sabar aja. Sekarang lebih baik kamu mandi dulu. Pasti capek ya?" Ucap Warsih dengan lemah lembutnya.

Samsuri mengangguk paksakan senyum. Padahal hatinya penuh rasa bersalah. Dia sengaja membohongi Warsih dengan bilang kalau dia pergi untuk minta pekerjaan pada temannya di Kotamadya.

"Anisa kemana?" Tanya Samsuri sambil celingak-celinguk.

"Baru saja keluar, main sama teman-temannya. Oh iya pak, dari kemarin anak buahnya juragan Karto bolak-balik datang menagih." Sahut Warsih mengingatkan.

Samsuri langsung terdiam. Baru sebentar saja, urusan hutang sudah kembali menghantui. Beberapa bulan yang lalu, dia terpaksa pinjam uang pada lintah darat demi biayai pengobatan Anisa yang sakit kejang-kejang.

Tapi hingga kini dia kesulitan untuk melunasi hutangnya itu. Upahnya sebagai kuli serabutan tak cukup untuk mencicil hutang yang kini makin menumpuk akibat bunga yang mencekik.

"Iya nanti dibayar. Ya sudah, aku mau mandi dulu." Jawab Samsuri lalu masuk ke dalam kamar sembari menenteng tasnya.

Selesai mandi, Samsuri sengaja rehat sejenak di teras rumah. Lalu datanglah Harso, temannya sesama kuli bangunan.

"Gimana Sam? Berhasil?" Teriak Harso saking antusiasnya.

"Sstt! Jangan keras-keras! Nanti Warsih denger!" Hardik Samsuri sambil melotot.

"Iya, maaf." Harso spontan berkata lirih sambil membekap mulutnya.

Samsuri melongok ke dalam rumah sebelum akhirnya menjawab berbisik-bisik. "Berhasil. Sebentar lagi aku kaya."

"Waah! Hebat kamu Sam! Aku bener-bener nggak nyangka! Lalu kapan mulainya?" Tanya Harso lagi.

"Kalau aku nggak salah hitung, besok malam harusnya sudah bisa mulai."

"Bagus lah. Aku ikut senang." Ucap Harso meski dalam hati sedikit iri. Kini harus dia akui, Samsuri selangkah lebih unggul.

Samsuri pun tersenyum. Dia bangga pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Awalnya dia dan Harso ingin melakukan hal itu bersama-sama. Tapi Harso terlalu pengecut lalu mengundurkan diri, padahal dia yang pertama kali punya niat lalu memperkenalkannya pada mbah kuncen.

Sebentar berbincang-bincang, Harso pun pamit pulang. Tapi tak lama kemudian, terlihat dua orang berbadan besar datang menghampiri rumah Samsuri dengan langkah tergesa-gesa.

"Asu! Kepergok lagi!" Maki Samsuri dalam hati melihat kedua orang itu melangkah setengah berlari sambil menunjuk-nunjuk dirinya.

"Heh! Jangan menghindar kamu!" Teriak Gino, salah satu dari dua orang itu sambil melotot melihat Samsuri yang hendak pergi menyingkir.

Samsuri terpaksa diam di tempatnya. Otaknya berpikir cepat cari siasat untuk berkilah.

"Ketemu juga kamu ya! Sudah dua hari kami cari-cari kamu! Ini sudah lewat jatuh tempo! Sekarang cepat bayar cicilanmu atau kamu terima akibatnya!" Hardik Panjul, pria berbadan gempal dengan jidat menonjol mirip martil.

"Mbok ya sabar dulu toh kang. Datang-datang kok langsung ngamuk-ngamuk. Apa nggak sebaiknya kita ngopi-ngopi dulu?" Sambut Samsuri dengan keramahan yang dibuat-buat.

"Halah! Banyak omong kamu! Ayo cepat bayar! Gara-gara kamu, habis kami dimaki juragan Karto!" Teriak Gino sambil mencengkram kerah baju Samsuri.

"Anu kang, barusan duitnya sudah kepake buat beli beras." Jawab Samsuri sekenanya sambil memegangi tangan Gino, mencegahnya agar tak berbuat lebih jauh.

BUGH!

Sebuah pukulan telak mendarat di perut Samsuri. Dia pun langsung jatuh meringkuk mirip udang sambil meringis kesakitan.

"Jangan banyak alesan kamu!" Maki Gino lalu memaksa Samsuri kembali berdiri.

"Saya nggak bohong kang. Minggu depan pasti saya bayar." Jawab Samsuri sambil meringis menahan sakit.

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Samsuri. Sudut bibirnya langsung robek dan berdarah terhantam batu combong.

"Kemarin-kemarin kamu juga bilang begitu! Memangnya kamu pikir kami main-main hah?!" Teriak Gino memaki persis di depan wajah Samsuri.

"Nggak kang, kali ini beneran. Saya nggak bohong." Samsuri memelas berharap dirinya diampuni.

Gino ambil ancang-ancang untuk memukul lagi, sebelum akhirnya Warsih datang bergegas menghampiri.

"Ya Allah gusti! Jangan kang! Jangan pukuli suami saya!" Teriak Warsih lalu berdiri menghalangi.

Gerakan Gino seketika tertahan. Tapi tangannya yang besar masih terus mengepal pertanda dia amat kesal.

"Kamu dengar ya! Seminggu lagi kami akan kembali! Kalau sampai belum bayar juga, habis kamu!" Maki Gino sembari membuat gestur memotong leher lalu pergi diikuti Panjul dari belakang.

"Kamu nggak apa-apa pak?" Tanya Warsih sambil membolak-balik wajah Samsuri.

Samsuri menggeleng sambil menatap kepergian Gino dan panjul, dua orang preman anak buah juragan Karto yang punya reputasi mentereng di dunia kekerasan.

Warsih hanya bisa geleng kepala melihat kondisi suaminya. "Bagaimana kalau kita nggak bisa bayar pak? Aku takut mereka makin nekat." Ujarnya khawatir.

Samsuri hanya diam. Hatinya penuh dendam. Bukan pada Gino dan Panjul, tapi pada nasib yang tak kunjung berpihak padanya.

Kemudian datang Anisa yang baru pulang main dari rumah tetangga. "Pak, bapak baru pulang? Nisa mau jajan." Pinta anak usia lima tahun itu sembari sodorkan tangan.

"Nanti ya nduk, bapakmu mau diobati dulu." Jawab Warsih sambil tersenyum.

"Memangnya bapak kenapa?" Bocah perempuan itu bertanya dengan polosnya.

"Bapak jatuh." Timpal Samsuri sambil tersenyum namun spontan meringis lupa kalau bibirnya terluka.

"Bapak nggak bawa oleh-oleh?" Tanya Anisa lagi.

"Yaah.. bapak lupa nduk. Nanti ya? Nanti bapak belikan boneka buat kamu." Balas Samsuri sekenanya.

"Horeee! Beli boneka!" Anisa memekik kegirangan lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah riang.

Sungguh pemandangan yang tak ternilai harganya. Melihat putrinya bahagia adalah tujuan hidup Samsuri. Tapi masa depan kini terlihat suram. Dia tak tau bagaimana kedepannya nanti.

 

Bersambung bab 2

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Horor
Selanjutnya SEKAR GEDANG - Bab 2
0
2
Ibu mana pak? Nisa mau sama ibu. Tanya Anisa terisak-isak.Lho? Tadikan ibu ada di dalam? Jawab Samsuri coba tenangkan anaknya.Tapi Anisa menggeleng. Bukan pak, itu bukan ibu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan