0.14, Butter.

2
0
Deskripsi

Red Flavor.

05:15

“Nu.”

“Hm…”

“Bangun. Ke kamar kamu gih. Mandi. Nanti ada Ibu Eva, ga enak liat kamu keluar dari kamar aku,” ucap Audine yang berusaha membangunkan teman tidurnya yang ternyata malah tertidur semalaman bersamanya.

“Iya…”

“Aku tinggal mandi ya. Awas aja aku liat kamu masih di kasur, aku siram air ya.”

Lelaki yang sudah terbangun, namun masih enggan membuka matanya itu lantas tertawa akan ancaman wanitanya yang mirip sekali dengan adiknya, Winata, bila membangunkannya.

Bangun, Mas. Ibu dah mencak-mencak sama aku buat bangunin, Mas. Ini kalau nanti aku balik lagi, Mas belum bangun, aku siram air ya.

“Iyaaa, Audine.”

“Oke.”

Perempuan itu langsung melesat ke kamar mandinya yang berada di dalam kamar sini, sedangkan yang laki-laki berusaha menyadarkan dirinya dengan duduk terlebih dahulu untuk mengumpulkan nyawanya.

Singkatnya Audine dan Wisnu sama-sama sudah menyiapkan dirinya untuk berangkat kerja pagi ini, dan mereka saat ini tengah sarapan bersama dengan sajian makanan yang sudah dimasakkan oleh PRTnya, Eva.

Televisi yang menyala memperlihatkan berita sejak semalam dan pagi ini, dan salah satunya membuat Eva mengajak Audine serta Wisnu berbicara.

“Itu tuh kecelakaan pagi ini. Kecelakaan tunggal karena ngebut-ngebut katanya.”

Audine : “Kecelakaan tunggal?”

“Iya. Padahal dari semalam memang lagi hujan deras, tapi masih aja ada kebut-kebutan. Harusnya kalau cuaca lagi ga bagus ini mah hati-hati. Ada aja orang-orang.”

Audine : “Tol?”

Ketiganya sudah fokus pada televisi di depan sana, menyimak berita terbaru pagi ini.

“Iya, Mba.”

Audine : “Ya Tuhan…”

Lalu setelah sarapan, Audine dan Wisnu kembali berpamitan pada wanita paruh baya ini yang mana sepertinya ini akan menjadi rutinitas baru untuk mereka.

“Ibu, kami berangkat yaaa.”

“Iya, Mba, Mas. Hati-hati di jalan.”

“Di,” panggil Wisnu sesaat mereka berdua berjalan menuju ke lift apartment sini.

“Hm?”

“Ibu Eva dah berapa lama kerja sama kamu?”

“Lima tahun.”

“Oh… Lama ya…”

“Iya. Kenapa?”

“Gapapa. Penasaran aja, soalnya dia sampe punya kartu apartment kamu berarti sepercaya itu kamu sama Ibu.”

“Iya… Kalaupun dia jahat juga Tuhan termasuk baik ga sih? Karena nunjukkin bahwa Ibu jahat orangnya dan aku dihindarin sama orang jahat. Tinggal pecat aja. Apapun masalah yang Ibu buat di apartment aku, anggap aja musibah. Mudah kan? Ga perlu repot.”

Masuk ke dalam lift sana, Wisnu lagi-lagi dibuat terpukau dengan Audine yang mulai menganggap semua masalah itu tidak perlu dipusingkan bila terjadi.

“Karena…yang aku pelajari sekarang tuh kalau sebuah masalah terjadi, yang harus kita lakuin ya hadapin. Iya ga? Kita bisa sih lari dari masalah. Tapi itu bukan solusi sama sekali, aku pernah lari dari masalah kita, ujung-ujungnya apa coba? Iya, aku harus hadapin juga kan. Kita ketemu lagi, harus kita selesain. —”

“— Jadi prinsip aku apapun masalah yang terjadi di depan sana, terjadi lah. Aku punya Tuhan. Tinggal minta pertolongan dia. Soalnya yang aku pahami, sebaik-baiknya pertolongan manusia, itu juga pertolongan dari Tuhan yang dikasih ke kita, tapi lewat manusia. Jadi apa? Jadi, jangan terlalu memusingkan semua masalah di dunia ini, kita punya Tuhan, tinggalkan semua masalahnya ke tangan Tuhan aja. —”

“— Tinggal lihat bagaimana dunia bekerja dengan semestinya sesuai aturan Tuhan. Jadi untuk masalah Ibu, itu di luar kuasa aku. Kenapa? Kan bukan aku yang menggerakkan Ibu, tapi Ibu sendiri dengan dirinya. Jadi masalahnya ada di Ibu, dan itu dah pasti langsung diketahui Tuhan. Tinggal kita tanya aja sama Tuhan, ini apa lagi selanjutnya? Kita harus apa sama musibah kita? Terus balik lagi jalanin hidup kita. Hidup itu mudah, tinggal kitanya.”

“Iya. Bener.”

Masih sama seperti biasanya, Wisnu menyetir untuk keberangkatan mereka bersama ke kantor mereka di pagi hari yang medung ini.

“Ohya, Nu.”

“Iya?”

“Hari ini ada client. Mau temenin?”

“Boleh. Kapan ketemuan clientnya?”

“Siang. Bisa?”

“Bisa. Di mana?”

“Menteng. Oke?”

“Oke.”

“Nanti aku kabarin lagi ya.”

“Iya.”

Wajah Wisnu nampak girang karena ajakkan wanitanya untuk menemui client pertama mereka di awal tahun ini.

Hingga singkatnya mereka sudah sampai kantor dan seperti biasa sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Audine mulai disibukkan mengeksekusi beberapa file desain yang tahun lalu tertunda karena waktu, Marlo juga mulai memantapkan rancangan konsep yang diberikan kliennya sebelum diberikan kepada Audine, Bagas sedang sibuk dengan mendatangi anak tim IT untuk kegunaan penambahan beberapa format baru untuk Web, Vella sibuk mempelajari desain Audine untuk Ia paparkan pada kliennya nanti.

“Mba Audi.”

“Iya?”

“Nanti Vella perginya sama Mas Riko atau Mba Fitri?”

“Yang ke Menteng ya?”

“Iya, Mba.”

“Sama Mas Wisnu ya gapapa?”

“Oh?” “Mas Wisnu?”

“Iya. Gapapa kan?”

“Oh… Gapapa sih…”

“Oke. Ohya, Bagas mana?”

“Di tempat anak IT tadi, Mba.”

“Oh oke. Ada yang mau kopi? Mba mau beli,” kata Audine yang sudah berdiri sambil meregangkan tangannya ke atas sana karena mulai merasa lelah.

“Gua dong,” jawab Marlo.

“Oke. Vella?”

“Engga, Mba. Makasiiih.”

“Yang lain mungkin?”

“Engga juga, Mba. Perut Vella lagi ga enak.”

“Oh… Oke. Datang bulan?”

“Engga, Mba. Gatau juga dari pagi sakit banget perutnya.”

“Kalau butuh obat bilang aja ya, biar Marlo beliin.”

“Lah tiba-tiba banget gua?”

“Mba tinggal yaaa.”

Ditinggalkannya Vella dan Marlo berdua di sini, Vella yang tadinya tertawa menjadi serius setelah ditinggalkan Audine.

“Mas Marlo.”

“Hm?”

“Mas Marlo nanti siang kosong ga?”

“Engga tau. Masih sibuk ini. Kenapa emangnya?”

“Hm… Vella takut kalau berduaan nanti canggung deh sama Mas Wisnu.”

“Oh… Mau ketemu client?”

“Iya.”

“Tunggu. Sama Mas Wisnu?”

“Iya.”

Marlo seolah terbangun dari lamunannya, “Lah… Kenapa Vella? Kenapa ga dia aja yang pergi sama Wisnu? Bukannya ini kesempatan ya? Ah… Mungkin dia juga berlaku profesional sih.

“Apa ajak Mas Bagas aja ya?”

“Ck,” “Bagas diajak? Nanti di tengah-tengah meeting kamu tetep ditinggalin sama dia.”

“Aaaa gamau berduaan sama Mas Wisnu. Aneh sama orang baru IH.”

“Berdua sama Wisnu?”

Ada suara lain yang datang ke sini dan kedua orang yang tadinya sedang berbicara itu menoleh ke arah sumber suara berada, dan itu Jena Hanggini yang datang ke tempat tim Dea.

“Eh, Mba Hanggini.”

“Vella mau pergi sama Wisnu? Ke mana?”

“Meeting, Mba. Ada client baru mau ambil tim Mba Dea.”

“Oh… Kapan meetingnya?”

“Nanti siang, Mba.”

“Di…mana?”

“Menteng.”

Seiring memperhatian Jena yang banyak bertanya pada Vella itu membuat Marlo yang berada di sini menatap serius Jena dengan ingin menebak-nebak apa yang dipikirkan Jena saat ini.

“Oh… Oke. Mba Dea ada di ruangannya?”

“Ada, Mba.”

“Lagi ga ada tamu kan?”

“Engga ada, Mba.”

“Oke. Masuk ya.”

Kembali lagi pada forum Marlo dan Vella, Marlo bersuara lagi.

“Vel.”

“Iya.”

“Tenang aja, kamu ga akan berdua aja sama Mas Wisnu.”

“Iya?” “Maksudnya?”

Betul saja, Kini di lobby sini sudah ada Vella, Wisnu, dan Jena yang direncanakan untuk menemui klien mereka guna meeting siang ini.

Wisnu : “Kamu gantiin Mba Audi?”

Vella : “Heem engga. Emang Vella kok untuk urusan meeting pertama sama klien, Mas Wisnu.”

Wisnu : “Oh… Hanggini?”

Jena : “Aku bakalan bantu Vella, buat memahami keinginan klien. Iya…semacam buat tau secara langsung juga konsep website atau platform yang dimau sama klien, mungkin?”

Wisnu : “Oh… Oke…”

Vella : “Ah, ya…”

Jena : “Ohya ini make mobil siapa? Wisnu?”

Vella : “Mobil Vella, Mba.”

Jena : “Oh…”

Bagi Wisnu ini cukup mengejutkan karena Ia malah dipasangkan dengan Vella untuk bertemu klien dan juga kehadiran Hanggini yang membuatnya bingung apa yang sedang terjadi dengan agenda mereka kali ini, begitupun Vella yang juga sama bingungnya.

Mas Marlo. “Gimana, Vel?”

Iya tadi Marlo berpesan untuk Vella mengabarkannya selalu mengenai keberangkatan mereka bertiga yang sangat absurd.

Vella. “Makin canggung, Mas.” “HUAAA AKU LEBIH MILIH AJAK MAS BAGAS DEH.”

Mas Marlo. “Hahaha. Titip Mas Wisnu ya, Vel.”

Vella. “Ini absurd banget deh. Tiba-tiba banget Mba Hanggini???”

Mas Marlo. “Jangan kasih tau siapa-siapa ya, Vel. Ini nanti kita omongin aja lagi.”

Vella. “Kan. Pasti ini ada apa-apanya. Mas Marlo mah ga bagi-bagi gosip nih.”

Mas Marlo. “Nanti Mas kasih tau. Sekalian kita forum bertiga sama Bagas.”

Vella. “Janji yaaa???”

Mas Marlo. “Iya, Adik Kecil.”

Wisnu yang menyetir cukup tenang karena mereka menggunakan mobil Vella yang mana otomatis membuat Wisnu bisa menyuruh Vella untuk duduk di sampingnya sebagai bentuk menghormati pemilik mobil, dan tentu itu membuat Jena tak memiliki kesempatan untuk melakukan pendekatan padanya.

Wanita yang duduk di belakang sini sudah memberikan raut wajah tidak menyenangkan seperti suasana hatinya yang kacau, dan Wisnu sendiri bisa melihat dari kaca tengah sini yang mana Jena menatap tidak suka Vella.

Audi… Kenapa tiba-tiba Hanggini?

“Hanggini?”

“Iya,” jawab santai Marlo di depan Audine sini yang mana saat ini mereka tengah makan siang berdua, karena Bagas mengatakan bahwa Ia akan makan di luar area perkantoran ini.

Audine bingung setelah mendengar bahwa Vella dan Wisnu berangkat dengan Hanggini yang ikut.

“Tunggu. Gue ga ngerti. Hanggini ikut mereka? Atau apa sih?”

“Iya,” “Ga mungkin juga Hanggini nebeng balik kan? Ini masih siang.”

“Kenapa? Maksud gue, ngapain Hanggini ikut?”

“Karena Wisnu?”

“Wisnu? Kan ini lagi ngomongin meeting, Mar?”

“Iya… Hanggini mau ikut meeting karena ada Wisnu. Gitu aja masa elu ga ngerti?”

“Karena ada Wisnu?”

“Iyaaa, Mbaaa.”

Perempuan itu dibuat melongo tentang pergerakan Hanggini yang terbilang sangat berani.

“Paham gua sekarang kenapa anak kreator bilang Mba Hanggini ini cewek gila. Ternyata di luar emosinya yang suka marah-marah gajelas sama anak timnya, dia juga sama gilanya untuk urusan di luar kerjaannya.”

Audine masih tidak percaya tentang Hanggini yang seberani itu dengan Wisnu sendiri saja sudah jelas memperlihatkan ketidaksukaannya pada wanita tersebut.

“Apa perlu kita minta follow up terbaru dari Vella?” usil Marlo yang langsung mendapat pelototan dari Audine, “MARLO JANGAN YA!”

“Hahaha. Lama ga sih meetingnya?”

“Bisa ga untuk ga memperkeruh keadaan?”

“Engga bisa. Gua suka banget yang beginian.”

“Anjing.”

“Eit. Kasar sekali atasan ini. Kita aduin aja apa ke HRD?”

“Marlo!”

Pada akhirnya Wisnu merasakan bahwa hari ini adalah hari yang tidak menyenangkan untuknya, di mana Ia harus berada berjauhan dengan wanitanya yang malah tetap tinggal di kantor, sedangkan Ia harus bersama dua perempuan yang tidak begitu dekat dengannya.

Audine. “Nu, semisal nanti dah selesai meetingnya dan mau dijemput, berkabar ya. Hari ini kerjaan aku dah beres soalnya, jadi bisa pulang sore ini.”

Melihat ada notifikasi masuk dari wanitanya, lelaki yang tadinya merasa suasana hatinya tidak bagus itu menjadi senang setelahnya. Membalikkan ponselnya setelahnya, Wisnu kembali fokus pada meetingnya sambil berharap bisa selesai dengan cepat.

Jena yang lagi-lagi tak ada kesempatan dengan Wisnu itu merasa suasana hatinya cukup kacau karena tadi Vella langsung diminta Wisnu untuk duduk di sebelahnya agar memudahkan Wisnu bertanya jika bingung-bingung, meskipun itu hanya alasan belaka.

Hingga meeting selesai di pukul lima lewat tiga puluh menit, sang klien mengajak ketiga orang ini untuk dapat makan malam bersama, namun salah satu dari ketiganya menyampaikan bahwa Ia ada janji terlebih dahulu dengan orang lain.

“Ah, baik. Kalau begitu, sampai ketemu di meeting lainnya ya, Pak Wisnu, Bu Vella, dan Bu Jena,” pamit sang klien yang langsung meninggalkan tempat meeting ini.

“Langsung pulang, Nu?”

“Iya, ada janji.”

“Ah… sama temen?”

Vella yang sedang membereskan barangnya hanya berusaha fokus dengan juga menguping pembicaraan Wisnu dan Jena yang masih berada di sekitarnya.

Menegapkan tubuhnya dan menatap serius Jena, Wisnu mau mendeklarasikan dirinya.

“Iya, temen lama dan calon istri saya.”

Jelas raut wajah Hanggini berubah drastis menjadi tambah tidak senang, dan Vella melongo membuatnya terhenti memasukkan tablet canggihnya sampai-sampai Ia menoleh ke tempat Wisnu dan memberikan tatapan tidak percayanya.

Wisnu : “Ke…napa?”

Jena : “Calon istri?”

Vella : “Mas Wisnu…mau nikah?”

Wisnu : “Iya, dalam waktu dekat ini. Minta doanya ya.”

Meninggalkan kedua rekan kerjanya, Wisnu langsung melesat ke luar dari sini dengan mengabarkan bahwa Ia akan ke area mall dekat sini yang mana Audine sudah berada di sana. Perempuan itu melakukannya agar tidak ketahuan oleh Jena maupun Vella.

Baru calon kan? Bukan masalah.


Alchohol Free.

Trigger Warning : Divorce.

Perempuan yang sudah menunggu di sebuah restaurant steak di mall sini melihat-melihat ke sekitarnya dengan berharap laki-lakinya cepat muncul dihadapannya.

Dirinya sudah memesankan dua porsi steak untuk mereka makan sebagai makan malam mereka kali ini dan Ia juga sama halnya sedang menunggu makanan tersebut.

Tak lama kemudian makanan mereka pun sampai, namun sesosok yang ditunggu-tunggu itu belum kunjung datang sampai pada akhirnya perempuan tersebut memilih memakan makanannya terlebih dahulu.

“Odi?”

Mendangakkan kepalanya ke atas sana, raut wajah sumringah Audine yang tiba-tiba menghiasi wajahnya sontak langsung menghilang begitu saja kala Ia malah mendapat sosok lainnya yang tidak Ia percaya akan dirinya temui lagi di Jakarta sini.

“Oh, Niko?”

Wow, apa kabarnya, Di?”

“Baik… Baik. Kamu?” jawab Audine yang langsung berdiri dari bangkunya karena mau berbicara setara pada kenalannya yang Ia kenal, Niko Marendra, salah satu mahasiswa dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang satu universitas dengannya.

“Baik juga. Wah, ga nyangka kita ketemu lagi di sini.”

“Ah…ya, ga nyangka.”

Melihat ke meja tempat wanita ini tadi berada, Niko bertanya tentang apakah Audine sedang menunggu seseorang atau sedang lapar sendirian karena terlihat memesan dua porsi steak.

“Iya, lagi nunggu orang. Kamu?”

“Oh… Ini mau pulang. Tadi habis makan bareng klien.”

“Oh… Oke.”

“Ohya, kerja di mana sekarang, Di?”

“Kerja di Vore, swasta.”

“Oh… Vore… Di bidang apa?”

“Kreatif.”

“Ah… Selaras dong ya sama kuliah?”

“Iya. Kamu emangnya engga?”

“Menurut kamu gimana, aku lulusan pembangunan tapi sekarang jadi konsultan keuangan?”

“Masih selaras kok. Kecuali kamu tiba-tiba jadi masinis kereta api, baru aku kaget.”

“Hahaha.”

Layaknya seperti bertemu teman lama, Niko cukup senang karena bisa bertemu lagi dengan pujaan hatinya yang sempat Ia kagumi sesaat masih berkuliah dulu.

“Ah, Di.”

“Iya?”

“Apa boleh minta nomor telfon kamu? Mungkin…ada klien yang nyari anak atau perusahaan kreatif yang oke? Jadi nanti aku bisa saranin kamu.”

“Ck,” “Bilang aja mau chatingan,” tembak Audine yang memang tahu maksud Niko, yang mana juga dulu Niko sempat menyatakan perasaanya pada wanita ini.

Perempuan itu menghargai, bahkan berterimakasih pada Niko yang menyukainya, namun dengan tegas Audine menyatakan bahwa Ia sudah memiliki kekasih dan sudah sebaiknya Niko tidak berharap lagi kepadanya.

Tertawa dan setelahnya mengigit bibir bawahnya, laki-laki itu memberikan ponselnya pada wanita yang ada di depannya.

Namun Audine malah memberikan kartu namanya pada Niko untuk dapat menghubunginya ke nomor kerjanya saja, karena Audine mengatakan bahwa Ia tidak bisa memberikan nomor biasanya pada Niko.

“Maaf ya, Nik.”

“Ah, ya, gapapa, Di. Tapi kalau boleh tau—” belum lelaki setinggi seratus delapan puluh centimeter itu menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ada suara dari orang lain yang memotong pembicaraan mereka.

“Audi,” panggil Wisnu yang datang dengan wajah bingungnya karena bertanya-tanya dengan siapa wanitanya ini berbicara.

“Haiii,” sapa girang Audine yang sudah kembali menghadirkan wajahnya yang kegirangan akan kedatangan orang terkasihnya.

“Siapa?” tanya Wisnu pada laki-laki yang sedang bersama Audine saat ini.

“Ini Niko, temen aku, temen kuliah, cuman dia anak Ekonomi,” kata Audine mulai memperkenalkan Niko dan Wisnu pada satu sama lain, “Nik, ini pacar aku, Wisnu.”

“Ah… Wisnu?”

Niko ingat sekali nama itu, nama yang membuatnya cukup patah hati karena nama tersebut adalah nama pemilik dari wanita yang disukainya.

“Langgeng ya, Di.”

Audine yang mendengarnya senang, karena Ia merasa itu seperti pujian. Sedangkan bagi Wisnu itu terdengar seperti sarkas untuk mereka.

“Okedeh kalau gitu duluan ya, Di?” pamit Niko dan hanya pada Audine.

“Iya. Hati-hati, Nik.”

“Makasih.”

Tertinggalnya mereka berdua di sini, Audine langsung menyuruh Wisnu untuk duduk, karena Ia sudah sangat lapar dan ingin langsung makan.

“Di.”

“Hm?”

“Tadi beneran cuman temen?”

“Iya,” “Malah lebih tepatnya cuman saling kenal aja kali ya? Karena kita ga temenan yang kayak temenan gitu loh. Dia cuman sempet nyatain perasaannya ke aku, terus aku tolak karena aku juga udah punya kamu. Jadi aku nganggep dia sekedar kenalan yang baik,” ucap panjang lebar Audine yang membuat Wisnu sadar tentang perasaanya bahwa Niko terlihat tidak bersahabat sesaat melihat dan mengetahuinya, “Kenapa? Kamu ngerasa kenal Niko?”

“Engga.”

“Oke.”

“Di.”

“OHYA NU!”

“Apa???”

“Tadi gimana meetingnya? Hanggini ada tptp ga sama kamu?”

“Tptp?” “Apa itu?”

“Tebar pesona. Iya kayak caper gitu, centil deh, deket-deketin kamu gitu.”

“Oh. Engga ada sih. Karena aku selalu berusaha bikin Vella deket aku.”

“Gi—gimana?”

“Kayak tadi berangkat. Kan make mobil Vella, jadinya saya yang nyetir tapi saya suruh Vella duduk di samping saya biar menghormati Vella yang punya mobil. Sama juga waktu meeting. Saya suruh Vella duduk di samping saya, biar kalau saya mau nanya-nanya lebih mudah. Padahal engga, cuman biar ga dekat Hanggini saja. Risih soalnya semenjak yang kamu bilang dia mau deketin saya. Juga saya gamau bikin dia berharap lebih. Jahat namanya.”

“Kan, saya lagi!”

“Iya maaf, maaf, maaf.”

Menatap sebentar lelakinya, lalu wanita yang duduk di depan sini kembali fokus pada makanannya.

“Di?”

“Sssst. Makan, makan, makan. Biar cepet pulang. Aku mau banget mandi, mau keramas!”

Melihat wanitanya yang ternyata tenang dan terlihat biasa saja membuat Wisnu senang setelahnya, karena ternyata Audine sudah sedewasa ini, tidak ada marah yang tidak jelas lagi atau dugaan buruk-buruk lainnya yang Wisnu kira akan Audine katakan padanya. Ia bangga dengan wanitanya.

Masih sama seperti biasanya, Wisnu akan menyetir untuk perjalanan pulang mereka menuju ke apartment bersama.

“Ohya, Di.”

“Hm?”

“Tadi…”

Selagi dalam kemacematannya jam orang pulang kerja, Wisnu mengajak wanitanya untuk mengobrol di dalam mobil sini dengan Ia menceritakan tentang bahwa dirinya sudah menyampaikan pada Vella dan Jena bahwa Ia akan menikah dalam waktu dekat ini dengan teman lamanya.

“Terus-terus? Respon mereka gimana?” tanya Audine yang sudah bangkit dengan semangat.

“Hm… Ga yang gimana-gimana sih, Di. Karena aku langsung pergi aja setelah bilang minta doanya.”

“Ih… Harusnya diem dulu sebentar di situ. Tunggu mereka respon apa kek.”

“Seinget aku, Vella ada respon kayak nanya apa bener aku mau nikah, kalau Hanggini…dia kayaknya cuman mau memastikan dia ga salah denger kayak ‘Istri?’ gitu. Lupa, Di. Maaf.”

“Gitu doang?”

“Iya…”

“Hm… Okedeh. Semoga ga ada masalah lagi deh yang muncul.”

“Masalah?”

“Ya maksudnya tingkahnya Hanggini. Kayak tadi. Itu kan dia minta sama Mba Dea buat dibolehin ikut meeting kalian. Hanggini to the point bilang sama Mba Dea kalau dia mau coba deketin kamu, jadi minta tolong.”

“Serius?” “Sampe segitunya?”

“Iya… Biasa ga sih? Hanggini emang terkenal gitu kok. Makanya anak-anaknya bilang Hanggini nih cewek gila. Tapi sampe sekarang aku belum bersinggungan sih sama sisi gilanya. Semoga aja ga pernah deh. Takut.”

“Di.”

“Hm?”

“Hanggini memangnya punya track record seperti apa di kantor sampe-sampe begitu?”

“Entah,” “Aku jarang nimbrung gosip. Males, cuman bikin kita mandang orang jadi negatif. Kamu kalau mau ngegosip ajak tuh Bagas sama Marlo. Paling up to date banget.”

Wisnu tersenyum setelahnya. Jika boleh mengakui memang Wisnu cukup suka dengan Bagas dan Marlo yang konyol, itu cukup menghiburnya seperti melihat Aaron dan Arjuna.

“Odi.”

“Iyaaa.”

“Hari ini kita pulang awal.”

“Iya.”

“Nanti…boleh ya manja-manjaan?”

“Nu,” “Hahaha.”

Audine sudah tertawa dengan kalimat Wisnu yang mana laki-laki benar-benar buta akan romansa seperti ini.

“Kenapa…?”

“Kamu bisa mulai dengan bilang, ‘Di, nanti malam cuddle ya’, gitu. Itu lebih oke diucapkan.”

Cuddle?” “Slang apa itu?”

“Iya, slang buat manja-manjaan tadi.”

“Oh…”

“Tapi kalimat manja-manjaan juga oke sih, cuman aku dengernya kayak apa ya kamu nih terlalu terbuka banget orangnya. Aku jadi malu dengernya.”

“Oh, maaf, maaf, maaf yaaa.”

“Gapapa. Kamu lucu tau, Nu.”

“Di.”

“Iya.”

“Minggu ini ya kita nikah?”

“Plannya emang udah? Kita belum tau loh mau nikah kayak gimana.”

“Ah, ya. Kamu maunya gimana?”

“Apanya? Acaranya?”

“Iya.”

“Entah… Kita sibuk banget ga sih, Nu? Emangnya punya waktu buat ginian? Kita libur cuman sabtu sama minggu aja. Apa keburu nyiapin semuanya?”

“Engga, kita ga sibuk, cuman capek aja. Punya waktunya? Punya, ini. Makanya kita obrolin, kita rencanain. Keburu? Bisa, kalau mau usaha,” tegas Wisnu yang langsung mendapat tertawaan kecil dari pasangannya.

“Oh, astaga!” seru Audine yang memberi cubitan pada pipi kiri Wisnu dengan semangat, “KAMU LUCU BANGET, WISNU!”

“Nanti ya,” ucap Wisnu setelah mereka sampai di apartment dan meminta kejelasan pada Audine untuk dapat keluar kamar setelah Ia membersihkan dirinya.

“Iyaaa. Bawel.”

“Apa?”

“BAWEL!” seru Audine yang langsung masuk ke kamarnya dan mengunci kamarnya itu mengundang tawa sang lelaki.

“Hahaha,” “Astaga…”

Setelah keduanya membersihkan dan juga menyiapkan diri mereka untuk beristirahat, mereka sepakat untuk bersantai dulu di ruangan utama apartment ini guna membicarakan tentang pernikahan mereka.

“Kamu?”

“Kalau aku kayaknya ngikut kamu aja, Di. Bapak sama Ibu ga pernah sih nuntut mau acara nikahan yang gimana. Mereka juga dulu nikah cuman di rumah. Habis itu ya acara makan-makan biasa di rumah Ibu.”

“Oh…”

Sebenarnya Wisnu sudah bisa menebak seperti apa keinginan acara pernikahan pada pandangan keluarga Audine.

Bagaimanapun Ayah dan Ibunda Audine adalah sama-sama orang terpandang dan juga berasal dari kalangan atas, maka bukan hal yang biasa lagi jika mereka menginginkan anak satu-satunya ini memiliki acara yang besar.

“Mamah memangnya engga ada ngomong apa-apa lagi setelah kemarin kita telfonan, Di?”

“Mamah malah nanya nanti mau honeymoon di mana? Kalau mau di tempat Mamah, nanti dibantuin cari tempat penginapan yang bagus.”

“Tem—tempat Mamah? Maksudnya ke London?”

“Iya. Tapi aku bilang nanti aja, masih sibuk.”

“Ah… ya, masih sibuk,” ucap Wisnu dengan takut-takut karena tahu bahwa untuk melakukan perjalanan ke luar negeri itu cukup memakan banyak biaya dan Wisnu takut tidak bisa mengindahkannya.

“Hahaha. Kenapa wajahnya kayak takut gitu? Tenang ajaaa, Papah bersedia kok bayarin honeymoonnya, Nu.”

“Eh,” “Jangan, Di, saya, maksudnya aku ga enak jadinya kalau gitu.”

“Hahaha. Gapapaaa. Papah baik tau.”

“Iya tau. Papah pasti niatnya baik, tapi jangan ya, Di? Sebagai suami kamu saya ga enak sama keluarga kamu jadinya. Kesannya saya gabisa afford bulan madu kita.”

“Kenapa sekarang denger kamu ngomong saya kayak ga asing lagi? Kayak gapapa aja. Apa umurnya ya dah cocok?”

“Kurang ajar.”

“Hahaha. Abisan cocok. Kamu emang dah bapak-bapak bentar lagi, Nu.”

“Audi, serius dulu ya.”

“Oke, oke, oke. Apa?”

“Kamu mau acara pernikahan kita kayak gimana?”

“Hm… Jujur aku ga suka acara nikahan kayak Ayah sama Mamah di gedung-gedung gitu, aku lebih suka kayak acara pernikahan Mamah sama Papah di London. Kayak garden theme gitu. Gimana?”

“Taman?”

“Iya. Jadi tempat terbuka gitu.”

“Oh… Kalau boleh tau budget acara kayak gitu berapa, Di?”

“Hm… Gatau sih, aku ga pernah cari tahu. Kamu mau emangnya?”

“Boleh. Ah, maksudnya mau. Ayo kalau mau konsep kayak gitu.”

“Kita searching dulu yaaa,” kata Audine sembari mengambil ponselnya dari depan meja sana.

“Ohya, Di.”

“Hm?”

“Harga cincin berapa ya, Di?”

“Cincin?” “Aku ada dikasih cincinnya Mamah sama Ayah. Hahaha. Atau mau itu aja biar hemat?”

“Eh,” “Jangan lah, Di.”

“Kenapa? Takut cerai juga?”

“Audi.”

“Canda, canda, canda. Maaf. Amit-amit juga, gamau.”

“Berapa harga cincin dan lain-lainnya, Di?”

“Hm… Kalau garden party gini mah lain-lainnya kayak baju gausah wow banget deh. Mamah cuman pake wedding dress yang simpel banget, malah kayak baju putih panjang biasa aja. Aku ada kok baju kayak model gitu, gausah beli lagi lah. Kalau kamu mau nikah dalam waktu dekat ini, engga ada waktu buat urus kayak gini, Nu.”

“Iya ya… Kadang kita pulang larut malam juga ga sempat.”

“Kalau cincin cari di toko emas mall aja lah. Kamu ga ada niatan mau dijual kan nanti?”

“Iya?”

“Kalau beli cincin emas di toko yang ada di mall tuh bakalan sulit buat jualnya lagi, kalau tokonya gaada lagi. Kalau kamu ada rencana mau dijual lagi, kita beli di toko emas cici langganan punya.”

“Astaga. Saya ga ada kepikiran buat jual, Di.”

“Eh, kita gatau loh kedepannya. Kali aja kita butuh uang.”

“Di, jangan ngomong yang buruk-buruk dulu dong. Kamu ini bikin saya takut jadinya.”

“Hahaha. Oke, oke, oke. Maaaf yaaa. Mulut ini emang asal bunyi aja.”

“Berapa harganya, Di?”

“Tergantung kadar emasnya. Kamu mau emas biasa atau putih?”

“Putih gimana?”

“Boleh. Cuman emas putih ini harganya ga selalu bagus. Kalau mau buat dijual lagi dalam jangka waktu panjang, aku bisa saranin emas biasa. Aku koleksi soalnya.”

“Ko—koleksi?”

“Iya. Karena kadang uang dari Mamah sama Ayah gatau mau aku apain. Jadi aku beliin emas aja. Lumayan tau. Kamu beli kalung tahun ini cuman empat juta, beberapa tahun lagi harganya bisa puluhan juta. Inflasi.”

“Wah… Baru tau.”

“Kamu muterin aja tuh uang di bank. Jangan mendep aja. Biar ada bentuk sama hasilnya.”

“Kita mau beli rumah kan?”

“Ohya… Okedeh. Rumah tanggungannya kamu ya di awal.”

“Iya, Audi.”

“Nanti furniturenya aku ya.”

“Iyaaa, Sayang.”

“Hahaha.”

“Jadi berapa total biaya pernikahan kita, Odi?” ulang Wisnu dengan tegas.

Wanita yang ditanya itu kemudian terlihat berpikir, Ia mulai menghitung dengan memperkirakan semuanya dengan otaknya.

“Dari yang aku baca kita bisa ambil middle class aja buat tipe pernikahan garden partynya, soalnya aku kayaknya cuman ngundang Marlo aja sama keluarga. Paling nanti didominasi sama temen-temen Ayah sama Mamah. Kamu?”

“Oh… Kayaknya kalau acaranya di Jakarta, mungkin cuman keluarga saya aja, Di. Selebihnya cuman Ozzy, Aaron, Arjuna aja.”

“Hahaha. Dikit banget ya jadinya. Tapi gapapa sih. Perkiraan aku nih temen Ayah sama Mamah rame deh.”

“Terserah, Audi. Gimana nyamannya keluarga kamu aja, kita ngikut.”

“Di sini estimasinya cuman empat puluh lima juta aja buat kelas tengah, kalau yang kelas atas tujuh puluh delapan juta. Dari spesifik fasilitasnya yang membedakannya lebih banyak barang elektronik kayak tv sama hiburannya aja lebih wah sih. Gimana?”

“Woah… Menurut kamu gimana? Ambil…yang mana?”

“Tengah aja lah. Temen Ayah sama Mamah palingan tuh berharapnya suasananya aja. Karena kan Ayah dah lama di SG, jadi ini waktunya mereka sapa-sapa aja. Jadi paling utama fasilitas duduk sama makannya dan blower ACnya sih yang harus properly menurut aku. Temen kita juga dikit kan?”

“Iya… Empat lima ya?”

“Nu, Ayah sebenernya tadi pagi bilang sih katanya dia mau bantuin biaya nikahan kita, katanya sebagai bentuk tanggungjawabnya aja. Lagian ya ini beneran jadi acara temen Ayah sama Mamah aja loh. Keluarga kamu lainnya ga memungkinkan ke Jakarta kan?”

“Ah… Iya.”

“Iyaudah kita ambil aja tawaran Ayah. Bagi orang SG tuh empat puluh lima kecil, Nu. Kita pelorotin aja Ayah.”

Setelahnya Audine tertawa geli karena memang Ayahnya yang tinggal di Singapura itu benar-benar sudah tinggal menikmati hidupnya saja dengan keluarga barunya saking sudah kayanya.

“Astaga, Audi.”

“Kan buat kebaikkan? Ayah juga yang nawarin sendiri yaaa.”

“Ayah bayar dikit aja, Di. Saya juga mau diberatkan soal ini. Anggap aja ini bentuk keseriusan saya ke Ayah kamu, Di. Kalau saya benar-benar bisa nafkahin anaknya setelah dia.”

Memundurkan kepalanya dengan senyuman miringnya, Audine ingin mengagumi Wisnu yang memperlihatkan sisi bertanggungjawabnya.

“Audiii.”

“Hahaha. Keren deh calon suami aku. Ciuman yuk?”

“Astaga, Audiii.”

“Mau ke kamar?”

“Odiii!!!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 0.15, Reply.
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan