This work is protected by Indonesian law (copyright law of the Republic of Indonesia No. 19 of 2022).
There is no part in this book that can be taken, imitated, diplomatic, reprinted without the author's permission. This work is a fiction, all stories are purely author imagination. If there is a common background, place and name, it is purely accidental.
*Cover akan diganti, sedang dibuatkan. Saat ini pakai ini dulu.
Chapter 1 : TEMAN KENCAN
“Cewek itu enggak matre, emang cowoknya aja yang...
Uang.
Bisa membuatmu bahagia.
Dengan uang, kamu bisa mendapatkan apapun yang kamu mau.
Setuju?
Sekarang, waktunya nyari uang yang banyak. Biar bisa santai di masa pensiun. Yeah, itulah yang sekarang sedang aku lakukan.
Bekerja sebagai seorang sekretaris di perusahaan bonafid. Aku bertahan di sini selama empat tahun. Jangan berpikir ini cerita percintaan sekretaris dan bosnya.
Bos ku sudah tua. Pak Rizwan Dirgantara namanya, sekarang berusia 53 tahun. Kenapa beliau tidak pensiun?
Karena, katanya, anaknya tidak mau menduduki posisi di perusahaan ayahnya. Anaknya mau mandiri, berdiri sendiri. Begitulah menurut ceritanya.
Istrinya, Ibu Melisa, 50 tahun. Baik sekali, ramah, lembut dan cantik banget. Tahu artis senior Widyawati?
Nah! Mirip sekali!
Cantik kan?
Oiya, lupa!
Hai, namaku Olga Putri Rajman, berusia 26 tahun. Ya, kalian benar! Rajman adalah nama belakang ayahku. Aku terlahir dari keluarga sederhana, bahkan sangat sederhana. Sekarang, orangtuaku sudah meninggal.
Lebih tepatnya, mereka bunuh diri. Meninggalkan aku seorang diri dengan segala macam hutang dari berbagai sisi. Dan semua hutang itu, kini dilimpahkan pada diriku.
Egois!
Saat aku tahu mereka bunuh diri, aku menangis. Aku menangis bukan karena sedih kehilangan mereka. Tetapi, kenapa mereka pergi meninggalkan hutang untuk diriku.
Terlebih hutang pada seorang rentenir. Aku stres. Hampir ingin melakukan hal bodoh seperti mereka. Tetapi, aku tidak mau hidupku tidak berguna. Aku ingin menunjukkan pada mereka, bahwa, aku bisa lebih baik daripada mereka.
"Ol, malam ini gantiin gue lagi ya?" suara penuh permohonan dari sahabatku--Mona.
Mona, berusia 26 tahun, single, berasal dari keluarga kaya raya dan dia sangat baik padaku. Kami berteman sudah sejak kami duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dan, sampai hari ini, kami masih bersama.
"Enggak mau, ah!" tolakku seraya memakan kripik singkong.
"Ya elah, Ol! Gue bayar!"
"Bukan masalah bayaran, malam ini, gue diajak makan malam sama Gian." Jawabku sumringah.
"Nge-date?" Mona tampak terkejut.
"Mungkin. Gue enggak tahu, tapi gue seneng dia akhirnya ngajak makan malam berdua."
"Tolong banget kali ini! Please!" Mona memasang wajah minta-dikasihani.
"Enggak bisa!"
"Cowok yang dijodohin sama gue kali ini, anak sahabat bokap gue. Jadi, kali ini, gue beneran bakal dikawinin sama tuh orang. Gue enggak mau, Ol!" Mona hampir menangis.
"Lagian, elo kenapa enggak sewa cowok aja sih buat jadi pacar boongan?"
"Enggak bisa. Nanti gue beneran disuruh kawin secepatnya."
"Duh! Gimana ya? Gue bener-bener pengen banget jalan sama Gian, Mon."
"Gue bayar tiga kali lipat!"
Aku masih belum memberi jawaban.
"Lima kali lipat! Please, Olga!"
"Ya udah deh! Bayarannya sekarang ya! Tolong transferin ke sini." Aku menyodorkan nomor rekening yang ada di catatan dalam ponselku.
"Ya ampun! Itu uang buat bayar utang lagi?" Mona.
Aku mengangguk.
"Sekali-kali elo harus nikmatin uang hasil kerja lo, Ol!"
"Enggak usah ceramah! Fokus gue sekarang adalah lunasin semua hutang sialan itu! Setelah beres, baru gue bisa nikmatin hidup gue."
Mona pun hanya diam saja dan ia melanjutkan transaksi melalui m-bankingnya untuk mentransfer uang tersebut ke rekening yang aku suruh tadi.
"Udah gue transfer, elo cek wa lo! Gue kirim buktinya ke sana!"
"Oke! Thanks ya!" Aku mengambil ponselku dan mengeceknya lalu mengirimkan bukti transfer tersebut ke sebuah nomor. Nomor seorang rentenir.
Sekarang yang harus aku lakukan adalah, mengabari Gian kalau aku tidak bisa makan malam bersamanya. Dan, tentunya berdandan dengan penampilan paling wow.
Karena katanya, pria yang akan dijodohkan dengan Mona adalah pria terpelajar dan yang pasti, dia orang kaya. Begitulah.
***
"Sorry, kamu nunggu lama ya?" Aku langsung duduk di meja yang ada seorang pria.
Dia adalah Remy. Pria yang akan dijodohkan dengan Mona. Tampan. Berwibawa. Dengan tatapan tanpa ekspresi.
"Mona?" Tanyanya memastikan.
"Iyap!"
"Kamu enggak pesan makanan?" lanjutku.
"Belum. Saya menunggu kamu," jawabnya dengan sedikit formal.
"Ya udah, pesan aja menunya. Aku udah lapar banget!"
Dan, ia pun memanggil pelayan untuk memesan beberapa menu. Aku hanya memperhatikannya saja.
Gestur tubuhnya sangat bagus. Sopan pada pelayan.
Tidak lama kemudian, makanan kami datang. Ia memesan banyak sekali menu. Menu yang mahal-mahal dan tentu saja tidak akan aku lewati begitu saja. Jarang-jarang kan bisa makan makanan mewah?
Aku melahapnya. Ya, benar-benar melahapnya seperti orang yang tidak pernah makan makanan mahal.
Eits, memang aku tidak pernah makan makanan mahal.
So, this is me!
Remy--pria itu, memandangiku terus.
"Kenapa? Belum pernah lihat orang makan?" tanyaku cuek.
Dia tersenyum simpul, "kamu seperti orang yang baru nemu makanan."
"Dengar, ya! Tuan sok-elegan-yang-ganteng, saya seperti ini. Suka, enggak suka, inilah saya. Saya enggak memaksa kamu buat suka sama saya."
"Oiya, pekerjaan kamu apa?" lanjutku dengan tetap melahap sebuah menu daging steik yang dagingnya sangaaat lembut.
Ya ampun! Sapi dari Australia seperti ini?
"Saya cuma seorang manajer di perusahaan pakaian."
Aku hanya manggut-manggut.
"Begini ya, Remy. Saya cari suami yang kaya raya. Kalau cuma jabatan manajer aja, itu sih biasa. Saya terbiasa dengan segala kemewahan, nanti takut kamu enggak sanggup biayain hidup saya. Belum belanja tas, skincare, perawatan kulit di klinik kecantikan, nyalon, barang-barang branded lainnya dan lagi, saya sering datang ke perkumpulan para sosialita. Saya, enggak mau hidup dengan uang yang pas-pasan. Jadi, intinya, saya enggak hidup susah."
Aku melanjutkan minum jus melon setelah berkata seperti tadi.
"Baik, saya mengerti maksud kamu."
Ia pun melanjutkan makannya dengan tetap berwibawa.
Cih! Pasti dia udah ilfil sama aku.
Mana ada cowok yang suka sama cewek matre?
Setelah pembicaraan tadi, tidak ada lagi yang bicara. Kami melanjutkan makan kami. Setelahnya, ia mengantarku pulang ke apartemen. Tentu saja apartemen Mona. Ia benar-benar mengantarku sampai di depan unit.
"Maaf, aku enggak akan mengajak kamu masuk. Tapi, terima kasih sudah mengantarku sampai sini."
"Boleh saya minta nomor hp kamu?" Ia menyodorkan ponselnya ke arahku.
Aku hanya melongo saat ia meminta nomor ponselku.
"Hanya untuk mengabari hubungan ini selanjutnya. Saya cuma ingin, kamu orang pertama yang tahu selanjutnya sebelum saya bicarakan dengan orangtua saya," ucapnya, ketika melihat aku hanya diam melongo saja.
Aku berdehem sebentar dan mengambil ponselnya dan mengetikkan nomorku di sana.
"Ini beneran nomor kamu?" Tanyanya memastikan.
"Iya. Coba aja telepon."
Ia pun melakukan panggilan hanya untuk memastikan. Dan tentu saja ponselku langsung berbunyi. Dan ia tersenyum simpul lalu mematikan panggilannya.
"Baiklah. Terima kasih malam ini, saya pamit dulu! Selamat malam, Mona." Ia pun pergi.
Aku langsung masuk ke unit dan mengatur napasku. Jantungku rasanya berdebar ketika bersamanya.
Ya ampun! Enggak mungkinkan aku menyukai di pertemuan pertama?
Enggak-enggak!
Aku hanya menyukai Gian!
Gian, pria paling baik yang aku sukai sejak lama.
***
Seminggu sudah lewat sejak kencan buta malam itu. Tidak ada kabar apapun dari Remy. Jadi, kurasa semuanya sudah jelas.
Remy tidak menyukaiku, maksudku, Mona.
"Olga, siang ini, atur pertemuan dengan Pak Andre di restoran. Kita sekalian makan siang." Pak Rizwan.
"Baik, Pak!"
Aku segera memesan tempat di restoran tempat biasa kami bertemu klien.
Sekitar pukul 11.10, kami sudah jalan menuju restoran. Kami diantar oleh Pak Bekti, supir pribadi Pak Rizwan.
Sesampainya di restoran, kami diantar menuju sebuah ruangan private. Dan, setelah memesan menu. Tidak lama Pak Andre datang bersama asistennya, seorang pria.
Hanya diskusi santai, setelah makan siang, kami berbincang santai. Setelah Pak Andre menyetujui kerjasama dengan kami, beliaupun langsung pergi meninggalkan kami.
"Tunggu sebentar, Olga! Kita pulang nanti saja. Kamu pesan lagi aja buat kamu nunggu saya," Pak Rizwan.
"Oh! Ya udah, saya pesan es krim ya, pak? Boleh?" tanyaku.
Pak Rizwan hanya mengangguk dan tetap fokus mengetik sesuatu di ponselnya.
Aku sangat bersemangat. Aku pamit keluar ruangan, ingin memesan es krim dan juga ingin ke toilet sebentar.
Setelah menuntaskan panggilan alam dan sedikit touch up pada wajahku, aku keluar dan segera mengambil es krim pesananku yang kebetulan akan diantarkan oleh pelayannya.
Ketika masuk ruangan tadi, sudah duduk seorang pria membelakangi pintu dengan setelan jas yang begitu mengkilap.
"Ini Olga, sekretaris Papa!" Pak Rizwan memperkenalkanku pada si tuan-sok elegan-yang-ganteng yang seminggu lalu kencan buta denganku.
Ya Tuhan!
"Ka__kamu!" Aku menunjuknya dan hampir tersedak dengan es krimku sendiri.
"Kalian sudah saling kenal?" Pak Rizwan kini yang bertanya.
Dia hanya tersenyum membentuk sebuah asimetris. Aku menelan salivaku dengan gugup.
"Halo, Olga!" sapanya dengan sedikit tekanan saat menyebut namaku.
Tuhan! Tolong aku!
Saat Olga dandan mau kencan buta sama Remy. Sok kecantikan, padahal dia mau kena masalah 😬
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰