
Logika Bangku Belakang mengisahkan Rendra Kodong, siswa SMA yang duduk di bangku paling belakang kelas. Dikenal nyeleneh, pemalas, dan sering dianggap nggak niat hidup, Rendra justru punya cara berpikir yang di luar nalar—logika ngawurnya seringkali memecahkan masalah yang bahkan guru pun angkat tangan.
Bersama teman-temannya yang sama absurdnya, Rendra menjalani hari-hari sekolah yang penuh celetukan, ide gila, dan aksi kocak yang sering bikin satu sekolah heboh. Tapi di balik semua kelucuan itu,...
Kodong, Bangku Belakang, dan Hari yang Nyaris Biasa
Kalau ada lomba "Orang yang Paling Gak Niat Sekolah Tapi Tetap Datang Tiap Hari", Rendra Putra pasti menang mutlak.
Bukan karena dia rajin. Bukan juga karena ambisius. Tapi karena kalo di rumah dia bingung mau ngapain, walaupun di sekolah juga dia gak ngapa-ngapain siih.
Nama lengkapnya Rendra Putra. Tapi satu sekolah lebih sering manggil dia dengan nama yang bisa bikin emak-emak salah sangka: Rendra Kodong.
"Bangun, Kodong! Ulangan!"
"Eh? Udah Pulangan, ya?"
"Ulangan, bego!"
Begitulah pagi itu dimulai. Di barisan paling belakang kelas XI IPS 2, bangku ketiga dari kiri, seorang remaja dengan rambut agak gondrong setengah sadar terbangun dari tidur lelapnya. Di tangan kirinya masih ada bungkus roti kering, di bawah mejanya seekor kucing oranye tidur dengan damai. Entah kucing siapa. Tapi sejak dia kasih nama 'Togar', dia merasa itu miliknya.
Rendra bukan tipe cowok populer. Tapi kalau ada acara sekolah yang butuh orang lucu, gak niat, atau mau dijadikan kambing hitam, namanya selalu muncul di urutan pertama.
Dia bukan ranking 10 besar. Bahkan ranking 30 besar pun bukan. Jumlah ranking di kelas cuma 36 orang, dan Rendra bangga menjadi yang ke-35.
("Yang ke-36 itu kursi kosong. Jadi aku masih di atasnya," katanya bangga.)
Hari itu, Bu Neneng, guru ekonomi yang paling ditakuti karena suaranya kayak alarm mobil, sedang mengawasi ulangan dadakan. Semua siswa terlihat tegang, kecuali Rendra. Matanya setengah merem, tangannya nyoret-nyoret ujung lembar jawaban kayak lagi nulis surat wasiat.
Setelah ulangan selesai dan semua jawaban dikumpulkan, tiba-tiba Bu Neneng ngasi sebuah pertanyaan dan menunjuk satu orang random untuk menjawab pertanyaannya. Dan seketika nama Rendra yang dipilihnya.
"Rendra!, Coba sebutkan contoh kebutuhan primer, sekunder, dan tersier."
Dengan kaget dan spontan Rendra menjawab,
"anuu... Bu,
"Primer: makan, minum, tempat tinggal. Sekunder: pulsa, motor, kasur empuk. Tersier: iPhone, traveling, sama... langganan streaming drama Korea, Bu."
"Kenapa drama Korea masuk tersier?" Ucap Bu Neneng.
Dengan lantang tanpa berpikir Rendra bilang,
"Soalnya nggak wajib. Tapi kalau udah nonton satu episode, jadi kayak kebutuhan mendesak."
Semua siswa diam. Bahkan langit luar ruangan seperti menahan ketawa.
Bu Neneng mencatat sesuatu di buku catatan. Entah itu nilai atau nama untuk dikutuk malam Jumat nanti.
Di bangku sebelahnya, ada Seno teman seperjuangan sekaligus satu-satunya orang yang bisa mengerti logika Rendra.
"Lo tuh hidup kayak game open world, Ndra. Nggak ada quest utama, tapi lo jalan terus," katanya sambil menghela napas.
Rendra nyengir. "Gue hidup kayak film dokumenter. Tapi kameramennya tidur."
Jam istirahat tiba.
Mereka nongkrong di kantin belakang sekolah. Tempat ini bukan kantin resmi, tapi warung Bu Umi yang setengahnya dibangun dari seng dan sisanya dari doa. Rendra memesan mie seduh level 3, yang artinya dikasih cabe rawit 3 biji utuh, dan dia anggap itu 'uji mental harian'.
Di meja itu, Rendra, Seno, dan dua teman mereka Tatang si jago gambar dan Nimas si cewek tomboy yang hobi marah selalu bertukar obrolan absurd.
"Kemarin gue nemu teori baru," kata Rendra tiba-tiba.
"Waduh, mulai lagi," Nimas menatapnya sinis.
"Teori Karet Celana. Kalau karet celana lo longgar, hidup lo gak bakal tegang."
Semua diam lima detik.
"...anjir," Tatang bersin sambil ketawa.
Itulah Rendra Kodong. Logika yang nggak bisa ditebak, mulut yang selalu nyeletuk hal-hal aneh, tapi entah kenapa... kadang masuk akal. Atau minimal bikin orang lupa stres.
Sepulang sekolah...
Rendra berjalan kaki pulang lewat gang kecil kampungnya. Dia menyapa kucing-kucing, manggil satu-satu kayak mereka warga RT.
Sampai di rumah, dia disambut Emaknya yang udah pasrah.
"Ndra, nilai ulangan kamu?"
"Yang penting usaha, Mak. Tuhan gak pernah tidur."
"Guru kamu juga enggak tidur! Dia WA Mak kamu!"
Dikejar emaknya sambil bawa sapu, Rendra lari ke kamar.
Di dalam kamar, Rendra buka catatan yang lebih mirip buku harian absurd. Di situ dia nulis semua ide gilanya: dari teori sendal jodoh sampai konspirasi kenapa semut suka manis.
Malam itu, dia nyoret satu halaman dengan tulisan besar:
"Besok gue harus bantuin Seno. Katanya HP-nya hilang. Misi baru."
Lalu dia menulis kecil di bawahnya:
“Misi sampingan: bikin Nimas ketawa. Katanya dia lagi galau.”
Keesokan paginya, suara ayam tetangga dan motor lewat jadi alarm alam Rendra. Dia bangun dengan gaya super malas, rambut awut-awutan, dan masih pakai kaus bolong.
"Ndra, bangun! Jangan kayak jam dinding rusak, muter doang gak maju!" teriak Emaknya dari dapur.
"Aku tuh kayak waktu, Mak. Terus berjalan, tapi gak bisa kembali," jawab Rendra sambil ngusap muka pake sarung.
Setelah mandi sekadarnya dan sarapan seadanya (roti gosong dan kopi yang lebih banyak ampasnya), Rendra berangkat ke sekolah. Jalannya santai, kayak gak ada beban. Padahal, di pikirannya cuma satu hal: "HP Seno ilang. Waktunya investigasi."
Di sekolah, jam pertama: pelajaran kosong.
Rendra dan geng bangku belakang sudah kumpul di pojokan kelas, bikin lingkaran kayak rapat RT.
Seno, dengan wajah penuh beban hidup, buka pembicaraan.
"HP gue ilang kemarin sore. Gue inget taruh di tas pas main bola di lapangan belakang."
"Udah dicek di rumah?" tanya Nimas sambil nyuap gorengan.
"Udah. Gak ada. Kayaknya keambil orang."
Rendra mendadak serius. Gak biasa-biasanya dia fokus.
"Tenang, kita selesaikan ini pake... Logika Kodong."
Tatang langsung ngelus dada. "Waduh, mulai lagi."
Misi: Operasi HP Hilang
Langkah pertama: TKP Lapangan Belakang Sekolah.
Rendra narik ketiganya ke sana waktu jam kosong.
Dia jongkok, pegang tanah, dan berkata,
"Di sini tempatnya. Tanah ini masih menyimpan jejak."
Padahal yang ada cuma jejak sendal dan bekas bungkus ciki.
"Logika gue bilang: kalau HP ilang, kemungkinan besar ada di tangan seseorang yang gak niat ngembaliin. Tapi... siapa?"
Nimas nyeletuk, "Wow, teori brilian. Sama kayak bilang 'kalau hujan, tanah basah'."
Rendra gak ambil pusing. Dia berdiri, menatap horizon (alias pagar kawat), dan berkata:
"Gue punya dua kandidat utama:
1. Anak-anak kelas XI IPA 1 yang main bola juga kemarin sore.
2. Satpam sekolah, Pak Mardi. Karena dia selalu muncul kalau ada kejadian. Kayak NPC sidequest."
Mereka akhirnya mutusin buat introgasi ringan. Tapi versi Rendra, tentu saja, beda dari investigasi normal.
Babak Interogasi: Target 1 Kevin, anak IPA 1.
Rendra: "Kevin, lo main bola kemarin?"
Kevin: "Iya. Kenapa?"
Rendra: "Pernah ngerasa hidup ini fana?"
Kevin: "Apa hubungannya?"
Nimas langsung nyundul kepala Rendra.
"Fokus, Kodong!"
Rendra akhirnya nanya beneran. Tapi hasilnya nihil. Kevin ngaku gak liat HP.
Babak Interogasi 2 Pak Mardi.
Rendra: "Pak, kemarin liat HP jatuh gak?"
Pak Mardi: "Enggak. Tapi saya liat ada anak bawa HP dua, padahal HP-nya kembar. Saya kira emang punya dia."
Bingo. Petunjuk baru.
Rendra langsung mencatat nama: Fulan berkepala dua (julukan doang).
"Berarti kita harus cari anak yang bawa dua HP. Kita intai pas istirahat."
Saat istirahat...
Rendra dan gengnya nongkrong di warung Bu Umi sambil mantau. Rendra pakai kacamata item palsu dari bazar, Tatang bawa buku gambar tapi isinya daftar nama mencurigakan.
Tiba-tiba...
"Nah itu dia! Si Doni kelas sebelah! Liat, HP-nya dua!" bisik Tatang.
Rendra mendekat kayak detektif gagal.
"Don, lo punya dua HP?"
"Iya, yang satu punya adek gue. Kenapa?"
"Yang warna merah itu... merk 'Snomi'?"
"Iya."
"Fix bukan HP lo, Sen. HP lo 'Samsung'."
Mereka mulai kehilangan arah. Sampai akhirnya, Nimas buka suara:
"Seno, lo yakin bawa HP kemarin?"
Seno ngucek jidat.
"Eh... Tunggu... kayaknya... gue tinggal di ruang UKS pas abis latihan futsal..."
Semua menatap kosong ke dia.
"JADI SELAMA INI..."
"ASTAGA, SENOOO!!"
Lima menit kemudian, mereka lari ke ruang UKS.
Dan di sana, di bawah bantal tua yang isinya entah apa, tergeletak HP milik Seno. Masih menyala, tapi baterainya tinggal 3%.
Rendra menghela napas panjang.
"Petualangan kita panjang, berliku, dan penuh makna. Tapi akhirnya kita tahu satu hal penting."
"Apa itu?" tanya Nimas.
"Kadang... barang ilang bukan karena dicuri, tapi karena otak kita lagi ngendap kayak bubur basi, makanya kita gak ingat kejadiannya."
Scene terakhir, sore hari di depan sekolah.
Rendra duduk di tembok pagar, Togar si kucing naik ke bahunya.
Dia melihat ke langit dan tersenyum.
"Misi selesai. Dunia masih kacau, tapi setidaknya HP Seno balik.
Besok apa ya? Mungkin... gue bakal bikin teori kenapa gorengan di kantin lebih enak kalau dimakan sambil ngutang."
Pagi itu, sekolah digegerkan oleh satu pengumuman absurd:
“Siapa pun yang menemukan celana olahraga berwarna biru garis putih milik siswa kelas XI IPA 1, harap segera dikembalikan ke ruang BK.”
Langsung satu sekolah bisik-bisik.
Dan tentu saja... Rendra Kodong senyum-senyum kayak nemu puzzle baru.
Jam kosong di kelas.
Rendra berdiri di depan papan tulis, coret-coret pakai spidol merah.
"Gue resmi membentuk tim investigasi. Kasus: Celana Hilang Misterius."
Tatang langsung geleng-geleng, "Ndra, baru kemarin kita cari HP, sekarang celana?"
"Ini lebih parah, Tang. HP bisa diganti. Tapi celana? Itu menyangkut harga diri."
Nimas nyeletuk, "Kayaknya bukan harga diri deh, lebih ke bau badan."
Seno, walau masih trauma, akhirnya ikut. Tapi di tengah investigasi, muncullah sosok yang gak seneng sama eksistensi Rendra:
Rafi Saputra
Anak kelas sebelah. Ketua OSIS. Rambut klimis. Wajah rapih. Selalu bawa map.
Orangnya rapi banget sampai kalau makan gorengan aja pakai tisu dua lapis.
Buat dia, Rendra itu aib sistem sekolah.
"Rendra, bisa gak sih lo gak nyari sensasi terus? Lo bikin sekolah keliatan kayak sinetron komedi!"
Rendra senyum, "Sinetron itu hiburan. Lo mau sekolah kayak dokumen pajak?"
Warga kelas langsung: "WUUUUUUU!"
Rafi mendengus, "Lo tuh gak pernah serius Ndra. Hidup lo cuma becandaan."
"Ya daripada hidup lo kayak soal matematika. Ribet, tapi gak ada yang ngerti," jawab Rendra kalem.
Sejak hari itu, Rafi resmi jadi ‘musuh alami’ Rendra.
Dan di balik wajah rapi itu... ada rencana. Tapi nanti kita kupas, pas waktunya.
Kembali ke misi: Celana Hilang.
Rendra dan gengnya menyisir TKP. Tempat kejadian adalah kamar mandi belakang. Rendra jongkok di sana sambil nyium aroma mencurigakan.
Tatang: "Ndra, ngapain lo cium keran?"
"Ini soal insting. Dan keran ini baunya. Aneh kan?"
Seno tunjuk satu pintu kamar mandi.
"Eh, itu... kayaknya ada kain nyangkut."
Mereka buka pelan-pelan... dan BLAR!
Seekor kucing melompat keluar bawa celana di mulut.
"TOGAR?!"
Ternyata celana yang hilang dicuri Togar si kucing. Diseret dari jemuran ke WC belakang.
Masalah selesai, tapi bukan buat Rendra.
Keesokan harinya...
Di mading sekolah, ada tulisan baru.
Tulisan print rapi, berjudul:
"Surat Terbuka untuk Rendra Putra: Cukup Jadi Badut Sekolah"
Ditandatangani anonim, tapi semua tahu itu ulah Rafi.
Rendra baca sambil ngunyah gorengan.
"Bagus juga ini tulisannya. Tapi dia gak ngerti, badut itu bikin orang bahagia."
Nimas tanya, "Lo gak marah, Ndra?"
Rendra nyengir. "Ngapain marah? Kalau semua orang suka sama lo, lo pasti gak jujur. Gue sih mending jadi diri sendiri."
Tapi di balik senyum Rendra... ada tatapan kosong ke langit.
Seolah dia menyimpan sesuatu. Entah itu rahasia, atau... luka lama.
Persidangan Absurd & Awal Retakan
Siang hari, aula sekolah penuh sesak.
Ada pengumuman mendadak dari OSIS:
"Diadakan sidang kecil terhadap siswa bernama Rendra Putra atas tindakan meresahkan dan membuat keonaran."
Rendra: "He? Gue kayak tokoh utama anime... tapi diadili."
Di dalam aula, suasananya kayak sidang beneran.
Rafi duduk di kursi tengah dengan map dan mikrofon (padahal gak nyambung).
Di sisi kanan: guru BK.
Di sisi kiri: beberapa murid yang gak ngerti kenapa mereka ada di situ.
Rendra duduk di tengah aula, dikelilingi "penonton".
Tatang, Nimas, dan Seno duduk di bangku belakang sambil nyiapin keripik.
Rafi mulai bicara:
"Rendra telah berulang kali membuat keributan. Investigasi HP hilang, celana hilang, dan kini... rumor baru: menuduh Togar sebagai agen rahasia yang mencuri benda-benda sekolah."
Rendra mengangkat tangan:
"Itu bukan tuduhan, itu teori. Dan Togar belum klarifikasi, jadi dia tetap tersangka."
Rafi: "Teori lo itu ngawur. Dan lo mempermalukan sistem sekolah!"
Rendra: "Sistem sekolah? Lo pikir ini Matrix?!"
Semua ketawa, tapi Rafi tetap serius.
Guru BK:
"Rendra, kamu dianggap mengganggu ketertiban. Tapi kami ingin dengar pembelaanmu."
Rendra berdiri, mengangkat satu sendal jepit.
"Ini... bukan sekadar sendal. Ini saksi bisu. Ditemukan di lokasi kejadian celana hilang. Kalo lo mau nyalahin gue karena nyari kebenaran, maka gue salah... karena terlalu mencintai keadilan."
Guru BK: "..."
Semua ketawa lagi, tapi Rafi mulai kehilangan kesabaran.
Rafi bangkit dari kursi, mendekat Rendra.
"Lo gak paham ya? Gak semua hal bisa lo becandain. Gak semua orang suka sama cara lo. Lo cuma pengalihan. Semua yang lo lakukan... bikin orang lupa kalau sebenarnya... lo juga punya masa lalu yang gak lo beresin."
Ruangan langsung sunyi.
Rendra perlahan duduk. Senyumannya menghilang sesaat.
Tapi kemudian...
Dia bangkit lagi, ngelus rambut, dan bilang:
"Semua orang punya masa lalu, Fi. Tapi gak semua orang punya keberanian buat jalan terus sambil ketawa."
Guru BK buru-buru menyudahi sesi. "Baik, cukup. Tidak ada hukuman. Tapi tolong, Rendra, mulai belajar lebih tertib."
Setelah sidang... di lorong sekolah.
Tatang: "Ndra, lo oke?"
Rendra cuma senyum tipis. "Besok kita cari tahu siapa yang naro mie instan di ruang guru. Gue yakin Togar gak sendirian."
Tapi dari jauh... Rafi berdiri sendiri, menggenggam map.
Dan dari ekspresinya... dia tahu sesuatu tentang Rendra yang belum terungkap.
Warung Gudang & Konspirasi Teh Botol
Pagi itu, Rendra datang ke sekolah dengan ransel penuh... bukan buku pelajaran, tapi isi gorengan.
“Ndra, lo bawa apa?” tanya Tatang, sambil melirik kantong plastik yang mencuat dari ransel temannya itu.
“Investasi,” jawab Rendra sambil naruh tasnya di meja belakang.
Seno mendekat, “Investasi apa? Gorengan?”
“Bukan cuma gorengan, bro... ini langkah awal revolusi ekonomi sektor mikro di bawah radar birokrasi institusi pendidikan nasional.”
Nimas yang baru duduk langsung nyeletuk, “Ndra... lo ngomong apa sih barusan?”
Rendra cengar-cengir, lalu bisik, “Gue mau buka warung rahasia... di gudang belakang sekolah.”
Gudang Belakang Sekolah
Gudang itu tempat keramat. Letaknya di belakang ruang UKS, terkunci sebagian, dan jarang dipakai. Isinya cuma bangku patah, kardus bekas ujian nasional, dan kipas angin yang sudah kehilangan daun baling-baling.
Tapi di mata Rendra, itu surga peluang.
Siang itu, pas jam istirahat kedua, mereka ngumpul di depan gudang.
“Ini kunci duplikat. Gue dapet dari Mas Jajang OB pas dia ketiduran waktu nonton sinetron siang di mushola,” bisik Rendra sambil nyengir penuh dosa.
“Ndra, kita gak bakal dikeluarin sekolah kan?” tanya Seno, agak khawatir.
“Tenang... selama kita jualannya amanah dan penuh cinta, Tuhan pun pasti senyum ngeliat kita,” jawab Rendra filosofis, sambil nyodorin satu risoles ke Seno.
Operasi Warung Gudang pun dimulai.
Nama resmi: Kantin Ghoib - Makan Kenyang, Aman dari Razia.
Menu:
- Gorengan 3 biji seribu (sampai dituduh pakai sihir)
- Teh botol dingin dari termos bekas
- Mie instan setengah matang karena masaknya cuma pakai air dispenser panas
- Roti isi semangat hidup
Target pasar: anak-anak kelas belakang, guru yang males ke kantin utama, dan siapa pun yang suka beli sambil bisik-bisik kayak beli barang ilegal.
Hari pertama buka, dagangan laku keras.
Tatang jadi kasir. Nimas bagian promo mulut ke mulut. Seno urus stok. Rendra? Jadi kepala operasional sekaligus creative director.
Setiap pembeli yang datang harus lewat jalur belakang, lewat pintu kecil sebelah ruang laboratorium, lalu ketok tiga kali dan ucapin kata sandi:
“Tegar dalam lapar, diam dalam kenyang.”
Baru pintu dibuka.
Satu minggu berlalu.
Bisnis makin rame. Bahkan Pak Burhan, guru matematika killer, pernah beli diam-diam.
“Ndra, jangan bilang siapa-siapa,” katanya, sambil ngunyah tahu isi.
“Tenang Pak... loyalitas pelanggan adalah kunci kelangsungan usaha kami,” jawab Rendra sambil ngasih bonus satu pastel.
Tapi... sebuah masalah mulai muncul.
Siang itu, setelah lonceng istirahat kedua, Rafi lewat belakang dan curiga ngeliat ada antrean murid di dekat gudang.
Dia ngintip... dan mendapati sesuatu yang menurut dia tak bisa dibiarkan.
Keesokan harinya...
Mading sekolah kembali jadi saksi tulisan baru:
“Ada Warung Liar di Sekolah. Apakah Ini Cikal Bakal Pasar Gelap Pendidikan?”
Ditulis anonim. Tapi gaya bahasanya terlalu rapi. Semua tahu, ini pasti Rafi.
Rendra baca sambil minum teh botol.
“Rendra,” kata Nimas serius. “Kalau ketahuan, kita bisa disidang lagi.”
Rendra ngelap mulut, lalu senyum.
“Kita bukan cuma buka warung. Kita sedang menciptakan sejarah. Ingat, semua penemu besar... pernah dianggap gila.”
Seno menimpali, “Tapi biasanya penemu besar gak jual gorengan di gudang sekolah, Ndra.”
“Makanya gue beda,” jawab Rendra sambil tepuk dada.
Suara kipas angin kelas XII IPS 2 ngorok di sudut atas ruangan, bersaing dengan bunyi sendal Tatang yang baru aja masuk kelas.
“Gorengan udah dateng,” katanya, sambil ngelepas kantong keresek dari stang sepeda.
“Mana yang isi bihun? Gue pesen dua!” sahut Nimas dari meja belakang, tangan masih ngipasin komik yang dia pinjem dari perpustakaan.
Rendra yang lagi nunduk di bawah meja, nyusun sesuatu dari kardus bekas, tiba-tiba bangkit kayak zombie bangun tidur.
“Bihun tadi meledak. Gue ganti sama tahu isi yang hatinya kosong… kayak hidup kita,” katanya sok puitis."
Seno ngerutukin sambil nyari uang receh di laci meja. “Lo nih, Ndra, tiap hari bawa dagangan kayak lagi syuting ‘Masterchef versi SMK’.”
“SMK dari mana? Kita SMA, bego,” celetuk Nimas.
“Lha, kan kata Rendra warung kita lintas batas logika dan kurikulum. Jadi boleh apa aja,” jawab Tatang sambil nelen sisa risoles.
Jam istirahat kedua tiba, bel berdenting mirip suara dentingan panci tua. Suasana sekolah berubah drastis. Anak-anak berhamburan keluar kayak ayam lepas dari kandang. Kantin penuh. Antrian panjang kayak mau daftar vaksin.
Tapi di sudut tak terlihat, ada lorong sempit yang sepi. Dan di ujung lorong itu, dua orang bersandar di tembok.
“Sandinya apa?” tanya Tatang dari balik pintu gudang.
Anak kelas X menjawab dengan suara ragu, “Teguh... dalam kenyang... eh... lapar?”
Pintu terbuka setengah, cukup buat sepasang tangan ngasih sekotak mie instan hangat.
“Lo lupa sandi, gak dapet es teh,” kata Seno dari balik tumpukan kardus.
Anak itu ngeluh pelan. “Yaelah pelit banget, Bang.”
“Ini bukan pelit, ini sistem. Kayak ekonomi mikro,” timpal Rendra yang lagi duduk di pojokan, tangannya sibuk ngupas telur rebus pakai penggaris plastik.
Di dalam gudang, mereka menyulap ruangan sempit jadi warung mini. Ada meja dari kayu patah, kardus bekas susu UHT dijadiin etalase, dan label harga ditulis pakai spidol di atas bungkus mie goreng kosong.
Nimas ngatur posisi gorengan biar fotogenik. “Kalau ini kita foto terus bikin IG-nya, bisa viral gak ya?”
“Viral kagak, ditangkep iya,” sahut Rendra, lalu ngeluarin speaker mini dan nyetel lagu dangdut remix pelan-pelan.
Tiba-tiba...
“Eh... Ndra. Itu Rafi,” bisik Seno sambil ngintip celah pintu.
Rafi berdiri gak jauh dari pintu gudang. Matanya nyipit, mukanya kayak lagi ngitung dosa orang lain.
Dia gak ngomong apa-apa. Cuma ngeluarin HP-nya, ngambil gambar cepat, lalu pergi kayak mata-mata Korea.
“Wah, ketauan?” panik Nimas.
“Gak masalah. Biarkan mereka tahu. Tapi mereka gak akan bisa ngerti,” jawab Rendra.
Tatang: “Ngerti apaan?”
Rendra berdiri, gaya sok keren, matanya setengah merem kayak pahlawan anime.
“Bahwa ini bukan sekadar warung... ini simbol perlawanan terhadap sistem kantin yang menjual es teh lima ribu tapi rasanya kayak air kobokan.”
Malam harinya di rumah, Rendra ngelamun di teras sambil ngeliatin bintang. Di tangannya ada buku kecil catatan utang pelanggan.
Satu halaman penuh cuma berisi tulisan:
- “Togar: 3 gorengan, belum bayar malah kabur lewat jendela belakang.
- “Pak Burhan: 2 tahu, 1 mie setengah matang ‘besok ya’ (udah 4 hari)”
- “Nimas: bayar pake senyum, ditolak kasir”
Dia nyengir. “Susah juga ya jadi pengusaha...”
Tapi belum sempat tidur, notif grup WA bunyi.
Grup: OPSI (Organisasi Pelajar Sadar Ilmu)
Pesan dari Rafi:
“Besok akan ada rapat OSIS mendadak. Akan dibahas soal aktivitas ilegal yang terjadi di area belakang sekolah. Dimohon kehadirannya.”
Rendra diem. Lalu ngetik balasan:
“Oke. Tapi tolong sediain risoles. Rapat tanpa risoles tuh kayak hidup tanpa harapan.”
Besoknya...
Rapat OSIS digelar. Di ruang kelas kosong, dengan suasana lebih tegang dari ujian nasional.
Rafi berdiri di depan layar proyektor (yang gak nyala karena colokannya copot). Dia buka map dan mulai presentasi.
“Teman-teman, kita menemukan aktivitas warung ilegal. Tidak membayar sewa. Tidak bayar pajak. Tidak ada izin. Bahkan katanya menjual air dispenser sebagai kuah mie.”
Rendra angkat tangan. “Pajak? Kita bukan negara, Fi.”
“Ini sekolah, Ndra. Ada peraturan.”
“Tapi peraturan itu dibuat buat mengatur, bukan buat membunuh kreativitas,” jawab Rendra, tangannya melipat, duduk santai.
Wakil OSIS: “Kalo semua murid kayak lo, bisa hancur tatanan sekolah.”
Rendra nyengir. “Tatanan udah hancur sejak tembok toilet dicoret sama quote motivasi patah hati.”
Di akhir rapat, belum ada keputusan resmi. Tapi satu hal pasti: Warung Gudang mulai masuk radar.
Dan di saat yang sama, rumor aneh mulai tersebar...
Ada seseorang yang diam-diam beli makanan dari warung itu dan meninggalkan amplop kecil berisi uang lebih dan... sepotong surat kecil bertuliskan:
“Lanjutkan. Jangan takut. Tapi hati-hati siapa yang kamu percaya.”
Rendra membacanya sore itu. Matanya sedikit menyipit. Untuk pertama kalinya, dia gak bercanda.
Warung Gudang & Bisikan dari Kardus
Siang itu, langit mendung menggantung tepat di atas atap sekolah. Suara guntur kayak efek film horror murah, padahal cuma awan malas nyiram.
Di balik gudang, pintu kecil masih dibuka setengah. Warung Gudang tetap beroperasi. Namun suasananya sedikit berbeda.
Seno duduk sambil ngitung duit recehan dari kaleng bekas biskuit. Tatang lagi ngisi air teh ke botol plastik bekas minuman energi. Nimas nulis menu spesial hari ini di atas karton bekas:
“PAKET NGAB: Nasi + Mie + Tahu + Komik edisi bekas Rp 5.000 (atau barter cerita lucu).”
Rendra duduk bersila di atas peti kayu, ngebaca buku berjudul “Psikologi Warung: Antara Dagang dan Pengabdian” yang sebenarnya cuma dia sampul ulang dari LKS sosiologi.
“Ndra,” kata Tatang pelan, “Lo sadar gak sih, kita makin banyak pelanggan. Tapi juga makin banyak mata ngintip dari kejauhan.”
“Yah... semua yang keren pasti dimata-matai. Lihat aja Dilan. Dia keren, tapi gak lolos UN,” jawab Rendra.
Nimas nyengir, “Tapi ini serius. Ada anak kelas X yang cerita katanya Rafi sering muter-muter deket sini sambil nyatet sesuatu di notes kecil.”
“Wah, jangan-jangan dia lagi bikin novel spionase,” celetuk Seno sambil ngecek telur rebus di rice cooker mini.
Di tengah kesibukan itu, masuklah dua orang anak kelas XI IPA si Topik dan Lala. Topik orangnya pendiam, kaku, dan selalu bawa penggaris besi buat alasan yang nggak pernah jelas. Lala… ya Lala, orangnya banyak nanya. Banget.
“Bang, ini bener warung rahasia?” tanya Lala sambil celingak-celinguk, padahal papan menu tergantung jelas di dinding gudang pakai selotip.
“Gak rahasia lagi sih, sejak lo tanya itu dengan suara volume 90 desibel,” jawab Nimas.
Topik ngeluarin duit sepuluh ribu. “Gue beli Paket NGAB, tapi tanpa komik. Gue alergi baca.”
“Orang alergi debu, ini alergi baca,” bisik Tatang ke Rendra.
“Lo harus lebih open-minded, Han,” jawab Rendra, “Membaca membuka jendela dunia. Kalo gak bisa baca, jendelanya jadi angin-anginan doang.”
Saat sore mulai menjalar, mereka beresin dagangan sambil ngobrol ngalor-ngidul.
“Ndra,” kata Seno tiba-tiba serius, “Lo kenapa sih sebenernya bikin warung ini? Selain buat lucu-lucuan?”
Rendra diem sesaat. Lalu matanya melirik kardus bekas mie goreng.
“Gue bikin ini bukan cuma buat dagang, Sen. Tapi juga buat ngebuktiin bahwa... even orang kayak kita, yang selalu dianggap ‘kacau’, bisa bikin sistem sendiri. Tanpa nyontek dari sistem yang bikin kita ketekan.”
Tatang: “Itu kedengeran kayak kutipan dari film perang.”
Rendra: “Emang. Tapi gue lupa judulnya.”
Malam harinya, Rendra duduk di kamar. Meja belajarnya berantakan, penuh coretan ide bisnis absurd:
- “Jualan buku pelajaran isinya parodi.”
- “Minuman permen yang berubah rasa sesuai mood.”
- “Rental kipas buat anak kelas yang duduk deket jendela.”
Tiba-tiba, ada suara gedoran kecil dari jendela.
Dia buka tirai, ternyata Tatang berdiri di luar, bawa kantong plastik isi cilok.
“Ndra, ini penting. Lo harus baca ini.”
Tatang ngasih selebaran fotokopian. Judulnya:
“PENGAWASAN KHUSUS AREA BELAKANG SEKOLAH – MULAI BESOK”
“Ini ditempel di ruang guru. Kayaknya Rafi beneran serius. Bisa-bisa gudang kita disegel.”
Rendra senyum tipis, lalu ngunyah cilok tanpa mikir.
“Kalau gitu... kita harus lakukan apa yang belum pernah kita lakuin.”
Tatang melongo. “Apaan?”
“Kita rapat formal.”
Esok paginya…
Ruang belakang perpustakaan, jam 06.30. Belum ada guru yang datang.
Rendra duduk di depan, bawa papan tulis kecil. Anggotanya cuma lima: Rendra, Seno, Tatang, Nimas, dan Heri anak yang baru gabung karena katanya dia bisa bikin mie goreng cuma pake korek api.
Rendra buka rapat:
“Agenda kita: menyelamatkan Warung Gudang.
- Opsi pertama: kita bikin sistem delivery.
- Kedua: kita bikin warung bergerak pake gerobak dorong perpustakaan.
- Ketiga... kita merger sama kantin resmi.”
Seno: “Yang ketiga gak mungkin. Kita digebukin.”
Nimas: “Yang kedua bisa... tapi siapa yang dorong?”
Tatang: “Yang pertama paling realistis. Tapi kita butuh orang yang bisa jalan cepat, hindari pantauan guru, dan punya keahlian sembunyi kayak ninja.”
Mereka semua saling pandang.
Lalu secara bersamaan, semua menatap Heri.
Heri masih diem sambil makan mie pake sumpit sendok. “Hah? Gue? Gak bisa gue, gue gampang gugup.”
Rendra berdiri pelan, tangannya di pundak Heri.
“Heri... inilah saat lo menemukan jati diri. Waktu kecil lo sering main petak umpet kan?”
“Iya sih...”
“Sekarang waktunya lo main petak umpet tapi bawa tahu isi.”
Heri masih diem, tatapan kosong kayak ayam habis disenterin. Sendok di tangannya menggantung, mie yang tergulung di ujungnya udah mulai turun satu-satu kayak benang kelayaban.
“Petak umpet bawa tahu isi...,” gumamnya.
Rendra nyengir. “Misi pertama lo: lantai dua, kelas XI IPS 3. Katanya di sana udah mulai teriak-teriak lapar.”
Tatang berdiri, nempelin tangan di bahu Heri juga, sok-sokan kayak pelatih motivator. “Ingat, Her. Lo bukan lagi manusia biasa. Lo sekarang jadi pengantar makanan rahasia.”
Seno nimbrung, “Gue bakal bantu dari kejauhan. Lo tinggal pasang earphone, gue kasih aba-aba kalau ada guru.”
Nimas buka bekal kecilnya. “Gue punya cemilan biar lo gak gugup. Makan dulu satu kue cubit, energi penting.”
“Gue belum siap,” Heri masih gemetar, “ini terlalu mendadak, terlalu berbahaya, dan terlalu... gurih.”
“Justru karena gurih. Mereka menunggu.”
Misi Dimulai
Lima menit kemudian, Heri berdiri di pintu gudang, pakai tas pinggang depan yang digembungin kayak kurir online. Di dalamnya: tiga tahu isi, dua cireng, dan sebungkus mie goreng level satu.
Rendra buka pintu pelan.
“Go... sekarang!”
Heri ngelangkah keluar kayak agen rahasia. Langkah cepat tapi nyantai. Nimas buka map dan pura-pura baca, ngehalangin pandangan guru piket dari kejauhan.
Tatang dan Seno ngintip dari balik ventilasi.
“Belok kanan... aman... lurus... ada Bu Yuni!”
Heri berhenti, pura-pura iket tali sepatu. Padahal dia pakai sandal swallow.
“Pinter... lanjut...”
Heri jalan lagi. Lewatin lorong kelas dengan elegan. Sesekali dia dadah ke teman yang lewat. Ada yang heran, ada yang ngakak. Tapi gak ada yang curiga.
Sukses Misi Pertama
Lima menit kemudian, Heri balik ke gudang dengan nafas ngos-ngosan tapi senyum lebar.
“Gue berhasil... mereka senang banget, sampe ada yang minta tambahan besok,” katanya sambil duduk lemas di kardus mie.
“Kita sukses, gengs,” kata Tatang sambil nyoret-nyoret di papan tulis kecil bekas inventaris lab. “Delivery aktif. Nama tim: GudangFood.”
“Kalo diplesetin jadi Good Angfood,” celetuk Seno.
“Lah itu malah kayak produk tahu bulat.”
Sore Menjelang Pulang
Suara bel sekolah gak terlalu keras, tapi cukup jadi sinyal bahwa hari mulai beranjak sore. Rendra keluar dari gudang sambil nyeret ember bekas buat nutupin makanan sisa.
“Besok kita bawa menu baru,” katanya sambil duduk di bangku kosong belakang kelas. “Gue pengen eksperimen bikin gorengan rasa... aneh.”
“Jangan aneh-aneh dulu, Ndra. Kita baru mulai,” kata Nimas.
“Aneh itu identitas.”
Seno ngeluarin sisa kertas catatan, “Gue bikin logistik biar gak bentrok. Tapi... kita butuh pemasaran. Kita masih di bawah radar.”
Tatang angkat alis. “Pemasaran? Kita nyebar flyer?”
“Enggak. Kita cari... influencer internal.”
Semua langsung nengok ke Rendra.
“Lah gue?”
“Iya. Lo udah dikenal aneh. Sekalian aja dijadikan daya tarik.”
Rendra mikir sebentar. Lalu senyum lebar. “Berarti besok, kita launching menu spesial: 'Cilok Rasa Curiga'.”
“Lagi-lagi gak logis...”
“Tapi bikin penasaran.”
Di Rumah Rendra
Langit udah mulai jingga waktu Rendra dorong pintu rumah. Ibunya lagi nyapu halaman, Bang Arif tidur sambil dengerin radio tua, dan Mbak Lilis masih sibuk ngecat kuku walau gak pernah kelihatan rapi.
“Ndra, kamu pulang jam berapa sih? Tadi ada tetangga nyariin,” kata ibunya.
“Nyariin kenapa?”
“Katanya... kamu sempet numpang Wi-Fi rumahnya sampe modemnya panas.”
“Demi masa depan, Bu. Aku lagi riset soal cilok rasa curiga.”
Ibunya cuma geleng-geleng. “Terserah kamu, asal gak bikin malu RT.”
Rendra masuk kamar. Kamar yang penuh coretan ide di dinding. Dari “Tahu isi rasa semangka” sampai “Strategi jualan lewat mimpi”.
Dia ngeluarin catatan, nyoret satu ide baru:
"GudangFood makin absurd, makin laris.”
Keesokan harinya,
Suara ayam tetangga udah mulai bertengkar sama suara motor lewat depan gang waktu Rendra kebangun. Bukan karena alarm, tapi karena kepalanya kebentur rak buku waktu guling. Rak itu emang udah doyong dari dua minggu lalu, tapi Rendra bilang itu seni instalasi gravitasi.
“Uh... cilok motivasi...,” gumamnya setengah sadar. Dia bangun, nyari kacamatanya padahal dia gak minus, cuma biar keliatan serius kalau lagi mikir.
Di dapur, ibunya lagi goreng tempe setipis kenangan. “Ndra, sarapan dulu. Jangan cuma makan ide.”
“Justru sarapan itu sumber ide, Bu. Tahu gak, dari rasa tempe yang hambar bisa muncul nama brand baru: 'GudangFood Rasa yang Tak Terduga’.”
Ibunya ngelirik. “Nanti kamu jual nasi rasa kebingungan juga?”
“Bu, itu masuk akal banget.”
Sekolah: Pagi yang Penuh Persiapan
Jam pelajaran pertama: Bahasa Indonesia. Tapi Rendra, Seno, Tatang, dan Nimas udah kumpul diem-diem di gudang, ngebahas strategi baru.
“Ini daftar menu hari ini,” Seno buka lipatan kertas.
- Tahu isi rasa ayam (normal)
- Cireng bumbu kacang
- Cilok isi quotes motivasi (ujicoba)
- Es teh (dimasukkan ke botol bekas parfum)
Nimas: “Yang terakhir itu gak boleh, Ndra.”
“Gue cuci bersih kok. Aroma jasmine dikit aja.”
Tatang: “Gue udah print label ‘GoodAngfood’ pake printer sekolah. Gue nempelin di bungkus-bungkus makanan.”
Seno: “Tapi masih ada masalah besar...”
“Stok?”
“Bukan. Kita mulai diperhatiin pengurus OSIS.”
Mereka semua hening.
Nimas: “Lo yakin?”
Seno ngangguk. “Kemarin gue liat anak OSIS yang ketua bidang ketertiban Dimas ngeliatin gudang pas Heri delivery.”
Rendra cakar-cakar kepala. “Wah... itu Dimas yang mukanya kayak tukang tilang itu?”
“Yang sama mantannya kamu, Ndra,” Nimas nyeletuk santai.
“Yah, mantan dia semua orang juga pernah jadi. Dia pacaran kayak nyewa motor, gonta-ganti.”
Tatang tiba-tiba nyolek Rendra. “Gue ada ide buat alihin perhatian mereka. Kita bikin campaign bahwa GudangFood itu edukatif.”
“Edukatif gimana?”
“Cilok berisi quotes. Edukasi karakter. Makanan pencerahan.”
Rendra ngangguk pelan. “Cilok Motivasi. Slogannya: Makan Isi, Dapat Inspirasi.”
Jam Istirahat
Warung Gudang mulai rame. Anak-anak nyebutin pesanan kayak di cafe:
“Ane ciloknya yang quotes tentang move on ya!”
“Gue cireng bumbu kacang yang bisa bikin mikir tentang hidup.”
“Gue es teh parfum, yang ada aftertaste melankolis.”
Rendra nyengir. “Tuh, bener kan. Kita lagi di atas angin.”
Tapi dari kejauhan, seseorang memperhatikan. Dimas, ketua OSIS, berdiri di balkon lantai dua. Matanya sempit, alisnya berkerut. Dia catat sesuatu di notes-nya.
Di sebelahnya, satu anak lain dengan wajah kalem tapi misterius ngebisikin sesuatu ke telinga Dimas. Anak ini jarang bicara, tapi selalu ada di tempat yang gak wajar. Namanya: Rio.
Sore harinya,
Di Gudang: Evaluasi Sore
Heri masuk sambil ngos-ngosan, “Delivery kelar. Tapi... tadi ada yang ngikutin gue.”
Seno: “Siapa?”
“Gak jelas. Tapi dia ngumpet di balik papan mading...”
Nimas mulai tegang, “Kita mulai diperhatiin. Harus hati-hati.”
Tatang: “Tenang. Kita cuma jual makanan.”
Rendra nyengir, “Iya. Tapi kita jual mimpi juga.”
Dia buka toples cilok isi quotes.
salah satu kertas quotes terbuka:
"Jangan takut jadi berbeda. Dunia ini terlalu sempit untuk orang biasa."
Di Tempat Lain: Malam Hari
Rio duduk di kamarnya yang rapi. Di atas meja ada sketsa gudang, catatan aktivitas Rendra dan kawan-kawan. Di dinding, satu foto kecil menempel: foto Rendra, lusuh tapi senyum lebar.
Rio mengamati foto itu lama, sebelum akhirnya menulis di kertas baru:
“Target mulai menarik perhatian. Lanjutkan observasi. Jangan ganggu... dulu.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
