Tiga Puluh Nasi Bungkus Bab 3

0
0
Deskripsi

Dengan gemetar tangan ini membuka amplop yang berisikan surat tanpa nama jelas dari sang pengirimnya disertai degupan jantung yang bergetar dengan hebatnya akhirnya amplop itu terbuka juga. Perlahan, tapi pasti dengan pelan aku membaca huruf demi huruf yang telah dirangkai rapi dan sedemikian rupa oleh sang penulisnya hingga menjadi tulisan yang indah dan mendayu di dalam sepucuk surat itu. 

Apa ya isinya? 

Dari siapa pula surat itu?

Bab 3

Aku duduk di ruang utama rumah dengan merobek amplop itu perlahan sambil menunggu Delia dan Nurmi pulang dari sekolah lebih baik aku membaca isi surat itu. Niatku untuk menyapu halaman belakang rumah pun sirna seketika. Perasaanku terus diselimuti oleh kecurigaan yang tiada tara pada Mas Edi.

Dengan gemetar tangan ini membuka amplop yang berisikan surat tanpa nama jelas dari sang pengirimnya disertai degupan jantung yang bergetar dengan hebatnya akhirnya amplop itu terbuka juga. Perlahan, tapi pasti dengan pelan aku membaca huruf demi huruf yang telah dirangkai rapi dan sedemikian rupa oleh sang penulisnya hingga menjadi tulisan yang indah dan mendayu di dalam sepucuk surat itu.

Teruntuk Mas Edi,
Sebelumnya aku meminta maaf karena telah lancang mengirim surat ini langsung ke rumahmu tanpa memberitahumu terlebih dahulu.

Aku tahu jika Mas Edi telah mempunyai istri dan dua orang anak, kuharap dengan kedatangan surat ini tidak merusak rumah tangga kalian.

Dengan datangnya surat ini ke rumahmu tanpa pengirim yang jelas tertera pada amplop surat berarti aku telah pergi jauh dari kota ini.

Terima kasih jika selama ini Mas Edi telah memberi kebahagiaan kepadaku dan ketiga buah hatiku. Mereka senang sekali akan kasih sayang yang Mas Edi beri untuk mereka.

Satu lagi, terima kasih pula atas semua materi yang Mas Edi beri untuk kami. Termasuk rumah dan seisinya. Semua kenangan tentang Mas Edi selalu aku simpan di dalam album foto. Ke mana pun aku dan anak-anak pergi melangkah, aku akan selalu membawa album kebersamaan kita.

Salam dariku,

“Apa?” kedua bola mataku membulat. Lemah semua persendianku. Seakan tidak ada urat lagi untuk bergerak.

Mas Edi yang kukenal baik dan penyayang, ternyata seperti ini di belakangku. Apa lagi jika aku baca di dalam surat ini jelas tertulis ketiga buah hati dari perempuan itu rasanya seperti retak hatiku. Seakan hatiku kini tidak berpenghuni lagi. Seakan kegelapan menyerbu pikiranku. Tidak ada kesemangatan di dalam hidupku. Berapa tahun mereka menjalin hubungan itu secara diam-diam hingga tercipta tiga buah hati diantara mereka? Untuk apa pula wanita itu memilih pergi dari kehidupan Mas Edi dan lebih baik mengalah dariku? Aku atau dia yang berada pada posisi perebut Mas Edi? Hah, aku pusing.

Di usia rumah tanggaku yang berjalan hampir sepuluh tahun. Bahtera rumah tanggaku terus-terusan di uji. Haruskah aku mundur ataukah memilih untuk bertahan dengan laki-laki yang telah sekian lama membohongiku?

Dengan rapat Mas Edi menutupi semuanya hingga kukira selama ini baik-baik saja dan betapa bodohnya aku karena aku selalu mempercayai semua perkataan dari Mas Edi.

“Jika kelak usia pernikahanmu sudah hampir sepuluh tahun, maka kamu akan terus-terusan mendapatkan ujian di dalam rumah tanggamu,” ucap ibu waktu itu. Pada awal aku baru saja melahirkan buah cintaku dengan Mas Edi. Buah cinta pertama kami. Delia.

“Kenapa seperti itu, Bu?” tanyaku dengan mengerutkan kening. Bingung.

“Seperti yang telah Ibu lewati dengan Bapakmu juga seperti itu. Ibu memilih bertahan dan bersabar dalam menghadapi semua konflik di dalam rumah tangga hingga akhirnya Ibu dan Bapakmu sampai kini tetap bersama. Bukan hanya Ibu saja yang pernah mengalami semua itu, tetapi sebagian orang juga pernah mengalaminya,” jawab ibu.

“Jika lebih dari sepuluh tahun?” tanyaku lagi yang semakin penasaran.

“Jika lebih dari sepuluh tahun kamu tetap bertahan dengan banyaknya ujian di dalam pernikahanmu, maka konflik di dalam pernikahanmu sedikit demi sedikit akan mereda dengan sendirinya. Ibarat kamu menanam padi lalu padi itu telah kamu jaga dengan baik dari berbagai hama hingga kamu akhirnya bisa memanennya,” jawab ibu.

Waktu itu aku hanya menganggap perkataan ibu sebagai angin lalu belaka. Namun, kini setelah kujalani pernikahan ini hingga delapan tahun barulah aku teringat akan perkataan ibuku. Inikah ujian yang begitu hebat di dalam rumah tanggaku?

Jika dulu aku dan Mas Edi kekurangan secara materi, itu sudah hal yang biasa. Tidak ada lauk, aku bisa membuat nasi goreng untuk dimakan. Asal ada beras, gas, garam, dan bawang di dapur. Itu sudah cukup bagiku. Jika ada rezeki berlebih, bolehlah sekali-kali makan enak. Itulah dulu kehidupan yang kujalani dengan Mas Edi. Namun, kini Mas Edi sudah berani bermain rahasia denganku.

Secara materi, saat ini aku tidak pernah kekurangan. Apa pun yang ingin kubeli selalu bisa kubeli. Makan enak, baju baru, dan perhiasan aku juga punya. Hanya rumah dan mobil saja yang aku belum bisa punya. Namun, aku masih mengumpulkan uang untuk mewujudkan semua itu. Uang satu juta rupiah itu hanya untuk mencukupi semua keperluan dapur, keperluanku, keperluan anak-anak, dan sisanya untuk di tabung. Untuk membuat nasi bungkus dalam setiap harinya, Mas Edi telah menyiapkan uangnya juga.

Masih ingat pada awal aku dan Mas Edi belum sanggup untuk mengontrak rumah, kami sementara tinggal di rumah orang tuaku.

“Duh, terima kasih. Hampir setiap hari jika pulang mengojek selalu saja membawakan Ibu dan Bapak camilan,” ucap ibuku.

“Apa itu, Bu?” tanyaku.

“Martabak,” jawab ibu.

“Kemarin Edi juga membawakan terang bulan,” sahut bapak.

“Aku dibawakan apa, Mas?” tanyaku sembari membalik telapak tanganku.

“Es krim,” jawab Mas Edi.

“Es krim lagi,” keluhku.

“Es krim itu baik untuk Ibu hamil,” kata Mas Edi.

Lagi pula es krim yang dibeli Mas Edi harganya tidaklah mahal. Namun, aku senang jika ia selalu memperhatikanku dan janin yang berada di dalam kandunganku.

Mas edi memang sangat perhatian kepada bapak dan ibuku. Tetanggaku sering bilang pada bapak dan ibu jika Mas Edi adalah memang menantu idaman. Begitu manisnya awal rumah tangga yang aku jalani dengan Mas Edi. Mas Edi tidak pernah terselisih paham dengan saudara-saudaraku walaupun kami waktu itu tinggal satu atap hingga akhirnya Delia lahir ke dunia ini. Memasuki usia Delia yang ketiga bulan, aku dengan Mas Edi memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuaku dan memilih mengontrak yang letaknya cukup jauh dari orang tuaku. Aku dan Mas Edi ingin belajar mandiri agar tidak selalu tergantung kepada orang tua.

Bayangan itu pun sirna seketika. Kini pikiranku fokus kepada sepucuk surat yang berada di dalam genggamanku. Siapa nama wanita ini? Sepertinya wanita ini menyembunyikan nama dan alamatnya. Bukan hanya Mas Edi telah membohongiku selama bertahun-tahun yang membuat hatiku sakit, tetapi Mas Edi telah mempunyai tiga buah hati dari perempuan itu juga Mas Edi telah membelikannya satu buah rumah. Aku dan anak-anak hingga kini tinggal di rumah kontrakan sempit. “Sungguh keterlaluan!” geramku.

“Maaa ....,” panggil Delia dan Nurmi.

Anak-anak sudah pulang sekolah. Aku  segera memasukkan surat itu ke dalam amplop lalu kumasukkan lagi amplop itu ke dalam saku baju dasterku.

“Iya, sayang,” jawabku.

“Tadi Delia lihat Ayah,” ucap Delia.

“Delia lihat Ayah lagi apa?” tanyaku.

“Ayah lagi ...” Delia seakan ketakutan padaku.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tiga Puluh Nasi Bungkus Bab 4
0
0
Pertanyaan apa? Setiap hari juga aku pulang ke rumah selalu membawakanmu uang.” Mas Edi mengernyitkan kening. Bingung.Aku tidak menjawab. Namun, aku segera menyodorkan amplop yang berisikan surat itu kepada Mas Edi.“Apa ini?” tanya Mas Edi.“Buka saja,” jawabku.Dengan segera pula Mas Edi membuka isi di dalam amplop tersebut kemudian membacanya dan sesekali Mas Edi menoleh padaku.  Sari telah menemukan sebuah surat pada teras rumahnya. Kira-kira surat dari siapa ya itu? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan