Jatuh by unheard (2)

40
0
Deskripsi

Jenggala mencoba berdiri, berpegangan pada brankar, tetapi berkali-kali ia menepis bantuan Celio.

“Kalau lu temen gua, Dam, lu gak bakal lakuin itu! Lu pasti tahu kalau gua akan selalu berada di pihak Lia apa pun yang terjadi! Lu juga, Yo! Lu ke mana?! LU KE MANA, ANJING, PAS ADIK GUA BUTUH LU?! LU NINGGALIN DIA JUGA, KAN?!”

Jenggala mencoba mengatur napas dengan matanya yang kembali basah. Ia begitu sedih mengingat bahwa kedua teman dekatnya justru ikut menyakiti satu-satunya adik yang paling ia...

Dari langit cerah sampai kini matahari mulai tenggelam, tatapan Jenggala tak pernah berpaling pada tenda adiknya yang tengah sibuk memasak di depan tenda mereka.

Sejujurnya, Jenggala sedikit sedih melihat Milia yang seolah diasingkan oleh kelompoknya sendiri, tapi adiknya itu tetap semangat dan tersenyum lebar. Ia terlihat menikmati camping-nya meskipun teman-temannya tak melirik ke arahnya.

“Gimana bisa dia dapet kelompok kayak gitu,” gumam Jenggala sambil memakan snack yang baru saja ia buka.

“Hah?” tanya Damian secara tiba-tiba, membuat Jenggala mendelik.

“Gak ngomong sama lu.”

“Lia, ya? Kok gua kasian ya liatnya?”

Jenggala sontak menatap Damian begitu datar. “Kasian kenapa?”

“Gak ada temennya.”

“Ada,” sangkal Jenggala, sebab ia tidak suka orang lain mengasihani adiknya sendiri.

“Iya, gua tau ada, cuman di kelompoknya itu dia kayak gak diinginkan.”

Jenggala menyimpan snack itu dari tangannya dan berdiri. “Gua yang mau dia,” jawab Jenggala, membuat teman-temannya yang lain sontak menatapnya.

Menghiraukan segala tatapan teman-temannya, Jenggala berjalan ke arah tenda Milia dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku jaket. “Bisa gak masaknya?”

“Eh? Bisa, Gal,” jawab Evelyn.

“Gua gak nanya sama lu. Bisa gak, Li?” tanya Jenggala tanpa melihat ke arah Evelyn sama sekali.

Bagaimana Jenggala tidak kesal jika dalam satu tenda ada dua kompor untuk masak? Yang lain sibuk memasak di kompor satunya, hanya Milia yang berjuang sendiri untuk menyalakan api dan memasak di kompor yang satunya lagi.

Sial, adiknya benar-benar dikucilkan.

“Bisa. Udah, kamu balik lagi ke tenda aja.”

Meskipun Milia mengusirnya, Jenggala tetap duduk di sampingnya dan membantunya menyalakan api agar Milia bisa secepatnya makan. “Jangan sampai gak makan.”

Selesai memasak, barulah Jenggala kembali ke tendanya. Sampai nanti acara api unggun, ia akan bertemu kembali dengan adiknya. Jujur saja, Jenggala benar-benar khawatir meninggalkan Milia sendirian di tendanya setelah melihat sendiri bagaimana gadis itu diperlakukan.

Hingga acara api unggun dimulai, Jenggala menarik tangannya agar ikut duduk dan kumpul bersama teman-teman yang lain. Ia tidak akan pernah mau meninggalkan adiknya dalam keadaan apa pun.

“Seneng gak?” bisik Jenggala.

“Banget! Aku gak pernah ikut ginian sama temen, jadi seru. Tapi agak sedih soalnya Nanat beda kelompok.”

Jenggala hanya tersenyum kecil. Sepanjang acara, tatapannya tak lepas dari senyum adiknya yang begitu lebar. Ia menatap adiknya seolah-olah jika berpaling beberapa detik saja, adiknya bisa menghilang.

“Abis acara api unggun, kamu langsung masuk tenda terus tidur. Kalo temen-temenmu ganggu, kamu langsung lari ke tendaku, ya?” kata Jenggala saat api unggun sudah mulai padam, pertanda bahwa acara akan segera berakhir.

Sepuluh menit kemudian, acara api unggun benar-benar berakhir seperti dugaan Jenggala. Ia mengantar Milia sampai ke tendanya, dan begitu adiknya masuk ke tenda, barulah Jenggala berbalik badan dan masuk ke dalam tenda kelompoknya sendiri.

“Kalo nanti ada adek gua ke sini nyari gua, tolong langsung bangunin gua,” pinta Jenggala sambil mengambil posisi tiduran dengan kedua tangannya yang bersidekap dada.

“Aman.”

Baru saja tertidur 30 menit, terdengar keributan dari luar tenda dan juga teman-temannya yang menggoyangkan tubuhnya agar ia bangun. Dengan mata berat, Jenggala bangun dan duduk sambil menatap teman-temannya dengan mata setengah terbuka. “Lia manggil gua?”

“Lia ilang! Adik lu ilang.”

Jenggala terdiam sesaat, mencerna apa yang teman-temannya bicarakan. “Lia? Apa maksud lu, Dam?”

“Milia dikabarkan menghilang. Katanya sih dia masuk hutan larangan.”

Jenggala sontak berdiri dan berlari ke arah tenda adiknya, masih dengan mata memerah. Ia berlari dengan sempoyongan dan napas yang menggebu sebab ia baru saja bangun tidur. “Lia! Lia, di mana?”

“Ilang, Gal. Kita udah bilang jangan ke mana-mana, tapi dia ngeyel,” ucap salah satu teman kelompoknya, membuat Jenggala segera berlari ke arah tenda pengurus untuk melaporkan kehilangan adiknya.

“Pak, adik saya ilang! Milia Lewidson.”

“Iya, Jenggala. Saya sudah tau, dan beberapa pengurus lagi coba cari Milia. Kamu tenang du—”

“Izinin saya buat ikut cari, Pak! Saya gak bisa tenang. Saya udah janji buat jaga dia.”

Pengurus itu segera memanggil beberapa anak OSIS agar ikut membantu pencarian di sekitaran hutan. “Oke, kamu saya izinkan, tap—”

Begitu mendapat anggukan, Jenggala segera berlari ke arah tendanya untuk mengambil senter. Setelah mendapat apa yang ia butuhkan, anak itu langsung berlari ke arah hutan tanpa memedulikan para pengurus dan anak OSIS yang memanggil namanya.

Pikirannya saat ini hanya satu: Milia. Belum satu jam ia tak mengawasinya, adiknya sudah dikabarkan hilang, membuat jantungnya berdebar begitu kencang. Ia menyusuri jalanan dengan begitu cepat, bahkan tak memedulikan ranting kecil yang mengenai kakinya hingga menimbulkan luka.

Tujuannya saat ini adalah hutan larangan, sebab kabarnya Milia masuk ke sini. Entah apa yang tengah ia lakukan sampai bisa masuk ke dalam hutan larangan yang pertama kali mereka lewati saat mencari kayu bakar untuk api unggun.

“LIA! MILIA!”

“MILIA! JAWAB AKU! INI GALA!”

“LIA!”

Satu tetes air matanya keluar begitu tak ada suara sahutan dari adiknya. Ia benar-benar ketakutan sekarang. Ia takut Milia akan kedinginan dan ketakutan sendirian. Lelaki itu mengacak rambutnya frustrasi hingga akhirnya ia sampai di depan hutan larangan. Perbatasan itu ditutupi oleh papan yang mengatakan tidak boleh dilewati, tapi tanpa berpikir dua kali, Jenggala membuka papannya dan masuk ke dalam hutan sambil terus meneriakkan nama adiknya.

Hawa yang ia rasakan benar-benar berbeda. Di dalam hutan larangan ini, suasananya benar-benar dingin dan kelam, dan itu membuat Jenggala semakin takut jika Milia benar-benar masuk ke dalam hutan ini.

“LIA! TOLONG JAWAB AKU...”

“JAWAB AKU!”

“KAMU DI MANA? LIA, KAM—”

Tanpa Jenggala sadari, ia malah terjatuh ke bawah dan itu membuat tubuhnya menggelinding. Entah apa yang ada di bawah sana, sebab begitu gelap dan senternya pun entah jatuh ke mana. Dengan berusaha keras, akhirnya Jenggala menggapai dahan pohon yang berada di samping, dan itu membuat tubuhnya tidak jatuh ke dasar.

Begitu gelap sampai Jenggala tidak bisa melihat apa pun. Ia hanya berpegangan dengan kuat pada dahan pohon yang ia gapai tanpa tahu bahaya apa yang akan terjadi setelahnya. “Lia... gak mungkin jatuh gini, kan?”

“MILIA!”

Jenggala menghela napasnya dan merasakan ada sesuatu yang lewat di belakang punggungnya. Begitu ia mulai meraba-raba dengan tangannya, ia baru menyadari bahwa di belakangnya saat ini ada ular dengan ukuran yang cukup besar.

Saking kagetnya, Jenggala terperosok kembali ke dasar. Dalam keadaan seperti ini pun, pikirannya hanya tertuju pada Milia.

Tuhan, tolong lindungi Lia...

Tubuhnya berhenti membentur sebuah pohon di bawah dengan begitu kencang sampai anak itu tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Darah mengalir dari keningnya.

Matanya hanya menatap kosong ke arah langit. Seluruh tubuhnya terasa begitu sakit, bahkan untuk mengeluarkan suara saja Jenggala tidak sanggup. Ia hanya terdiam, menyaksikan bulan dan bintang yang sedang memamerkan keindahannya di atas sana, seolah menemani Jenggala agar ia tidak ketakutan.

Semakin banyak darah yang keluar dari dahi dan kakinya, kesadaran anak itu perlahan menghilang. Untuk terakhir kalinya, ia berusaha mengeluarkan suara sekuat tenaga.

“Lia, jangan terluka...”

                                       ---

Sayup-sayup cahaya memasuki retina yang baru saja terbuka setelah sekian lama. Sudah hampir seminggu anak lelaki itu tidak sadarkan diri, dan hari ini ia akhirnya membuka matanya. Bola matanya menatap ke sekeliling, menatap aneh semua orang di ruangan. Namun, ketika ia tidak menemukan seseorang yang ia cari, Jenggala berusaha mengeluarkan suara meskipun tubuhnya masih sangat lemas.

“L-Li—”

Seorang dokter mendekatkan telinganya ke arah mulut Jenggala yang masih tampak lemah.

“L-Lia.”

“Lia? Siapa Lia? Apa ada di sini yang namanya Lia?”

Jenggala mengangguk pelan dan menatap satu per satu kakaknya yang juga menatap ke arahnya. Entah apa yang telah terjadi selama ia berada di hutan dan bagaimana mereka menemukannya, Jenggala tidak penasaran. Pikirannya saat ini hanya ingin melihat Milia dan bertemu dengannya.

“Lia ada. Dia baru pulang,” kata Radja.

Sebuah senyuman kecil terbentuk di bibir Jenggala. Ia mengangguk kecil dan kembali menutup matanya. Perasaan lega menyelimutinya setelah mengetahui bahwa Milia sudah kembali bersama mereka. Selama ia terjatuh, pikirannya hanya satu: Milia. Bahkan saat kesadarannya mulai hilang, hatinya tetap gelisah memikirkan Milia yang mungkin ketakutan di dalam hutan.

Terima kasih, Tuhan…

Dokter menyuruh Jenggala untuk beristirahat lebih lama karena ia baru saja melewati masa kritis. Entah apa yang terjadi selama ia tidak sadarkan diri, tetapi kini harapannya hanya satu: ingin bertemu dengan Milia secepatnya.

Namun, harapan itu musnah ketika keesokan harinya tiba. Milia tak kunjung datang ke rumah sakit. Tatapan mata Jenggala tak pernah lepas dari pintu ruangannya, berharap setiap kali pintu terbuka, adiknya akan muncul dengan senyum cantiknya. Tapi Milia tak pernah muncul, bahkan ketika hari mulai gelap.

“Mas, Lia kenapa gak ke sini-sini?”

Nolan, yang tengah memeriksa cairan infus milik Jenggala, terdiam sejenak sebelum tersenyum.

“Lia kayaknya kecapekan. Soalnya hari ini udah mulai sekolah lagi.”

“Tapi aku di rumah sakit, loh, Mas.”

“Nanti Mas kasih tahu Lia kalau kamu mau ketemu, ya?”

Jenggala tidak lagi menjawab. Saat ini hanya Nolan yang berjaga di ruangannya, dan jawaban kakaknya tentu tidak memuaskan. Namun, melihat wajah Mas-nya yang tampak begitu lelah, Jenggala memilih diam dan mempercayai ucapannya.

Ia memalingkan wajah ke samping dengan mata tertutup. Rasanya aneh jika Milia tidak ingin menjenguknya. Jenggala sangat yakin bahwa Milia tidak bisa berlama-lama jauh darinya.

Hari lain kembali menyambutnya, namun Milia tetap tidak datang. Berbagai alasan yang diberikan kakak-kakaknya terasa tidak masuk akal bagi Jenggala. Tapi ia tidak memperpanjang masalah itu karena kondisinya masih lemah. Namun, semakin hari berlalu, bahkan hingga kondisinya mulai membaik, Jenggala tetap belum bertemu dengan Milia.

Saat ini, Radja dan Nolan sedang menemaninya di rumah sakit. Dari keempat kakaknya, mereka memang sering bergantian menjaganya, dan kini giliran mereka berdua.

Jenggala memakan buburnya dengan malas. Sedari tadi ia ingin bertanya pada Radja tentang Milia, tetapi ia yakin hanya akan mendapatkan jawaban alibi lagi seperti sebelumnya. Maka dari itu, ia harus memeriksa handphone-nya sendiri karena sejak awal ia sudah merasakan ada sesuatu yang aneh.

“Lia kenapa gak jenguk-jenguk? Aku mau main HP,” keluh Jenggala setelah menyingkirkan mangkuk buburnya ke meja makan yang terpasang di brankarnya.

Kedua kakaknya saling pandang. Nolan berjalan ke arah ranjang adiknya dan menyingkirkan meja makan yang menghalangi pergerakan Jenggala. Salah satu kaki adiknya masih memakai gips. Tanpa sepatah kata pun, Nolan tetap diam, membuat Jenggala mengernyitkan keningnya.

“Kenapa? Kalian gak lagi bohongin aku, kan? Lia belum ditemukan? Milia masih di dalam hutan, ya?”

Jantung Jenggala berdebar begitu cepat. Matanya mulai memanas. Jika memang Milia belum ditemukan sampai saat ini, ia benar-benar merasa bersalah. Selama ini ia hanya bersantai-santai di rumah sakit, sementara adiknya mungkin tengah berjuang dengan hidupnya.

Ia menyibakkan selimut dan hendak turun dari brankar, tapi Nolan dengan sigap menahannya.

“Apa-apaan ini?! Kenapa kalian bohongin aku?! Kenapa kalian di sini?! Kenapa kalian gak cari Lia?!”

“Milia gak hilang. Dia gak pernah hilang di hutan. Itu cuma tes buat kamu,” kata Radja.

Jenggala seketika terdiam dan menatap Radja, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Tes gimana?” tanyanya.

Radja menghela napas sebelum berjalan mendekati adiknya. Mengingat kejadian itu lagi membuatnya kembali marah.

“Milia cuma mau ngetes rasa sayang kamu ke dia, seberapa besar. Dan Milia gak hilang, dia cuma pergi ke toilet bareng Nanat.”

Sedikit terkejut mendengar pernyataan itu, Jenggala tetap merasa bersyukur. Setidaknya, Milia tidak harus merasa takut sendirian di dalam hutan. Ia menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal.

“Syukur deh. Malam itu aku beneran takut banget. Aku takut kalau Lia kenapa-kenapa, soalnya aku udah janji bakal selalu jaga dia... Terus, sekarang adikku mana?”

Nolan dan Radja kembali saling pandang. Akhirnya, mereka mulai menceritakan segala hal yang terjadi selama Jenggala tidak sadarkan diri.

Sejujurnya, dari awal mereka tidak berniat menyembunyikan hal ini dari Jenggala. Hanya saja, mereka menunggu Jenggala pulih sebelum memberitahunya.

Perasaan Jenggala benar-benar naik turun. Kini, pikirannya kosong saat mendengar semua yang diceritakan Radja. Ia telah memberikan banyak kesulitan untuk Milia, sampai-sampai semua orang kini memandangnya begitu buruk.

“Dia ke Paris gak karena paksaan, kan?”

“Kakak paksa. Waktu itu kondisinya bener-bener buruk, dan kita semua juga lagi penuh sama amarah. Jadi, gitu...”

“Jadi, itulah yang dinamakan pengusiran, Kak.”

Nada suara Jenggala berubah dingin.

Anak lelaki itu tidak tahu apa yang telah Milia rasakan selama ia tidak sadarkan diri. Setakut apa adiknya itu, sampai harus pergi dari rumahnya sendiri. Ia benar-benar menyesali tindakannya yang ceroboh. Jika saja ia tidak terjatuh, masalah ini tidak akan serumit sekarang.

 

“Kakak cuma mau Milia tenang di Paris, tanpa orang-orang yang memandangnya dengan sinis.”

Jenggala tak membalasnya dan mengulurkan telapak tangan ke arahnya. “Mana? Handphone-ku.”

Nolan mengambil tasnya dan memberikan handphone itu pada pemiliknya. Deretan notifikasi muncul di layar, memenuhi berbagai aplikasi.

Semua notifikasi itu hanya dilihat oleh Jenggala tanpa mau men-tap-nya. Ia segera membuka aplikasi WhatsApp, dan begitu memasuki room chat dengan Milia, ekspresi wajahnya semakin dingin.

“Apa yang udah kalian lakuin sama Milia?”

“Gal, Kakak cuma mau kal—”

“Semua orang ninggalin aku! Itu yang Lia bilang! Kalian ngapain? JAWAB!”

Nolan dan Radja tersentak kaget mendengar sentakan Jenggala. Tatapan tajam dan dingin yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun, kini justru diperlihatkan kepada kedua kakaknya. Mereka berdua tidak pernah melihat Jenggala semarah ini. Biasanya, anak itu hanya diam dan memendam semua emosinya.

“Kakak cuma mau adik kamu tenang di Paris. Kakak gak us—”

“Gak usir? Kalau kakak gak usir, harusnya kakak nemenin Lia di sana! Berita jatuhnya aku ke jurang jadi sasaran empuk musuh-musuh kalian buat jatuhin nama baik keluarga kita! Kenapa? Kenapa kalian gak ada di samping Lia?!”

“Kita fokus ke kamu karena kita gak mau lihat kematian lagi! Nyawa kamu lagi di ujung tanduk waktu itu! Lagi pula, apa yang Lia lakuin itu salah, dan dia harus belajar dari kesalahannya,” kata Nolan sambil menatap Jenggala tak kalah tajamnya.

Sudah berhari-hari Nolan merelakan waktu tidurnya demi menjaga adiknya agar membaik. Tapi ini yang ia dapatkan? Bentakan dan tatapan dingin dari Jenggala.

“Tapi Lia sendirian...”

“Tapi nyawa Lia baik-baik aja.”

Radja membalas cepat, membuat Jenggala terdiam. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya jatuh mengaliri pipinya. Meski begitu, tatapannya tetap sama. Melihat adiknya yang mulai terdiam, Nolan meraih bahu Jenggala yang masih tidak bergerak sama sekali.

“Lia bakal baik-baik aja. Setelah kamu bener-bener pulih, Mas sama yang lainnya bakal nyusul Lia dan bawa dia pulang.”

Jenggala memundurkan bahunya, masih menunduk, tak ingin menatap kedua kakaknya. “Aku mau sendiri.”

“Gal...”

Radja mengangguk ke arah Nolan, lalu membawa kakaknya keluar, meninggalkan Jenggala sendirian. Amarah masih jelas terlihat di wajahnya. Dengan tangan bergetar, Jenggala mulai membalas satu per satu chat yang Milia kirimkan.

Ia bisa membayangkan perasaan Milia saat mengetik banyak bubble chat itu, pasti dengan ketakutan yang luar biasa. Ia mencoba menelepon dan membalas chat berkali-kali, tetapi tidak ada respons sama sekali dari Milia. Padahal WhatsApp-nya centang dua.

Jenggala menggulir layar handphone-nya, keluar dari aplikasi WhatsApp, lalu membuka akun sosial medianya. Ia mencari sesuatu yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Meskipun sudah mendengar sedikit dari Radja, ia tetap ingin melihat sendiri bagaimana orang-orang mulai menghakimi adiknya secara sepihak.

“Dia... dia baca semua komentar ini?”

Jenggala menjambak rambutnya, frustrasi, lalu membanting handphone-nya ke lantai sampai layarnya retak. “Kenapa gua harus jatuh? Kenapa gua... kenapa gua harus bikin Milia ada di posisi kemarin? Kenapa? Kenapa?!”

“Gal?”

Dengan napas memburu, Jenggala menatap ke arah pintu, tempat Celio dan Damian berdiri dengan tubuh tegang setelah mendengar teriakannya dari luar.

Kata Damian aku pembawa sial.

Lio juga gak percaya sama aku.

Dua kalimat itu tiba-tiba muncul di pikirannya. Kalimat yang Milia ketikkan ketika dirinya sedang tidak sadarkan diri.

Damian dan Celio berjalan perlahan menghampiri Jenggala yang masih menatap mereka dengan tajam. Tanpa sepengetahuan keduanya, tangan kanan Jenggala sudah menekan selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Begitu keduanya mendekat, Jenggala langsung mencabut selang infusnya dan berdiri dengan satu kaki yang masih baik-baik saja, lalu mencoba memukul Damian yang berada di dekatnya.

Satu pukulan mendarat di pipi Damian. Namun, setelah itu, Jenggala terjatuh. Ia berusaha bangkit untuk memukul Damian lagi, tetapi Celio menghentikannya, sebab kakinya tidak dalam keadaan baik.

“DIEM LU, CELIO!”

“LU MASIH BELUM PULIH!”

Jenggala menghempaskan pegangan Celio di bahunya, membuatnya kembali terjatuh. Ia sangat marah mengetahui teman-temannya sendiri ikut menghakimi dan memojokkan adiknya, seolah Milia telah melakukan kesalahan yang begitu besar.

“Gua tahu lu marah sama gua, Gal. Tapi waktu itu gua gak bisa nahan emosi gua. Gua lampiasin emosi gua ke Lia. Temen mana sih, Gal, yang gak marah pas tahu temennya sendiri jatuh karena alasan konyol?” ucap Damian.

“TUTUP MULUT LU YA, ANJING!” sentak Jenggala.

“GUA BEGINI KARENA LU!” balas Damian, ikut terpancing emosi.

“Dam, udah!” Celio menahan Damian, menatapnya tajam agar tidak semakin memancing emosi Jenggala.

Jenggala terduduk dengan tatapan tajam ke arah Damian. “Gua gak minta lu lakuin itu! GUA GAK MINTA, BANGSAT!”

Jenggala mencoba berdiri, berpegangan pada brankar, tetapi berkali-kali ia menepis bantuan Celio.

“Kalau lu temen gua, Dam, lu gak bakal lakuin itu! Lu pasti tahu kalau gua akan selalu berada di pihak Lia apa pun yang terjadi! Lu juga, Yo! Lu ke mana?! LU KE MANA, ANJING, PAS ADIK GUA BUTUH LU?! LU NINGGALIN DIA JUGA, KAN?!”

Jenggala mencoba mengatur napas dengan matanya yang kembali basah. Ia begitu sedih mengingat bahwa kedua teman dekatnya justru ikut menyakiti satu-satunya adik yang paling ia sayangi.

“Dam, Lia bukan pembawa sial!”

“Sorry, gua—”

“Keluar! Sebelum gua kehilangan kontrol.”

“Tapi, Gal, denger—”

“KELUAR, BRENGSEK! LU JUGA KELUAR! GUA GAK MAU LIHAT WAJAH KALIAN BERDUA!”

Tidak ada pilihan lain. Melihat Jenggala yang semakin tidak terkendali, akhirnya Celio menarik Damian keluar dari ruangan. Begitu mereka keluar, kedua kakak Jenggala hanya terdiam, seolah telah mengetahui bahwa inilah yang akan terjadi.

“Gala gak terkendali...”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Akhir dari keterpurukan by Unheard pt 2
60
3
Milia hendak berbalik, tapi Haidan memegang tangannya agar adiknya itu tidak masuk lagi ke dalam kamar. “Dengerin Aa dulu, waktu itu Aa be—”Milia terkekeh sarkas mendengar permintaan Haidan yang terlihat konyol di pendengarannya. “Dengerin? Waktu itu aku minta kalian buat dengerin aku, buat denger versi aku, tapi kalian gak percaya. Bahkan menganggap semua itu sebagai pembelaan diri? Kalo aku emang membuat malu keluarga Lewidson, buat kalian malu, aku bakal pergi. Aa, Abang, kalian juga gak akan repot-repot lagi nahan malu punya adik ka—”“MILIA!”Jenggala sontak menatap Jero yang baru saja mengeluarkan sebuah bentakan yang membuat Milia seketika terdiam. Jenggala berjalan dengan memegangi sebuah tembok di sampingnya untuk menarik Milia agar kembali ke kamar.“KENAPA, ABANG? KENAPA? ABANG MAU MARAH LAGI? AKU GAK BOLEH JUGA MENYUARAKAN APA YANG ADA DI PIKIRANKU? GAK BOLEH JUGA MENGUNGKAPKAN RASA SAKITKU? AKU SAKIT HATI, ABANG! AKU SAKIT HATI SAMA KALIAN SEMUA! KALIAN MALAH NYURUH ORANG LAIN BUAT NEMENIN AKU, KALIAN NINGGALIN AKU, KALIAN GAK MAU PERCAYA SAMA AKU, SUARAKU GAK DIDENGAR SAMA KALIAN!”Milia terduduk di depan semuanya dengan air mata yang terus mengalir, membuat Jenggala memeluknya kembali dari samping. Ia menatap ke arah semua orang dengan tatapan memohonnya agar tidak lagi mengganggu Milia.“Mereka jahat, Jenggala. Mereka jahat! Mereka jahat! Aku gak suka ditinggalin sendirian, tapi mereka malah usir aku…”Jenggala hanya mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh adiknya. Melalui sudut matanya, Jero berjalan mundur, terlihat begitu terkejut atas apa yang terjadi saat ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan