.
Sinar matahari bersinar terang, menyinari papan sekolah bertuliskan SMA 17 Nusa Bangsa. Beberapa siswa dan siswi yang mengenakan seragam putih abu, tampak berjalan lambat melewati gerbang sekolah.
Sementara itu, siswa dan siswi yang mengenakan seragam berwarna putih biru tua, berlari untuk berkumpul di lapangan sekolah. Mereka mengenakan topi yang terbuat dari kertas karton, beserta dengan papan nama yang tergantung di depan dada. Langkah kaki mereka begitu cepat, hingga mengusik tanah kering di pinggir lapangan dan menimbulkan udara kotor.
Di antara peserta didik baru yang terburu-buru berkumpul di lapangan sekolah, ada siswa yang tak kalah mempercepat larinya. Pemuda dengan papan nama Dino Chandra Prawira, itu berjalan menuju gerbang sekolah dengan keringat di kening. Dia sesekali mengambil topi buatannya, dan membenarkannya. Apalagi suara Ketua Osis sudah menggaung-gaung, meminta para peserta didik baru untuk berkumpul di lapangan.
Takut terlambat sebenarnya tak ada di dalam kosa kata Dino. Karena dia sudah sering mengalami hal yang lebih menakutkan, dibanding dimarahi karena terlambat. Salah satunya adalah mendapatkan telepon sang ibu di waktu yang tidak tepat.
Dino mengeluarkan napas panjang. Untuk sang Ibu, dia bisa menghentikan langkah kakinya dan mengangkat teleponnya.
"Dino! Gimana hari pertama kamu di sekolah?! Asrama baru kamu gak bermasalah kan? Kamu udah sarapan belum?! Kamu udah selesai persiapin semua barang buat MPLS?! Jangan lupa berdoa! Dan kabarin Mama!" peringat Bu Dina di panggilan telepon.
Dino tetap meneruskan perjalanannya. Pemuda itu melirik ke kiri dan ke kanan, kemudian menutup hidungnya ketika melihat kabut berwarna cokelat dari tanah yang bergesekan. Dia menggunakan salah satu tangannya untuk menghalangi kabut itu dari matanya. Sebelum akhirnya memberitahu, "Dino udah sarapan, dan nyediain semuanya. Mama gak perlu khawatir. Dino kan udah bilang kalo Dino bisa sendiri. Ini juga Dino lagi jalan ke lapangan sekol---"
Langkah Dino terhenti. Di antara kabut-kabut berwarna cokelat, Dino melihat sosok gadis berambut panjang yang tergeletak di tanah. Pemuda itu mengernyitkan kening, tanpa melakukan apa pun. Karena detik kemudian, tepat di hadapan Dino sendiri, dia melihat siswa dan siswi lain yang berlari menembus tubuh gadis itu.
Bu Dina bertanya, "Terus gimana sama asrama dan sekolah baru kamu? Apa mereka baik-baik sama kamu? Mama harap, mereka adalah orang-orang baik. Termasuk makhluk halus yang mungkin ada di sana."
"Kakek bilang, dia udah ngasih gelang tali penjaga, buat ngelindungi kamu dari makhluk yang berniat jahatin kamu! Apa kamu udah pake gelangnya?" tanya Bu Dina.
Dino meneguk ludahnya sendiri. Matanya berusaha untuk melirik ke arah lain. Lalu ketika dirinya menatap ke arah lapangan, dia kembali menemukan gadis yang tergeletak di lapang tengah menatap ke arahnya. Dino segera menggapai saku celananya, sembari memberitahu, "Di aturan MPLS, Dino dilarang pake aksesoris, termasuk gelang. Tapi Mama gak perlu khawatir, Dino bawa gelangnya, kok."
"Mama khawatir banget sama kamu! Pokoknya kamu harus cuek sama kehadiran mereka! Sebisa mungkin, jangan ikut campur urusan mereka, dan pura-pura gak liat aja!" jelas Bu Dina.
"Mama gak mau, kamu dikatain gil* sama orang yang gak bisa liat mereka, terus dibuli dan dijauhin lagi!" lanjut Bu Dina.
Dino menganggukkan kepala dan membalas, "Dino tahu. Mama tenang aja. Percaya sama Dino."
"Mama percaya sama kamu, Nak. Tapi Mama gak percaya sama manusia-manusia lain. Pokoknya hati-hati!" jelas Bu Dina.
Dino menjawab, "Iya, Ma! Dino ngerti! Sekarang Dino tutup dulu teleponnya, Dino mau ikut upacara dulu."
Panggilan telepon terputus, dan Dino baru bisa mengeluarkan napas panjang. Sejujurnya Dino tak masalah harus menerima kenyataan bahwa dirinya bisa sesuatu yang tak seharusnya terlihat.
Dino sudah berdamai dengan keadaannya. Hanya saja, yang paling tak bisa Dino terima adalah melihat orang tuanya tersiksa karena kemampuan yang Dino miliki. Entah kutukan atau sebuah berkah, tapi Dino tak ingin orang terdekatnya merasa khawatir karena kemampuan yang dimilikinya.
Suara Ketua Osis semakin terdengar di telinga Dino. Itu artinya, dia hampir sampai di tujuannya. Namun, ketika Dino ingin melangkah menyusul peserta didik lain, suara benda jatuh terdengar di depan gerbang sekolah. Dino melirik ke samping, dia melihat seorang pria paruh baya dan pemuda berjaket hitam terjatuh, bersamaan dengan tumpukan buku tua yang beberapa bagiannya dimakan rayap.
"G*blog! Bapak ini ngapain lari-lari di koridor sekolah?! Emangnya ini tempat buat lomba lari maraton?! Pake bawa buku-buku tua segala lagi! Liat, nih! Debunya kena jaket gue!" teriak pemuda dengan papan nama Dikey di seragamnya.
Telapak tangan Dikey menepuk-nepuk jaket miliknya. Dia berdiri sendiri, lalu melirik ke arah teman-temannya yang tengah menahan tawa.
Harsa menebak, "Loh, bukannya dia ini, Bapak-bapak yang selalu bersihin sekolah? Bapak kenapa lari maraton di sini? Kalo mau, lari di lapang aja sana! Sekalian kenalan sama peserta didik baru."
Morgan berjongkok dan menyipitkan matanya. Pemuda tinggi berkulit tan itu membantu pria paruh baya mengambil bukunya, lalu menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. "Udah, udah, namanya juga udah tua. Matanya udah burem. Ya kan, Pak Saka?"
Pak Saka mengangguk, dan Morgan menepuk-nepuk punggung pria itu beberapa kali.
"Gue juga tahu, tapi yang gak gue pahami... kenapa dia lari-lari segala, dan bawa buku-buku tua ini?! Debunya kena jaket gue! Anj*ng!" rutuk Dikey.
Pemuda berkulit putih dengan bola mata berwarna hazel, melirik ke arah debu di jaket Dikey. Varel memberitahu, "Gak usah diperpanjang. Biar gue ganti jaketnya. Lagian lo mau minta apa dari Bapak-Bapak ini? Emangnya dengan lo ngomel, dia bakalan balikin jaket lo seperti semula?"
Dikey mendengkus, sementara Pak Saka berusaha bangkit dengan buku-buku di tangannya. Jemari tangannya bergetar, dia hampir terjatuh, dan Dino dengan sigap langsung membantunya menahan bukunya. "Pelan-pelan, Pak."
Pak Saka melirik ke arah Dino. Dia berbisik, "Terima kasih, " baru kemudian menatap Dikey dengan mata berkaca-kaca. Pria tua itu menjulurkan tumpukan bukunya di depan Dikey, sembari berkata, "Mo... mohon maaf, saya gak bermaksud nabrak Aden. Tapi... tapi... tolong, angkat buku ini ke atas kepala Aden, selama beberapa detik saja. Saya mohon."
Dikey mengernyitkan kening, lalu tertawa. Dia membalas, "Ngapain gue ngangkat-ngangkat buku ini ke atas kepala gue segala? Yang ada rambut gue jadi kotor, Beg*!"
"Jaga mulut lo! Lo seharusnya gak ngomong kayak gitu, sama Bapak ini!" teriak Dino.
Dikey melirik ke arah Dino. Dia menatap Dino dari bawah hingga ke atas, sebelum akhirnya mencengkeram kerah baju Dino. "Diem lo, anak baru. Kalo masih mau sok jadi guru, kehidupan sekolah lo bakalan bermasalah di sini."
"Gue bisa aja bikin lo menderita, di hari pertama lo, sekolah di sini," peringat Dikey.
Dino hampir melayangkan pukulan, dan Pak Saka sudah lebih dulu meminta pada Dikey, "Den, saya mohon! Cuman beberapa menit aja. Ini juga demi kebaikan Aden sendiri. Saya gak mau, Aden kena masalah... karena nyenggol buku tua ini."
Dikey melepaskan cengkeramannya pada baju Dino, lalu tertawa di depan buku tua. Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kena masalah? Cuman karena nyenggol buku tua itu?"
"Aduh, Pak! Saya ini anak muda, gak percaya hal-hal yang Bapak percaya kayak gitu," ucap Dikey.
Varel menebak, "Emangnya apa isi buku itu? Duit? Sertifikat rumah? atau..."
"Tagihan utang Bapak?" tanya Harsa.
"G*blok kok dipelihara?" lanjut Morgan.
Dino tak tahan mendengar ucapan Dikey beserta suara tawa teman-temannya. Dia ingin memukul, tapi Dino masih ingat pesan sang ibu. Akhirnya Dino hanya mencoba menenangkan dirinya, sembari memberitahu, "Apa susahnya ngikutin apa yang dikatain Bapak ini? Lagian lo cuman tinggal angkat bukunya ke atas kepala, kok."
Dikey mengangguk. Jemari tangannya terulur ke buku yang diberikan. Namun, bukannya memberikan buku itu, Dikey malah menyibak bukunya. Sampai buku-buku itu berjatuhan lagi, dan suara tawa teman-temannya terdengar. "Cuman? Lo liat debu yang menempel di buku-buku tua itu? Gimana kalo bukunya mengandung virus dan nempel di kepala gue?"
"Bisa-bisa lo berubah jadi zombi, sih," celetuk Harsa.
Dino menunduk, melihat Pak Saka kembali berjongkok. Pria itu menundukkan kepala, sembari mengusap-usap buku yang telah dibuang Dikey. Dia memberitahu, "Saya udah minta maaf, dan saya juga udah nyaranin Aden buat angkat buku ini. Tapi karena Aden gak mau, saya gak bisa tanggung jawab lagi. Kalo sesuatu terjadi sama Aden."
"Emangnya apa yang bakal terjadi, hah? Gue gak takut apa pun," peringat Dikey.
•••
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰