Nanti Dulu, Om

1
0
Deskripsi

             Ah, memang sulit melupakan cinta yang terlanjur bersemi. Tapi mau bagaimana lagi, cinta itu berubah terlarang saat semua kenyataan disuguhkan di hadapannya.

Kini Aluna terpaksa menikahi om-om yang juteknya bukan main, demi mematahkan cinta yang tak semestinya dari Rangga, laki-laki yang sudah menjadi bagian hidupnya sejak dia kecil.

“Kita akan bercerai setelah Rangga menikah dengan wanita lain.“

Mendengar kalimat Fawas, suaminya, Aluna hanya mencebikkan...

“Lun, secepatnya aku akan nikahin kamu,” ucap seorang laki-laki berkulit putih, mata sipit, khas cindo.

Laki-laki tersebut tersenyum hangat sembari menggenggam erat telapak tangan Aluna. Dia dengan lembut membawa tangan berkulit kuning langsat itu mendekati wajahnya dan kemudian mengecupnya pelan.

Tentu saja perlakuan manis ini langsung membuat wajah Aluna bersemu. “Halah, kamu jangan gombal,” tukasnya manja.

“Kok gombal sih Lun, aku serius,” sahut si lelaki sembari menatap mata Aluna lekat. Dia menyentuh wajah Aluna dengan lembut, mengusapnya perlahan.

“Kita baru jadian satu bulan, mana mung—”

“Tapi kita sudah kenal dari kecil,” sela Rangga, pemuda yang menjadi kekasih Aluna saat ini. Pemuda yang merupakan tetangga, sekaligus pelindung Aluna sejak kecil.

Perbedaan usia mereka yang hanya dua tahun dan ditambah dengan kedekatan mereka yang sudah seperti saudara kandung membuat mereka kerap dikira sebagai adik-kakak oleh orang-orang yang tidak mengenal mereka berdua sedari mereka kecil.

“Aku sudah nggak tahan Al, aku bertahun-tahun memendam perasaanku ke kamu. Kalau aku tidak segera halalin kamu, bisa-bisa kamu disahut orang lain lagi,” monolog Rangga.

“Ya … itu bukan salahku dong kalau aku punya pacar. Kan kamu sendiri nggak ngomong suka atau ngasih kode apa gitu ke aku,” debat Aluna. Gadis dengan kecantikan khas jawa ini memang tidak pernah mau disalahkan kalau menyangkut masalah seperti ini.

“Sebenarnya aku sudah ngasih kode ke kamu, tapi kamunya aja yang nggak peka,” sahut Rangga sambil mencubit pipi Aluna dengan gemas.

Sontak saja Aluna menepuk-nepuk tangan Rangga agar melepakan wajahnya. “Apaan sih kamu, sakit tahu!“ protesnya.

Sedangkan Rangga yang melihat ekspresi masam kekasihnya, bukannya minta maaf tetapi justru tertawa terbahak-bahak.

“Ih …,” decih Aluna yang sebal sembari membuat bibirnya seperti moncong bebek.

Ekspresi Aluna yang menggelikan itu membuat Rangga semakin keras tertawa.

“Mboh lah,” ketus Aluna yang merasa semakin kesal karena ditertawakan lebih keras dari sebelumnya.

“Sudah-sudah, pokoknya hari ini kita akan memberi tahu semua orang tentang hubungan kita,” ucap Rangga yang baru saja reda tertawanya.

Sedangkan Aluna yang baru saja tahu tentang rencana ini pun langsung membulatkan matanya. “Ini serius?“

“Tentu saja, iya. Ini seserius saat aku menghajar mantan-mantan pacarmu,” jawab Rangga sembari menunjukkan senyum semanis madunya.

Langsung saja Aluna memutar bola matanya. “Itu kamu saja yang aneh. Pacar bukan, saudara bukan, eh tiba-tiba saja main mukul anak orang,” sahutnya lalu mencebikkan bibirnya.

Saling meledek dan menjahili adalah interaksi terhangat mereka. Ya, interaksi yang membuat mereka selalu rindu satu sama lain ketika sehari saja tidak bertemu.

“Itu karena aku cemburu, posesif dan tidak rela kamu dicolek orang lain,” cicit Rangga sembari mengacak-acak rambut Aluna.

“Ah, Mas Rangga, kebangetan kamu!“ seru Aluna sembari mengejar Rangga yang sudah lebih dulu berlari menjauhinya.

Kini mereka berdua seperti anak kecil yang berlarian dan saling mengejar di taman itu, seolah tak peduli pada orang di sekitar yang menatap mereka dengan aneh. Yah, jatuh cinta itu memang kerap membegokan otak manusia dan ini salah satu buktinya.

**
Di halaman rumah keluarga Rangga.

     Beberapa jam berlalu. Setelah merasa siap, kini mereka berdua keluar dari dalam mobil Rangga sembari bergandengan tangan.

“Kamu yakin ini?“  tanya Aluna sembari menghentikan langkahnya, padahal mereka berdua baru beberapa langkah menjauh dari mobil Rangga.

“Apa lagi sih yang membuatmu ragu?“ Rangga mengusap wajahnya dengan telapak tangan kirinya.

Sedikit lagi Aluna bertingkah, mungkin saja rasa frustasi akan membuatnya stroke karena terserang penyakit darah tinggi dadakan.

“Nanti kalau mereka nggak setuju gimana?“ Aluna mulai ingin merengek lagi.

Tiba-tiba Rangga melepaskan genggaman tangannya. Dia mengarahkan tangan kanannya untuk menyisipkan anak rambut Aluna  ke telinga dan sesaat kemudian dia menatap wajah Aluna penuh kasih. Namun, siapa sangka hal lain akan terjadi.

“Akhh!“ pekik Aluna ketika dengan cepat tangan tersebut berganti menarik telinganya.

“Jangan banyak alasan, mereka sudah menunggu kita,” ucap Rangga sembari terus menarik telinga Aluna. Hingga membuat gadis yang dicintainya itu berjalan mengikutinya tanpa protes.

         Menit-menit berlalu, kini meraka berdua sudah sampai di ruang keluarga tempat orang tua Rangga dan ibu Aluna berkumpul seperti permintaan Rangga dan Aluna. Dan sementara Aluna masih mengusap-usap telinganya yang sakit, kini Rangga sudah berdehem untuk meminta perhatian semua orang.

“Ma, Pa, Tante,” ucap Rangga memulai kalimatnya, “hari ini aku dan Aluna ingin mengatakan sesuatu.“

Langsung saja ketiga orang yang tadi mengobrol, kini memberikan perhatian penuh pada Rangga dan Aluna yang sedang berdiri di hadapan mereka.

“Aku akan menikahi Aluna,” ujar Rangga.

Seketika suasana di ruangan itu berubah hening. Dua wanita dan seorang pria yang semuanya paruh baya tersebut pun langsung saling memandang ketika mendengar hal ini. Kemudian ….

“Hahaha!“ Pak Tomo, ayah Rangga adalah orang pertama yang tertawa setelah sempat terkejut. Dan kemudian disusul dengan istrinya, Bu Anjani dan juga Bu Rianti, ibu Aluna yang menyusul tawanya.

Rangga pun mengerutkan dahi melihat tanggapan aneh dari orang tuanya. “Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Kenapa mereka malah tertawa? Apakah ada yang salah dengan cara bicaraku?“ batinnya yang penasaran dengan tanggapan tak sesuai ekspektasinya itu.

Sesaat kemudian Aluna mencondongkan tubuhnya ke arah Rangga yang ada di sampingnya. “Mungkin mereka mengira kita  ini sedang membuat lelucon, Mas,” bisiknya.

Rangga yang sekilas melirik Aluna pun kembali mengarahkan pandangannya pada ketiga orang yang ada di hadapan mereka.

“Kami serius,” ucap Rangga sekali lagi.

Seketika tawa ketiga orang tersebut benar-benar berhenti.

“Apa maksudmu, Ngga?“ Wajah Pak Tomo berubah serius kali ini.

“Rangga serius ingin menikahi Aluna,” tegas Rangga.

Seketika Bu Anjani dan Bu Rianti kembali saling menoleh.

“Tidak bisa!“ tolak Bu Rianti sambil berdiri dari sofa yang sedari tadi didudukinya.

Aluna pun terkejut mendengar penolakan langsung dari ibunya. “Kenapa Buk?“ tanyanya.

Dia pikir yang akan menolak pertama kali adalah keluarga Rangga, tapi kenapa ini justru ibunya?

“Kalian tidak bisa menikah.“ Bu Anjani menimpali.

Benar, kini bergantilah Bu Anjani yang melarang hubungan mereka. Dan ketika wanita yang sudah sangat baik pada dirinya dan ibunya itu berbicara,  Aluna langsung tak bisa bersuara. Dia menunduk dalam, harapannya hancur bahkan sebelum berjuang.

Ya, mungkin saja ini karena derajat mereka yang berbeda, itulah yang ada di dalam pikiran Aluna saat ini. Tak salah jika Aluna berpikir seperti itu, dia hanyalah seorang anak pemilik toko kue kecil, lulusan SMP dan bahkan dia adalah seorang yatim sejak lahir.

Ini berbeda jauh dengan Rangga yang adalah seorang anak pemilik restoran besar dan memiliki beberapa cabang. Bahkan, Rangga adalah lulusan universitas Singapura dengan gelar yang tak main-main, mana mungkin bisa disamakan dengan dirinya. Yah, kembali dia sadar perbandingan dirinya dan Rangga sudah ibarat kecoa dan kupu-kupu.

“Tapi Ma, aku sangat mencintai Al,” kekeh Rangga.

Sementara Rangga masih ingin bertahan, kini Aluna sudah beranjak ingin pergi. Namun dengan cepat Rangga menahan tangannya.

“Aku tidak akan menikah jika gadis itu bukan Aluna,” tegas Rangga.

Langsung saja Aluna menarik tangannya. Tetapi semakin kuat dia menarik tangannya, semakin kuat juga Rangga mencengkeram pergelangan tangan Aluna. Hingga akhirnya Aluna pun berbalik.

“Sudah Mas, lepasin tanganku. Aku malu!“ sentak Aluna yang tak bisa lagi mengungkapkan perasaannya saat ini.

“Al, dengarkan Tante,” ujar Bu Anjani sembari melangkah mendekati Aluna, gadis yang sangat di sayanginya semenjak Aluna lahir. Dia selalu menganggap Aluna seperti putrinya sendiri, bahkan sepertinya dia lebih menyayangi Aluna dari pada kedua anak laki-lakinya yang saat kecil kerap membuat masalah.

Aluna kembali menundukkan kepalanya. Dia tak berani menatap mata wanita yang sudah seperti ibu keduanya itu.

“Andaikan bisa aku pasti sudah menjodohkanmu dengan salah satu dari Rangga atau Rendra dari dulu,” lanjut Bu Anjani.

Mendengar hal itu Aluna pun mendongakkan pandangannya. “Apa maksudnya?“ batinnya.

“Kalian berdua bersaudara.“ Bu Rianti menimpali.

“Bersaudara? Apa maksud Tante?“ sahut Rangga dengan cepat.

“Kalian berdua saudara sepersusuan,” beber Bu Rianti.

Langsung saja mata Aluna terbelalak mendengar hal ini. Dia yang tadi sempat menatap ibunya yang masih berdiri di tempatnya, kini berganti menatap kembali Bu Anjani yang ada tepat di depannya.

“Iya Al, dulu Tantelah yang menyusui kamu karena ASI ibumu tak bisa keluar saat itu,” jelas Bu Anjani sembari mengusap wajah Aluna yang saat ini terlihat benar-benar terkejut mendengar semuanya.

“Al, Tante—”

“Anu Tan.“ Aluna memotong ucapan Bu Anjani. “Itu, aku kembali ke toko dulu, aku lupa kalau Bu RT pesan brownis tadi,” ujarnya lalu dengan cepat melangkah meninggalkan ruangan itu.

Sesaat kemudian Bu Rianti pun berpamitan dan segera menyusul Aluna yang sudah kabur entah ke mana.

“Ma, apa sebenarnya ini?“ Rangga yang tadi sempat terdiam pun kembali membuka suaranya.

“Apa yang dikatakan Mamamu itu benar. Kalian ini saudara sepersusuan, tidak bisa menikah,” sahut Pak Tomo sembari mendekati putranya yang terlihat masih tak bisa menerima kenyataan.

“Kamu harus mengerti, Papa dan Mama juga menyayangi Aluna. Dia itu sudah menjadi bagian keluarga ini sejak dia lahir. Kamu harus paham dengan hal ini,” imbuh Pak Tomo sembari menepuk pundak putranya beberapa kali sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu.

Hening, sunyi, senyap kata itu yang bisa menggambarkan suasana ruangan tempat di mana Rangga masih berdiri saat ini. Dia menunduk1 tanpa berbicara satu huruf pun, tenggelam dalam perasaannya yang hancur.

**

        Hari berlalu, kini sudah hampir satu minggu, tepatnya lima hari sejak kejadian penolakan itu Aluna terus bersembunyi. Dia tak membalas satu pun pesan dari Rangga ataupun Bu Anjani. Dia yang biasanya tiap pagi menghantar kue basah untuk camilan Bu Anjani pun, memilih untuk meminta tolong sahabatnya yang melakukan tugas itu.

“Kamu yakin Al, nggak mau ketemu Bu Anjani, kasihan loh dia,” ucap Sania sembari mematikan mesin motornya.

Ya, Sania adalah sahabatnya sekaligus pegawai toko kuenya. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu lengkap cerita kisah cintanya dengan Rangga dan juga segala kebobrokan dalam hidupnya.

“Nggak punya muka aku San buat ketemu Tante,” jawab Aluna dengan lesu. Dia mendesah panjang memikirkan masalah yang entah bagaimana mengakhirinya.

Sania pun turun dari motornya dan kemudian duduk di bangku kosong sebelah Aluna. “Tapi kayaknya dia sedang sakit loh Al, mana dia terus nanyain kamu lagi. Aku jadi nggak enak sendiri,” terangnya.

Kembali desahan panjang yang keluar dari bibir Aluna. “Halah emboh.“  Keluhnya pada nasib.

Di saat Aluna sedang termenung memikirkan masalah yang seolah sulit dipecahkan itu, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang masuk ke halaman toko tersebut. Bahkan Aluna dan Sania sampai meringis mendengar decitan rem yang seperti di loud speaker itu.

“Mbak, gawat!“ teriak pengendara motor tersebut sembari membuka helmnya.

“Gawat apa toh, Pak?“ sahut Sania yang kini melangkah bersama Aluna mendekati Pak Slamet, sopir pribadi Bu Anjani.

“Mas Rangga Mbak, Mas Rangga!“

“Kenapa dia?“ tanya Aluna panik.

“Bunuh diri.“

“Bunuh diri?“ Aluna dan Sania saling menatap.

       

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bukan Wonderwoman
0
0
        Arumi, gadis konyol yang tangguh menjalani pahitnya takdir kini dihianati oleh sang kekasih. Hatinya mungkin terluka, tetapi luka itu tidak sebanding dengan apa yang ibunya lakukan pada dirinya. Wanita yang berprofesi sebagai bos karaoke remang-remang itu dengan egois menukar keperawanan Arumi dengan keselamatan dirinya sendiri.Muak? Tentu saja.  Tapi apa yang bisa Arumi lakukan? Haruskah dia meninggalkan wanita yang dia kenal sebagai ibunya itu? Ataukah dia harus bertahan di tempat penuh hal toxic tersebut?Hah, hidup memang sulit, tapi bukankah selalu ada matahari setelah badai?  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan