MENGEJAR CINTA PERJAKA TUA

13
5
Deskripsi

Kisah cinta seorang tentara berusia 35 tahun dengan gadis berusia dua puluh tahun. Sang gadis yang waktu usia lima tahun pernah berbicara ingin dinikahi sang lelaki namun sang lelaki selalu mengelak dan akhirnya lima belas tahun kemudian mereka bertemu kembali.

sequel dari : Perawan Tua DiKejar Duda (Perwira) apk izzo

Bab 1

Tok.. Tok.. Tok.. 

"Silahkan masuk," jawab yang di dalam. 

"Kamu masuk duluan," ucap gadis bernama Hesti

"Kamu yang masuk duluan," gadis bernama April juga berucap

"Kamu yang masuk," gadis bernama Gendhis juga tidak kalah berucap. 

"Aku takut," kata April. 

"Lhaaa ?!? Kamu pikir aku juga tidak takut apa?" Ujar Hesti. 

"Kalian berdua takut, aku juga takut, jadi gimana dong?" ujar Gendhis. 

"Dis, tumben nyali kamu malah menciut. Mana jiwa bar - bar mu? Healing?" 

"Gila lu ye, Pril. Kalau masalah militer ya nyali ku ciut juga kaleee. Jin dalam tubuhku mendadak kabur."

Mereka bertiga malah heboh sendiri hingga terdengar dari dalam ruangan sampai penasaran hingga membuka pintu ruangannya. Hesti, April dan Gend his sampai terlonjak kaget seorang pria gagah membuka pintu. 

Dengan mengernyitkan keningnya, sempat lelaki ini heran dengan ada tiga gadis belia berdiri di depan pintu ruangannya. Aaah.. Lelaki ini pun ingat bahwa sebelumnya mendapat info dari anggotanya bahwa ada tiga mahasiswi dari salah satu universitas swasta di kota Bandung hendak kuliah kerja mahasiswa atau magang di tempat dinasnya. 

"Siapa yang tadi mengetuk pintu?" Tanya lelaki berseragam dan dua gadis menunjuk pada seorang gadis berkuncir kuda. 

"Hehehe.. Saya pak," jawab Gendhis sambil nyengir. 

"Kalian mahasiswi yang pengen magang di sini, bukan?"

"Iya, pak," jawab ketiganya serempak

"Silahkan masuk, kita ngobrol dulu di dalam."

Ketiga gadis itu langsung masuk dan ketiganya belum berani duduk karena belum dipersilahkan sama yang punya ruangan. 

"Kenapa malah diam, silahkan duduk."

Ketiganya memilih duduk saling mepet di sofa panjang. 

"Jangan pada tegang karena saya tidak makan orang."

Lelaki ini ke arah mejanya untuk mengambil sebuah map lalu duduk bersebrangan dengan ketiga gadis tersebut. 

Membuka map, membaca lembar demi lembar lalu melihat satu - satu gadis yang duduk di depannya. 

"Yang mana April?"

"Saya pak." April mengacungkan ke atas lima jari kanannya. 

"Yang mana Hesti?"

"Saya pak." Hesti pun sama mengacungkan ke atas lima jari kanannya. 

"Yang satu lagi sudah tentu Gendhis, benar begitu?"

"Iya, saya pak."

Lelaki ini memperhatikan Gendhis, serasa pernah ketemu atau melihat Gendhis tapi dia lupa di mana. 

"Saya Mayor Chk Emran Fauzan Harja, S.H., M.H.Saya yang membimbing kalian selama kalian magang di sini."

Ketiganya menganggukkan kepalanya. 

'Buset dah lengkap banget nyebut pangkat, nama panjangnya sampai titlenya," ujar Gendhis dalam hatinya. 

"Kalian bisa panggil saya pak Emran."

"Iya, pak!"

"Baik, pak!"

"Siap, pak!"

Ketiga menjawab tidak kompak membuat lelaki bernama Emran ini tersenyum. 

"Kalian bisa mulai belajar mulai hari ini, pesan saya kalian harus pelajari, pahami dan praktekkan."

Ketiganya menganggukkan kepala, lebih baik menganggukkan kepala daripada jawabannya tidak kompak. 

"Mari ikut saya, kalian memiliki ruangan yang sama dengan anggota saya."

Semuanya berdiri, ketiganya mengikuti Emran dari belakang hingga tiba di sebuah ruangan, dimana ruangan tersebut sudah ada dua wanita dan seorang pria yang menggunakan seragam yang sama dengan Emran namun berbeda pangkat. 

Emran memperkenalkan semua anggotanya pada tiga mahasiswi. "Yang berkumis tipis itu namanya pak Abi, yang jangkung itu namanya pak Riki, sedangkan yang paling cantik di sini itu namanya ibu Sri."

Mereka saling bersalaman

"Kalian sudah resmi menjadi anak didik saya dan anak didik ketiga anggota saya. Sekarang kalian bisa berbaur bersama semua anggota saya, saya harap kalian di sini tidak untuk berleha - leha karena saya tidak suka hal itu, apalagi bergosip, saya lebih tidak suka akan hal itu. Paham?"

"Mengerti, pak!"

"Paham, pak!"

"Siap, pak!"

Kembali ketiganya menjawab tidak kompak, Emran hanya tersenyum tipis. 

"Tanya sama bapak-bapak atau ibu-ibunya apa yang bisa kalian bantu atau kalian lakukan, mereka bukan maksud menyuruh tapi yang pasti agar kalian bisa belajar."

"Paham, pak!" Syukurnya mereka menjawab kompak. 

Emran melihat Gendhis, serasa beneran pernah melihat Gendhis. Kalau tadi hanya menduga - duga kalau kali ini Emran sangat yakin pernah ketemu tapi sayangnya Emran lupa di mana. 

Emran masih sibuk berpikir sampai menggaruk pipinya yang tidak gatal tanpa sadar. 

"Bapak kenapa? Bapak kena kaligata?" Tanya Gendhis. 

Emran pun tersadar saat tiga mahasiswi masih berdiri di depannya, sedangkan anggota sudah pergi entah ke mana. 

"Gendhis... " Panggil Emran karena beneran dia masih penasaran. 

"Siap, pak." Emran tersenyum melihat tingkah anak kecil di depannya. 

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Gendhis berpikir sambil mengelus dagunya. "Euum, saya rasa tidak pernah deh pak."

"Apa kamu punya saudara tentara?"

"Punya, pak."

"Siapa?"

"Om saya, kakak sepupu saya, suami kakak sepupu saya juga ada. Kenapa pak?"

"Kalau boleh saya tahu nama kakak sepupunya siapa?"

Hp Gendhis berdering, Gendhis melihat hp yang dari tadi dalam genggamannya, tertera nama IBU. 

"Pak, boleh saya izin menjawab telepon dari ibu saya?"

"Silahkan Gendhis."

Gendhis pun memilih menjauh dari orang lain, agar bebas bicara dengan ibunya. 

"Kalian bisa mulai belajar dari sekarang, jangan takut untuk bertanya."

"Saya tinggal ke ruangan saya dulu."

"Siap, pak," Hesti dan April menjawab kompak. 

Emran kembali ke ruangannya tapi masih penasaran dengan gadis yang bernama Gendhis itu. Emran hanya menebak satu orang yang Emran ingat karena hanya satu nama Gendhis yang Emran kenal. Tidak kenal betul sih tapi tapi kenal biasa, hanya sekali jumpa. 

Emran termenung di ruangannya, masih menebak - nebak buah manggil siapa itu Gendhis. Emran pun memilih menghubungi sepupunya. 

"Assalamualaikum," sapa sepupu Emran bernama Keenan. 

"Waalaikumsallam, Kee.. " jawab Emran. 

"Tumben nelpon, ada apa gerangan lur?"

"Gue ganggu, gak?"

"Enggak, kenapa?"

"Gue mau nanya serius."

"Masalah apa?"

"Sepupu adek gue itu siapa namanya?"

"Sepupu siapa? Yang mana?" Keenan balik bertanya. 

"Yang itu loh, sepupu bini lu Kee.. " Emran malu nanyanya juga. 

Istrinya Keenan sudah dianggap adik sendiri sama Emran. 

"Yang mana sih? Istrinya Idar? Luna, Lintang, Langit, Hani, siapa lagi yah? Hesa, Juna, Ambar, Gendhis, Sabda, Sapta, aah.. Siapa lagi yah.. Memangnya kenapa sih?" Keenan kan jadi penasaran. 

"Gak papa."

"Kenapa? Lu ketemu sama sepupunya istri gue?"

"Kagak apal gue, gue kan jarang datang ke acara keluarga lu, ke nikahan lu saja sepuluh atau sebelas tahun yang lalu saja gue kagak datang, termasuk datang ke nikahannya Idar juga."

"Makannya cari jodoh jangan kelamaan membujang, ingat itu burung lu keburu karatan."

"Nyumpahin gue?"

"Eh.. Gue bicara fakta. Tapi sungguh gue penasaran, masa lu nelpon cuma nanya sepupunya istri gue sih? Ngomong saja secara jujur deh."

"Kee.. "

"Yo.. "

"Lu tahu Gendhis kan?"

"Ya tahulah, Gendhis anaknya om Bima dan tante Meda. Kenapa? Lu ketemu dengan dia? "

"Bukan, gue ketemu cewek mirip sama itu si Gendhis, tapi gue kagak yakin sih makannya gue nanya."

"Hahahahaa... Gendhis yang ngajak lu nikah dulu? Mati lu kalau beneran itu cewek beneran Gendhis."

"Ah lu, diajak ngomong serius juga."

"Hayo looo... Kalau saja Idar tahu pasti lu habis diledek dia."

"Ya lu jangan ngomong ke Idar lah."

"Gue kirim foto keluarga dulu yah, kebetulan pas lebaran kemarin pada kumpul di rumah mertua gue, nanti gue tandain yang mana Gendhis, lu perhatiin baik - baik anaknya. Gue kirim terus gue kasih waktu lima menit nanti gue telpon lagi."

Tak lama Emran pun menerima kiriman foto dari Keenan. Foto keluarga yang Keenan kirimkan sudah ditandai Keenan yang mana itu Gendhis. 

Emran memelototkan matanya melihat wajah Gendhis. 

"Ternyata bener itu Gendhis, jangan sampai anak itu tahu aku Emran. Pastilah dia tidak tahu bahkan bisa jadi tidak akan ingat secara dia waktu itu berumur lima tahun," gumam Emran sendiri sambil terus menatap foto di layar hpnya. 

Keenan nelpon lagi sepupunya. "Gimana, lur? Pasti benar itu Gendhis kan?"

"Iya," lirih Emran. 

"Huaaaahahaha, jadi gue kudu syukuran nih lur?"

"Syukuran dari hongkong!"


Bab 2

"Makannya cari jodoh biar cepat dapat anak kayak gue, apalagi sekarang istri gue hamil lagi, kembar pula."

"Lu sama Idar beternak anak melulu, kembar pula."

"Ya gimana lagi coba? Gen dari apih sendiri kuat, turunannya banyak yang kembar."

"Lur, berarti kalau gue hitung itu umurnya Gendhis berarti dua puluh tahunan, jarak selisihnya sekitar lima belas tahun. Tapi santai saja lur, jarak umur papah gue dengan maya saja umurnya lebih dari dua puluh tahun."

"Gue mau cari jodoh sendiri deh, tapi gue bingung mau nyari di mana," keluh Emran yang memang sudah putus asa. 

"Ya ela, lur. Banyak yang suka sama elu, kowad banyak suka sama lu kan? Dokter muda apalagi, tinggal main ke rumah sakit deh atau nongkrong di cafe milik emak lu deh, pasti nyangkut lah barang sebiji juga. Elunya yang terlalu banyak milih."

"Au ah." Emran terlalu ogah menanggapinya. 

"Elu normal kan, lur? Lu tidak doyan batang kan, lur?"

"Eh buset, gue masih normal kaleee, gue masih suka cewek"

"Ya makannya kawin lur.. Eh.. Nikah maksudnya. Sudah yang di depan mata saja di embat tidak usah nyari yang lain lagi deh."

"Di depan mata dari hongkong."

"Maksud gue itu si Gendhis saja."

"Bang ke lu ah, jadi dulur bukan menyarankan yang baik."

"Kurang baik apa gue coba? Gue sudah menyarankan Gendhis loh, sudah itu saja lagipula kan sepupunya istri gue ini. Gue juga tahu anaknya baik dan satu lagi.. Kan dia dulu yang ngajak nikah elu. Langsung gas saja, lur."

"Ngomong sama lu itu kagak ada faedahnya."

"Pikirin baik-baik deh apa yang gue katakan, okay lur. Gue tunggu kabar baik dari lu. Sudah ah, gue mau gawe lagi.

"Kee, tunggu bentar.. "

"Apalagi, lur?" Terdengar helaan nafas dari Keenan. 

"Tolong jangan bilang ke Nana yah tentang hal ini."

"Wani piro?" Tantang Keenan. 

"Halah, perhitungan banget sih sama gue cuma masalah gituan."

"Wassalamualaikum." Keenan sudah memutuskan sambungan telepon duluan sebelum Emran menjawab. 

"Waalaikumsallam." 

Emran tidak mau ambil pusing dengan apa yang dikatakan Keenan, lebih memilih melanjutkan kerjaannya. 

Emran keluar ruangan berpapasan dengan Hesti, April dan Gendhis yang sedang membawa berkas di masing-masing tangan mereka. Emran senyum ramah kepada Hesti dan April namun saat ke Gendhis, Emran rasanya kagok banget, Emran hanya bisa tersenyum terpaksa. 

Gendhis menoleh pada Hesti dan April lalu beralih pada Emran, Gendhis merasa tidak diberikan senyum cerah ceria seperti kedua temannya oleh Emran. 

'Apa aku melakukan kesalahan gitu yah?' tanya Gendhis dalam hatinya sendiri. 

"Ayo kalian kembali bekerja biar paham alur di sini," perintah Emran. 

"Siap, pak," jawab Hesti, April dengan semangat namun berbeda dengan Gendhis yang menjawab biasa. 

Emran memperhatikan Gendhis namun Emran enggan ambil pusing karena akan menjaga jarak dengan Gendhis agar Gendhis tidak ingat siapa dirinya.

Emran beranjak pergi ke ruang atasannya sambil membawa laporan, ketiga mahasiswi tadi kembali ke ruangan mereka. 

Jam istirahat sudah tiba. 

"Kalian kalau lapar mau makan bisa ke kantin, kantinnya ada di belakang gedung, atau bisa juga kalau mau cari bakso keluar terus di sebelah kanan ada yang jualan bakso," ujar pak Abi menginfokan kepada semua anak didiknya. 

"Kita ngebakso yuuuuk!" Ajak April dengan semangat. 

Dengan semangat ketiganya keluar area kantor tempat mereka magang ke kedai bakso yang berada di sebelah. 

Setelah selesai makan bakso kembali mereka masuk ke ruangan namun berpapasan dengan Emran yang baru keluar ruangan anggotanya dengan membawa kotak makan. Ketiga langsung tersenyum lalu menyapa Emran, Emran membalas ramah kecuali pada Gendhis. 

Ini kali kedua Gendhis heran dengan perlakuan tidak adil Emran padanya, mau nanya ke dua temannya namun ragu, takutnya hanya perasaannya saja tapi ini kedua kalinya masalahnya. Kan Gendhis jadi bingung. 

"Kalian sudah selesai makan siangnya?" Tanya Emran pada ketiganya namun hanya melihat pada Hesti dan April. 

"Sudah, pak. Kami tadi makan bakso di sebelah," jawab Hesti dengan semangat. 

"Tapi kalian tidak boleh makan bakso tiap hari juga karena tidak baik untuk kesehatan," Emran memberikan nasehat seperti nasehat dari bapak ke anaknya. 

Ketiga anak didik Emran melihat apa yang dipegang Emran. Emran jadi malu dilihat membawa kotak makan bergambar berbie padahal ini hadiah dari ponakannya. Souvenir hadiah saat ponakannya ulang tahun dan Emran kebagian souvenirnya. 

Saking malunya dilihat begitu, Emran langsung pergi gitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi. Sumpah, malunya setengah metong Emran saat ini saat melihat raut wajah anak didiknya tadi. 

"Pak Emran makan siang di sini yah, pak?" Tanya Hesti kepada Sri. 

"Oh itu, bukan makan di sini. Tapi pak Emran baru selesai mencuci tempat makannya lalu ke sini. Pak Emran mah jarang makan di kantin atau beli di luar, beliau lebih sering bawa makan dari rumah."

"Higienis yah orangnya, bu?" Tanya April. 

"Bukan sih, tapi pak Emran suka nyari praktis saja, sama seperti yang lain suka bawa makan dari rumah. Ibu juga gitu kok, kalau jajan tiap hari ya tekor juga, ngirit lah intinya."

Ketiganya mengangguk saja serasa mengerti. 

"Nanti jam satu kita kerja lagi, ibu akan banyak ajarin kalian ilmu peradilan militer, kalian bertiga bisa bantu ibu, pak Abi atau pak Riki sekalian kalian belajar juga. Tapi untuk minggu ini pak Abi dan pak Riki lagi sibuk-sibuknya jadi kalian sama ibu dulu."

Ketiganya mengangguk lagi saja. 

Hingga tidak terasa sudah waktunya pulang. 

"Ayo anak-anak kita pulang. Kalian setiap hari kan ke sini?"

"Iya, bu," April yang menjawab. 

"Berarti kita ketemu lagi besok yah, kita keluarnya barengan saja. Kalian pakai apa ke sini?"

"Kita semua pakai motor, bu," jawab Gendhis. 

Setelah semuanya berada di parkiran motor, begitu juga dengan Sri. 

"Sampai ketemu lagi lusa yah anak-anak, hati-hati di jalan."

"Ibu juga hati-hati di jalan seperti lagunya om Tulus."

Sri pun mulai melajukan motor maticnya meninggalkan parkiran motor. 

"Dis, tumben kamu pakai motor," kata Hesti. 

"Di suruh sama ibu aku, biar tidak dinilai sombong di sini karena anak magang bawa mobil."

"Benar juga yah apa kata ibu kamu, ibu aku juga beri pesan untuk jaga sopan santun di sini," ujar Hesti. 

"Padahal yah, aku tuh kan anaknya sombong masa disuruh tidak sombong rasanya yo ndak bisa aku," ujar Gendhis kemudian terkekeh sendiri. 

"Kumat narsisnya deh. Ayo kita pulang," ajak April. 

Mereka bertiga sudah siap di atas motor masing-masing tapi mendadak terdiam setelah melihat Emran yang hendak masuk ke dalam mobil. 

"Pril, Dis, lihat deh itu pak Emran guantengnya puool yah. Sudah ganteng, gagah, mobilnya pun bukan mobil sejuta umat, itu mobil seharga setengah milyar."

April dan Gendhis menganggukkan kepala mereka setuju dengan apa yang dikatakan Hesti. 

"Pasti beruntung yang jadi istrinya pak Emran," imbuh April.

"Pasti anaknya ganteng sama cantik secara pak Emran gantengnya tak terbatas gitu," Hesti menambahkan. 

Gendhis melihat kedua temannya yang menatap Emran sampai terpana begitu. 

"Laki orang itu woi, jangan ngarep," ujar Gendhis yang ingin menyadarkan kedua temannya. 

"Tapi tidak salah kan kalau menikmati ciptaan sang Kuasa, nikmat mana lagi yang Kau dustakan," ujar Hesti sambil menatap langit. 

"Sudah ah, ayo kita pulang !"

Dan mereka berpapasan dengan Emran di pintu keluar. Emran langsung membuka jendela untuk menyapa tiga anak didiknya. 

"Pada mau pulang yah!"

"Iya, pak," jawab ketiganya dengan semangat. 

"Hati-hati di jalan, sampai ketemu lusa."

Emran melihat tersenyum dan melihat ketiganya bergiliran dari April, Hesti dan saat melihat Gendhis langsung Emran tersenyum dipaksa. 

Gendhis merasakan arti senyuman Emran. 'Kok mereka berdua di senyumin ramah begitu sih? Sedangkan sama aku terlihat dipaksa, apa aku punya salah gitu sama pak Emran?' Gendhis bicara dalam hatinya. 


Bab 3

"Semangat belajar kalian hari ini?" Tanya Riki. 

"Semangat dong, pak," jawab April. 

"Pastinya semangat, pak," imbuh Hesti. 

"Hari ini kita belajar apa, pak?" Tanya Gendhis. 

"Nanti kalian akan hadir di persidangan. Setelah istirahat kalian akan diajarin cara bikin berita acara sidang militer. Kalian bertiga bawa laptop masing-masing kan?" Tanya Riki. 

"Bawa, pak."

"Bagus! Kalau gitu kalian bertiga langsung ikut bapak lihat acara peradilan seperti apa."

"Kita bawa laptop gak, pak?" Tanya April. 

"Tidak usah, kalian bawa buku sama pulpen saja. Catat apa yang kalian pengen catat, gimana prosesnya, alur jalan persidangan, untuk menambah ilmu buat kalian. Takutnya nanti kalian bertiga ditanya sama pak Emran, karena pak Emran itu susah ditebak orangnya. Kalau kalian tidak bisa jawab pertanyaan pak Emran nanti saya yang ngerasa salah."

"Kami ambil buku sama pulpen dulu yah, pak."

"Cepetan yah, bapak tunggu di depan pintu."

Ketiganya dengan cepat mengambil buku dan pulpen di dalam tas mereka. 

"Ayo kita pergi sekarang, sepuluh menit lagi sidang segera dimulai."

Ketiganya berjalan di belakang Riki, berpapasan dengan Emran yang hendak masuk ke ruang sidang sebelahnya. 

"Sudah siap semuanya, pak Riki?" Tanya Emran pada Riki. 

"Sudah, pak."

"Ajarin mereka yah, nanti saya akan tes mereka."

"Siap, pak!"

Ketiganya langsung lemas, apalagi mendengar akan di tes sama Emran. 

"Kalian bertiga harus fokus memperhatikan sidang hari ini," Emran bicara kepada ketiga anak didiknya. 

"Siap, pak!" jawab ketiganya dengan kompak. 

"Kalau gitu saya tinggal yah, saya masuk ke ruang sidang sebelah."

Sebelum berjalan Emran tersenyum pada Hesti dan April, namun tidak pada Gendhis. Emran langsung melengos berlalu begitu saja tanpa menoleh pada Gendhis. 

'Pak, Emran kok gitu sih? Senyum sama Hesti dan April tapi sama aku sama sekali tidak memberikan senyumannya, nengok saja kagak. Memangnya aku salah apa sih? Apa wajahku ada yang aneh? Atau ada upilnya di hidungku?' Gendhis bertanya dalam hatinya. 

"Gendhis, ayo! Kok malah melamun," April yang memanggil Gendhis yang sudah berdiri di depan pintu masuk ruang pengadilan dari tadi karena Gendhis sibuk melamun memikirkan Emran.

Gendhis langsung berlari sampai depan pintu masuk. 

Selama di persidangan, pikiran Gendhis terbagi dua antara mengikuti proses peradilan sama menebak kenapa Emran begitu beda dengannya. 'Kenapa sama aku berbeda sih? Apa sih salah aku?' tanyanya terus dalam hati. 

Setelah selesai menyaksikan secara langsung acara proses peradilan bagaimana, Riki menyuruh ketiga anak didiknya untuk istirahat karena memang sudah jamnya istirahat. 

"Kalian mau makan siang di mana?" Tanya Riki. 

"Makan di sini saja pak, kami bawa bekal makanan dari rumah."

"Oh gitu."

"Bapak makan siang di mana?" Tanya Hesti sekedar basa basi. 

"Saya juga dibekali istri saya tapi ketinggalan, ini saya mau ngambil dulu tadi dititipi di depan. Saya ke bawah dulu yah."

"Ya, pak!"

Tak lama Sri pun datang bersama Abi, datang dengan membawa tumpukan berkas. 

"Kalian baru makan ini?" Tanya Sri. 

"Baru mau, bu. Ibu tidak makan siang?" Tanya Gendhis. 

"Ini ibu juga mau, tapi taruh berkas dulu."

"Saya bantu, bu?" Tawar Gendhis yang sudah mau beranjak dari duduknya. 

"Tidak usah, kalian lanjutin saja makannya. Ibu juga mau makan."

Abi juga makan bersama mereka, makan di meja masing-masing sambil ngobrol ngalor ngidul hingga selesai. 

Ceklek.. 

Pintu ruangan dibuka dari luar, Fajar ketua pengadilan yang membuka pintu. Sri dan Abi langsung berdiri, Gendhis, Hesti dan April pun ikut berdiri. 

"Kalian sudah selesai makan siang?" Tanya Fajar. 

"Sudah, pak!" jawab Sri. 

"Ini tiga mahasiswa magang itu yah?"

"Iya, pak. Ayo anak-anak salaman dulu sama ketua pengadilan," perintah Sri. 

Dengan patuh Gendhis, Hesti dan Sri salaman pada Fajar.

"Siapa nama kalian?" Tanya Fajar. 

"Saya Gendhis, pak!"

"Saya Hesti, pak!"

"Saya April, pak!"

"Saya pak Fajar, ketua pengadilan di sini. Kalian bertiga satu kampus kan?"

"Iya, pak," jawab Hesti. 

"Satu ruangan bertiga?" tanya Fajar kembali. 

"Iya, pak," jawab Hesti kembali. 

"Wah, tidak bisa begini ibu Sri. Mereka bertiga tidak boleh bertumpuk di sini. Coba sebarkan mereka bertiga. Biarkan mereka bertiga berpencar dan saling sharing pengetahuan ke teman mereka. Kalau mereka dalam satu tempat itu berarti hanya dapat ilmu di sini saja, bergaulnya cuma bertiga, pastinya ke mana-mana bertiga terus. Bilang sama pak Emran, satu di sini. Eum.. Gendhis kan?" Fajar menunjuk pada Gendhis.

"Iya, saya Gendhis, pak."

"Kamu di sini. Terus kamu Hesti, benar?"

"Iya, pak."

"Gini saja deh, ibu Sri."

"Siap, pak."

"Ibu Sri atur Hesti dan April ke bagian yang lain yang penting mereka tidak boleh dalam satu bagian, bergabung sama mahasiswa kampus lainnya."

"Siap, pak."

"Ibu koordinasi sama yang lain saja yah, minta acc dulu sama pak Emran."

"Siap, pak."

"Saya tinggal dulu. Gendhis, Hesti dan April, bapak harap kalian bertiga bisa cepat beradaptasi, cari ilmu sebanyak-banyaknya, jangan segan untuk bertanya, di sini tidak akan ada yang ganggu kalian jadi kalian tenang saja. Jika ada yang melakukannya, jangan ragu lapor sama bapak."

"Siap, pak," jawab ketiganya kompak. 

"Tapi kalau kalian di gombalin sama yang di sini jangan baper, oke?"

"Oke, pak," jawab Gendhis. 

"Siap, pak," jawab Hesti dan April. 

Mereka bertiga saling toleh karena tidak kompak menjawab. 

"Oia bu Sri, tolong bilang ke bagian yang lain juga untuk menyebarkan mahasiswa magang lainnya, saya tidak mau ada yang satu kampus hanya berada di dalam satu ruangan seperti mereka bertiga ini, mereka harus mencar. Biar bisa berkomunikasi dengan bagian yang lain dan bergaul dengan anak kampus lainnya."

"Siap, pak. Nanti akan saya sampaikan."

"Bagus, setelah itu suruh setiap kepala bagian menghadap saya yah."

"Siap, pak."

Ketiganya bisa bernafas lega setelah Fajar sang ketua pengadilan pergi. 

"Kalian tenang saja, di sini tidak akan macam-macam kok orangnya, semua pada baik. Ya tapi kami semua tegas, pada disiplin, tidak suka yang lelet, jadi kalau ada marah jangan diambil hati, mungkin karena kerjaan kita ada yang salah tapi di luar kerjaan semuanya baik. Santai saja yah," ujar Sri. 

Ketiganya mendadak diam, agak takut juga sih yang mereka rasakan apalagi harus berpisah. 

Emran masuk ke dalam ruangan, Sri langsung ngobrol dengan Emran membahas apa yang diperintah sama Fajar. 

"Oke, nanti saya yang menghadap langsung ke bagian lain. Biar mereka bertiga hari ini di sini dulu, besok baru Hesti dan April pindah bagian."

"Siap, pak."

Emran beralih melihat ketiga anak didiknya, melihat Gendhis sekilas. "Hesti, April dan Gendhis, setengah jam lagi kalian akan bapak tes atas proses peradilan yang kalian hadiri tadi."

Mendadak ketiga diam ngefreze, terlihat pada tegang. 

"Nanti saya akan panggil kalian. Saya mau ke bagian yang lain dulu."

Ketiga masih terdiam, freezenya belum mencair. Setelah Emran pergi baru freezenya mencair. 

"Bu Sri, memangnya pak Emran galak yah?" Tanya Gendhis pada Sri yang baru saja duduk. 

"Enggak juga ah, galak pada waktu tertentu saja kok."

"Judes gak, bu?" Tanya Gendhis kembali. 

"Gak judes, malah baik, sering nraktir juga."

"Ketus gak, bu? Mahal senyum gak, bu?" Gendhis terus bertanya pada Sri. 

"Gendhis, pak Emran itu baik, tidak judes, tidak galak, tidak ketus namun cuek, senyumnya juga kadang itu juga tapi orangnya baik kok."

"Saya takut, bu. Apalagi saya sendiri di sini."

Sri terkekeh melihat Gendhis yang memang terlihat takut. "Tenang saja, pak Emran tidak bakalan galak, marah, selama kerjaan kita rapih dan benar."

Hesti menepuk bahu Gendhis. "Yang sabar yah bestie," ucapnya. "Fighting." Sambil Hesti mengepalkan tangan kananya, April juga mengikuti. 

Gendhis tetap lemas, bestie. 


Bab 4

Emran datang lagi ke ruangan anggotanya. langsung duduk di kursinya Abi karena Abi pergi ke ruangan lain. 

"Hesti," panggil Emran dari kursinya. 

Hesti yang sedang membaca tulisannya karena takut sama tes yang akan Emran lakukan nanti langsung kaget. "Siap, pak," jawabnya sambil berdiri. 

"Santai saja Hesti, duduk saja tidak usah berdiri."

"Iya, pak." Hesti duduk kembali dengan lemas. Dugaannya pasti tes langsung dilaksanakan sekarang. 

"Hesti, mulai besok pindah ke bagian pelaporan."

"Siap, pak," jawabnya masih lemas. 

"Sudah tahu ruangannya?" Tanya Emran. 

"Sudah tahu, pak. Yang dekat tangga kan, pak?"

"Iya, besok langsung ke sana yah."

"Siap, pak."

"Lalu bagiannya April."

April langsung duduk tegak. "Siap, pak."

"April besok ke bagian ortala yah, sudah tahu ruangannya?"

"Euuum, yang di sebelahnya pengaduan bukan pak?" Tanyanya ragu. 

"Iya, besok langsung ke sana."

"Siap, pak."

"Dan Gendhis."

"Siap, pak." Gendhis duduk tegak sekali. 

Emran menoleh melirik sebentar pada Gendhis lalu melihat kertas yang dipegangnya. "Gendhis tetap di ruangan ini, Gendhis tetap di bawah bimbingan saya," Emran ngomong dengan tegas. 

"Siap, pak."

Gendhis melihat Emran, keningnya mengkerut, ada rasa tak terima di hatinya, seperti merasakan ketidakadilan yang Gendhis rasakan. 

Gendhis merasa kenapa saat ngomong dengan Hesti dan April, Emran menatap keduanya, bahkan ngomongnya sangat halus, sehalus knalpot mobil baru keluar dari showroom. Tapi kenapa saat bicara pada dirinya, Emran terlihat serius dan sama sekali tidak mau menatapnya, bahkan senyum saja tidak. 

Gendhis pengen komplain tapi takut dibilang 'hanya perasaan kamu saja,' kan itu sama saja mempermalukan diri sendiri, harga dirinya bisa push up di jurang paling dalam. 

Jadinya Gendhis terima nasib sajalah. Siap berjuang selama tiga bulan ke depan. 

"Karena Hesti dan April akan pindah bagian jadi tidak perlu saya tes. Hanya Gendhis saja yang akan saya tes." 

Hesti dan April pun bernafas lega, tentram dan damai namun tidak begitu dengan Gendhis. 

Semua yang di ruangan langsung melihat pada Gendhis, mendadak Gendhis tremor. Gendhis mendadak mengalami badan meriang, panas dalam, bibir pecah pecah, curiga gejala sariawan. Gendhis butuh cap kaki lima. 

"Gendhis, ikut saya ke ruangan," perintah Emran begitu tidak bernada, tidak ada iramanya, rasanya hambar.

"Ayo semangat bestie, kamu pasti bisa," April menyemangati Gendhis. 

"Aku mendoakan mu bestie, doa kami menyertaimu," Hesti pun menyemangati Gendhis. 

'Bang ke lah kalian,' gerutu Gendhis dalam hatinya. 

"Ayo Gendhis cepetan, jangan sampai pak Emran menunggu. Nanti pak Emran keluar tanduknya," Sri menakuti Gendhis dan Gendhis pun memang takut beneran. 

"Doakan saya yah, bu. Doakan saya keluar dari ruangan pak Emran masih bernyawa."

"Kamu itu lucu, sana cepetan. Pak Emran tidak suka sama yang lelet."

Gendhis pun langsung berjalan cepat hingga di depan ruangan Emran mengerem tubuhnya. Gendhis melakukan inhale exhale sebelum mengetuk pintu ruangan Emran. 

"Ayo kamu bisa, Gendhis," Gendhis menyemangati dirinya sendiri. 

Tok.. Tok.. Tok.. 

"Masuk," Emran menjawab dengan berteriak dari dalam ruangan. 

Gendhis menongolkan kepalanya terlebih dahulu. 

"Boleh masuk, pak?"

"Silahkan."

Gendhis pun masuk, bingung harus duduk di mana karena belum dipersilahkan. 

"Silahkan duduk, Gendhis." Emran menunjuk kursi yang dihadapannya yang hanya terhalang meja. 

"Saya duduk, pak?"

"Kalau mau tetap berdiri juga tidak masalah," jawabnya dengan ketus tanpa melihat Hasna. 

'Ada yah lelaki macam ginian, ketusnya mit amit dah. Tak pelet juga nanti baru tahu rasa ni orang,' Gendhis ngebatin sendiri. 

Gendhis gugup segugup gugupnya apalagi ruangan Emran begitu dingin karena AC dan ruangannya begitu wangi pula bikin Gendhis dari gugup berubah menjadi tambah gugup. 

"Sudah siap?"

"Siap apa, pak?"

"Menurutmu?"

"Tes, pa." Gendhis senyum terpaksa walau tidak dilihat Emran tetap saja Gendhis senyum. 

Emran mengangkat kepalanya, menatap Gendhis, Gendhis dari tadi menatap Emran, mata mereka saling berpandangan, sayangnya tidak bertahan lama karena Emran yang memutus pandangannya. Emran menatap kertas lagi. 

"Pertanyaan pertama, apa beda peradilan sama pengadilan."

Bagi Gendhis itu pertanyaan gampang untuk di jawab, Gendhis langsung menjawab, "Beda pak."

"Ya apa bedanya?"

"Bedanya di pera sama penga, keduanya ada dilannya tapi bukan dilan yang film," dengan konyol Gendhis berkata begitu. Otaknya tidak berpikiran begitu tapi kenapa ini bibir tidak bisa sinkron dengan otaknya?

Emran langsung menatap tajam Gendhis, Gendhis langsung menelan ludahnya. Tatapannya seperti hendak menelan Gendhis bulat-bulat. 

"Ulangi lagi jawabanmu," nada ucapan Emran sudah naik ke bon cabe level sepuluh. 

Gendhis mendadak lupa mau jawab apa, bahkan dia sendiri lupa tadi menjawab apa.

"Saya tanya sekali lagi, apa bedanya pengadilan dan peradilan?"

Gendhis mendadak pengen nangis, karena Emran nanyanya seperti membentak, padahal ayahnya saja tidak pernah membentaknya. 

"Jawab pertanyaan saya, Gendhis !!!"

"Iii.. Ituuu, pak. Kaalauuu pengadilan itu proses beracaranya sedangkan peradilan itu instansi berbadan hukum," saking takutnya Gendhis salah menjawab karena ketukar jawabannya. 

"Gendhiiis !!!!" Emran melotot pada Gendhis. 

Gendhis menahan nangis. "Iii.. Ituu pak, ketukar jawabannya. Maksud, maksud saya itu pengadilan itu lembaga, instansi badan hukum. Kalau peradilan itu proses beracaranya," Gendhis sendiri ragu benar atau tidak menjawab pertanyaan Emran saking gugup, takut dan pengen nangis. 

Emran memijat keningnya, mendadak kepalanya menjadi nyut nyutan dan saking perasaannya juga nano nano sama Gendhis. 

"Pertanyaan kedua, menurut Gendhis apakah pengadilan militer berhak mengadili warga sipil?"

Sebelum menjawab, Gendhis menghapus air matanya dulu dengan punggung telapak tangannya. Setelah selesai baru Gendhis menjawab, "Hanya warga militer atau TNI saja, pak."

Emran mendorong kotak tisunya ke hadapan Gendhis. "Hapus air matamu, saya tidak suka cewek cengeng, manja, apalagi centil," titahnya dengan nada tidak ada halusnya. 

Gendhis mengernyitkan keningnya karena dia merasa tidak pernah cengeng, manja apalagi centil. 

'Gue pelet juga lu ke dukun beranak baru tahu rasa, kalau perlu lu beranak dalam kubur dah,' Gendhis geram sendiri di dalam hatinya.

"Untuk hari ini cukup sekian pertanyaan dari saya, besok saya akan tes kamu lagi atas apa yang kamu pelajari tiap harinya."

Gendhis mendadak susah bernafas, pengen rasanya pura-pura drama kesurupan kuda lumping tapi tidak mungkin hantu kuda lumping nyasar ke pengadilan militer. Dan lagi pula dia bukan drama queen. 

"Kamu bisa kembali ke ruangan," Emran mengusir Gendhis dan Gendhis sadar diri. 

"Saya pergi pak."

"Hum."

Gendhis dengan lesu keluar ruangan Emran, masuk ke dalam ruangannya. Masuk dengan kepala tertunduk, jalan lesu, lunglai dan bahagia setelah duduk di kursinya. 

Semuanya langsung melihat Gendhis. 

"Gimana, Gendhis? Tesnya bisa menjawab pertanyaan pak Emran kan?" Tanya Sri. 

"Boro-boro, bu. Yang ada saya tegang, gugup duluan. Saya sendiri ragu apa jawab benar atau salah."

Sri pun tertawa. "Nanti juga terbiasa kok, jangan diambil hati atas semua perkataan pak Emran, yah."

Gendhis menangkupkan wajahnya di meja, dia beneran pasrah sama nyawanya selama tiga bulan ke depan. 

Emran membuat dia stres setengah metong. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MCPT Bab 1-4
13
3
Kisah Emran dan Gendhis
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan