“Ada kerajaan di bagian belahan negara timur yang menyebut masa waktu kerajaan mereka sesuai dinasti. Seperti sekarang ini, Dinasti Qing, dalam kekuasaan Kaisar Shunzi. Dengan dibantu panglima kerajaan memimpin wilayah tersebar di daratan Tiongkok, empat di antaranya milik klan konstelasi.”

“Klan Naga Azure di Provinsi Yunnan, Klan Xuanwu di Provinsi Fujian, Klan Harimau Putih di Provinsi Sichuan, dan Klan Phoenix di Provinsi Hunnan. Keempat klan ikut membantu Kaisar melindungi tanah Tiongkok, terutama wilayah di masing-masing alam roh tinggal. Klan juga mengawasi kekuatan gelap yang terkadang menodai binatang ilahi dan menjadikan mereka binatang iblis.”

“Kita menganggap klan konstelasi sebagai pelindung meski jarang terdengar kabar apa yang mereka lakukan di alam roh. Namun, baru-baru ini tersiar kabar mengejutkan dari Klan Phoenix. Pemimpin klan diturunkan dari kursinya secara tidak hormat, digantikan saudara bungsunya. “

Si pendongeng tua berhenti sesaat seraya mengamati pendengarnya terkesiap mendengar kisah yang ia ceritakan. Beberapa berbisik satu sama lain, mungkin tak menyangka klan konstelasi terkuat setelah Klan Naga Azure, berani mengganti pemimpin mereka.

Klan Phoenix terkenal paling lama berganti pemimpin dan itu pun dengan ahli waris -anak sulung pemimpin. Kekuatan penyembuh dan terlahir kembali sudah menjadi pengetahuan umum. Hampir semua orang di kerajaan tahu tentang kultivasi medis terbaik ada pada Klan Phoenix.

“Bukankah itu berita bohong?”

Si pendongeng tua mendongak menatap pemilik suara di sisi kiri penonton. Seorang pria paruh baya dengan hanfu cokelat dan berambut ekor kuda, membalas tatapannya dengan raut tak percaya. “Semua gosip dari klan hampir tidak ada yang jelas sumbernya. Dari mana kamu mendapat kabar itu?"

“Kamu meragukanku?”

“Aku bisa percaya semua ceritamu tapi tidak berkaitan dengan klan konstelasi.”

Si pendongeng tua baru akan membalas lagi kata-kata pria itu, tiba-tiba suara lain menyela menyuruh si pria diam. “Kalau begitu pergilah. Ini malam festival tahun baru binatang ilahi, mengapa repot datang ke sini?”

Pria asing itu hanya tertawa, “apa kamu tahu mengapa sang pemimpin dilengserkan?” Dia mengabaikan sahutan kasar tadi dan tetap tidak mengalihkan perhatiannya ke si pendongeng.

“Ada beberapa kemungkinan,” si pendongeng tua kini mengabaikan pria itu. Semakin ia meladeninya, satu kisah untuk malam ini malah berakhir panjang. “Dugaan yang kita sering dengar kalau sang pemimpin menghianati klan, menjalin hubungan bukan dari kaum Phoenix.”

“Tapi ada juga kabar dia bersekutu dengan kaum binatang iblis,” lanjutnya.

Sekali lagi si pendongeng menjeda kisahnya. Bagian pemimpin klan berpihak dengan kekuatan jahat biasanya disela tak terima beberapa pendengarnya yang mengagumi Klan Phoenix.

“Kelompok itu sudah dilibas seluruh klan konstelasi. Jejak mereka bahkan tak ditemukan lagi sejak perang pergantian dinasti.”

“Lagi pula, mengapa pemimpin Phoenix memihak mereka?”

“Pemimpin Feng sudah mengawasi Provinsi Hunan dan memimpin klan lebih dari 200 tahun. Dia juga berada di perang saat itu.”

Si pendongeng tua sama sekali tidak merespons pertentangan mereka. Ia justru membuka kipas lipat hijau bergambar naga, mengangin-anginkan dirinya sembari mengangguk seakan setuju dengan sanggahan pendengarnya.

“Dugaan kedua terlalu bagus untuk menjadi kenyataan,” dengus pria asing tadi.

“Menurut Tuan, bagaimana lagi harusnya?” Wanita dengan hanfu biru di sebelah pria itu rupanya mendengar ejekan dia.

“Klan Phoenix berafiliasi sebagai penyembuh. Peran mereka dari empat klan sebagai penyokong agar kekuatan jahat tidak menodai pasukan. Lalu sekarang, dugaan pemimpin Phoenix bergabung dengan kaum iblis sama sekali tak masuk akal. Ini seperti kamu ingin obatmu memperparah penyakitmu, bukan menyembuhkanmu.”

“Kalau Tuan mau obat menjadi racun, Tuan bisa menambah dosis bahannya.”

Keduanya berpaling ke sumber suara halus di belakang punggung mereka. Ternyata sosok anak kecil yang ditutupi topi besar sampai menutupi setengah wajahnya. Anak itu juga memakai jubah abu-abu lusuh kebesaran dan dia bertelanjang kaki.

“Atau, Tuan sekalian saja ganti obatnya. Tidak semua berbau medis menyelamatkan nyawa,” tambahnya.

Kening pria itu berkerut. Ucapan si bocah memang benar. Sederhana tetapi jawaban untuk mematahkan argumen dia, sebenarnya cukup sebatas itu.

“Dengar? Anak kecil bahkan tahu melemahkan kata-katamu,” kekeh wanita di sebelah pria itu. Dia mengangguk ke si bocah, entah melihat atau tidak, sebelum pergi ke sisi lain pendengar yang kembali sunyi. Rupanya pendongeng tua itu mulai lagi melanjutkan kisahnya.

“Kamu sepertinya familiar dengan medis,” kata pria itu setelah pulih dari keterkejutannya.

“Aku mengenal sedikit tanaman obat, Tuan.”

“Setidaknya pengetahuanmu tadi membuatmu kenal dengan obat-obatan. Aku kira umurmu sembilan? Delapan?”

“Dua belas tahun, Tuan.”

“Jangan bercanda. Bocah belasan tahun tidak sekecil dirimu,” ucapnya dengan nada geli.

Anak itu tidak menjawab lagi dan dia segera terbatuk merasa tak enak. Besar kemungkinan sesuatu terjadi mengingat penampilan lusuhnya. “Maaf kalau kata-kataku terdengar kasar.”

Dia mengalihkan perhatian kembali ke si pendongeng tetapi kembali menoleh ke anak tadi berniat menanyakan komentarnya tentang kisah sekarang. Sayangnya pria itu tidak menemukan siapa pun. Dia menjauh dari kerumunan, menyapu pandangan sekitar hanya mendapati orang-orang berlalu lalang yang baru kembali dari perayaan di pusat kota.

Pria itu menghela napas pendek. Di belakangnya muncul seseorang berjubah hitam dengan penutup wajah menyisakan dua mata yang terlihat. “Apa Yang Mulia ingin saya mencarinya?”

“Tidak usah, biarkan saja.”

Ling Xifeng mengeratkan topi lebarnya berusaha menutupi sosoknya tidak menjadi perhatian. Dia pergi dari si pendongeng tadi bukan karena pria acak yang menyinggung usianya, tetapi telinganya menangkap suara yang tak asing. Saat ia bergeser sedikit sekedar melirik, Xifeng hampir berjengit mendapati dua pria berbadan kekar dengan banyak bekas sayatan di bahu mereka.

Xifeng buru-buru mengalihkan pandangan, ia tak sempat mengatakan akan pergi ke pria asing di depannya. Lagi pula, terlalu berisiko jika Xifeng meninggalkan jejak meski hanya mengobrol singkat ke orang tak dikenal. Xifeng segera pergi dari sana, menggenggam erat jubah lusuhnya, memastikan tubuh mungilnya tertutup semua.

Dia berbelok begitu melihat gang kecil di antara dua kios makanan. Jalan itu lebih kumuh dari jalan utama. Banyak lubang bergenang air, bau busuk dari sampah makanan dan bunyi tikus berlari menjauhi Xifeng. Walau begitu, bagi Xifeng ini normal. Bahkan mungkin lebih baik dari gubuk kayu tempatnya pernah dikurung.

Xifeng sesekali berbalik ke belakang, memastikan dirinya memang tidak diikuti. Ia terus berjalan, kedua mata cokelatnya kembali tertuju ke ujung gang yang sudah dekat. Namun, sekali lagi Xifeng mendengar sayup-sayup tawa keras bersama seseorang berbicara dengan nada berat.

“Orang-orang itu bodoh, terlalu percaya dan memuja klan konstelasi. Dasarnya saja mereka semua binatang!”

“Kamu hanya iri,” ucap yang lain di sela tawanya.

Langkah kaki Xifeng kini melambat bahkan berhenti. Itu mereka, dua pria penjaga tempatnya ditahan sebagai budak petani. Xifeng mengedarkan mata ke sekeliling, tetapi hanya gerobak penuh sampah dan beberapa tong biru setinggi tubuhnya. Dia membuka tutup setiap tong di situ, kebanyakan berisi penuh air.

Untungnya, keberuntungan memihak Xifeng malam ini. Satu dari mereka ternyata kosong. Xifeng menggeser tong dekat gerobak tadi, memanjat sisi kayu gerobak dengan tutup tong lalu melompat ke dalam tong. Ia menutup bagian atasnya sambil meninggalkan celah.

Sekarang, Ling Xifeng berharap mereka tidak menemukannya atau lebih baik, tidak melewati gang ini. Namun, suara-suara itu justru semakin mendekat.

“Malam tahun baru begini, aku jadi teringat.”

“Bocah yang nyaris lolos dari kita dua tahun yang lalu?”

“Iya. Apa menurutmu dia berniat kabur lagi?”

Xifeng menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan. Kepalanya menunduk, berharap gelapnya gang menutupi kehadiran Xifeng. Mereka benar-benar mengambil jalan tempat dia bersembunyi.

“Seharusnya tidak. Tahun lalu anak itu tidak melakukan apa-apa.”

“Kamu tak akan tahu bagaimana isi pikirannya.”

“Diam. Dia hanya budak.”

“Anak itu memang budak tapi nekat,” balas yang lain dengan tawanya lagi. Suaranya sekarang terdengar serak, mungkin karena tidak berhenti menertawakan rekannya.

“Coba bayangkan. Kita menemukan dia berada di sini.”

Xifeng merasa dua penjaga itu berhenti tepat di tong tempatnya bersembunyi. Ia memberanikan diri mendongak ke atas dan benar, dari celah yang Xifeng sengaja tinggalkan, dia bisa melihat tubuh besar yang hanya memakai hanfu tanpa lengan membelakanginya.

‘Seharusnya aku tidak mendengar kisah tadi,’ gusarnya.

The Revenge - Bab 1