Figuran Hanya Ingin Menonton! - Bab 1

20
16
Deskripsi

“Kalau suatu hari kau ingin menangis, bilang saja. Walau aku tidak janji bisa menghibur, tapi aku bisa ikut menangis denganmu.”

***

Salisha bertransmigrasi menjadi figuran Elora Chantela dalam novel harem favoritnya, usai mengalami insiden pengeboman. Salisha bisa kembali ke dunia asal, dengan syarat tidak mengganggu alur plot asli novel tersebut. Namun, salah satu protagonis pria, Azael Isander, keluar dari jalan cerita dan senang mengganggunya.

"Kenapa kau terus menghindar? Apa aku sudah membuatmu...

                    ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  

                     ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉                                 

"Kau yakin Bibi Andin tidak mencari kita nanti, Kak?”

Salisha mengangkat telunjuknya ke bibir dan menarik lengan Vania, adiknya, pergi dari tempat itu. “Jangan khawatirkan masalah itu. Malam ini ulang tahunmu. Kakak macam apa aku tidak memberimu hadiah?”

“Aku terlalu besar untuk hadiah. Apalagi kau bekerja siang malam untuk kita berdua. Aku tidak se-kurang ajar itu. Satu lagi, umurku 14 bukan empat tahun!” ucap Vania. Namun, Salisha terkekeh mendengar jawaban Vania. Dia melepaskan lengannya dan sebagai gantinya menepuk puncak kepala Vania.

“Sepertinya bertambah umur membuatmu lumayan baik, dek. Baru saja kemarin, bajuku kau pakai dan dikembalikan tanpa dicuci.”

"Jangan begitu, Kak." Salisha melirik Vania dari sudut matanya. Suara Vania merendah hampir berbisik, tetapi dia masih bisa melihat sudut bibir Vania naik.

"Kalau kau memulai drama, hadiahmu hangus malam ini. Kudengar di situ ada kios buku."

"Apa novel kedua Lady Marmoris di sana?" Kening Salisha berkerut mendengar permintaan Vania. "Setahuku, Cassia belum mengatakan apa-apa di website tentang terbitan keduanya."

Salisha menengok ke belakang, memastikan Risa tidak mengikuti mereka. Anak itu paling tidak suka kalau Salisha memanjakan Vania dibandingkan dia. Sebenarnya bukan karena Salisha sering mengabaikan Risa, gadis itu selalu mementingkan dirinya sendiri, main tangan ketika Vania menyinggung perasaannya, bahkan mengadu ke Bibi Andin apa pun itu ketika Salisha dan Vania melakukan sesuatu tanpa dia. Untungnya mereka berbelok dan Salisha menghembuskan napas lega.

"Padahal aku penasaran bagaimana mereka berusaha menarik perhatian Natalie. Sayangnya dia tidak hanya memilih Pangeran Cyrus," ungkit Vania lagi, sembari menggenggam tas selempangnya. Salisha menduga dia akan terus membicarakan novel itu sampai tiba di pasar malam.

"Kau tahu ending mereka di buku pertama jadi jangan mengeluh. Lihat sana, kita mau sampai."

Benar saja, gerbang pasar malam sudah terlihat di ujung jalan. Jarak rumah dan lokasi pasar malam memang tidak begitu jauh dari tanah lapang. Di depan gerbang sudah ada beberapa penjual makanan yang menjajakan jualan mereka. Salisha harus menarik Vania lagi sebelum kaki adiknya itu lari ke salah satu kios.

"Kita beli di dalam saja. Antrean semakin panjang kalau tidak masuk sekarang," serunya. Salisha hampir tertawa dengan anggukan Vania terlihat tidak ikhlas.

Salisha tahu, liburan kecil seperti ini sudah dianggap mewah untuk Vania. Semenjak orang tua mereka meninggal empat tahun yang lalu, Bibi Andin menjaga mereka. Namun, adik dari mendiang ayahnya, memperlakukan Salisha dan Vania seperti pembantu dibandingkan keponakan. Bibi Andin jarang memberi mereka uang, karena itu Salisha melamar kerja paruh waktu di supermarket yang tidak jauh dari rumah. Gajinya cukup untuk keperluan Salisha dan Vania sehari-hari, tetapi Bibi Andin selalu merebut paksa hasil kerja kerasnya itu.

Awalnya Salisha melawan, tetapi Bibi Andin mengancam akan mengusir mereka berdua. Ancaman itu membuat Salisha mengalah. Dia mungkin bisa membiayai keperluan dirinya dan Vania, tetapi urusan tempat tinggal harus Salisha akui dia masih membutuhkan bantuan. Sampai waktu berlalu, Salisha menyelesaikan sekolahnya. Dia segera menemui supervisor-Nya untuk mengambil shift penuh, dengan begitu gajinya naik dan dana tambahan itu setidaknya bisa menyewa kos. Salisha belum memberitahu Vania. Dia berniat memberitahu adiknya itu malam ini, di hari ulang tahunnya. Salisha tahu, Vania ingin pergi dari rumah bibi mereka dan dengan kabar mereka akan pindah tentu menjadi hadiah untuk adiknya.

“Di sana ada pecel sayur, Kak. Kebetulan sebelahnya ada sate.” Vania menunjuk kios ukuran sedang, bertenda biru dan memiliki gerobak hijau dengan tulisan Pecel.

“Lalu?”

“Apa maksudmu ‘lalu’, Kak? Kau lapar begitu pula aku.” Salisha menurut saja ketika Vania menarik tangannya, hampir menyeret dirinya dengan langkah kaki Vania yang cepat.

Untung saja kedua kios bersebelahan itu sedang tidak ada pelanggan. Salisha dan Vania mendapat pesanan mereka lebih cepat dan duduk di bangku dekat air pancuran. Saat makan, Vania mengangkat kepalanya, memperhatikan dari jauh bianglala yang lampunya menyala warna-warni.

Salisha melirik Vania dan mengikuti pandangannya. “Kau mau naik?” tanya Salisha, menoleh lagi ke Vania yang mengangguk. Kedua mata gadis itu berbinar, sangat jelas Vania ingin ke sana.

“Boleh saja,” ujarnya seraya menutup kotak makanan. Salisha meraih kotak milik Vania yang sudah disingkirkan sejak tadi dan beranjak ke tempat sampah terdekat.

“Boleh? Kau serius? Biasanya sering pelit. Ada apa tiba-tiba menjadi murah hati?”

“Kalau kau tidak mau ya sudah. Jangan kecewa loh, malam ini kebetulan hari terakhir.” Salisha mengangkat kedua bahunya dan duduk lagi di samping Vania. “Jangan tarik ucapan begitu mudah! Ayo pergi sebelum ramai.” Vania beranjak bangun, menarik tangan Salisha tidak peduli kakaknya itu baru saja kembali duduk.

Saat bianglala berhenti di puncak, wajah Vania sudah menempel di jendela. Salisha yang melihatnya hanya bisa menggeleng. “Kalau kau lengket ke kaca, make up -mu itu bisa membekas di sana.”

“Tidak ada yang tahu.”

“Tapi aku tahu, Vania ...”

Vania akhirnya menoleh ke Salisha dengan seringai kecil, “Lalu apa kau melapor ke petugas sana? Aku tidak percaya Salisha akan menghianatiku.” Dia menjauhkan dirinya dari jendela dan duduk dengan kaki bersilang menghadap Salisha.

“Kak, tanya dong.” Kening Salisha berkerut mendengar nada familiar darinya. Setiap Vania menggunakan suara itu, pasti adiknya membicarakan novel lagi.

“Apa? Tentang Nona Natalie Marmoris lagi? Perasaan aku yang menyukai novel itu tidak se-fanatik dirimu.”

“Ih ... bukan itu! Yang mau kutanyakan itu, kapan kau memberiku ucapan?” cemberut Vania. Kedua tangannya bersedekap di dada, menanti jawaban Salisha.

“Oh, belum yah?” kekeh Salisha. Dia pindah duduk ke samping Vania, menepuk puncak kepalanya. “Selamat ulang tahun adikku yang bawel. Sudah 14 tahun, tidak terasa kau jadi remaja begini. Aku masih ingat saat kau bocah, mengadu ke ibu setiap kuisengi. Kalau gak berhasil, malah lari ke ayah.”

“Kau memuji atau mengabsen kelakuanku?” Salisha hanya tertawa begitu cemberut Vania semakin dalam. “Jangan merajuk. Kau tahu, aku sudah menyewa kos untuk kita.”

Kedua bola mata Vania melebar. Rasa dongkolnya tadi tiba-tiba hilang sekejap mendengar penuturan dari Salisha. “Bagaimana kau mendapat uang lebih? Apa Bibi Andin tahu?”

Salisha menggeleng. Dia membuka ransel merahnya dan menunjukkan buku tabungan ke Vania. “Aku mengambil jam kerja penuh beberapa minggu lalu setelah hari kelulusan.” Vania meraih buku tabungan itu dan melihat sejumlah angka yang lebih dari biasa dia lihat.

“Seharusnya aku membantumu mencari uang.”

“Jangan. Aku sudah puas mendapat ijazah SMA dan salah satu dari kita harus berhasil setidaknya mendapat gelar sarjana.” Salisha mengambil buku tabungannya lagi lalu menyimpannya ke tas. Dia menoleh ke Vania yang matanya mulai memerah.

“Kenapa kau jadi menangis? Aku membawamu kemari bukan untuk bersedih hati.” Dia membawa Vania ke pelukan dan menepuk punggungnya.

“Aku tidak menangis. Mataku ... hanya berkeringat.” Namun Salisha mendengar sesenggukan Vania dan tertawa pelan.

“Kak...” Vania melepaskan dirinya keluar dari pelukan Salisha dan memegang kedua bahunya

“Hm?”

“Kalau suatu hari kau ingin menangis, bilang saja. Walau aku tidak janji bisa menghibur, tapi aku bisa ikut menangis denganmu.” Salisha mendengus walau akhirnya mengangguk juga.

Bianglala  bergerak lagi dan tak lama kemudian, giliran mereka untuk turun. Salisha mengajak Vania ke kios jajanan yang tentu disetujui gadis itu. “Kau tahu saja aku lapar lagi, Kak.”

Salisha memutar bola matanya dan menarik tangan Vania. “Sesekali tidak masalah. Ayo buruan!”

Ketika mereka hampir sampai ke kios, Salisha dan Vania mendengar suara keras perempuan dari belakang mereka. Dia menoleh dan melihat seorang wanita menunjuk ke kelompok di dekat area bianglala. Salisha dan Vania memang sudah berjalan agak jauh dari wahana itu, namun dia masih bisa melihat samar di antara beberapa pengunjung.

“Mereka punya bom!”

                     ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  

                      ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  ✼  ҉  

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Figuran Hanya Ingin Menonton! - Bab 2
12
10
“Nasibmu terikat dengan yang lain. Dia belum siap pergi, tapi kau bisa menjadi dirinya.” Lalu sebuah cahaya muncul dari sebelah kanannya. “Ini pilihanmu, aku tidak memaksa.”***Salisha bertransmigrasi menjadi figuran Elora Chantela dalam novel harem favoritnya, usai mengalami insiden pengeboman. Salisha bisa kembali ke dunia asal, dengan syarat tidak mengganggu alur plot asli novel tersebut. Namun, salah satu protagonis pria, Azael Isander, keluar dari jalan cerita dan senang mengganggunya.Kenapa kau terus menghindar? Apa aku sudah membuatmu marah?Aku tidak menghindarimu. Sejak awal aku tidak pernah berniat untuk dekat.Bagaimana dengan plot aslinya jika sikap Azael berbeda dengan novel? Apa alur masih bisa diselamatkan dan Salisha dapat pulang?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan