Sudah tiga tahun Orm menyimpan rasa pada Ling-Ling Kwong. Namun, Ling tak pernah membalas perasaannya. Alasannya selalu sama: “Kamu masih terlalu muda, Orm.”
Meski begitu, Orm tak pernah menyerah. Setiap akhir pekan, ia akan berjalan kaki ke rumah Ling yang kebetulan hanya berjarak dua blok dari rumahnya.
Hari itu hari Minggu. Tak ada jadwal kuliah, dan Ling pun sedang libur dari rumah sakit. Suasana pagi masih tenang ketika Orm tiba di depan pintu rumah megah itu.
Tok tok tok.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka pelan, menampakkan sosok Ling dengan wajah lelah namun tetap anggun.
"Ada apa?" tanya Ling dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.
Orm tersenyum kecil dan mengangkat kotak makanan dari tangannya. “Aku masak sendiri. Aku bawakan untukmu.”
Ling menatap kotak itu sejenak. Ia selalu menerimanya, walau Orm tak pernah tahu bahwa makanan-makanan yang ia buat selalu berakhir di tempat sampah tak pernah disentuh sedikit pun.
"Terima kasih," ucap Ling lirih, lalu masuk dan menutup pintu perlahan.
Orm berdiri di depan pintu yang tertutup, diam sejenak. Ia tak terkejut. Sudah terlalu sering ia mengalami hal yang sama.
Namun, ia menggenggam kedua tangannya erat dan berbisik pada diri sendiri, “Aku pasti bisa... Suatu hari, aku akan memenangkan hati phi Ling.”
__
Sementara itu, di dalam rumah yang kini kembali sepi, Ling memandangi kotak makanan yang baru saja diterimanya dari Orm.
"Apakah dia tak pernah lelah...?" gumamnya lirih, seolah bertanya pada udara kosong.
Perlahan, ia berjalan ke dapur tanpa membuka kotaknya. Dengan gerakan tenang namun dingin, ia melemparkan kotak itu ke dalam tempat sampah. Tak ada rasa bersalah, hanya kebiasaan yang terus diulang.
Setelahnya, ia berganti pakaian dan mulai berolahraga. Mengalihkan pikirannya dari sesuatu yang mungkin terlalu rumit untuk dipikirkan.
____
Sementara itu, Orm yang barusan meninggalkan rumah Ling menuruni trotoar dengan langkah pelan. Ia memang selalu datang ke rumah Ling dengan berjalan kaki, karena jaraknya yang tak jauh dari rumahnya.
Sesampainya di rumah, ia langsung masuk ke dalam dan mengambil kunci mobilnya. Ada sesuatu yang mendesak di hatinya sebuah keinginan untuk membuat ulang tahun Ling kali ini berbeda.
Ia menyetir dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang sepanjang jalan. Hingga akhirnya, matanya menangkap papan nama sebuah toko perhiasan yang familiar.
Tanpa ragu, ia memarkir mobil dan masuk.
Di dalam, matanya tertumbuk pada sebuah kalung sederhana liontin perak berbentuk daun kecil yang elegan, tenang, dan tak mencolok. Persis seperti gambaran Ling di hatinya.
Orm tersenyum tipis. “Semoga... kamu menyukainya, meski mungkin kamu tak akan pernah benar-benar melihat aku.”
Dengan harapan yang rapuh namun tetap menyala, ia membayar kalung itu dan menggenggam kotaknya erat di tangannya.
___
Setelah menyelesaikan rutinitas olahraganya, Ling mengikat rambutnya ke atas dan menuju dapur. Ia membuka lemari es, mengambil beberapa bahan segar bayam, brokoli, buncis, dan tahu. Ia memasak dengan cekatan, menghasilkan hidangan sederhana namun bergizi, penuh warna hijau yang menenangkan mata.
Saat makanan siap, ia duduk sendiri di meja makan. Suasana rumah masih sunyi, hanya terdengar dentingan sendok yang menyentuh piring. Tanpa tergesa, ia menikmati setiap suapannya, seolah sedang merawat tubuh dan pikirannya dalam satu waktu.
Usai makan, Ling membereskan meja, mencuci piring-piring, dan mengeringkannya dengan rapi. Rutinitas yang dilakukan tanpa banyak pikiran—hanya gerakan yang sudah terbiasa.
Setelah semuanya bersih, ia menatap jam dinding sebentar. Lalu mengambil tas kecil dan kunci mobil dari atas meja.
"Aku akan ke rumah Freen," ucapnya pelan pada dirinya sendiri satu-satunya suara yang terdengar di rumah itu.
Tanpa menoleh ke belakang, ia melangkah keluar, membiarkan cahaya pagi menjamah wajahnya yang tenang.
__
Setelah membeli kalung itu, Orm pulang ke rumah dengan hati yang dipenuhi harapan. Ia menggenggam kotak kecil berbalut beludru itu erat-erat, seolah takut menjatuhkannya, seolah kotak itu menyimpan lebih dari sekadar perhiasan tapi juga perasaannya selama tiga tahun terakhir.
Sesampainya di kamar, Orm meletakkan kotak itu di atas meja belajarnya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap benda kecil itu dengan senyum yang perlahan muncul di wajahnya.
“Besok… aku akan absen dari kelas,” gumamnya, seperti sedang membuat janji pada dirinya sendiri. “Aku akan datang ke rumah sakit dan memberinya kejutan.”
Ia membuka kotak itu perlahan, memperhatikan kilauan liontin perak yang berbentuk daun. Sederhana, tapi baginya begitu berarti.
Orm menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, masih memandangi kotak itu.
“Aku tidak sabar melihat ekspresi wajah phi Ling saat menerimanya…” ucapnya pelan, senyum kecil bertahan di wajahnya. “Semoga… kali ini dia bisa melihat aku.”
____
Ling sudah tiba di rumah sahabatnya, Freen. Begitu pintu dibuka, Freen menyambutnya hangat dan mereka segera duduk di ruang tamu yang nyaman.
Tak butuh waktu lama sampai pembicaraan mereka mengalir.
“Gadis itu… dia masih saja tidak lelah,” ujar Ling lirih, memandang kosong ke depan. “Setiap hari, tanpa henti, dia mengirimkan makanan untukku.”
Freen mengangkat alis. “Harusnya kau bersyukur, Ling. Masih ada yang mencintaimu dengan setulus itu.”
Ling menggeleng pelan. “Tapi aku tidak suka, Freen.”
Freen menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Lalu, maumu apa?”
“Aku tidak tahu…” Ling menarik napas dalam. “Aku sudah bersikap dingin, menjaga jarak… tapi dia tetap datang, tetap mencoba.”
“Kau tinggal bilang saja terus terang. Atau kalau perlu, tegur atau ancam dia, supaya berhenti,” balas Freen, sedikit kesal.
Ling menghela napas pelan. “Aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Freen, menatap heran.
“Aku sekarang seorang dokter, Freen. Aku belajar menahan emosi, menenangkan pasien, dan tidak mudah marah. Aku sudah terbiasa menjaga sikap.”
Freen mendengus pelan. “Terserah kau saja. Tapi kalau kau benar-benar tidak mau, kasih saja dia ke aku. Aku sih suka manis banget kalau lagi senyum,” ucapnya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Ling memalingkan wajah, merasa geli sekaligus jengah.
___
Senin pagi tiba, langit tampak cerah tanpa awan. Jam menunjukkan pukul sembilan tepat saat Orm terbangun dengan semangat yang berbeda dari biasanya.
Hari ini bukan hari kuliah baginya. Hari ini adalah hari di mana ia berniat memberikan sesuatu yang istimewa sebuah harapan kecil yang ia simpan rapat selama ini.
Setelah mandi dan merapikan diri, Orm memilih pakaian terbaiknya. Ia berdandan dengan rapi dan anggun, memperhatikan setiap detail di depan cermin. Setelah itu, ia mengambil kotak kecil berisi kalung dari atas meja. Tangannya sempat bergetar saat menyentuhnya.
Dengan hati yang berdebar, ia berjalan keluar, masuk ke dalam mobil, dan mulai menyetir menuju rumah sakit tempat Ling bekerja.
Di sepanjang perjalanan, Orm tak henti-hentinya tersenyum. Beberapa kali, ia melirik kotak kecil di kursi sebelahnya, seolah ingin memastikan bahwa hadiah itu masih di sana.
“Hari ini… aku akan melihat senyumanmu karena aku,” gumamnya pelan.
Ia tak tahu apa yang akan terjadi. Tapi untuk kali ini, ia membiarkan harapan mengiringi setiap langkahnya.
___
Di rumah sakit, suasana pagi masih tenang. Di dalam ruangan pribadinya, Ling sedang duduk santai di kursi, menikmati waktu sejenak sebelum mulai memeriksa pasien. Ia tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya bagi Ling, hari itu terasa seperti hari biasa.
Saat ia hendak bangkit dari kursi, terdengar suara ketukan pelan di pintu.
Tok tok tok.
“Masuk,” ucap Ling dengan suara tenang.
Pintu terbuka perlahan, dan di ambang pintu berdiri Orm, mengenakan pakaian rapi dengan senyum yang merekah di wajahnya. Di tangannya, ia membawa kotak kecil berwarna biru tua.
“Selamat ulang tahun, phi Ling,” ucap Orm lirih namun penuh antusias. Ia melangkah mendekat dan menyerahkan kotak itu dengan kedua tangan. “Maaf, aku tidak sempat memasak hari ini… tapi aku ingin memberikan sesuatu yang spesial.”
Ling menatap kotak itu sejenak, lalu menerimanya tanpa banyak ekspresi. Ia hanya mengangguk sedikit.
“Tidak apa-apa. Terima kasih,” jawabnya pelan.
Orm menunggu sejenak, berharap akan ada lebih. Mungkin senyuman kecil. Mungkin pertanyaan tentang isi kotaknya. Tapi tak ada.
“Itu saja?” tanya Orm, suaranya mulai pelan.
“Iya,” balas Ling singkat. “Sekarang kau bisa pergi. Aku harus memeriksa pasien setelah ini.”
Hening sesaat.
Dengan hati yang berat, Orm mengangguk dan perlahan melangkah keluar dari ruangan itu. Pintu tertutup di belakangnya suara lembut, tapi terasa seperti menutup satu harapan.
Orm tidak langsung pulang. Kakinya terasa berat untuk meninggalkan rumah sakit. Meski ruangan itu menutup dirinya dengan dingin, hatinya belum siap menyerah.
Ia berjalan perlahan ke taman rumah sakit tempat yang sepi dan dipenuhi cahaya pagi yang hangat. Angin berembus lembut, menyapu rambutnya yang tergerai.
Sambil melangkah di antara bangku dan pepohonan kecil, Orm bergumam pada dirinya sendiri, lirih namun penuh keyakinan.
“Aku harus semangat… Jangan menyerah, Orm.”
Ia lalu duduk di salah satu bangku taman, menatap langit biru di atasnya. Kotak kosong yang kini tinggal kenangan masih terbayang jelas di benaknya.
Orm tahu, biasanya saat jam istirahat tiba, Ling akan pergi ke kantin bersama Freen. Dan ia berniat menunggu sampai saat itu datang meski hanya untuk melihat sosok yang selalu ia rindukan dari jauh.
Ia tak tahu apakah Ling akan menoleh padanya.
Tapi untuk saat ini, berada sedikit lebih dekat pun sudah cukup.
___
Di sisi lain, di dalam ruangannya yang sunyi, Ling memandangi kotak kecil pemberian Orm yang tergeletak di meja. Tak ada rasa penasaran di wajahnya, hanya keheningan yang menggantung di udara.
Tanpa membuka kotaknya, ia bangkit dari kursi, mengambil kotak itu, dan berjalan ke tempat sampah di sudut ruangan. Dengan gerakan tenang dan wajah tanpa ekspresi, ia menjatuhkannya ke dalam seolah itu hanyalah benda biasa yang tak berarti.
Tak ada keraguan. Tak ada penyesalan. Hanya kebiasaan yang berulang.
Segera setelah itu, ia merapikan jas dokternya dan mengambil file pasien dari meja. Waktunya bekerja kembali.
“Pasien ruang operasi sudah siap,” ujar salah satu perawat dari interkom.
Ling melangkah keluar dengan langkah mantap, membiarkan tugas menyelimutinya, menenggelamkan segala hal di luar ruang operasi. Ia adalah dokter yang andal dan hari ini, sama seperti hari-hari lainnya, nyawa seseorang menunggunya di balik lampu operasi.
___
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Kantin rumah sakit mulai dipadati staf dan pengunjung. Di salah satu sudut, Orm duduk sendirian, tangan menggenggam gelas air mineral yang belum disentuh. Pandangannya kosong, tapi hatinya penuh harap.
Tak lama kemudian, langkah yang sudah sangat ia kenal terdengar dari kejauhan. Ling dan Freen memasuki kantin, tertawa kecil sambil berbincang. Mereka tak menyadari kehadiran Orm di sana, terlalu fokus pada obrolan mereka sendiri.
Ling dan Freen duduk berdampingan, mengambil tempat yang tidak jauh dari tempat Orm duduk. Hanya beberapa meter jaraknya cukup dekat untuk mendengar dengan jelas.
“Gadis itu…” ucap Ling lirih sambil membuka kotak bekal makan siangnya, “dia datang pagi ini, membawakan hadiah ulang tahun.”
Freen menoleh cepat. “Hadiah? Hari ini ulang tahunmu?”
Ling mengangguk pelan. “Aku juga baru ingat.”
“Hadiah apa yang dia bawa?” tanya Freen, penasaran.
“Aku tidak tahu,” jawab Ling santai. “Aku tidak membukanya. Aku langsung membuangnya… sama seperti semua makanan yang selalu dia kirim setiap pagi.”
Freen terdiam sejenak, terkejut. Tapi Ling hanya mengangkat bahu, seperti itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan.
Di sudut ruangan, Orm membeku.
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang pernah ia bayangkan. Matanya mulai basah, dadanya sesak. Ia menggigit bibir, mencoba menahan suara tangis yang nyaris pecah.
“Jadi selama ini… semua yang kubuat dengan sepenuh hati… hanya berakhir di tempat sampah?” gumamnya dalam hati.
Ia menunduk, menatap jemarinya yang gemetar di atas pangkuan.
“Dan hadiah itu… dia bahkan tak ingin tahu isinya. Apakah aku benar-benar tak berarti di matanya?”
Air mata jatuh perlahan ke pipinya.
“Sudah cukup… Mungkin sekarang saatnya berhenti.”
Tanpa suara, tanpa pamit, Orm bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kantin dan dari harapannya sendiri.
Langkahnya cepat, tapi penuh luka. Ia tak menoleh lagi.
Sementara itu, Ling dan Freen masih bercakap, tak pernah tahu bahwa gadis yang mereka bicarakan… duduk tak jauh dari mereka, dan telah pergi dengan hati yang hancur.