Kecelakaan
Ling dan Orm adalah sepasang kekasih. Meski hubungan mereka sering dipandang sebelah mata karena sesama jenis, cinta mereka tetap tumbuh kuat. Ling selalu ada untuk Orm—melindunginya, mendampinginya, dan mencintainya tanpa syarat.
Namun, takdir bermain dengan kejam. Suatu hari, Ling tanpa sengaja melihat Orm bersama seorang wanita tinggi. Detik itu juga, matanya membeku—wanita itu mencium Orm. Dunia Ling seakan runtuh. Hatinya remuk, pikirannya dipenuhi amarah dan kecewa yang tak terbendung.
Tanpa berpikir panjang, Ling melangkah cepat, menghampiri Orm, dan menamparnya. Tangannya gemetar, bukan karena benci, tapi karena hatinya terlalu sakit. Mata mereka bertemu—penuh luka, penuh tanya, dan sayangnya... tanpa penjelasan.
___
Sementara itu, Orm dan Faye sedang duduk di bangku taman, ditemani langit sore yang mulai berwarna jingga. Faye yang mengajak Orm ke taman itu. Awalnya, Orm menolak. Ia khawatir Ling akan salah paham, akan marah. Tapi Faye bersikeras—ini hari terakhirnya di Thailand sebelum ia harus kembali ke London untuk mengurus cabang perusahaannya di sana.
“Temani aku sebentar saja, Nong Orm… sebagai perpisahan,” ucap Faye lembut, menggenggam tangan Orm.
Orm tak kuasa menolak lebih lama.
Beberapa saat mereka hanya diam. Angin sore berhembus pelan. Lalu Faye menatap Orm, matanya sendu, suaranya bergetar.
“Sebenarnya… aku sangat mencintaimu, Nong Orm.”
Orm menunduk, jantungnya berdegup tak karuan. “Phi Faye… aku sudah punya Phi Ling,” bisiknya hampir tak terdengar.
“Aku tahu,” jawab Faye lirih. “Tapi sebelum aku pergi… bolehkah aku menciummu? Hanya sebentar…”
“Phi… aku—” Orm belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Faye sudah menariknya pelan dan membungkam kata-katanya dengan ciuman.
Orm tersentak. Ia melepaskan diri dengan cepat. Tapi semuanya sudah terlambat.
Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Orm membelalak.
Di hadapannya berdiri Ling—dengan mata yang basah oleh air mata dan wajah yang penuh luka. Dunia seakan berhenti. Tak ada suara. Hanya napas yang memburu dan cinta yang retak di udara.
Faye terkejut melihat Ling menampar Orm. Ia berdiri tergesa, menatap Ling dengan mata membelalak.
“Ling… apa yang kau lakukan?” bisik Faye, nyaris tak percaya.
“Diam,” balas Ling lirih, tapi dingin. Suaranya bergetar menahan emosi.
Tanpa memberi waktu untuk menjelaskan, Ling menggenggam tangan Orm dengan kasar. “Sekarang ikut aku,” katanya tegas, namun suaranya terdengar pecah.
Orm terpaku. Pipinya masih terasa panas dari tamparan itu. Tapi lebih dari rasa sakit fisik, yang menusuk adalah tatapan Ling—penuh kekecewaan dan luka.
“phi Ling, tolong… jangan seperti ini…” suara Orm gemetar, tapi Ling tak menjawab. Ia menarik Orm pergi.
“Hei! Kau mau bawa dia ke mana?!” bentak Faye, mencoba menyusul.
Ling menoleh sebentar, matanya tajam. “Dia bukan milikmu,” katanya pelan tapi menghujam, lalu kembali melangkah, menyeret Orm menjauh dari taman yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Begitu sampai di parkiran, Ling membuka pintu mobil dengan kasar. Suaranya dingin dan tajam.
“Masuk.”
Orm terpaku sesaat, hatinya berdebar hebat. Tapi ketika Ling kembali berkata dengan suara lirih namun penuh tekanan, “Masuk, Orm,” ia pun menuruti.
Di dalam mobil, suasana begitu tegang. Tak ada kata, hanya diam yang menyesakkan. Ling menyalakan mesin, lalu melaju. Kencang. Terlalu kencang.
Orm memegang sabuk pengamannya erat. Jantungnya seperti mau lepas.
“Phi Ling… tolong, pelankan mobilnya,” pintanya lirih, penuh ketakutan. Tapi Ling tetap menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Ia tak menjawab, seolah suara Orm tak sampai kepadanya.
Angin malam menghempas kaca jendela, tapi dinginnya tak sebanding dengan hawa di dalam mobil. Orm menunduk, menggenggam tangannya sendiri, mencoba menenangkan diri—tapi rasa bersalah dan ketakutan terus menyesakkan dadanya.
Sesampainya di mansion, Ling menghentikan mobil dengan hentakan tajam. Ia keluar lebih dulu, lalu membanting pintu. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu di sisi Orm dan menarik tangan kekasihnya.
“Masuk,” katanya dengan suara yang serak menahan emosi.
“Phi Ling… kau menyakitiku…” lirih Orm, berusaha melepaskan genggaman itu. Tapi Ling tak menggubris, langkahnya terus maju, menarik Orm ke dalam rumah.
Para maid yang melihat hanya menunduk, tak ada yang berani ikut campur. Mereka tahu amarah Ling sedang membara, dan suasana di dalam rumah itu terlalu pekat oleh ketegangan.
Langkah kaki mereka menggema menaiki anak tangga. Orm merasa seperti ditarik ke dalam pusaran yang tak bisa ia hentikan.
Begitu sampai di kamar, Ling membuka pintu dengan cepat dan mendorongnya masuk. Orm terjatuh ke atas kasur, tubuhnya memantul pelan. Ia terdiam, menahan napas, mencoba membaca isi hati Ling dari sorot matanya.
Ling berdiri di ujung ranjang, dadanya naik-turun karena emosi yang belum mereda. Tatapannya tajam tertuju pada Orm yang masih terduduk di atas kasur, tubuhnya gemetar menahan takut.
Tanpa peringatan, Ling membungkuk dan meraih tangan Orm, seolah ingin mendekatkan diri—bukan dengan kasih, tapi karena amarah yang meledak-ledak di dadanya.
Orm langsung meronta, panik. “Phi Ling… jangan seperti ini. Kau salah paham…” suaranya lirih, hampir putus napas karena rasa takut dan bingung yang bercampur.
Namun Ling tak menjawab. Matanya penuh luka dan kemarahan, seolah semua kata-kata tak mampu menembus badai dalam pikirannya.
“Kenapa, Orm… kenapa kau biarkan dia menciummu?” suara Ling akhirnya keluar, namun pelan dan gemetar. Bukan lagi amarah yang terdengar—melainkan rasa hancur yang menjerit diam-diam.
“Aku… aku tidak tahu dia akan menciumnya,” suara Orm bergetar. “Dia tiba-tiba melakukannya… aku tidak menginginkannya, Phi Ling…”
Ling memejamkan mata, rahangnya mengeras. “Bohong,” bisiknya lirih, seperti menolak kenyataan yang menyakitkan.
Dengan amarah yang belum reda, Ling mendorong Orm perlahan ke atas ranjang hingga Orm terbaring. Tapi kali ini bukan karena nafsu, melainkan karena hatinya remuk, dan pikirannya kusut oleh kecemburuan dan luka.
“Phi Ling… tolong, dengarkan aku…” rintih Orm, suaranya nyaris pecah oleh ketakutan dan kesedihan.
Ia tiba-tiba membungkuk, meraih celana pendek Orm dengan gerakan terburu-buru—emosinya sudah di luar kendali.
“Phi Ling! Jangan… kau salah paham…” lirih Orm, tubuhnya bergerak panik, mencoba menghindar. Ia meronta, mencoba melepaskan diri, tapi Ling tetap dalam pusaran amarahnya.
Ling sudah menurunkan celana pendek orm, ia mulai menyentuh celana dalam milik orm, ia mengelusnya bahkan menusuk nusuk nya .
"Phi.....Ling dengarkan aku....." Orm memohon, tapi Ling tidak peduli dia sudah diambang amarahnya.
Ling mulai membuka celana dalam orm, terlihat begitu indah vagina orm dengan bulu tipis nya.
“Phi...Ling....jangan....”
"Belum... basah," gumam Ling, suaranya pelan dan berat, seolah menyatu dengan bayang malam yang menekan.
Orm menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang tak terucap. "Phi Ling... kau salah paham..." lirihnya, napasnya bergetar,
"Kau harus tau akibatnya...!!" Membuka kedua kaki orm secara paksa dan melebarkannya.
Jari Ling menekan masuk ke vaginanya, cepat, kejam, seolah menguliti harapan yang tersisa.
"Ahhh... sakit...Ling....!" jeritan orm pecah diiringi dengan tangisannya.
Ling menghentakkan jarinya dengan kuatan brutal hingga darah membasahi jarinya.
Ling melepaskan jarinya.
“Oh...shit... padahal aku sudah pernah melakukannya....”
“Kau melakukan nya saat kau belum terangsang aku kesakitan sekarang.”
Orm mulai mendorong tubuh Ling menjauh, suaranya bergetar.
"Kalau kamu nggak percaya sama aku… ya sudah," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Ia meraih celananya yang tergeletak di lantai, lalu memakainya perlahan, seolah setiap gerakan menahan luka yang tak terlihat.
Orm melangkah keluar dari pintu itu—meninggalkan mansion milik Ling dengan tubuh berantakan dan air mata yang tak bisa ia tahan lagi.
Setiap langkah terasa berat, seolah hatinya tertinggal di balik tembok rumah yang dingin itu.
Sementara itu, Ling hanya duduk terpaku, membisu. Tak ada niat untuk menyusul. Hatinya terlalu kacau, pikirannya terlalu penuh.
Orm berjalan menyusuri jalan yang gelap, tubuhnya terasa lemas dan tak berdaya.
Setiap langkahnya bagaikan beban yang tak terangkat. Tiba-tiba, hujan turun dengan deras, disertai petir yang menyambar-nyambar.
Orm yang biasanya takut akan petir, kini hanya diam, terjebak dalam kesedihan yang begitu mendalam. Ketakutannya seolah lenyap, tertelan oleh rasa sakit yang jauh lebih besar dari segala yang pernah ia rasakan.
Di tengah hujan yang semakin deras, Faye melaju dengan mobil hitamnya, tekadnya bulat untuk menuju mansion Ling dan menjelaskan semuanya. Namun, ketika matanya menangkap sosok Orm di jalan, tubuhnya terguncang. Orm berjalan dengan tubuh yang hampir roboh, setiap langkahnya terlihat begitu rapuh, seolah dunia telah menekan seluruh hidupnya."
Faye langsung menginjak rem, terkejut dan cemas, namun sebelum ia sempat berhenti, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju tanpa ampun, menabrak Orm dengan suara mengerikan.
'Orm, awas!' teriak Faye, suaranya pecah oleh ketakutan yang mendalam.
Brakk!!!
Tubuh Orm terlempar ke jalan, tergeletak tak bergerak, tubuhnya dipenuhi darah yang mengalir deras.
Faye terkejut, jantungnya serasa berhenti berdetak sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari keluar dari mobil, mendekati Orm dengan tangan gemetar.
Lihatannya seperti tak ada waktu lagi. Faye segera mengangkat tubuh Orm yang terhuyung, dengan napas terengah-engah, ia membawanya ke dalam mobil dan tanpa ragu menancapkan pedal gas, menuju rumah sakit dengan kecepatan yang hampir tak terkontrol. Setiap detik terasa begitu berharga.
Sesampai di rumah sakit, Orm langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Faye hanya bisa berdiri di luar, mondar-mandir dengan gelisah, hatinya berdebar tak karuan. Ia tahu Orm tak memiliki siapa-siapa, hanya dirinya yang bisa membantu.
Tangan Faye gemetar saat ia meraih ponselnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba menghubungi Ling, tetapi teleponnya tak kunjung diangkat. Rasa cemas semakin menggerogoti pikirannya. Faye mengirimkan pesan dengan cepat, setiap kata penuh harapan, namun tak ada balasan. Hatinya mulai guncang, ketegangan semakin melanda.
Detik demi detik terasa begitu lama, dan ketidakpastian menekan Faye lebih kuat dari apapun.
Faye akhirnya terduduk di bangku rumah sakit yang dingin. Kepalanya tertunduk.
"Kalau saja aku nggak mencium Orm waktu itu... semua ini nggak akan terjadi. Ling pasti salah paham…" pikirnya, menyesal menggulung di dadanya seperti pusaran yang tak berhenti.
Dua jam berlalu seperti mimpi buruk tanpa akhir. Lalu pintu ruang UGD terbuka, dan seorang dokter keluar dengan wajah tegang.
“Pasien sempat kehabisan banyak darah. Sudah kami donorkan... tapi kondisinya masih sangat kritis.”
Faye menatap dokter itu dengan mata membulat penuh teror. Kakinya lemas. Ia jatuh merosot ke lantai, tubuhnya gemetar, dan dadanya terasa sesak seolah seluruh dunia baru saja runtuh di hadapannya.
Tak sanggup menahan rasa bersalah dan penyesalan, Faye akhirnya memutuskan untuk menemui Ling.
Sepanjang perjalanan, air matanya terus mengalir tanpa henti. Tangannya mencengkram erat setir, tapi pikirannya hanya dipenuhi wajah Orm… dan tatapan terakhir Ling sebelum semuanya hancur.
Sesampainya di mansion, Faye menekan bel dengan tangan gemetar. Pintu dibuka oleh seorang maid. Namun sebelum sempat bertanya apa pun, Faye langsung menerobos masuk, membuat sang maid terkejut.
'Nona ! Apa yang Anda lakukan?!' seru maid itu, panik, tapi Faye tidak mengindahkannya. Ia hanya ingin bertemu Ling—sekarang juga, sebelum semuanya terlambat.
"‘Ling! Di mana kamu?!’ teriak Faye dengan suara parau begitu memasuki mansion.
Seorang maid mencoba menghentikannya dengan panik.
‘Nona, tolong jangan berteriak seperti ini—’
‘Ling!’ Faye kembali berteriak, putus asa.
Dari ujung tangga, Ling muncul dengan wajah kusut dan mata sembab, menunjukkan betapa hancurnya ia. Ia menatap Faye dengan dingin lalu perlahan mendekat.
‘Belum cukupkah? Kau sudah ambil dia dariku, dan sekarang apa lagi yang kamu mau?’ bisiknya lirih, suaranya mengandung luka yang dalam.
Tanpa bisa menahan emosi, Faye menampar pipi Ling keras-keras, air matanya jatuh bersamaan.
‘Dengar, Ling… aku nggak pernah berniat merebut dia darimu! Iya, aku memang menyukai Orm, tapi dia menolakku. Hari itu… aku cuma ingin menciumnya, hanya itu. Dan aku tahu aku salah. Tapi aku tidak mencurinya darimu!’ suara Faye pecah, penuh luka dan penyesalan.
Ling menatapnya dengan getir.
‘Kau mencium kekasih orang… tanpa izin. Dan sekarang kau datang ke sini, berharap aku memaafkanmu?’ katanya dingin, hampir berbisik.
‘Keluar dari mansionku sekarang. Kalau tidak, biar satpam yang mengusirmu.’
‘Ling, tolong dengarkan aku!’ Faye berseru, matanya penuh air mata. ‘Orm… dia kritis. Dia ditabrak mobil setelah keluar dari sini. Dia berdarah hebat… dia mungkin…’
‘Aku tidak peduli,’ jawab Ling datar, menyakitkan.
‘Satpam!’ panggilnya dengan suara tajam.
Dua satpam segera datang dan mulai menarik Faye menjauh.
Faye berusaha melawan, berteriak dengan suara putus asa.
‘Ling! Kalau kamu menyesal nanti… jangan salahkan siapa pun selain dirimu sendiri,’ bisiknya lirih, sebelum tubuhnya dihempaskan keluar dari mansion itu.