Part 20
Setelah semalaman tidak pulang, Ling akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia butuh mandi dan berganti pakaian.
Siang itu, matahari bersinar terik, panasnya menyengat jalanan kota. Ling melangkah keluar dari gedung, kacamata hitam bertengger di wajahnya. Tanpa ragu, ia memasuki mobil mewahnya dan menyalakan mesin, melaju menuju rumah orang tuanya.
Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Nama Faye terus berputar dalam kepalanya. Ada sesuatu tentang wanita itu yang mengusiknya—terutama cara Faye memandang Orm.
Apa dia menyukai Orm?
Jantungnya berdebar tidak nyaman. Sebuah perasaan yang jarang ia rasakan—cemburu.
Tapi Ling menepisnya cepat. Tidak mungkin. Egonya terlalu besar untuk mengakui perasaan itu.
Tangannya menggenggam setir lebih erat, sementara mobil terus melaju di bawah terik matahari.
Orm berbaring di tempat tidur rumah sakit, menatap langit-langit dengan tatapan bosan. Ia menghela napas panjang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk selimut.
Keinginannya hanya satu—pulang.
Pikirannya langsung melayang ke Ling. Jika Ling ada di sini, mungkin ia bisa membujuknya untuk memperbolehkannya pulang lebih cepat.
Tanpa berpikir panjang, Orm meraih ponselnya, berniat menelepon Ling. Tapi begitu membuka daftar kontak, ia terdiam.
Ia tidak punya nomor Ling.
Rasa frustrasi langsung menyerang. Bagaimana mungkin seseorang yang terus mengawasinya, mengatur hidupnya, bahkan menentukan kapan ia boleh keluar rumah sakit—tidak meninggalkan satu pun cara untuk dihubungi?
Orm menghela napas kasar, meletakkan ponselnya dengan kesal.
Di saat itu, pintu kamar terbuka, seorang perawat masuk dengan nampan berisi obat dan segelas air putih. "Saatnya minum obat," katanya dengan senyum profesional.
Orm hanya menatapnya dengan ekspresi datar, pikirannya masih dipenuhi dengan satu hal—Ling.
Orm menerima obat itu tanpa banyak bicara, memasukkannya ke mulut lalu meneguk air putih yang diberikan. Setelahnya, ia menyerahkan kembali gelas kosong pada perawat.
Perawat itu hendak berbalik dan keluar dari ruangan ketika suara Orm menahannya.
"Suster, bisa tolong panggilkan Phi Mor Ling?" suaranya terdengar penuh harap. "Katakan padanya aku ingin segera pulang."
Perawat itu menatap Orm sesaat sebelum mengangguk. "Baiklah, saya akan menghubunginya."
Orm menghela napas lega, berharap Ling benar-benar datang dan membawanya keluar dari tempat ini secepat mungkin.
_
Di tempat lain, Ling baru saja selesai makan siang ketika ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar—panggilan dari rumah sakit.
Dengan satu tarikan napas, ia mengangkatnya.
"Halo?"
"Phi Mor Ling, pasien atas nama Orm meminta untuk segera pulang," suara perawat terdengar jelas di seberang.
Ling terdiam sejenak, mengetuk ujung jarinya ke meja sebelum menghela napas panjang. Orm memang keras kepala.
"Baik, aku akan segera ke sana," jawabnya akhirnya.
Tanpa membuang waktu, Ling bangkit dari kursinya. Sebelum kembali ke rumah sakit, ia harus memastikan satu hal—apakah Orm benar-benar sudah siap pulang atau hanya ingin kabur?
Ling mengenakan jasnya dengan gerakan cepat sebelum melangkah keluar. Begitu masuk ke dalam mobil, ia menyalakan mesin dan melajukan kendaraan menuju rumah sakit dengan kecepatan stabil.
Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai hal tentang Orm. Gadis itu keras kepala, tidak suka dikekang, dan jelas tidak betah berada di rumah sakit. Tapi Ling juga tahu satu hal—Orm belum sepenuhnya pulih.
Apa dia hanya ingin kabur dari sini? Atau ada alasan lain?
Ling menghela napas, menekan sedikit gas lebih dalam.
Begitu tiba di rumah sakit, ia langsung berjalan menuju kamar rawat Orm tanpa membuang waktu. Pintu terbuka dengan sedikit kasar, membuat Orm yang sedang berbaring menoleh dengan cepat.
"Aku dengar kau ingin pulang?" Ling bersandar di ambang pintu, menatap Orm dengan ekspresi sulit ditebak.
Orm langsung bangkit dari posisi tidurnya, matanya berbinar penuh harap. "Iya! Aku sudah baik-baik saja, Phi Mor. Aku ingin pulang sekarang!"
Ling berjalan mendekat, tangannya terlipat di dada. "Kau yakin? Atau kau hanya bosan?"
Orm terdiam sejenak sebelum merengut. "Aku sungguhan ingin pulang."
Ling menatapnya lekat-lekat, mencoba menilai apakah Orm benar-benar siap atau hanya mencari alasan.
"Aku akan memeriksa dulu kondisimu," kata Ling akhirnya. "Jika aku melihat ada hal yang mencurigakan, kau tetap di sini sampai aku bilang boleh pulang."
Ekspresi Orm berubah sedikit gelisah, tapi ia tetap mengangguk. Yang jelas, ia harus meyakinkan Ling bahwa ia baik-baik saja.
_
Setelah memastikan kondisi Orm cukup stabil, Ling akhirnya mengizinkannya pulang. Namun, tentu saja, dengan syarat—Ling yang akan mengantarnya sendiri.
Orm awalnya ingin menolak dan mengatakan bahwa ia bisa pulang sendiri, tapi melihat tatapan tegas Ling, ia memilih diam dan menurut.
Ling membawa mobilnya ke depan lobi rumah sakit. Orm, yang masih merasa sedikit lelah, berjalan perlahan menuju kendaraan dengan sedikit enggan. Begitu pintu terbuka, ia duduk di kursi penumpang, menghela napas panjang.
Ling masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, melirik sekilas ke arah Orm sebelum melajukan kendaraan.
"Pastikan kau benar-benar istirahat di rumah," kata Ling tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Jangan berkeliaran."
Orm mendengus kecil, menyandarkan kepalanya ke jendela. "Aku bukan anak kecil, Phi Mor."
Ling meliriknya sebentar sebelum kembali fokus menyetir. "Kalau begitu, jangan bertingkah seperti anak kecil yang keras kepala ingin pulang padahal belum pulih sepenuhnya."
Orm terdiam, memilih untuk tidak membalas. Dalam hati, ia tahu Ling ada benarnya. Tapi tetap saja, ia benci dikurung di rumah sakit.
Saat mobil melaju dalam diam, Ling akhirnya membuka suara. "Rumahmu masih sama seperti dulu?"
Orm terdiam sesaat sebelum menjawab. "Aku sudah pindah."
Ling menoleh sekilas, alisnya berkerut. "Pindah?"
Orm mengangguk. "Iya, sekarang aku tinggal di Jalan Anggrek."
Mata Ling sedikit menyipit, terkejut, tapi ia tetap menjaga ekspresinya tetap tenang. "Baiklah. Tunjukkan jalannya."
Orm mulai mengarahkan Ling melalui jalanan kota yang semakin sempit dan jauh dari pusat keramaian. Semakin mereka mendekati tujuan, semakin Ling merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak rapuh.
Ling menatap bangunan itu dengan pandangan tajam. Dindingnya mulai lapuk, catnya mengelupas, dan pagar besinya berkarat. Atapnya terlihat sedikit miring, dan beberapa bagian tampak seperti sudah bertahan terlalu lama tanpa perbaikan.
Ini… tempat tinggal Orm sekarang?
Ada sesuatu yang mengusik hati Ling. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya diam sambil mengamati sekeliling.
Orm, yang menyadari tatapan Ling, tersenyum kecil, mencoba menghilangkan kecanggungan. "Tempat ini mungkin tidak sempurna, tapi aku sudah terbiasa."
Ling menghela napas, menggenggam setir lebih erat. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Orm tinggal di tempat seperti ini membuat dadanya terasa sesak.
Namun, ia tetap menjaga nada suaranya tetap netral saat berkata, "Pastikan kau mengunci pintu dengan baik setiap malam."
Orm mengangguk, tidak menyadari betapa dalamnya Ling memikirkan semua ini.
Orm membuka pintu dan turun, tapi sebelum sempat menutup pintu, Ling berbicara lagi.
"Kalau ada apa-apa, hubungi aku."
Orm terdiam sejenak sebelum tersenyum kecil. "Aku bahkan tidak punya nomor Phi Mor."
Ling menghela napas, lalu merogoh ponselnya dan mengetik sesuatu. Beberapa detik kemudian, ponsel Orm berbunyi—sebuah pesan masuk.
Ling: Sekarang kau punya.
Orm tersenyum lebih lebar, menatap layar ponselnya sebelum kembali menatap Ling. "Terima kasih, Phi Mor."
Ling hanya mengangguk sebelum kembali menyalakan mesin. "Istirahatlah."
Setelah itu, mobil Ling melaju pergi, meninggalkan Orm yang masih berdiri di depan rumahnya, menggenggam ponselnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.