
Pandu, pria matang yang sudah menduda lama. Tak pernah berpikir untuk menikah lagi, karena hidupnya fokus membesarkan sang putri–Prisa, dan membangun usaha rumah makan.
Suatu saat Pandu bertemu Alvina–sahabat Prisa— yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan bantuan Prisa, Pandu menjerat Alvina agar mau menjadi istrinya. Hingga akhirnya mereka menikah. Namun, sikap Prisa berubah saat Alvina sudah menikah dengan ayahnya. Ia yang merasa sang ayah lebih memprioritaskan Alvina,...
BAB 1
"Pris, bilang ya, sama temanmu itu, dia harus bertanggung jawab! Kedudaan Papa sudah ternoda, dia sudah lihat-lihat aurat Papa. Pokoknya Papa enggak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!" teriak Om Pandu dari depan pintu kamar Prisa, membuatku terperangah hebat.
Apa dia bilang? Aku harus bertanggung jawab?
Oh my God … di sini yang ternoda itu, aku. Mata dan otakku sudah ternoda gara-gara lihat ... ah, aku mengacak rambut frustrasi. Menyesal kenapa datang ke sini.
"Iya, Pa. Tenang aja, Alvina bukan gadis yang suka lari dari tanggung jawab, kok," balas Prisa juga sambil teriak dan diiringi tawanya yang membahana.
Aku melotot kesal ke arah sahabatku itu, tetapi hanya dibalas dengan tawa renyahnya.
"Pokoknya Papa enggak mau tahu, dia harus mau nikahin Papa. Kalau enggak ... Papa akan tuntut sama orang tua dia!" teriak Om Pandu lagi dari celah pintu kamar Prisa yang sedikit terbuka.
Aku semakin terbelalak mendengar ucapan ayah dari sahabatku itu. Dasar duda meresahkan! Dia yang tidak pakai baju, kenapa aku yang di salahkan? Pakai minta tanggung jawab segala. Memangnya aku cewek apaan? Dih, dasar Om-om ... ganteng, sih. Eh, duda meresahkan!
Prisa sudah membuka lagi mulutnya hendak menjawab teriakkan papanya. Namun, aku secepat kilat mengeluarkan jurus bangau lari seribu bayangan. Kuterjang sahabatku itu dengan bantal tepat di wajahnya, hingga ia terjungkal di atas karpet tebal kamarnya ini, dan itu sukses membuatnya bungkam dengan mata melotot. Walaupun akhirnya terdengar lagi tawanya yang menyebalkan.
***
Beberapa saat sebelumnya ….
Hari ini aku dan Prisa sudah janji mengerjakan tugas kuliah bareng. Rumah Prisa sudah deal kami jadikan tempatnya. Entah kenapa tiba-tiba dia mau di rumahnya. Padahal biasanya rumahku yang dijadikan base camp. Dia bilang selalu suka suasana rumahku yang hangat, dan yang terpenting dia suka masakan ibu.
Prisa yang sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, selalu bermanja dengan ibuku. Kalau dilihat sekilas, seolah-olah dialah yang anak kandung ibu, bukan aku.
Dengan memesan ojek online, aku menuju rumah Prisa. Hari masih terlalu pagi memang, karena kami berencana keluar setelah tugas selesai.
Aku menekan bel sebelah kanan pintu bercat putih itu hingga beberapa kali karena tak kunjung ada yang membukakan pintu.
Kemana Prisa? Apa dia belum bangun sesiang ini? Ih, anak gadis kok, bangunya siang. Aku menggerutu.
Aku yang kerepotan membawa buku-buku tebal, kesal karena cukup lama Prisa tak jua membuka pintu.
Tanganku terangkat hendak mengetuk lagi, saat tiba-tiba pintu terbuka dari dalam, dan langsung menyuguhkan pemandangan yang membuat tubuhku panas dingin.
Seorang pria usia awal empat puluhan berdiri di sana dengan tubuh bagian atas tak berpenutup, hanya celana pendek yang menutup tubuh bagian bawahnya.
Keringat terlihat membanjiri seluruh tubuhnya. Aku yakin dia baru selesai berolahraga.
Mataku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Buku-buku tebal yang kupegang tiba-tiba lolos begitu saja dari dekapan karena sendi-sendiku mendadak lemas tak bertenaga.
Ya Tuhan ... oh tidak ... mataku ternoda.
Aku coba menunduk, tetapi sial, mataku malah disuguhi keringat yang mengalir di sela-sela roti sobek pria itu seperti air sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan kaki bukit.
"Cari siapa?" tanya pria itu seraya maju selangkah.
Aku yang kaget refleks mundur juga selangkah.
"Eh, anu ... cari ... saya ... cari keringat, Om." Aku membekap mulutku sendiri yang tiba-tiba menjadi gagap.
Sial! Bicara apa aku ini? Aku memukuli mulut sendiri tanpa sadar.
"Bagaimana?" tanyanya lagi dengan kening berkeringatnya terlihat berkerut.
"Anu Om, saya ... mau cari ... anuan .... roti sobeknya, Om."
Ya Tuhan, ada apa dengan diriku? Bicara apa aku ini? Semakin ngelantur saja. Aku memukuli lagi mulut yang tidak bisa diajak kompromi.
"Roti sobek?" tanyanya lagi dengan heran.
Dia maju lagi selangkah, dan aku refleks mundur lagi dengan mata semakin terbelalak. Ternyata setelah di depan pintu dengan pencahayaan dari matahari, roti sobek dan keringatnya terlihat semakin ... arghhh ... tubuhku semakin panas dingin tak karuan.
Dasar payah, kenapa lihat roti sobek saja aku jadi terhipnotis begini? Alvina, matamu benar-benar ternoda. Matamu sudah tak perawan lagi!
"Al, kamu sudah datang?" Tiba-tiba suara Prisa terdengar nyaring di balik punggung pria itu.
"Ih, Papa apaan, sih? Malah nakut-nakutin temen aku. Sana minggir. Mana enggak pakai baju lagi!" omel Prisa sambil mendorong tubuh pria itu yang menghalangi jalannya.
"Loh, siapa yang nakut-nakutin. Malah Papa yang takut diterkam sama temanmu itu, dari tadi dia lihatin Papa terus, enggak ngedip-ngedip."
Apa?
Mataku semakin membulat mendengar ocehannya. Dia bilang apa?
Terlihat Prisa memajukan bibirnya.
"Iyalah, dia enggak ngedip-ngedip, orang Papa porno begitu," omel Prisa lagi menunjuk tubuh pria itu.
"Masih untung anak orang enggak pingsan lihat Papa yang porno. Kalau pingsan, Papa mau tanggung jawab?"
"Loh, kok, jadi Papa yang harus tanggung jawab, yang ternoda di sini tuh, Papa. Kedudaan Papa sudah ternoda sama dia, jadi dia yang harus tanggung jawab." Lelaki itu menunjuk ke arahku.
What?
Aku semakin terperangah. Kepalaku semakin pusing mendengar perdebatan mereka.
Prisa terdengar berdecak kesal.
"Sudah Al, ayo masuk! Kenapa lama banget sih, aku tungguin dari tadi," ujar Prisa sambil memunguti buku-buku yang tadi terjatuh. Lalu dia menarik tanganku yang masih juga bengong menatap sepasang ayah dan anak yang aneh itu.
"Tunggu, Pris!" seru pria itu lagi. Membuat Prisa menghentikan langkahnya secara mendadak dan sukses membuatku menabrak tubuh Prisa, karena tanganku yang ditariknya.
"Pokoknya ... Papa enggak mau tahu, Papa mau meminta pertanggungjawaban temanmu, ya!" ucapnya lagi keukeuh.
Aku dan Prisa memutar bola mata malas bersamaan.
"Dasar centil!" umpat Prisa kemudian menarik tanganku lagi, membuatku terhuyung-huyung mengikuti langkahnya.
Di belakang, masih terdengar suara tawa pria itu, yang di telingaku terdengar sungguh menyebalkan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰