
Kehadiran Pak Arga membuatnya nyaman, selalu ada saat dibutuhkan bahkan saat tidak dibutuhkanpun ada, bisa tiba-tiba kirim pesan, lagi on the way ke rumah Sisil, menawarkan diri membantu atau mengajak pulang kantor bareng. Dan Sisil merasa membutuhkan Pak Arga untuk berbagi rasa takut dan lelahnya selama mendampingi Mama. Kedua kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing.
Bab 31
Awalnya Sisil tidak menyukai gagasan Mama, meminta Pak Arga mengajaknya jalan-jalan namun kini antusias, bahkan sudah memilih pakaian yang akan dikenakan hari ini sejak semalam.
“Pak Arga keliatan lebih muda hari ini, “ komentar Sisil begitu mereka duduk bersisian dalam kendaraan. Pakaian Pak Arga memang tidak biasanya hari ini, mengenakan kaos oblong putih dipadu dengan jaket dan celana jeans, sneaker berwarna putih. Selama ini Sisil terbiasa melihat Pak Arga dengan setelah kemeja kerja, jika ke rumah mengenakan kaos berkerah, mungkin agar terkesan sopan karena akan mengobrol dengan Papa.
“Biasanya keliatan tua ya?”
“Iya kayak bapak-bapak.” Tentu saja Sisil berbohong karena Pak Arga tidak keliatan seperti bapak-bapak tapi tidak terlihat seperti anak muda juga, tapi terlihat dewasa.
“Masa? Serius Sil?” tanya Pak Arga dengan alis terangkat.
Sisil tertawa puas melihat raut Pak Arga yang sepertinya tidak rela terlihat seperti bapak-bapak.”Ya memang Pak Arga udah tua kan?’
“Kalau usia 30 itu bukan tua Sil, tapi matang.” Pak Arga menyalakan mesin kendaraannya.
Sisil merasa lepas dan bahagia, bagaimana tidak bahagia setelah 3 bulan kegiatannya hanya seputar rumah dan kantor, sesekali ke rumah sakit nganter Mama dan supermarket, hari ini ngemal. Tanpa disadari, sepanjang perjalanan, bibirnya mengulum senyum.
Toko buku jadi tempat pertama yang dituju Sisil karena sudah berbulan-bulan tidak berkunjung ke sana, sejak akhir tahun. Sisil berjalan dengan langkah pelan dari satu rak buku ke rak lain, mengambil satu dua buku, membaca sinopsisnya, jika tertarik akan memasukkan buku itu ke kantong belanja, di belakangnya dengan sabar Pak Arga membuntuti sambil sesekali melakukan hal yang sama dengan Sisil, mengambil buku dan membaca bagian belakangnya, bedanya Pak Arga tidak memasukkan buku ke tas belanja. Sebenarnya Sisil sudah bilang ke Pak Arga agar jangan mengikuti, tapi mencari buku sesuai minat masing-masing, jika sudah selesai kabari lewat telepon dan bertemu. Ya siapa tahu Pak Arga mau cari-cari buku tentang hukum, sedangkan yang dituju Sisil rak buku fiksi, humaniora dan pengetahuan populer.
“Saya ngikutin Sisil aja, kalau Sisil hilang atau nyasar kan repot,” katanya. Alasan yang membuat Sisil mencibir untuk menunjukkan ungkapan Pak Arga tidak membuatnya geer.
Di depan sebuah rak, Sisil menjinjit untuk mengambil buku yang menarik perhatiannya di rak atas, baru tangannya hendak menggapai buku, tangan Pak Arga mendahului.
“Yang ini Sil?” tangannya menunjuk sebuah buku, matanya menatap Sisil yang tengah mendongkak.
Sisil mengangguk. Jarak yang begitu dekat dengan posisi yang mengingatkan pada pelukan itu membuat jantungnya berdebar kencang.
“Sil,” Pak Arga memberikan buku yang tadi diambilnya. Dengan gugup Sisil membetulkan letak kacamatanya sebelum menerima buku itu.
“Ada apa?” tanya Pak Arga.
“Ada apa? Nggak ada apa-apa?”
“Kalau Sisil megang kacamata biasanya karena gugup,” Pak Arga mengulas senyum.
“Siapa yang gugup,” ujar Sisil dengan nada menggerutu lalu membaca bagian belakang buku tapi kemudian meminta Pak Arga mengembalikan pada tempat semula karena bukunya tidak menarik.
Pak Arga membungkukan badannya dan berbisik, “Kalau nggak saya ikuti, susah kan ngambil buku yang di rak atas?” Senyumnya berkembang.
“Ya, nggaklah, tinggal minta tolong petugasnya.”
“Lama Sil, harus dipanggil dulu.”
“Iya deh Pak Arga baik hati,” ujar Sisil.
Pak Arga terkekeh lalu tanyanya,“Sil, itu buku yang mau dibeli?” Menunjuk tas belanja Sisil, terlihat ada 5 buku.
Sisil mengangguk.
”Memang dibaca semua?”
“Ya nggak sekali dibaca.” Bisa berbulan-bulan, bahkan ada buku yang hampir setahun lalu dibeli belum dibaca, masih tersegel plastik. Bahkan ada buku yang setelah 3 tahun terpajang di rak baru dibaca. Memang susah mengendalikan diri membeli buku.
“Enaknya makan dulu atau sholat dulu ya Pak Arga,” tanya Sisil begitu keluar dari toko buku.
“Makan dulu Sil, kalau sholat dulu, lagi sholat malah ingat makan.”
“Oh iya ya.” Sisil tersenyum lebar. “Pak Arga mau makan apa?”
“Ngikutin Sisil aja.”
“Pak Arga dari tadi ngikutin Sisil kayak nggak punya pendirian.”
“Ya udah kita makan Sushi.”
“Nggak akh, Sisil kurang suka.”
“Ayam goreng?”
“Nggaklah kayak anak kecil.”
“Nah kan mending Sisil kan yang tentuin.”
Sisil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, melihat gerai-gerai makanan dan membuatnya bingung memilih karena biasanya jika makan di luar dengan Papa dan Mama, Mama yang memilihkan mau makan di restoran apa. Papa dan Sisil nurut. Kalau sama Bang Zidan, Bang Zidan juga yang memilihkan karena dia tahu mana makanan yang disukai Sisil mana yang tidak. Baru kali ini Sisil merasa payah dan manja.
“Jadi mau makan apa Sil?” tanya Pak Arga setelah keliling beberapa gerai makanan Sisil belum juga mengambil keputusan.
Sisil mengurungkan niatnya untuk berkata terserah Pak Arga, ia harus belajar mengambil keputusan kecil tapi penting. Akhirnya Sisil memilih resto yang menyajikan masakan khas Indonesia, restoran dengan konsep keluarga yang nyaman, modern dengan sentuhan interior Indonesia, salah satu tempat makan favorit Papa, Teras by Plantaran.
“Sisil keliatan happy banget diajak jalan-jalan, padahal kemarin bilangnya nggak mau,” ujar Pak Arga setelah pramusaji berlalu dengan membawa catatan pesanannya.
Sisil tersenyum malu-malu,“Iya deh Pak Arga, makasih ya nganter Sisil jalan-jalan,”ujar Sisil dengan suara setengah berbisik, mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk menghindari tatapan Pak Arga yang bisa membuatnya salah tingkah dan geer. Sisil sadar hubungannya dengan Pak Arga mulai rumit, tidak bisa dibilang bertemankan jika Pak Arga datang setiap minggu, mengirim pesan perhatian seperti mengingatkan untuk hati-hati saat pulang kantor naik KRL, jangan begadang ngerjain editan buku terjemahan dan hal - hal kecil lainnya.
Sementara perlakuan Papa dan Mama seperti pada calon menantu. Tapi Sisil belum siap jika hubungan ini jadi serius, masih ragu, apa Pak Arga benar-benar menyukainya. Apalagi Pak Arga itu lelaki dewasa yang bisa punya banyak intrik untuk merayu gadis muda yang belum pengalaman dalam urusan asmara atau berhubungan dekat dengan lawan jenis. Mengingat juga, bagaimana gesture Raya yang begitu berani menggoda, dia tidak akan begitu kan kalau Pak Arga tidak pernah menggodanya.
Pesanan makanan datang, Sisil menikmatinya dengan fokus karena lapar dan memikirkan hubungannya dengan Pak Arga yang sebenarnya jadi rumit karena ketidakjujurannya pada Mama. Pak Arga juga sepertinya enggan bercakap-cakap sambil makan.
“Pak Arga nggak buru-buru kan? Habis sholat Sisil mau lihat-lihat bandana sama jepit rambut ya. Nggak apa-apa kan?” Sisil menggeser piringnya yang kosong lalu meneguk air minum.
“Nggak apa-apa Sil, mau sampai mal nya tutup juga nggak apa-apa.”
“Pak Arga nyindir ya.”
“Oh nggak, ini serius Sil. Waktu saya hari ini full buat Sisil,” katanya dengan nada sungguh-sungguh.
Sisil mencibir, paling sebel kalau Pak Arga sudah mulai gombal dan bikin geer.
Pak Arga terkekeh melihat ledekan Sisil,”Nggak percaya,” katanya. “Sil, gimana kalau habis lihat jepit rambut lanjut nonton.”
“Nggak akh, kelamaan, nggak enak sama Mama.”
“Minggu depan kita nonton?”
“Boleh kalau ada film bagus.”
Mampir ke toko yang menjual aneka aksesoris, Sisil memilih – milih bandana dan jepit rambut. Karena ada 2 pilihan jepit rambut dan 3 bandana yang membuat bingung Sisil minta pendapat Pak Arga.
“Bagus jepit ini atau ini?” Sisil menunjukkan dua jepit berwarna hitam dan perak dengan mutiara imitasi di telapak tangannya.
Pak Arga menunjuk jepit berwarna perak.
“Yang ini memang nggak bagus?” tunjuk Sisil pada jepit berwarna hitam.
“Bagus.”
“Kalau bagus kenapa Pak Arga nggak pilih ini?”
“Saya lebih suka ini.” Tunjuk Pak Arga pada jepit perak.
“Sisil maunya yang hitam. Tapi bagus kan?”
“Bagus Sil.”
Akhirnya Sisil memilih jepit rambut hitam.
“Bandana ini mana yang bagus?” Ada tiga warna bandana di tangan Sisil, biru, hitam dan abu-abu.
Pak Arga menunjuk warna biru.
“Tapi Sisil mau yang warna abu-abu, bagus kan?”
“Bagus Sil.”
“Kalau bagus kenapa Pak Arga tadi nggak pilih warna abu-abu?”
Pak Arga menghela nafas,”Karena saya lebih suka yang biru, Sisil.”
“Sisil beli yang abu-abu ya.”
“Iya Sil.”
Dengan wajah sumringah Sisil membawa jepit dan bandana pilihannya ke kasir dan membayarnya. Pak Arga yang berada di belakangnya membeli jepit dan bandana yang tidak Sisil pilih.
“Buat siapa?” tanya Sisil setelah transaksi selesai.
“Buat Sisil.”
Sisil menarik Pak Arga hingga menjauh dari kasir, “Ini kebanyakan Pak Arga, nanti Sisil bingung pakenya,” bisik Sisil.
“Bingung bagaimana?”
“Bingung pilih-pilihnya, mau make yang mana.”
“Ya gantian, sekarang pake jepit hitam, besok jepit warna perak, besoknya lagi bandana abu-abu. Gitu lho Sil, kayak baca buku, gantian kan, nggak sekaligus semua buku dibaca saat bersamaan.”
Sisil tersenyum malu, untuk beberapa hal terutama yang bukan menjadi kebiasaan atau sesuatu yang baru, logikanya kadang lama loadingnya. Seperti halnya Sisil tidak pernah bingung memilih beli buku tapi bingung ketika memilih membeli pakaian atau tas, jadi biasanya Mama yang memilihkan, kadang Ka Sophie. Kalau urusan memilih sepatu sneaker, Sisil minta dipilihkan Bang Zidan. Mungkin ini terkait dengan tingkat kepercayaan dirinya yang kurang. Bayangan masa SMP dengan menampilannya yang menyedihkan dan tatapan mengasihani yang ditujukan teman-temannya selalu menjadi bayangan buruk setiap kali bercermin.
“Coba langsung pakai aja jepitnya, Sil.” Pak Arga mengacungkan jepit berwarna perak.
“Kan Sisil lagi pake bandana.”
“Ya dicopot dulu.” Pak Arga menghadap Sisil, tanpa meminta persetujuan mencopot bandana Sisil dan memasangkan jepit rambut.
Jarak yang begitu dekat, dada bidang Pak Arga begitu kentara, wangi parfum yang tercium lebih tajam, tangan yang dengan hati-hati menyentuh kepalanya, membuat jantung Sisil berdetak kencang, wajahnya pun terasa panas karena malu dilihat pembeli lain.
“Nah kan cantik,” ucap Pak Arga setelah selesai memasangkan jepitnya dan menatap Sisil sambil tersenyum.“Ayo kita jalan kemana lagi?” keduanya melangkah keluar toko. Sisil merasa gugup karena merasa beberapa orang masih memperhatikan gara-gara Pak Arga memasang jepit rambutnya.
Sisil melirik Pak Arga yang berjalan di sampingnya, nampak tidak terganggu dengan tatapan orang-orang.
“Sisil, capek ya?”
“Nggak. Pak Arga capek ya?”
“Nggak, udah biasa.”
“Biasa nganter pacar shopping ya? Ngaku aja,” ujar Sisil dengan nada menuduh.
“Dulu.”
“Raya ya?”
“Perlu ya dibahas?” tanya Pak Arga menatap Sisil dengan alis terangkat.
“Pengen tahu aja?” ujar Sisil ketus dan bibir merenggut, sedikit bingung kenapa jadi emosi begini.
Pak Arga menarik tangan Sisil,”Sil, es krim dulu yuk,” Dengan dagunya menunjuk gerai es krim.
Sisil tidak menolak karena tangannya masih ditarik Pak Arga untuk mengikuti langkahnya hingga masuk ke sebuah gerai es krim.
“Kenapa cemberut Sil?” tanya Pak Arga begitu mereka duduk berhadapan dengan cup es krim di meja.
“Nggak.” Sisil menipiskan bibirnya, menyendok es krim dan menyuapnya, rasa manis gula, susu, bercampur coklat yang lumer di mulutnya dengan seketika menurunkan emosi negatifnya karena membayangkan Raya.
“Pak Arga kalau di luar kantor, kayaknya Sisil nggak manggil pake kata Pak lagi deh,” ujar Sisil sambil mengaduk-ngaduk es krimnya.
“Kenapa berubah pikiran Sil?”
“Pak Arga tadi lihat, anak-anak abg yang deket Sisil waktu pilih-pilih jepit, mereka bisik-bisik, dikiranya Sisil pacaran sama suami orang karena manggil Pak Arga.”
Pak Arga tertawa,”Jadi Sisil mau panggil saya apa?”
Sisil mengangkat bahu,”Lagi dipikirin,” katanya lalu menyuap es krimnya lagi.
“Manggil Ayang aja Sil.”
“Idih, lebay,” ujar Sisil dengan hidung mengernyit.
“Lha Sisil kalau ngobrol sama Mirza, manggil saya Ayang,” ujar Pak Arga dengan tawa penuh kemenangan.
“Itu Mirza, bukan Sisil.” Iya itu panggilan Mirza, walaupun sudah dikoreksi berkali-kali bahkan setelah Sisil bilang kalau sudah putus dengan Pak Arga, Mirza tetap menunjuk Pak Arga dengan kata Ayang jika mengobrol dengan Sisil.
Pak Arga tersenyum menggoda, dia menyangga dagunya dengan kedua tangan yang menyiku di meja, menatap Sisil tepat di matanya, membuat Sisil salah tingkah, pipinya terasa panas, membetulkan kacamatanya lalu menunduk, menyendok es krimnya.
“Sil…”
“Ehm,” Sisil mengangkat kepalanya, sebelah tangannya memegang sendok es krim yang terisi.
“Tapi Sisil mau kan jadi Ayangnya Pak Arga?”
Sisil yang hendak menyuap es krimnya tertegun, tatapan mereka bertemu, buru-buru ia menundukkan kepala, memasukkan kembali es krim di sendok ke dalam cup lalu mengaduk-ngaduknya. Sebelah tangannya yang lain membetulkan letak kacamatanya.
“Sil…”
“Ehm,” jawab Sisil tanpa mengangkat kepala. Jantungnya berdebar kencang disertai rasa hangat di hati. Benaknya membayangkan pelukan itu, rasanya begitu nyaman walaupun hanya beberapa detik. Apakah itu artinya ia jatuh cinta pada Pak Arga?
***
Bab 32
Bagian yang paling tidak Sisil sukai dari merawat Mama adalah mengantarnya kemo karena tidak tega melihat raut Mama yang nampak kelelahan dan menahan nyeri setelah kemo. Mama tidak pernah mengeluh tapi terlihat dari gurat di wajah dan tatapan matanya.
Karena jadwal kemo Mama jatuh di hari Sabtu harusnya Ka Sophie yang mengantar tapi dia harus lembur setengah hari untuk menghadapi persiapan audit di kantornya, jadilah Sisil yang mengantar. Papa tidak ikut mengantar karena ada urusan mendadak ke kampus, ada untungnya juga tidak ikut karena kalau ikut malah menjadi beban mental buat Sisil. Gimana nggak jadi beban mental, kondisi Papa malah jadi lebih memprihatikan dari Mama yang menjalani kemo, lebih murung, panikan dan melamun.
Tadinya Sisil akan meminta ditemani teh Lilis tapi tanpa diduga Pak Arga menawarkan diri mengantar. Kemoterapi yang dilakukan Mama rawat jalan, proses kemonya sendiri hanya memakan waktu 3 jam.
Sisil mengenggam tangan Mama yang duduk di tempat tidur dan bersandar pada tumpukan bantal. “Mama nggak apa-apa Sil, hanya perlu istirahat. Sana, temenin Arga,” ujar Mama, mereka baru beberapa menit lalu pulang dari rumah sakit dan seperti biasa jika habis kemo Mama istirahat sesuai anjuran dokter.
“Kalau Mama perlu apa-apa, panggil Sisil ya,” pesan Sisil sambil melepaslan genggaman tangan Mama.
“Iya, bentar lagi juga Mama tidur, obatnya mulai bereaksi, ini mulai ngantuk.”
“Sisil tinggal ya Ma,” pamit Sisil lalu keluar kamar dan menghampiri Pak Arga yang duduk menunggu di ruang tengah. Sisil menghela nafas, menautkan jemarinya di pangkuan, setelah duduk di sebelah Pak Arga.
“Kenapa?”
“Nggak kenapa-napa.” Sisil mengangkat bahu, membetulkan letak kacamatanya.
“Yakin, nggak mau cerita?” tanyanya dengan tatapan yang menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh.
“Ngobrolnya di teras belakang yuk.” Ajak Sisil dan langsung disetujui Pak Arga
Di teras belakang keduanya duduk di kursi panjang. Setelah beberapa kali menghabiskan waktu dengan Pak Arga di sini ia jadi tahu kenapa Papa dan Mama suka menghabiskan waktu di sini, karena rasanya menenangkan mendengar suara gemericik air dari kolam dan mata serasa dimanjakan ketika melihat ikan koi berwarna-warni bergerak ke sana-kemari.
“Capek pura-pura kuat di depan Mama. Sisil pengen meluk Mama tapi takut nangis. Kalau nangis pasti Mama ngira Sisil masih manja dan cengeng.” Sisil mengerjap-ngerjapkan matanya yang terasa perih.
Pak Arga mengusap kepala Sisil.
“Sisil nggak cengeng kok. Peluk Mamanya sebentar aja, jadi tangisnya ketahan. Kalau mau lama, boleh peluk Abang.”
Sisil menepuk lengan Pak Arga dengan mata melotot dan direspon dengan kekehan.
“Maaf ya Bang, kita jadi nggak jadi keluar,” ujar Sisil setelah tawa Pak Arga reda. Rencananya Sisil dan Pak Arga Minggu ini akan makan di luar tapi karena di rumah tidak ada Papa dan Ka Sophie, terpaksa dibatalkan. Sebenarnya Mama tidak keberatan ditinggal karena ada Mak Unah tapi Sisil merasa tidak enak hati. Senin sampai Jumat, Mama ditemani Mak Unah karena Sisil dan Papa kerja, masa saat libur sama Mak Unah juga.
“Nggak apa-apa Sil, kan bisa besok atau minggu depan. Eh atau kita nonton di laptop aja Sil.”
Sisil menyetujui ide Pak Arga, ia ke kamar mengambil laptop.
“Abang mau minum apa?” tanya Sisil setelah menyalakan laptop.
“Kopi boleh. Eh Sil, ini passwordnya?” tanya Pak Arga ketika Sisil berajak menuju dapur untuk membuat minuman.
“sisil123”.
“Nggak apa-apa Abang buka? Nggak ada rahasia?”
“Nggak cuma file-file kerjaan. Kalau laptop Abang banyak rahasianya ya?” Sisil menghentikan langkah dan menoleh.
“Rahasia pekerjaan Sil, bukan yang lain.”
Tak lama Sisil kembali dengan nampan berisi minuman dan potongan kue. Keduanya duduk bersila, bersisian di teras belakang, di depan laptop yang diletakkan di meja. Setelah berdiskusi beberapa menit akhirnya disepakati menonton film dengan tema pilihan Sisil, film dengan tema kriminal. Sebenarnya Pak Arga ingin film romance walaupun sebenarnya dia tidak suka film romance, katanya biar berasa pacarannya aja.
“Makasih ya Bang, udah repot-repot nganter Mama, jadi kita nggak kemana-mana.”
Pak Arga mengangguk, mengusap kepala Sisil lalu mendaratkan kecupan dipelipisnya.
“Ih Abang, kalau ketahuan Mama gimana?”
“Ya nggak apa-apa, paling disuruh cepet-cepet nikahin Sisil.”
Pada akhirnya Sisil mengangguk ketika beberapa waktu lalu Pak Arga mengulang perkataannya jika dia menyayangi Sisil dan ingin menseriusi hubungan mereka. Bukan keputusan spontan, Sisil perlu berminggu-minggu bahkan lebih dari sebulan memikirkannya. Bagaimanapun Bang Zidan masih lekat di benaknya, walau tidak lagi berdoa agar Bang Zidan menjadi jodohnya, tapi kadang berkelabat khayalan, ia dan Bang Zidan bisa bersama dan tidak merasa berdosa membayangkan hal itu karena Bang Zidan belum menikah. Sisil tahu seharusnya ia mengenyahkan khayalan itu dan fokus pada realita. Realitanya, Bang Zidan tidak memiliki perasaan yang sama, buktinya, Bang Zidan tidak pernah mengungkapkannya secara langsung atau berusaha mendapatkan hatinya seperti Pak Arga.
Sementara kehadiran Pak Arga membuatnya nyaman, selalu ada saat dibutuhkan bahkan saat tidak dibutuhkanpun ada, bisa tiba-tiba kirim pesan, lagi on the way ke rumah Sisil, menawarkan diri membantu atau mengajak pulang kantor bareng. Dan Sisil merasa membutuhkan Pak Arga untuk berbagi rasa takut dan lelahnya selama mendampingi Mama. Kedua kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing.
Menyukai Pak Arga itu mudah selain karena secara fisik menarik, sikapnya juga baik, maksudnya di luar yang pernah Sisil lihat di acara tahun baru. Bisa jadi kan yang dikatakannya tentang tahun baru itu jujur. Mungkin masa muda Pak Arga tidak selurus Bang Zidan, mungkin dulunya dia badung dan sekarang sudah berubah. Sisil jadi ingat Farid teman SMAnya yang badung.
Sisil juga jadi ingat Andri, teman kuliahnya yang katanya playboy, lelaki paling tampan di angkatannya, ke kampus mengendarai Suzuki Jimny generasi terbaru, mobil keren dan terlihat macho, perempuan yang duduk di kursi penumpangnya selalu berganti-ganti, kabarnya semua perempuan tercantik di fakultas bahasa sudah dia taklukan. Ya mungkin Pak Arga dulunya seperti Farid atau Andri.
Dan seperti yang pernah Pak Arga bilang, jika akan menjalaninya tanpa terburu-buru tapi Sisil tetap merasa harus mempertanyakan kesungguhan Pak Arga.
“Sil, kalau saya main-main nggak mungkin sering datang dan ngobrol sama Papa Sisil. Nggak mungkin ngenalin Sisil ke Oma dan kita sekantor, kalau main-main taruhannya pekerjaan, karir saya.” Pak Arga menghentikan kegiatan melempar pelet ke kolam ikan koi, ditatapnya Sisil lekat untuk menunjukkan kesungguhan. Mereka tengah duduk berhadapan di tembok kolam ikan koi. “Kalau main-main buat apa setiap minggu ke sini.”
Pengakuan yang membuat Sisil terharu dan hatinya menghangat.
“Tapi Bang, Sisil nggak suka lho waktu Abang dipegang dan diusap-usap Raya.” Masih membuatnya tergidik mengingat bagaimana Raya mengusap bahu Pak Arga dengan gerakan menggoda.
“Saya juga nggak suka Sil, itu kan di luar dugaan, nggak bisa marahin dia depan publik. Ya lain kali kalau ketemu Raya, menghindar.”
“Dia memang suka begitu ya, pegang-pegang Abang?” tanya Sisil dengan ekspresi lugu namun membuat Arga risih jadi memilih tidak menanggapi.
“Kenapa Abang putus sama Raya?”
“Sil, kayaknya lebih enak membicarakan masa depan daripada masa lalu.”
“Iya sih, tapi Sisil pengen tahu, kenapa orang pacaran lama akhirnya putus, Sisil kan belum pernah pacaran. Mama cerita kalau kenal Papa setahun terus nikah,” ujar Sisil, matanya menatap ikan koi yang berenang kesana-kemari.
“Ya, karena kami tidak cocok. Salah satunya karena dia publik figure, suka jadi bahan pembicaraan media, sedikit banyak, akan terbawa-bawa kalau kami terus bersama.” Pak Arga menepuk tangannya, membersihkan sisa pelet ikan yang masih menempel lalu memberi isyarat jika dia akan mencuci tangan di keran yang tak jauh dari kolam ikan.
“Mba Astrid? Abang akrab banget ya?” tanya Sisil ketika Pak Arga sudah kembali duduk di sisinya.
“Ya, akrab sebagai teman, di luar kantor kami jarang bertemu atau sengaja bertemu kecuali urusan pekerjaan. Nggak ada yang perlu Sisil khawatirkan,” Pak Arga mengulurkan tangan, menyelipkan anakan rambut Sisil yang tertiup angin hingga menjuntai di depan matanya.
“Abang belum cerita tentang orang tua Abang.”
Pak Arga menghela nafas,”Ayah dan Ibu masing-masing sudah menikah lagi. Ayah di Bandung dan memiliki anak. Ibu menikah lagi dengan orang Belanda dan tinggal di sana. Abang tidak tahu kabarnya. Bulan depan kalau Sisil ada waktu kita ke Bandung, Abang kenalin ke Ayah.”
Sisil mengusap punggung telapak tangan Pak Arga dengan tatapan iba, ia tidak bisa membayangkan bagaimana seorang anak tidak tahu kabar Ibunya dan sebaliknya.
“Masa sedihnya sudah lewat Sil.” Pak Arga mengulas senyum tipis. ”Sekarang maunya disayang Sisil,” Ungkapan yang membuat Sisil merona hingga tidak berani menatap Pak Arga.
“Ada lagi yang mau Sisil tanyain?”
Sisil menghela nafas, ditatapnya Pak Arga dengan penuh selidik.
“Ehm, Abang nggak akan ngerayu-rayu Sisil buat ngapa-ngapain kan?”
“Memangnya mau ngapain Sil?” tanya Pak Arga dengan penuh penekanan tapi menyeringai jail.
“Abang jangan pura-pura polos. Mantannya pasti bukan hanya Raya,” ujar Sisil dengan tersungut-sungut. ”Sisil ingat nasehat Bang Zidan dan Papa, katanya, lelaki yang benar-benar sayang akan menjaga kehormatan perempuan yang disayanginya, bisa menahan diri dan memiliki nyali untuk menghalalkan.
Pak Arga terkekeh,“Iya Sil, Abang nggak akan ngapa-ngapain sampai halal kecuali Sisilnya mau diapa-apain.”
Sisil mencubit lengan Pak Arga.
Pak Arga mengaduh sambil tertawa,“Becanda Sil. Jadi kapan Sisil siap dihalalin?”
Dengan cepat Sisil menjawab,“Kalau keterima beasiswa, Sisil kuliah 2 tahun lho.”
“Kan nggak ada larangan menikah sambil kuliah Sil.”
***
Bab 33
Hubungan Sisil dan Pak Arga kembali terjalin tapi keduanya tetap berkomitmen jika di kantor tidak menampakkan kemesraan.
Siang ini, Sisil makan siang dengan keempat bestinya siapa lagi kalau bukan Mirza, Mira, Dini dan Rosi, pertemanan yang terbentuk karena mereka hampir seumuran dan selevel dalam tingkatan karir, sebagai staf. Dini staf HR, Rosi staf keuangan, Mira stafnya Mba Regina, associate senior di kantor ini.
“Sil, Ayang sakit apa?” tanya Dini, dia memotong bakwan jagung dengan sendok sebelum menyuapnya.
“Memang sakit ya?” tanya Sisil dengan raut bingung karena seingatnya sejak pagi tidak ada pesan dari Pak Arga yang mengabarkan kalau dirinya sakit. Sisil sebenarnya gerah dengan sebutan Ayang yang digunakan teman-temannya untuk Pak Arga, malu banget kalau terdengar rekan kerja yang lain selain mereka berempat, sudah dikoreksi berkali-kali, tapi katanya biar lebih akrab, apa hubungannya coba.
“Iya Sil, hari ini Ayang nggak masuk, masa lo nggak tahu,” kata Mirza keheranan. Sebenarnya Mirza tidak heran, bekerja selama kurang lebih satu tahun dengan Sisil, Mirza sudah hapal tingkah random dan lugunya yang suka bikin gregetan.
Sisil menunda memulai makan, memilih membuka room chat terlebih dahulu tapi tidak ada pesan dari Pak Arga.
“Gue kebayang sih gaya pacarannya Sisil, Pak Arga yang bucin, Sisilnya cuek,” ujar Rosi sambil tertawa.
“Hati-hati lho Sil, cowok kalau kurang perhatian cari perhatian sama cewek lain,” ujar Dini, setelah menelan suapannya.
“Kasih paham Din, bagaimana menjaga hubungan biar awet, lo kan udah bertahun-tahun pacaran,” dukung Mira.
“Percuma pacaran lama-lama kalau nggak ada progress,” kata Mirza dengan bibir sedikit mencibir, meledek.
“Sialan lo Mirza,” Dini menepuk bahu Mirza.
“Lha iya kan? Makanya Din, jadi cewek tuh harus tegas, jangan mau diajak tarik ulur. Pelajaran buat lo Sil, jangan lama-lama pacaran, apalagi Ayang sudah cukup umurnya.” Mirza menyuap makanannya, untuk sesaat percakapan terhenti.
“Pak Arga nggak ngasih kabar dia sakit,” ujar Sisil sambil meletakkan ponselnya di meja.
“Yaelah Sil, lo wa donk, tanya sakit apa, kalau bisa jenguk,” saran Mirza dengan nada gemas diikuti cekikikan Mira, Rosi dan Dini.
Sisil menuruti saran Mirza. Selama ini memang Pak Arga yang selalu menchat duluan, ia malah nggak kepikiran ngechat kalau tidak ada hal penting karena setiap hari juga ketemu di kantor dan akhir pekan bertemu.
“Jadi Ayang sakit apa Sil?” tanya Mirza kepo ketika dilihatnya Sisil memasukkan ponselnya ke dalam saku.
“Cuma bilang nggak enak badan. Kecapean kali.”
“Kalau gitu fiks Sil, harus dijenguk, dicium sama dipeluk aja langsung sembuh itu,” saran Dini yang seketika membuat Sisil merona.
“Kata Mama nggak boleh ciuman sebelum halal, Din.”
“Ehm.” Respon Sisil tanpa mengangkat kepala, ia mulai menyuap makanannya.
Dini mencodongkan tubuhnya ke depan, lalu bertanya dengan suara setengah berbisik, “Lo beneran belum pernah ciuman Sil?”
Sisil mengangkat bahu dan meneruskan makan siangnya. Pertanyaan Dini membuatnya gerah dan tak enak hati, selain membayangkan Pak Arga.
“Emangnya lo Din, nggak dicium, nyosor.”
“Sialan lo, Za.” Kali ini Dini meninju pundak Mirza.
“Kuat iman juga ya Pak Arga. Padahal dia keliatan…” Dini tidak meneruskan kalimatnya karena Mirza menyikut lengannya.
“Dia keliatan apa Din?” Seketika Sisil mengangkat kepalanya dan menatap Dini dengan kening berkerut.
“Keliatan nggak kuat iman,” sambar Mirza.
“Tapi Sil kalau belum pernah ciuman jangan dicobain deh sampai halal,” nasehat Dini.
“Memangnya kenapa Din?” tanya Mira polos. Mira seperti Sisil belum pernah pacaran, Mira tipikal generasi sandwich pekerja keras, fokus pada kebutuhan keluarga, hati-hati dan pernuh perhitungan dalam mengambil keputusan di hidupnya termasuk dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis.
“Ntar lo ketagihan, kalau udah sering ciuman ya tergoda buat ngapa-ngapain, pegang sana-sini,” ujar Dini.
“Nasehat dari love expert tuh girls, ingat baik-baik.” Mirza menunjuk Rosi, Mira dan Sisil bergantian.
“Lo pernah ciuman sama cewek Za?” tanya Mira.
“Gila lo Mir, lha iyalah gue cuma ciuman sama cewek.”
“Ih Mirza,” Sisil menatap Mirza dengan mata membulat.
“Lo pasti penasaran rasanya dicium Ayang kan, Sil,” ujar Mirza sambil menunjuk Sisil dengan kerupuk yang sudah ia gigit setengahnya.
“Mirza!” Sisil mencubit lengan Mirza dengan gemas.
Mirza mengaduh, Rosi, Mira dan Dini tergelak.
***
Sore sepulang kerja, Sisil memutuskan mampir ke apartemen Pak Arga. Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar kencang. Ini kedua kalinya mengunjungi apartemen Pak Arga tapi kunjungan pertama saat mengantar pulang karena mabuk tentu berbeda dengan sekarang.
“Masuk Sil,” ujar Pak Arga begitu membuka pintu. Dia mengenakan kaus putih model slim fit dan celana boxer selutut, sepertinya baru mandi karena rambutnya basah, wajahnya masih terlihat lembab, tercium wangi mint.
Sisil mengangguk dengan raut gugup lalu melangkah masuk membuntuti Pak Arga. Baru kali ini Sisil melihat Pak Arga memakai kaos slim fit sehingga bisa melihat bahu dan punggungnya yang nampak tegak dan kokoh walaupun kurus. Perawakan Pak Arga tergolong kurus tapi Sisil baru sadar jika berotot dan nampak keras.
“Mau minum apa?” tanya Pak Arga setelah Sisil duduk di sofa.
“Apa aja.” Sisil membetulkan letak kacamatanya dengan gugup. Begitu Pak Arga berbalik untuk mengambil air minum, Sisil memindai sekeliling. Dulu saat pertama kali ke sini ia tidak memperhatikan sedikitpun apartemen ini. Pembatas ruangan dan balkon berupa dinding kaca dengan pintu gerser. Di depannya terdapat rak buku pendek dan tv yang menempel di dinding. Tak banyak barang dan pajangan, semua serba minimalis termasuk pemilihan warna. Sofa bed yang didudukinya berwarna abu-abu, rak buku hitam, furniture kitchen termasuk meja dan stool berwarna abu-abu sementara cat dinding berwarna putih.
Tidak berantakan tapi juga tidak dibilang rapih, terlihat jas menyampir di kursi yang berhadapan dengan meja kerja di pojok ruangan, tas olahraga berukuran besar di lantai, sepertinya belum sempat dibereskan, risletingnya terbuka, ada tumbler berukuran besar, handuk kecil dan sarung tinju.
“Abang main tinju?” tanya Sisil, menatap Pak Arga dengan raut heran setelah dia meletakkan cangkir berisi coklat panas.
“Iya olahraga.”
Sisil mengerutkan kening,”Bukan buat main tinju beneran kan?” Ia tidak bisa membayangkan Pak Arga di ring tinju.
“Nggak Sil, hanya olahraga, gym boxer.”
“Jadi selama ini Abang bukan ngegym biasa tapi boxer.”
Arga mengangguk.
“Kok Abang nggak pernah cerita. Kenapa pilih boxer Bang, maksud Sisil itu kan pukul-pukulan.”
“Kan lebih sering mukul samsak Sil.”
Raut Sisil berubah lega, karena ngeri membayangkan Pak Arga yang kurus saling tinju.
“Abang demam?” Sisil menatap Pak Arga dengan seksama.
“Nggak, cuma kecapean aja kayaknya. Ini udah agak enakan setelah tidur seharian, besok masuk kantor.” Pak Arga menyandarkan sebelah bahunya ke sofa sehingga menyamping berhadapan dengan Sisil.
“Bibir Abang kenapa? Jangan-jangan Abang sakit ini gara-gara tinju ya?” Sisil menunjuk sudut bibir Pak Arga yang menampakkan setitik darah, seperti ada sedikit luka dan lebam.
Pak Arga mengusap sudut bibirnya,”Iya.”
Tatapan Sisil turun, mencari luka lain yang mungkin ada karena tinju dan matanya menangkap lebam keunguan di lengan Pak Arga.
“Ini kenapa? Kena tinju juga?” Sisil menunjuk area lebam.
“Ehm.”
“Kok bisa sih Bang, ngapain olah raga kalau bikin badan sakit.” Sisil geleng-geleng kepala.”Katanya tadi mukul samsak.”
“Ini karena latihannya terlalu keras.”
Sisil berdecak, logikanya belum bisa menerima pilihan olahraga Pak Arga.
“Udah pake trombopop?” Jari telunjuk Sisil mengusap lebam itu dan dirasakannya otot lengan Pak Arga yang keras, dengan spontan tatapan Sisil naik ke dada, nampak bidang dan kokoh. Be have Sil, be have…Sisil buru-buru menarik tangan juga tatapannya, dengan gugup memegang kacamatanya.
“Udah diobati Bang lukanya?” Sisil menunjuk sudut bibir Pak Arga.”Takut infeksi.”
“Belum karena abis mandi.” Arga beranjak, mengambil salep dan cutton bud dari kotak obat lalu duduk lagi di samping Sisil.
“Sini, Sisil pakein biar rata,” ketika dilihatnya Pak Arga mengusap sudut bibirnya dengan cutton bud tapi tidak merata mengenai lukanya.
Sisil mengambil alih cutton bud dan mendekatkan dirinya untuk bisa mengusap sudut bibir Pak Arga dengan salep. Ketika jarak mereka begitu dekat Sisil baru sadar harusnya ia tidak menawarkan diri membantu karena jadinya tidak nyaman dan pikirannya melantur, teringat obrolan tentang ciuman tadi siang. Dengan tangan sedikit gemetar Sisil mengoles sudut bibir Pak Arga dengan cutton bud berisi salep, setelahnya menunduk dan membetulkan letak kacamatanya.
“Kenapa Sil?”
“Nggak kenapa-napa,” jawab Sisil, sebelah tangannya terangkat hendak menyentuh kacamatanya.
Tanpa Sisil diduga Pak Arga menahan tangan Sisil dan menurunkannya.
”Minus berapa Sil?”
“Tiga.”
“Nggak coba pake softlens Sil?”
“Sisil nggak berani masangnya, takut.”
Kedua tangan Pak Arga terulur, melepas kacamata Sisil, berhadapan dengan jarak yang begitu dekat membuat jantung Sisil berdebar kencang disertai desiran halus. Ia bisa melihat tulang hidung Pak Arga yang tinggi, pupil matanya yang kecoklatan, tulang rahangnya yang tegas, garis bibirnya, Sisil menahan nafas.
“Sisil cantik kalau nggak pakai kacamata.”
“Kalau pake kacamata nggak cantik?” Sisil memundurkan wajahnya sekaligus meredakan jantungnya yang berdegub kencang.
“Bukan begitu Sil, sama cantiknya.”
“Abang mau merayu Sisil?” cibir Sisil
“Bukan merayu Sil, ini pujian.” Pak Arga terkekeh. Sikap ketus dan jengkel Sisil malah membuat gemas. Tatapan mereka bertaut, tanpa kata, hening dan waktu seolah berhenti. Sisil merasakan tenguknya panas selain debar jantung yang berdegub makin kencang, terlebih saat Pak Arga mengulurkan tangan, jarinya menyentuh bibir Sisil. Luapan cemas dan hasrat membuat Sisil makin gugup hingga rasanya mau menangis, karena ternyata begitu sulit menahan keinginan merasakan ciuman yang kerap dibicarakan orang. Sisil masih ingat pesan Mama yang kerap diulang-ulangnya; jaga diri, jaga diri…
“Sil..” suara Pak Arga terdengar lembut, jarak diantara mereka makin menipis.
Sisil memejamkan mata, memutuskan pasrah pada apa yang terjadi selanjutnya tapi baru saja matanya terpejam, getar ponsel di saku mengangetkannya, seketika matanya terbuka dan mendapati Pak Arga tersenyum tepat di depannya dengan jarak yang hanya sejengkal. Jangan tanyakan seberapa besar rasa malunya. Dengan gerakan spontan ditepuknya lengan Pak Arga.”Abang,” katanya setengah berteriak lalu mengeluarkan ponsel dari saku, tertera nama Mama di sana.
“Assalamualaikum De, udah sampai mana? Udah di kereta.”
“Waalaikumsalam. Belum, Sisil masih di jalan.”
“Hati-hati ya De. Langsung pulang jangan mampir kemana-mana.”
“Iya Ma.”
Telepon ditutup, Sisil beranjak dari tempat duduknya.“Sisil pulang,” katanya tanpa berani menatap Pak Arga, rasa malunya masih banyak tersisa selain merasa bersalah pada Mama.
“Saya antar Sil,” Pak Arga berdiri.”Ini kacamatanya Sil.”
Sisil menerima kacamata dan mengenakannya.“Nggak usah, besok Abang kerja kan?”
“Abang berangkat dari rumah Oma.” Pak Arga berbalik, berjalan menuju kamarnya.
Sisil berjalan ke arah pintu, mengenakan sepatu yang tadi dilepasnya. Mukanya masih terasa panas karena malu.
Tak lama Pak Arga keluar dari kamarnya, dia sudah mengenakan celana panjang dan jaket, di tangannya ada kemeja dan celana yang terlipat rapih, lalu menyambar tas di meja.
“Sil, maaf ya,” kata Pak Arga ketika berdiri di sisi Sisil dan membuka pintu apartemen.
“Apanya yang maaf?” tanya Sisil bingung.
“Nggak jadi nyium Sisil.” Pak Arga tersenyum menggoda.
“Apa sih Abang,” Sisil mencubit kecil pinggang Pak Arga.
Pak Arga mengaduh di sela tawanya,“Tapi Sil, bisa kok adegannya direka ulang.”
“Belum halal.” Sisil mendahului keluar dari apartemen. Kalau kejadiannya tadi kan beda, bisa dibilang nggak sengaja, walaupun ya disengaja. Kalau adegan ulang, udah pasti disengaja, pikir Sisil. Sejujurnya selain ada rasa malu, juga rasa menyesal karena kejadian itu tidak jadi. Ya Allah, istigfar Sil…Sisil buru-buru mengusir semua pikiran itu dari benaknya. Sisil jadi paham nasehat Mama, jangan berduan di tempat sepi, di tempat yang tidak ada orang lain yang melihat.
“Sil, mau ya Abang halalin,” ujar Pak Arga setelah langkahnya sejajar dengan Sisil, keduanya menuju lift.
“Memang berani minta ijinnya sama Papa?”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
