Katamu Sudah Tak Cinta #CeritadanRasaIndomie

3
6
Deskripsi

“Aku rasa, aku sudah tidak mencintaimu,” ucap pria itu dengan nada berat meremukkanku seketika.
Aku tidak pernah menyangka kata-kata itu akan terucap darinya. Meski harus kuakui sebulan terakhir dirinya cukup dingin. Namun aku tetap berpikiran itu karena dirinya sibuk dengan urusan kantor. Itu sebabnya aku ingin memberinya kejutan dengan terbang ke….

Selamat membaca.

Salam hormat,

Reno Nabil.

“Apa maksud kamu?!”

“Jawab aku jujur!” bentakku lagi benar-benar marah. Mataku mulai berembun menatap kosong bandara Hasanuddin dengan napas yang naik turun.

Namun tak ada jawaban dari ponsel yang menempel di telingaku. Membuatku ingin berteriak di tengah keramaian ini.

“Aku rasa, aku sudah tidak mencintaimu,” ucap pria itu dengan nada berat meremukkanku seketika. Aku tidak pernah menyangka kata-kata itu akan terucap darinya. Meski harus kuakui sebulan terakhir dirinya cukup dingin. Namun aku tetap berpikiran itu karena dirinya sibuk dengan urusan kantor. Itu sebabnya aku ingin memberinya kejutan dengan terbang ke Makassar tanpa sepengetahuannya. Tetapi malah aku yang dikejutkan.

Tit..., kuputuskan sambungan panggilan itu dan menarik koper meninggalkan bandara. Embusan angin menggulirkan remah tubuh ini kian jauh.

Dan, di sinilah aku. Memandang pilu ke luar jendela dari hotel tempatku bersembunyi semalaman. Nyeri masih menyambar-nyambar di kedua pelipis.

Kulirik layar ponsel yang pasca kejadian itu terus berdering mengolokku dengan nama Darwin di sana. Lelaki yang sangat kucintai 5 tahun terakhir.

[Sayang, maaf. Aku pikir hubungan kita cukup sampai di sini. Karena aku tidak bisa lagi berhubungan jarak jauh, bagiku cintaku sudah pudar.]

Begitulah kira-kira pesan yang Darwin kirim sesaat aku turun dari pesawat. Yang lantas membuatku bingung, untuk apa sekarang dia menerorku dengan pesan dan panggilan tak terjawabnya?

Tidakkah dia sadar itu bisa membunuhku perlahan? Dia tahu betapa aku sangat mencintainya. Namun takdir justru menunjuknya menjadi yang paling kubenci sekarang. Dengan alasan paling konyol sedunia. Sudah tak cinta?
Brengsek! Atau dirinya sekarang menyesal? Ah!

***

Angin sejuk menyapu kulitku di ketinggian. Kuedarkan pandangan kala memijakkan kaki di atas Malino Highland. Hamparan daun teh mengelilingi sebuah bangunan luas yang menudungi orang-orang di dalamnya termasuk aku. Ya, setidaknya sebelum aku pulang ke Pontianak, impianku menyaksikan keajaiban Malino dengan mata kepalaku sendiri bisa terwujud meski tanpa dirinya.

“Lia?” Telingaku berdiri dengan mata yang terpejam, kucoba menerka pemilik suara itu. Mendadak sesak mencekik leherku.

“Kamu di sini?” tanyanya lagi dari belakang membuatku kian bergeming menghadap kebun teh.

“Maaf, atas ucapanku tentang hubungan kita,” kalimat Darwin terpotong olehku.

“Katamu sudah tak cinta?” sosorku tegas sambil membalikkan badan.

Aku kaget. Dia datang dengan rangkaian mi instan Indomie rasa coto Makassar membentuk hati di tangannya.

“Happy anniversary yang ke 5 tahun, Sayang,” ujarnya membuatku tersentak.

“Apa maksudmu?!” geramku.

“Soal ucapanku hari itu, sebenarnya aku hanya berpura-pura. Aku ingin memberimu kejutan karena rencanaku, aku yang mengunjungimu ke Pontianak tepat di hari jadi hubungan kita. Tapi saat aku sudah sampai di sana ternyata kamu malah terbang ke Makassar.”

Darwin melanjutkan. “Maaf membuat hatimu hancur tapi sungguh aku masih mencintaimu dan akan terus mencintaimu.” Kata-katanya terdengar begitu tulus.

Aku mendengus, membuang napas kasar seakan setengah jiwaku baru saja lepas aku masih tidak bisa percaya. Tangisku mulai bersuara diikuti tubuhku yang bergetar akibat dinginnya udara. Darwin maju dua langkah menangkap tubuhku yang hampir roboh. Aku benar-benar terguncang. Antara bahagia karena semua hanya kesalahpahaman atau dongkol atas siasat konyol Darwin.

“Sungguh, Darwin? Kamu masih mencintaiku?” tanyaku memastikan.
Darwin mengangguk mantap, menatap mataku lurus-lurus. Kucoba menyelami iris itu, mencari kebohongan namun nihil. Darwin masih mencintaiku. Aku begitu lega mendengarnya.

Aku melepas pelukan kami setelah sekian detik. “Mi-nya boleh dimasak, Sayang? Aku lapar.” Tangan sebelah kiriku mengangkat rangkaian Indomie itu susah payah—berat juga.

“Jangan, dong. Sayang, buat dipajang di kamarmu, bawa pulang. Di dalam ada kafe, kita beli di sana saja,” cegatnya sambil tersenyum manis. Seluruh amarah dan kesalku berganti kehangatan dari jaketnya yang tersampir di bahuku. Kemudian kami melangkah ke dalam kafe.

Kami duduk berhadapan dengan semangkuk Indomie rasa Coto Makassar. Indomie favorit kami berdua.

“Kenapa cuman semangkuk?” tanyaku heran.
Dia malah menjawab dengan enteng. “Saat LDR, kita makan Indomie masing-masing. Kita bahkan sering berlomba paling cepat menghabiskan Indomie. Tapi kali ini tidak. Kita akan makan satu mangkuk. Tidak ada jarak, tidak ada kompetisi.”

Aku tertegun, hatiku berdebar membuatku kembali meneteskan air mata. Tapi air mata kebahagiaan. Aku hanya mengangguk dengan senyum getir saat dia memindahkan kursinya tepat di sampingku. “Aku mencintaimu, Lia. Dan Indome Coto Makassar inilah saksinya.”

Aku bahkan lupa dengan anniversary ini. Juga baru menyadari setiap anniversary, selalu ada Indomie.

“Aku juga mencintaimu, Darwin,” balasku.

Aroma semerbak dari bumbu rempah di mangkuk yang hangat membumbung tinggi. Membuat orang-orang menoleh oleh biusnya. Gurih dan segar bercampur di dalam mulut. Kalau diminta memberikan satu kata untuk Darwin. Romantis adalah kata paling yang tepat. Meski rencananya hampir membuat hubungan kami putus tapi dia berhasil menemukan cara untuk menyatukannya lagi.

“Mari kita rayakan hari jadi kita hingga yang ke-50,” celetuk Darwin mengakhiri suapan terakhirnya.

“Maksudnya?” Aku bingung. Apa Darwin berniat menjadikanku pacar seumur hidup? Tak menikah?

“Maksudku 50 adalah 50 tahun. Sama seperti Indomie yang tahun ini genap 50 50 tahun menyediakan rasa khas Indonesia. Harapannya cinta kita juga bisa terjaga hingga tahun yang ke-50,” terangnya.

“Amin. Indomie benar-benar menjadi saksi atas cinta abadi kita,” ucapku dengan rasa bahagia yang meletup-letup.

“Iya.” Aku merasakan usapan yang kemudian tertungkup di atas punggung tanganku. Lembut kemudian mengerat.

“Mau pesan lagi? Dua bungkus rasanya masih kurang.”

“Mau!” seruku tak kalah bersemangat.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya A Sincerity Love — Bab 41- Tamat
1
0
Lima tahun sudah Nayomi menghadapi tahun-tahun menyedihkan dalam hidupnya. Sebagai seorang PSK muda. Penyakit ibunya membuat ia rela mengorbankan masa depannya demi kesembuhan sang ibu. Namun, di tahun keempat, ibunya menyerah dan meninggalkannya sebatang kara.Hingga ia merasakan kekosongan dalam hatinya. Ia memutuskan untuk berhenti menjadi PSK dan menemukan tambatan hati yang tulus menerimanya.Rupanya bangkit dari kubangan dosa, ia malah diterpa begitu banyak cobaan yang disebabkan oleh Louis Johnson di tempat kerjanya yang baru, hotel D'Amore.Seorang manajernya di hotel D'Amore yang jatuh cinta padanya. Cinta yang begitu blak-blakan Louis tunjukkan membuat Nayomi dilanda curiga bahwa pria itu adalah mantan pelanggannya yang sempat ingin menjadikannya simpanan. Nayomi menganggap Louis sang manager adalah Louis yang dicurigainya. Lantas menolak pernyataan cinta Louis.Benarkah dugaan Nayomi? Tuluskah cinta yang Louis tawarkan? Berhasilkah Nayomi meninggalkan kehidupan kelamnya yang begitu menjanjikan dan mendapatkan cinta tulus yang mau menerima masa lalunya?Dapatkan jawabannya di A Sincerity Love#RenoNabil
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan