My Dearest Love (Prolog, Bab 1, 2)

27
5
Deskripsi

Heyaa, ini adalah cerita Fanny dan Leo, Spin off Play Date,.

Kamu bisa langsung baca cerita ini, atau bisa juga memulai dari cerita Play Date di Wattpad, lalu berlanjut After Wedding di Karyakarsa untuk mengenal lebih dekat Fanny dan Leo :) 

*Seperti biasa, aku membuat pilihan pembelian, paket dan satuan. Untuk paket dari bab 1 sampai 10, dalam sekali beli. Setiap aku post bab baru hingga 10, kamu bisa langsung baca.

 

Blurb 

Fanny Zallina memiliki rahasia yang ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri....

Bab 1. Pertemuan Asing

Leo Asshauqi melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 2 siang. Dia baru saja keluar dari gedung kantor KaryaUtama Architect, tempat di mana ia akan bekerja untuk hari-hari ke depannya. Salah satu biro arsitek besar yang sejak dulu menjadi idaman teman-teman sejawatnya.

Setelah kepergiannya selama tiga tahun, bertepatan dengan kabar kembalinya ke Indonesia, ia mendapat tawaran langsung dari KaryaUtama Architect, mengisi salah satu kursi yang sangat kebetulan tengah kosong, menjadi wakil direktur operasional. Sambutan yang sama sekali tidak ia sangka, namun juga sangat menyenangkan di satu waktu.

Dia harap, sambutan menyenangkan lainnya pun akan ia dapatkan, dari sosok seorang gadis yang ia tinggalkan tiga tahun ini. Meski sulit, namun tidak ada yang tidak mungkin, bukan?

Senyum Leo mengembang manis. Dia rindu. Dia ingin meminta maaf pada Fanny. Si gadis polos yang mampu membuat dadanya berdetak menyenangkan. Bahkan sekadar menyebut namanya seperti ini.

Lelaki itu menyentuh dadanya dengan tangan kanan. Dan ya, ada debar menyenangkan di sana. Dia sungguh tidak sabar ingin bertemu Fanny. Namun yang harus ia lakukan sekarang adalah, mengunjungi Tsamara di rumahnya. Tiga tahun tidak saling bertukar kabar membuat ia kehilangan kontak satu sama lain.

Dia sendirilah yang memulai untuk memutus semua kabar itu. Demi membuat misinya menghilang berhasil dengan sempurna. Namun nyatanya nol besar. Dia yang justru kembali dengan sendirinya. Dia berusaha menyingkirkan rasa malunya dan mencoba menyapa, dengan harap amat besar, mereka bisa membuka lengan dan menerimanya.

Debar menyenangkan yang sesaat lalu mampir di dadanya, tersingkir dengan cepat, tergantikan dengan rasa sesak yang naik tanpa permisi.

Leo memang sangat bodoh. Dia pengecut. Seperti yang Tsamara katakan padanya dulu. Satu sebutan yang melekat di benaknya. Mengejeknya sepanjang waktu.

Lelaki itu menarik napas panjang, lalu merogoh ponselnya di saku celana depan, menghubungi Angga--teman sejawatnya di biro Arsitek yang juga merekomendasikan KaryaUtama Arcitect untuk mempertimbangkannya dalam posisi itu.

Ini hari kedua kedatangannya di Jakarta, dan ia dibuat cukup sibuk. Kemarin siang ia tiba, dan jetlag, membuat ia menghabiskan sisa hari itu hanya dengan bergulingan di ranjang saja. Lalu pagi ini, dia langsung mengunjungi gedung kantor yang akan menjadi tempatnya bekerja.

Dia harus mencari mobil lebih dulu, baru nanti tempat tinggal permanen karena saat ini ia masih numpang di apartemen Angga. Dua apartemen yang dia miliki dulu, sudah disewakan, dan mobil yang ia punya, ia jual. Dia benar-benar apik merancang segalanya demi meninggalkan tanah air.

“Gimana, lancar?”

Satu tanya to the point yang Angga suarakan dari seberang setelah berbagi salam, membuat Leo mengangguk pelan. “Lancar. Seperti katamu, mereka sangat menyukai rancangan yang aku buat.”

Leo memang mendapat jalur khusus untuk masuk ke KaryaUtama, namun, tetap saja dia harus mempresentasikan satu desainnya yang bisa membuat para petinggi di sana, memuluskan jalannya.

Selama di Swiss, selain melanjutkan pendidikannya, dia pun ikut tergabung dengan biro arsitek cukup ternama di sana, dan ambil bagian di proyek-proyek besar. Proyek terakhir yang digarap olehnya adalah desain gedung perpustakaan di tengah kota. Jam terbangnya yang sudah padat, jelas menjadi pertimbangan sehingga ia bisa terpilih.

“Waah, bisa traktiran nanti di rumah.” Di ujung kalimatnya, Angga tertawa.

“Apa pun yang kamu mau deh, aku belikan.”

“Uh, romantisnya Mas Leo.”

Satu sebutan itu mencipta sengatan di dada Leo. Sudah begitu lama dia tidak mendengar panggilan itu. Dan ia rindu. Dia rindu mendengarnya. Dia rindu bertemu dengan perempuan yang dulu selalu memanggilnya dengan sebutan itu. Panggilan biasa. Namun, terdengar sangat merdu saat Fanny yang melisankannya.

“Aku harus cari mobil dulu sekarang,” kata Leo, sembari mengayun langkah menjauhi gedung KaryaUtama.

“Oke. Mau kutemani?”

“Enggak perlu. Kasih alamatnya saja, yang kemarin kita bicarakan.”

“Hm, kamu beneran enggak pengin cari mobil sport saja? Wakil direktur loh. Ayo lah, biar penampilanmu tambah keren. Jadi perempuan-perempuan itu akan mengejarmu.”

Leo menggeleng. Dia tidak tertarik dengan mobil seperti itu. Terlebih, dia tidak tertarik dikejar-kejar perempuan. Hanya Fanny yang ia inginkan sekarang. “Kirim alamatnya sekarang. Aku—“

Brukk!

Ponsel Leo terjatuh karena dia ditabrak seseorang. Refleks, dia merendahkan tubuh demi memungut ponselnya yang tergeletak di trotoar.

“Sial. Punya mata dipake. Jalan luas begini.”

Umpatan seorang lelaki membuat genggaman Leo di ponselnya mengerat. Bukan dia yang salah, namun, justru dirinya yang diumpati. Lelaki itu segera menegakkan tubuh, hendak membalas orang kurang ajar yang tidak tahu diri. Namun, bibirnya yang membuka siap membalas kalimat kasar itu, terpaksa ia urungkan karena satu suara yang menyapa gendang telinga. Sebuah permintaan maaf.

Bukan permintaan maaf itu yang menjadi fokus Leo, namun nada suaranya. Terdengar begitu familiar di telinganya.

“Maaf banget, ya, Mas. Kami enggak sengaja. Ada yang rusak enggak, ya.”

Leo menoleh ke asal suara berhadapan dengan seorang perempuan yang berhasil menghentikan dunianya. Sosok yang sangat ia rindukan. Sosok yang membuat debaran dadanya membuncah. Dia Fanny Zalina.

“Mas Leo.” Fanny membeliak terkejut.

Dan satu panggilan itu seperti yang Leo perkirakan, terdengar amat merdu di telinganya.

“Fanny.” Senyum Leo mengembang lebar dan manis, tidak menyembunyikan buncahan bahagia yang merambah dadanya kini. Pertemuan tidak sengaja yang sangat menyenangkan. Sepertinya semesta memang tengah berbaik hati padanya, begitu berpihak padanya. Dia ingin memeluk Fanny, mengungkap maaf dan mengabarkan kerinduannya yang terdalam pada perempuan itu.

Namun, semua keinginannya untuk memeluk Fanny terenggut paksa, begitu pula hela napasnya. Ketika ia menyadari jika tatapan perempuan itu amat berbeda dengannya. Tidak ada kebahagiaan dan kerinduan di sana.

“Sayang. Ayo!”

Satu seruan keras menginterupsi semua keheningan yang terjadi di antara Leo dan Fanny, memutus pertemuan dua iris mata yang telah lama tidak bersinggungan.

“Sebentar!”

Balasan dari Fanny membuat Leo tergagap pelan, terlebih saat perempuan yang ia rindukan di hadapannya, menoleh ke asal suara, pada seorang lelaki yang sudah lebih dulu berjalan di depan, membuat jarak antara dirinya dan Fanny.

“Mas Leo. Kami minta maaf banget. Hapenya enggak ada yang rusak kan, ya.” Fanny melirik ponsel Leo di dalam genggaman lelaki itu. Layarnya tampak baik-baik saja, tidak ada retak sedikit pun. “Aku harus pergi sekarang.” Diakhir kalimatnya, Fanny mengulas senyuman terpaksa. Setelah itu, dia berlalu pergi. Mengejar lelaki yang menunggunya di depan.

Pertemuan itu berlalu sekaku itu. Secanggung itu.

Leo berkedip pelan. Merasa jika kesadarannya tidak terkumpul sepenuhnya. Dia menoleh ke arah di mana Fanny pergi. Perempuan itu menyejajari lelaki yang sebelumnya menabrak Leo, dan pergi begitu. Telinga Leo terasa berdenging pelan, karena satu panggilan mesra yang lelaki di depan sana tujukan pada Fanny sebelumnya.

Bola matanya merebak dan terasa panas detik itu juga saat menemukan lengan lelaki di depan sana terulur dan memeluk pinggang Fanny.

Sengatan nyeri dan sesak itu menghantam dada Leo tanpa permisi.

Pertemuan yang sangat ia rindukan ini, berakhir begitu menjengkelkan. Tidak ada sambutan hangat ataupun sebuah pelukan. Bahkan tidak ada tatap mata yang memancarkan kebahagiaan.

Tiga tahun jelas bukan waktu yang sebentar.

Lalu apa yang dia harapkan. Fanny masih sendiri, menunggunya yang tidak pernah memberi kabar apa pun. Menyimpan rasa yang sama setelah bertahun-tahun.

Itu bodoh Leo.

Itu gila.

Ya, memang sudah sewajarnya seperti ini. Fanny bersama lelaki yang tepat, bukan si pengecut yang melarikan diri seperti dirinya.

Leo menarik napas begitu pelan. Tidak ia sangka, rasanya benar-benar semenyakitkan ini ketika melihat Fanny bersama dengan lelaki lain.

Lalu, sekarang apa yang harus dia lakukan?

Mungkinkah, seharusnya ia tidak perlu kembali ke sini. Benar-benar menghilang tak berbekas.

Meneruskan perannya menjadi seorang pengecut.

Sial.

Leo mengumpat di dalam hati. Dia lupa, usianya sudah tidak muda lagi. Namun kenapa masih bersikap kekanakkan seperti ini.

Kalau Fanny ternyata sudah memiliki tambatan hati, lalu, apa masalahnya?

Perasaannya tidak harus terbalaskan, bukan?

***


Bab 2

Fanny gemetar di kursi kerjanya. Dua tangannya saling terkait dan mengepal.

Tadi, Leo, bukan?

Lelaki yang dia tabrak adalah Leo. Ini bukan delusinya saja?

Fanny berharap, ini masih delusinya.

Namun, memang kenapa jika dia adalah Leo yang sesungguhnya? Tahun telah berganti, perasaan yang ada di dalam dadanya pun sama—telah berganti?

Fanny menarik napas panjang, dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya, dua iris matanya ia arahkan ke layar monitor di hadapannya, yang masih dia biarkan padam.

Kalaupun Leo kembali, itu jelas adalah kabar yang baik. Lelaki itu masih ingat tanah airnya. Dan tidak akan ada yang berubah.

Dia bukan siapa-siapa, Fanny.

Bisik Fanny pada dirinya sendiri. Hanya karena satu pertemuan singkat dan sebuah ketidaksengajaan, mengapa membuat dia sampai seperti ini?

Fanny mengusap wajahnya dengan dua tangan, sekali lagi menghela napas, baru kemudian dia beralih menyalakan layar monitornya, bersiap untuk bekerja. Jam istirahatnya telah habis.

Tadi, selama jam makan siang, dia memang pergi bersama Gavin—pacarnya, untuk makan di luar, tidak terlalu jauh dari gedung kantor Badrayudha Realty, sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki saja. Daripada naik kendaraan, muternya nanti kejauhan.

Namun, kenapa Leo berada di sekitar BR. Mungkinkan lelaki itu ada urusan di sekitar sini?

Kalaupun Leo berada di sekitar BR atau tidak. Itu bukan urusannya. Kepala Fanny menggeleng pelan. Kembali menghardik dirinya sendiri untuk tak perlu memikirkan tentang Leo.

Bukankah ada gedung biro arsitek ternama di sekitar tempat ia dan Leo bertabrakan tadi.

Fanny ingin sekali mengumpat lirih. Lagi-lagi ia kepikiran tentang Leo, dan ia menemukan jawabannya sendiri.

Leo dan arsitek adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Mimpi-mimpi lelaki itu tentang—

Stop Fanny!

Sudahi tentang Leo. Sekali lagi, dia bukan sosok penting dalam hidupmu. Tidak lagi.

Kepala perempuan itu kembali menggeleng pelan, berusaha dengan cara seperti itu, ia bisa menyingkirkan wajah Leo dalam bayang-bayangnya. Hingga kemudian, dia mendengar kubikelnya diketuk.

“Fanny.”

Satu bisik lirih dari Desy—rekan kerja yang mejanya berada tepat di samping kirinya membuat Fanny menoleh dan mengulas senyum. Menguapkan segala gemetar di jemarinya sebelumnya.

“Cokelat,” kata Desy sembari mengulurkan sekotak cokelat dengan bungkus warna ungu tua. “Buat teman ngantuk,” sambungnya seraya terkekeh pelan.

“Thanks,” balas Fanny sembari mengambil cokelat itu dari Desy, dan segera membuka pembungkusnya. “Beneran bisa buat teman ngantuk.”

“Tadi, kamu makan ke resto baru di di ujung blok sama Pak Gavin?” tanya Desy, masih melongokkan kepalanya dari balik kubikel. Saat kepala Fanny mengangguk, Desy menambah tanya, “Gimana rasa dan harganya, terjangkau buat budak korporat kayak aku, enggak?”

Fanny terkekeh pelan. Lalu mengibaskan tangan. “Enak dan murah, kok. Cocok lah buat kita yang sama-sama budak korporat.”

“Oke, besok aku survei, deh. Buat pertimbangan ulang tahun Raden. Kali aja tempat baru kasih diskon, sekalian buat promo gratis.”

“Bisa. Tempatnya nyaman. Cocok buat perayaan ultah dan anniversary jadian.” Diakhir kalimatnya, Fanny mengedipkan sebelah mata. Desy dan Raden adalah pasangan kekasih, satu kantor beda divisi.

“Udah, deh. Pak Gavin ke sini.”

Dengan cepat, Desy kembali ke kursinya dan memulai pekerjaannya.

Berbeda dari Desy yang sudah sibuk, Fanny justru mendongak, dan menoleh ke arah datangnya seorang lelaki. Itu Gavin. Kekasihnya. Kepala divisi di divisi yang sama dengannya. Pacaran satu kantor dan satu divisi. Bukankah itu terlalu romantis?

Lelaki itu mengulas senyuman tertampan andalannya. Senyuman yang kata teman-teman kantornya, secerah matahari.

Mereka bilang, Fanny sangat beruntung menjadi kekasih Gavin, si sempurna. Bukan hanya dapat nilai plus dari penampilan, Gavin juga pintar, jabatannya di kantor naik dengan pesat. Ide-idenya cemerlang, dan pemecahan masalahnya benar-benar patut diacungi jempol

Gavin memang tampan nan rupawan, Fanny tidak memungkiri untuk itu. Kalau enggak tampan, enggak akan jadi pacarnya.

Fanny tergelak di dalam hati. Dia menyambut kedatangan Gavin dengan seulas senyum samar mengulas di bibirnya.

“Selamat bekerja, Sayang,” bisik Gavin saat melewati meja kerja Fanny. Hanya lewat. Bukan benar-benar mendatangi dirinya. Lelaki itu tentu memiliki kesibukan tersendiri, daripada hanya menempeli Fanny di kantor.

Setelah Gavin menjauh, hingga punggungnya hampir tak terlihat, Fanny mendengar cekikikan pelan dari meja Desy, disusul dengan satu bisik lirih yang hanya bisa ia dengar.

“Uh, manisnya romansa di kantor.”

***

Leo memandangi rumah megah di hadapannya, ia harap Tsamara belum pindah dari rumah itu. Kalau ternyata pemilik rumah telah berganti, maka, hanya gedung Badrayudha Realty tempatnya bisa bertemu Tsamara, melalui Ghaly tentu saja, jika diizinkan.

Lelaki itu menyugar rambutnya dengan kasar. Dulu, setelah Tsamara kembali bersama Ghaly, hubungannya dengan lelaki itu mungkin sudah lebih akrab. Namun, sekarang, Leo sangsi akan itu.

Yah, apa pun respon Tsamara dan Ghaly, yang terpenting sekarang adalah bertemu Tsamara lebih dulu.

Leo memencet bel rumah Tsamara, dan menunggu dengan sabar hingga seseorang muncul dari balik layar yang tertempel di dekat bel rumah. Tepat di tiang gerbang besar. Bibi Mur lah yang muncul di layar, tampak terkejut saat mendapati wajahnya. Leo masih mengingat betul bagaimana wajah perempuan paruh baya itu, yang sangat betah tinggal dan mengurusi rumah Ghaly.

“Mas Leo.”

Leo melambaikan tangan ke layar dan mengulas senyum manis. “Tsamara di rumah?”

Bibi Mur mengangguk. “Di rumah, Mas Leo.”

“Bisa buka gerbangnya, Bi. Saya mau bertemu Tsamara.”

Setelah mengatakan kalimat kesiapan jika akan membuka gerbang dan mengabari Tsamara akan kedatangannya, layar itu mati. Lagi-lagi, Leo harus menunggu dengan sabar. Rumah keluarga kaya memang seperti ini. bukan hanya rumahnya yang besar dengan pelataran luas, namun juga tingkat keamanan tinggi.

Ketika akhirnya pintu gerbang di hadapannya membuka, Leo menghela napas begitu lega. Dia kembali masuk ke mobilnya dan memarkirkan kendaraan itu di pelataran.

“Mas Leo ditunggu di halaman belakang.”

Atas satu pemberitahuan itu, Leo mengucap terima kasih pada Bibi Mur dan mengarahkan langkah menuju halaman belakang. Desain rumah Tsamara tidak berubah banyak. Tsamara selalu suka dengan gaya minimalis.

Tiba di halaman belakang, Leo menghentikan langkah untuk beberapa saat, menemukan Tsamara sedang duduk di sofa yang menempel dinding tidak jauh di depannya adalah kolam renang. Perempuan itu tampak santai membuka lembar demi lembar majalah di pangkuannya.

“Sampai kapan kamu akan berdiri di sana melihatku?” Tsamara menengadah, mempertemukan tatapannya dengan iris mata Leo yang berpendar.

Leo mengulas senyum manis, menarik napas perlahan, dan menyapa, “Hai, Tsa.” Ayunan langkahnya tertuju pada sofa single di hadapan Tsamara.

“Kamu kembali.”

Entah, itu pertanyaan atau pernyataan. Namun kepala Leo tetap terangguk pelan. “Ya. Bagaimana kabarmu?” Dia menyamankan duduknya, berusaha mengusir kecanggungan yang menyambut dirinya. Tsamara bersikap amat berbeda dari Tsamara yang ia kenal dahulu.

“Aku baik. Kami semua baik.”

“Kamu tidak ingin memelukku?” tanya Leo, berusaha sedikit menghancurkan kecanggungan, namun gagal, saat Tsamara lebih suka membalasnya dengan kaku.

“Enggak.”

Bibir Leo mencebik. “Seenggaknya menyambutku dengan hangat.” Dia merentangkan tangannya, berharap mendapat pelukan. Meski ya, tingkahnya ini keliru, karena Tsamara adalah istri orang. Apalagi suaminya super posesif dan cemburuan. Tapi, ayolah, Leo tidak menyukai kecanggungan yang Tsamara ciptakan.

Tsamara mendecap kesal, menggenggam bantal sofa di sampingnya dan melemparnya kasar dengan seluruh tenaga yang ia punya ke arah Leo. Tepat mengenai kepala lelaki itu. Lebih dari cukup membuat tubuh Leo terdorong ke belakang. “Ngapain kamu balik ke Indonesia. Enggak menghilang sekalian saja.”

Leo mendekap bantal sofa yang jadi senjata Tsamara. Kali ini bibirnya tertarik berlawanan, mencipta senyuman samar. “Kamu ingin aku benar-benar menghilang.”

“Ya.” Balas Tsamara cepat dan tepat.

“Tsa.”

“Buat apa kembali? Sok kenal. Sok dekat. Pernah mengabari aja enggak. Satu kali pun, enggak loh. Tiba-tiba kamu kembali, datang ke rumah, dan meminta bertemu.” Tsamara mencebik. Tatapannya terlontar sinis pada lelaki di hadapannya yang tampak tidak bersalah sama sekali.

Jujur saja, Tsamara kesal setengah mati pada Leo. Lelaki gila itu memang benar-benar gila. Tiga tahun tanpa kabar apa pun.

Leo meluruhkan bahunya. Semua yang Tsamara katakan memang benar adanya. Dia yang bersalah. Dia yang memutus kontak itu. “Aku minta maaf,” lirihnya tulus. “Aku memang bersalah,” sambungnya sendu. Tidak lagi memungkiri sikapnya yang amat pengecut.

Tsamara meloloskan hela napas kasar. Dia memang kesal, namun tidak berniat membenci Leo. “Jadi, kenapa kamu kembali ke Indonesia. Ada pekerjaan? Atau pendidikanmu selesai?” Bagaimanapun, kepergian Leo tiga tahun lalu bukan tanpa alasan. Bukan hanya karena lelaki itu pengecut, namun, memang ada yang ingin dikejar oleh Leo. Hanya saja, waktunya begitu pas.

Terlalu pas untuk membuat semua kacau balau. Dan memporak porandakan hidup Fanny. Adiknya.

Fanny. Haruskah ia mengatakan pada sang adik tentang kembalinya Leo?

Meski tahun-tahun sudah berganti, meski sang adik sudah semakin kuat menjalani hidupnya. Dan bahkan menjalin kasih dengan lelaki baru. Tsamara tetap saja khawatir, luka yang Leo ukir di hati Fanny masih membekas nyata.

“Sudah selesai pendidikan, dan mendapat pekerjaan di sini,” sahut Leo senang.

“Oh, ya. Selamat. Aku turut senang untuk keberhasilanmu. Kalau begitu, kamu akan menetap di Jakarta?”

“Ya. Aku akan menetap di sini.” Leo masih saja berbinar cerah menjawab setiap tanya yang Tsamara utarakan. Meski tetap saja, ekspresi Tsamara tidak secerah dirinya. “Kamu tahu, aku akan bekerja di mana?”

“Kembali ke biro arsitekmu yang dulu.” Tsamara mengedikkan bahu tanpa semangat.

“KaryaUtama Arcitect. Biro arsitek besar yang gedung kantornya enggak jauh dari Badrayudha Realty.”

Mendengar nama BR disebutkan, Tsamara awas seketika.

“Dan siang tadi, aku baru saja bertemu Fanny. Tanpa sengaja. Di depan KaryaUtama.”

Tsamara merasa pening tiba-tiba. Baru saja ia ingin memberi peringatan pada Leo. Semesta malah mempertemukan mereka lebih dulu.

Jadi, mau bagaimana lagi sekarang?

“Dia bersama kekasihnya. Sepertinya.” Kali ini, Leo mengucapkannya dengan lesu.

“Fanny bersama laki-laki saat tanpa sengaja bertemu denganmu?”

Leo mengangguk. “Kamu tahu Fanny sudah punya pacar?”

Untuk kali pertama setelah kedatangan Leo, Tsamara mengulas senyuman lebar. “Tentu saja aku tahu. Aku kakaknya.”

“Jadi, dia lelaki baik?”

Tsamara menghela napas begitu pelan. Dia memajukan duduknya, menatap lama iris mata Leo yang tampak menanti jawabannya. “Dia lelaki baik, Leo,” kata Tsamara. “Kami mengenal keluarganya dengan baik—“

“Kamu kenal keluarganya. Hubungan mereka sudah serius?” potong Leo memburu.

Kepala Tsamara mengangguk pelan. “Kami sangat mengenalnya.” Bagaimana tidak mengenalnya, ketika insiden yang memporak porandakan hidup Fanny dimulai saat itu. “Fanny sudah memiliki kekasih. Dia bahagia dengan hidupnya sekarang. Aku enggak mempermasalahkan kembalinya kamu ke Jakarta, Leo. Namun—“

Tsamara sengaja menjeda ucapannya. “Tolong, jangan dekati Fanny lagi. Biarkan dia bahagia dengan hidup yang dia jalani sekarang.”

Bola mata Leo membeliak. “Tsa, kamu bercanda.”

“Aku sangat serius sekarang. Jangan temui Fanny lagi, Leo. Jujur, aku senang kamu kembali. Namun, aku juga akan marah kalau kamu mendekati adikku lagi. Bagaimanapun, aku enggak bisa menutup mata untuk sikap pengecut yang kamu lakukan tiga tahun lalu.”

Leo kehilangan kata-kata. Binar di matanya redup seketika. Dan udara di sekitarnya berubah terasa amat menyesakkan. Ini jauh dari yang dia harapkan. Harusnya bukan seperti ini Tsamara bersikap. Harusnya, meski marah, Tsamara tetap menerima kehadirannya.

Ke mana perginya Tsamara—sahabatnya belasan tahun. Kenapa tidak lagi tersisa kelembutan dan pengertian di dalam diri perempuan itu.

“Tsa, plis, jangan katakan hal itu.”

Tsamara menggeleng pelan. Ini memang yang terbaik untuk Fanny. Seperti yang dia katakan, meski Leo adalah sahabatnya, namun kebahagiaan Fanny—adiknya, adalah yang nomor satu untuknya.

Dengan meniadakan kehadiran Leo di hidup Fanny, adalah salah satu cara yang bisa Tsamara lakukan untuk sang adik. Untuk hati perempuan itu. Dia tidak ingin Fanny terluka untuk yang kedua kali oleh Leo.

“Jangan mendekati Fanny lagi, Leo. Entah itu bertemu secara tidak sengaja, atau bukan. Kalian harus berjalan di arah masing-masing.”

“Tsa, aku enggak bisa melakukan itu. Aku enggak akan menjauhi Fanny.”

“Kenapa enggak?” Nada suara Tsamara naik satu oktaf. “Kamu yang dulu meninggalkan Fanny. Kamu yang pengecut. Padahal kamu tahu persis bagaimana Fanny terhadapmu. Kamu pikir aku enggak tahu?” Tsamara mengedikkan dagunya. “Aku diam saat itu karena aku menghormati keputusanmu. Tapi apa yang terjadi pada Fanny. Kamu menghancurkan hatinya. Jadi, plis, jangan mendekati Fanny lagi, tidak dalam motif apa pun juga.”

Leo menatap Tsamara dengan ketidak percayaan.

“Kamu bisa menjadi temanku. Tapi tidak menjadi teman Fanny atau sebutan apa pun itu. Kalau kamu melakukannya. Aku benar-benar akan membencimu.”

“Tsa, kenapa kamu semarah itu padaku?”

“Aku marah karena—“ Tsamara memenggal kalimatnya sendiri. Dia berkedip pelan, dan menarik napas. “Aku enggak pernah meminta apa pun padamu untuk Fanny. Tapi kali ini, aku mohon, buat jarak selebarnya dengan Fanny. Biarkan dia bahagia dengan kekasihnya, Leo. Aku akan lebih bahagia jika kamu tidak pernah menampakkan dirimu lagi di hadapan Fanny.”

Tsamara memang kejam. Namun, Fanny sudah tersiksa begitu dalam karena si pengecut di hadapannya ini.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
My Dearest Love
Selanjutnya After Wedding Bab 18 - 19
24
0
Halo, akhirnya kita berada di penghujung cerita. Terima kasih banyak sudah mengikuti kisah Ghaly dan Tsamara sampai sejauh ini. Kita ketemu personil baru di sini. HihiiSetelah ini, lanjut ke cerita Fanny dan Leo, ya. Dengan semua lika-likunya. Kamu bisa menemukannya di Karyakarsa juga, dengan judul, My Dearest Love.Happy Reading.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan