Ustadz ; Baik secara agama? Imam sempurna? Semua pepesan kosong bagi Dwi. Agama hanyalah dagangan untuk mencari nafkah. Pada kenyataannya tak dipraktikkan dalam berumah tangga. Itu yang Dwi rasakan sebagai istri pertama Ustad Danang sekaligus pelayan bagi istri kedua suaminya.

Dwi telah selesai berbelanja. Tak banyak yang bisa Ia beli dengan uang lima puluh ribu. Hanya sekilo ayam, sayuran dan tempe untuk Ia masak.

Mungkin kalau hanya putrinya yang Ia beri makan, belanjaannya cukup banyak. Tapi Ia masak untuk satu rumah. Untuk suami dan juga istri kedua serta dua balitanya.

Dwi menghela napas. Ia merasa letih. rasa letih menjalani rumah tangga yang Ia pikir mudah.

“Iya saya di depan toko roti.” sebuah suara terdengar.

Suara yang dikenali Dwi dan membuatnya mendongakkan pandangan. Itu putrinya. Gadis itu tak sekolah, putrinya berbohong.
Dwi melihat sebuah mobil berhenti di depan Saskia. Pengemudinya turun. Seorang pria paruh baya. Pria itu membukakan pintu untuk putrinya.

“KIA” Dwi langsung berlari mendekati putrinya yang masih berseragam SMP.

Kia kaget, Ia tak mengira akan terpergok “Bu.”

“Apa yang kamu lakukan?”

“Kia butuh hape buat kelas online.” Kia gemetar ketakutan.

“Ikut ibu pulang.” Dwi menarik tangannya paksa.

“Pulang pun Abi sama Ibu nggak akan bisa beliin.” Kia menghentak tangan Ibunya.

Dwi tak bisa menahan emosi, Ia reflek melayangkan tamparan ke wajah putrinya “Ikut ibu pulang atau ibu akan menyeretmu. Biar semua orang lihat.

Pria paruh baya itu masuk ke mobilnya dan mengemudi pergi. Pria itu sepertinya tak ingin dilibatkan dalam keributan.

Kia mengusap pipinya, air mata menggenang “Kalau nggak jual diri gimana Kia bisa ikut kelas online?! Uang Abi cuma cukup buat Ibu kedua dan anaknya!”

Dwi merasa getir. Air mata tak bisa Ia bendung. Teringat Kia yang sejak akhir Juni meminta hape dengan ram tinggi untuk Google Meet dan Google Class. Tapi suaminya tak juga membelikan. Uang hasil dakwah diprioritaskan suaminya untuk istri mudanya.

Istri Ustadz