
Cita-cita Kara tak muluk-muluk, ia hanya ingin tidurnya lelap tanpa harus dihantui oleh mimpi buruk.
Tapi, sosok aneh itu selalu hadir di dalam mimpinya. Mengantarkan Kara pada berbagai peristiwa yang dipenuhi dengan tanda tanya.
Banyak kejadian aneh terjadi. Teror pun datang tanpa henti. Hingga satu demi satu malapetaka menghampiri tanpa sempat permisi. Dan lewat mimpi buruk yang dilihat Kara dalam setiap malamnya, ia akhirnya memutuskan untuk menemukan benang merah atas banyak kejadian yang menimpanya.
Dan di sanalah sebuah rahasia besar akhirnya terungkap.
9
Dobrakan Pintu
Pintu terhempas dengan kencang. Menyambut tiga orang gadis yang sudah berdiri sejak tadi. Ketika pintu itu terbuka dengan lebar, menerobos lah Kara, Amel dan juga Yumi ke dalam rumah.
"Luas juga ya, rumahnya," sahut Yumi sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan.
Rumah kontrakan Amel dan Kara memang sudah jauh lebih baik dibandingkan ketika mereka baru pertama kali tiba di sana. Tembok-tembok yang terkelupas sudah dirapikan bahkan dicat dengan warna bernuansa putih bersih hingga membuat ruangan itu nampak luas. Halaman di depan rumah pun sudah tertata rapi dan terlihat layak huni berkat kerja keras tukang kebun sewaan Bu Inggih.
"Makanya lo tinggal di sini aja bareng kita. Daripada harus nge-kos segala, kan jatuhnya malah buang-buang uang saja. Mending uangnya dipakai buat nanggung biaya makan gue sama Amel selama sebulan. Lo dapat pahala, perut kita juga senang. Iyakan, Mel”
Terlihat senyum Amel mengembang. “Dasar Kara. Pengennya makan gratisan mulu. Sepupu gue sendiri pake acara dimanfaatin segala.”
“Kayak lo enggak aja.” Diliriknya Yumi yang sedang mengamatinya adu mulut bersama dengan Amel.
“Nggak usah dimasukin ke hati ya, Mi. Gue bercanda doang kok.” Kara berusaha meralat perkataannya tadi, sebelum Yumi menanggapi sarannya dengan serius.
“Gue justru senang banget kalau lo bisa tinggal di sini. Kalau Amel lagi ada kegiatan organisasi di kampus, gue nggak bakal khawatir lagi sendirian di rumah. Kan udah ada lo yang nemenin.” Kara berkata dengan suara yang terdengar samar. Mulutnya sudah penuh dengan kunyahan gorengan yang masih panas.
“Eh, by the way lo udah ngomong sama Bu Inggih kalau Yumi bakal tinggal di sini selama dua bulan ke depan?” tanya Kata kepada Amel.
“Kemarin sih gue udah sempat ngomong sama Bu Inggih. Dia fine-fine aja kok. Udah acc pokoknya, jadi aman.”
Kara manggut-manggut. “Syukur deh kalau udah dapat restu dari si empunya tempat ini.”
Tahu dengan isian sayur, kini menghadirkan sensasi baru di dalam mulut Kara. Rasa panas menjalar di sekitar mulutnya. Namun tidak sedikitpun membuat niatnya surut untuk tetap lanjut menikmati makanan itu.
Beberapa menit setelahnya, Kara baru sadar jika sejak tadi hanya ia seorang yang sibuk makan. “Mi, nggak usah sungkan. Makan aja. Raska yang beli ini. Jadi gue nggak bakal minta bon sama lo kok. Nih makan,” canda Kara dengan diiringi sebuah senyuman.
Yumi mengangguk pelan. Walau tampak malu-malu, ia berusaha berbaur dan ikut menikmati tahu isi yang ada di atas meja.
“Lo dari mana aja, Ra? Kok kita hampir samaan sampai rumahnya?”
Dengan mulut yang masih sibuk mengunyah, Kara menelan makanannya lebih dulu sebelum menjawab Amel.
“Habis muter-muter dulu. Beli es krim di supermarket, terus lanjut nemenin Raska cek gitar baru di toko langganannya, baru deh beli gorengan di dekat kampus terus langsung pulang ke rumah. Untung lo udah keburu datang juga, jadi Raska nggak harus capek-capek lagi nemenin gue sampai lo pulang.”
Awalnya Raska memang hendak mengantar langsung Kara kembali ke rumah. Tetapi karena dasarnya Kara malas pulang sebab ujung-ujungnya ia hanya akan berakhir sendirian di tempat ini, jadilah ia memaksa Raska untuk mengajaknya jalan-jalan dulu sebelum benar-benar pulang ke rumah. Walau Kara pun tahu jika Raska tak akan mungkin meninggalkannya seorang diri di rumah kontrakannya sebelum Amel datang.
“Oh... habis jalan-jalan dulu ternyata.”
Kara mengangguk mengiyakan. Lantas lanjut menikmati gorengan yang ada di atas meja.
Amel dan Yumi pun melakukan hal yang sama. Mereka masing-masing mengunyah gorengan yang ada. Tak lagi berlanjut obrolan yang semula tercipta. Suasana kembali hening digantikan suara kunyahan yang saling beradu di antara mereka bertiga. Sepintas, mereka hanya mencoba menghayati gorengan yang sedang nikmat-nikmatnya beradu di dalam mulut masing-masing.
***
Kara dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu. Padahal baru beberapa detik yang lalu ia melihat ke sana dan sama sekali tidak ada yang terlihat selain pohon mangga yang nampak layu karena dihinggapi matahari yang terik.
Beberapa kali Kara mengelus dada, sebelum akhirnya berdiri untuk menyambut tamu yang datang. “Bu Inggih. Silahkan masuk, Bu,” ucapnya masih setengah kaget.
Perempuan tua yang jalannya sedikit membungkuk itu perlahan masuk ke dalam rumah. Wajahnya yang sudah dibalut dengan garis kerutan, berusaha tersenyum dengan begitu lebar kepada Kara.
“Ibu ngangetin kamu ya?” jelasnya berusaha menebak.
Kara langsung tertawa penuh kepalsuan. “Wah enggak Bu, nggak kaget kok.”
Sementara itu, Amel dan Yumi yang berada di dalam kamar langsung bergegas keluar saat mendengar suara riuh yang berasal dari ruang tamu.
“Eh ada Bu Inggih ternyata. Udah lama, Bu?” tanya Amel sebelum ikut serta bergabung.
“Saya baru datang kok, Neng.” Tatap matanya fokus ke wajah gadis yang berdiri malu-malu di belakang Amel. “Jadi ini sepupu kamu yang dari Surabaya itu?” lanjutnya masih sibuk memandangi Yumi.
Ditatap begitu intens dengan seseorang yang baru pertama kali Yumi temui, membuatnya sedikit kikuk. Apalagi tatapan Bu Inggih sudah bisa mengalahkan tajamnya tatapan seorang lelaki kepada sang kekasih hatinya. Ia sontak menunduk, tak berani beradu lebih lama lagi dengan sosok yang ada di sana.
“Iya Bu. Yumi, kenalin ini pemilik rumah kontrakan kita. Namanya Bu Inggih.”
Yumi hanya tersenyum sopan, tak berani maju memberi salam hormat untuk perkenalannya dengan Bu Inggih hari ini. Yumi terlalu takut, apalagi jika harus beradu tatap lagi dengan wanita tua itu.
Sementara Amel, menyikut-nyikut lengan Yumi tanpa henti. “Disalamin dong Mi, hormat dikit kek sama ibu kos gue,” jelasnya setengah berbisik.
Yumi masih takut, tapi keadaannya sedang terdesak dan ia tidak punya pilihan. Dengan langkah ragu, akhirnya ia maju. Mencoba tersenyum walau kaku lantas mengulurkan tangan untuk menjabat Bu Inggih.
“Yumi, Bu.”
“Neng Yumi kayaknya lebih pemalu dari Neng Kara dan Neng Amel, ya. Ibu senang loh rumah jadi makin ramai begini. Semoga betah di sini ya.”
“Iy-ya, Bu,” jawabnya terbata, meski sekarang perasaannya sudah jauh lebih mendingan dibanding saat pertama kali ia beradu tatap dengan Bu Inggih. Melihat Bu Inggih tersenyum padanya, membuat Yumi menepis segala ketakutannya yang sempat hinggap beberapa menit yang lalu.
Bu Inggih ramah dan baik, sepertinya. Pikiranku saja yang terlalu mengada-ngada, pikirnya di dalam hati setelah cukup lama bercengkrama banyak hal dengan Bu Inggih siang ini.
***
Masih nampak jelas terik yang beradu di luar rumah. Kara yang sedang larut dengan buku novel bacaannya sampai lupa waktu dan tidak beranjak sejak tadi dari sofa bahkan setelah kepergian Bu Inggih dari rumah kontrakan mereka.
Yumi duduk di single sofa yang kosong, sibuk dengan ponselnya yang sedang berdendang sedari tadi. Selang beberapa menit setelahnya, muncul Amel di depan pintu dengan membawa kantong plastik berisi minuman dingin. Amel hanya meletakkan barang belanjaannya di atas meja, tanpa menyentuhnya sama sekali. Karena sekarang ia sudah kebelet pipis, dan gadis itu sudah bersiap tancap gas untuk melipir pergi menuju toilet.
Braaakkkk…
Kara, Yumi, terutama Amel yang baru saja hendak ke kamar kecil langsung terlonjak kaget saat mendengar suara pintu yang terbanting dengan sangat kencang. Amel menjadi satu-satunya orang yang sangat terkejut di sini. Pasalnya perempuan itulah yang paling dekat dengan pintu.
"Itu siapa yang nutup pintu barusan?" tanya Amel dengan kaki yang sudah berputar tak karuan karena menahan kencing yang sudah sejak tadi hendak tumpah keluar.
"Bukannya elo, Mel. Kan lo yang paling dekat dengan pintu" Kara melirik Amel dengan rasa takut. Buku yang sedang ia genggam sudah terhempas begitu saja, sebelum Kara pindah haluan ke tempat duduk Yumi dan merapatkan tubuhnya di sana dengan posisi saling berpelukan dengan wanita itu.
"Aishhh gue udah kebelet pipis banget lagi. Sumpah, udah nggak tahan." Tak peduli akan hal mengerikan yang baru saja terjadi, Amel justru dengan gagah beraninya berlari terbirit-birit menuju kamar mandi. Sebelum ruangan mendadak banjir karena ulahnya yang kencing di sembarang tempat.
"Di luar masih ada matahari kan, Mi?"
"Masih, Ra. Kan baru jam tiga sore. Belum juga malam. Jelas masih ada matahari lah. Kecuali kalau langitnya mendung. Tapi kayaknya nggak ada tanda-tanda bakal turun hujan deh. Di luar terik banget soalnya."
"Terus ini kenapa jadi serem banget gini ya. Belum juga malam, udah bikin bulu kuduk pengen copot aja dari kulit."
"Emang kalau soal yang serem-serem harus nunggu malam dulu, Ra?”
Kara dan Yumi masih sibuk berpegangan tangan, dengan tubuh yang saling berdempetan di single sofa yang begitu sempit untuk mereka berdua. Persis pasangan baru yang sedang hangat-hangatnya. Seolah dunia milik berdua, yang lain hanya kebagian ngontrak saja. Seperti nasib Amel yang hanya bisa berdiri sambil memandang Kara dan Amel dengan wajah bingungnya.
"Itu tadi ada apaan ya, Ra. Kok pintunya bisa tertutup sendiri sih?"
Sebagaimana Kara dan Yumi yang sedang duduk berdempetan, Amel pun ikut berdempetan di samping Kara walau hanya dengan posisi berdiri saja. Padahal ada ruang kosong yang masih tersisa di sofa, tapi mereka bertiga malah memilih bertumpukkan di satu tempat.
"Angin kali, Mel," jawab Kara berusaha positif thinking.
"Emangnya angin, Ra? Kok kenceng banget ya suaranya. Gue aja sampai hampir pipis di celana saking kagetnya."
"Kalau kencing doang, pipisnya bisa diberesin pakai pel, Mel. Lah gue, hampir copot nih jantung karena kaget. Untung nggak sampai di tahap mati mendadak. Kan bisa tragis banget tuh cerita hidup gue. Mati muda di rumah kosan karena suara dobrakan pintu di siang bolong."
Amel dan Yumi ingin tertawa tetapi aura yang sedang berlangsung di dalam ruangan itu terasa tak pas untuk membuat mereka cekikikan. Terlalu misterius dan penuh dengan kesuraman. Meski cat tembok sudah berwarna putih, tetapi kali ini rasanya ruangan itu penuh dengan kegelapan yang begitu suram. Seakan-akan, segala hal buruk sudah bersiap untuk mencekam mereka tanpa ampun.
"Kok rumah ini jadi horor gini ya. Gue jadi mikir-mikir buat tinggal di sini, Mel. Apa gue skip aja ya? Lagian Mama gue juga ngasih ongkos buat sewa kontrakan kok. Gue kayaknya nggak usah nebeng sama kalian deh."
***
10
Kekacauan
Cukup lama Kara, Amel dan Yumi berpegangan tangan di single sofa yang sedang mereka duduki. Namun karena suara berisik yang lagi-lagi terdengar di depan pintu rumah, Amel jadi geregetan untuk berlari ke jendela dan mengintip apa yang sedang terjadi di luar sana.
“Eh, eh, eh, Mel lo mau ke mana, mau ngapain hei?” tanya Kara dengan panik, tanpa memberi jeda bagi Amel untuk menjawab pertanyaannya.
“Gue mau cek dulu di jendela. Itu apaan sih ribut-ribut mulu dari tadi.”
Amel sudah melangkahkan kakinya ke depan, namun langkahnya kembali terhenti karena lagi-lagi Kara menarik tangannya dengan sekuat tenaga.
”Mel, jangan nekat. Gimana kalau di depan sana ternyata ada...” kalimat itu tergantung di udara. Kara masih sibuk mencari kata yang tepat untuk menyandingkannya dengan kalimat sebelumnya.
“Pokoknya lo diam di sini aja. Nggak usah aneh-aneh, Mel. Ini handphone gue mana ya?” jelas Kara mengedarkan pandang ke tempat duduknya tadi. Sementara itu tangannya masih menggenggam erat Amel tanpa berniat untuk ia lepas.
“Lo mau ngapain nyari handphone segala. Mau nelpon 112, buat minta pertolongan darurat?”
“Ya enggaklah. Gue mau nelpon Raska. Nyuruh dia ke sini buat ngecek suara ribut di depan rumah. Biar kita nggak usah repot lagi keluar sendiri buat ngecek di sana. Lagian emangnya lo nggak takut, Mel. Bisa aja kan di luar itu ternyata lagi ada kuntilaknat yang lagi gentayangan,” celetuk Kara sembari mencari kontak pacarnya. Kara sengaja memplesetkan kata kuntilanak karena ia terlalu ngeri menyebutnya dengan jelas.
“Astaga, Ra. Emang benar-benar ya lo. Jarak rumah Raska ke kontrakan kita itu nggak sedekat badan gue dan badan lo sekarang. Dan lo nyuruh dia ke sini cuman buat ngecek suara yang ada di depan rumah doang? Apa nggak keterlaluan. Raska emang secinta dan sebucin itu sama lo, tapi lo jangan manfaatin dia kayak gini juga dong.”
“Udah, mendingan kalian berdua tunggu di sini bentar. Biar gue cek dulu di jendela,” jelas Amel sembari melepaskan tangan Kara yang sedang bergelayut manja sejak tadi di lengannya.
“ASTAGA!!!” pekik Amel sambil mundur satu langkah dan lanjut kaget lagi karena Kara dan Yumi tahu-tahu sudah muncul saja di belakangnya tanpa ia duga.
“Duhhh, kalian berdua tuh ya, malah bikin gue makin kaget aja,” jelasnya dengan tangan yang sibuk mengelus dada.
Mendadak tubuh Amel terasa lemas. Karena itulah ia memutuskan untuk tumbang ke lantai dan duduk di sana. Kara dan Yumi ikut duduk di sana pula, menggenggam tangan Amel kuat-kuat. Kara cukup penasaran sebenarnya, tapi nyalinya ciut untuk sekedar mencondongkan wajahnya ke depan agar mampu melihat ke jendela rumah. Cukup Amel saja yang shock, ia tak ingin menambah beban hidup dengan cara ikut-ikutan sok berani seperti Amel.
“Kenapa, Mel. Lo gapapa?”
“Yumi, pertanyaan lo basi banget sih. Nggak mungkin Amel gapapa dong. Lihat aja mukanya kaget gitu.”
“Gue bilang juga apa, Mel. Mendingan kita nyuruh Raska aja yang ngecek. Lo sih, terlalu sok berani jadi orang. Ujung-ujungnya malah hampir jatuh pingsan juga jadinya.”
Kara menyilangkan tangan di depan dada. Ia berpikir, sedang berpikir keras. Gadis itu sebenarnya hendak menghubungi Raska. Tetapi ponselnya malah tertinggal di sofa dan ia takut beranjak ke sana. Jaraknya tidak jauh, tetapi kakinya sudah gemetar duluan sebelum melangkah.
“Gue kaget bukan karena lihat hantu, Ra. Nggak seperti yang ada dalam pikiran lo kali. Tapi-“ jelas Amel setelah ia sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
“Tapi?” lanjut Kara dengan alis yang naik sebelah.
“Di depan pintu ada lelaki aneh. Kulitnya kuning langsat, dengan tubuh nyaris telanjang. Dia cuman pakai boxer doang, di tengah cuaca terik kayak gini. Lo bayangin gimana rasanya. Gue yakin dia pasti bukan hantu karena kakinya rapat di tanah, tapi tanpa alas kaki sama sekali. Dia ketawa, terus giginya hitam kayak arang. Rambutnya acak-acaknya, kayak orang habis cukur tapi nggak sepenuhnya dirapikan. Dan tadi, dia melotot pas ketika gue ngeliat ke jendela. Bola matanya nyaris keluar. Ihhh, lebih serem dari hantu deh pokoknya. Kok bisa dia ada di depan pintu rumah kita ya?”
Amel kembali menenangkan diri, menelan ludah beberapa kali sebelum lanjut cerita lagi. “Pokoknya, dia ibarat wujud sempurna dari chaos.”
***
Semilir angin sore terasa malu-malu menelusup di pori-pori kulit. Di tambah desas-desus ibu komplek yang sudah mampu mengalahkan merdunya suara musik masa kini, berhasil membuat suasana sore hari menjadi kian riuh.
Langkah kaki Kara beranjak memasuki sebuah warung yang tak pernah sepi pengunjung. Warung dengan beragam pilihan makanan, lengkap dengan pemiliknya yang selalu tersenyum ramah.
“Iya Bu, kemarin dia berkeliaran lagi di komplek kita.”
“Anak saya sampai takut, Bu.”
“Jangankan anak Ibu, saya aja yang udah tua gini juga takut sama dia.”
“Pak RT kok nggak turun tangan sih. Kalau warga sudah resah begini, kan bahaya buat penduduk komplek kita.”
Kara bukannya ingin menguping. Tetapi suara-suara itu terdengar jelas. Sangat jelas, hingga ia ikut larut dalam perbincangan yang sedang berlangsung. Suara itu berasal dari ibu-ibu yang sedang sibuk membicarakan seseorang dengan sapaan dia.
“Ini Neng mie instannya,” jelas Bu Ningsih sembari menyodorkan bingkisan plastik kepada Kara.
Kara tersenyum. “Makasih Bu,” ucapnya ketika menyodorkan selembar uang kepada Bu Ningsih.
Sebelum ia beranjak pergi, tiba-tiba saja salah satu anggota ibu-ibu rumpi berceletuk padanya. “Hati-hati, Neng. Di komplek kita lagi nggak aman, lagi ada orang gila. Suka berkeliaran, apalagi Neng tinggal di rumah Bu Inggih, kan?”
Kara cuma mengangkat alis. Orang gila yang mereka maksud apakah sama dengan sosok yang diceritakan Amel kemarin?
“Bu Reni kok malah nakut-nakutin orang lain sih,” ungkap Bu Ningsih merasa risih. “Udah Neng, nggak usah didengerin. Mereka memang paling demen menyebar hoax.”
Kara mendadak dihinggapi rasa bingung. Antara ingin menanggapi peringatan ibu rumpi tadi, atau bersikap abai saja sebagaimana saran dari Bu Ningsih barusan.
“Bu Ningsih ini kok suka sekali nutup-nutupin kenyataan. Kemarin kematian bunuh dirinya Neng Malini nggak boleh disebar, sekarang anak Bu Inggih yang gila dan sedang meresahkan warga juga malah dianggap hoax semata. Lagian apa salahnya nyuruh orang lain hati-hati, Bu. Orang cuma nyuruh hati-hati doang kok disensiin juga.”
“Kalau udah renggut korban emangnya Bu Ningsih mau tanggup jawab?”
Suasana mendadak hening. Hanya adu tatap mata yang sedang berlangsung lama. Sementara Kara sedang sibuk bercengkerama dalam benaknya sendiri.
Anak Bu Inggih yang gila dan juga perempuan bernama Malini yang bunuh diri. Ada apa dengan mereka berdua? Kenapa Bu Ningsih melarang ibu-ibu komplek membicarakannya.
***
Seusai memasuki rumah, Kara hanya meletakkan mie instan yang dibelinya di atas meja. Hilang sudah selera makannya. Digantikan dengan beragam pertanyaan yang lapar akan jawaban. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan, sehingga lupa dengan dua teman rumahnya yang sudah menunggu sejak tadi di dalam kamar untuk menyaksikan mie instan buatan Kara tersaji di meja makan untuk mereka santap malam ini.
Kara meraih bantalan sofa yang ada di dekatnya. Setelah merapatkan punggungnya di sofa, ia memeluk bantalan sofa itu lalu tertidur begitu saja. Mendadak Kara merasa mengantuk. Bagai ada sebuah tangan yang sedang mengusap-usap matanya dengan perlahan.
Setelah matanya tertutup rapat, suasana yang sebelumnya hanya sekedar gelap dan hitam semata, lamat-lamat berubah menjadi bersinar dengan pantulan cahaya redup yang telihat begitu samar.
Kara sedang berdiri di sebuah tempat yang luas. Tidak terdapat pintu apalagi tembok yang membatasi tempat itu. Hanya ada ia seorang diri di sana. Hingga lambat laun, terdengar suara perempuan yang berteriak minta tolong padanya.
Suara yang semula terdengar begitu jauh, perlahan semakin dekat bahkan nyaris terdengar seperti seseorang yang berteriak tepat di depan kedua telinganya.
Kara semakin gusar. Gerak tubuhnya semakin tak karuan. Suara itu semakin nyata. Suara yang berbeda dari suara yang pernah ia dengar selama itu. Suaranya berat dan serak. Isak tangis mengisi setiap kata yang terucap.
Kara semakin memeluk bantalan sofa. Tangannya mencengkeram benda empuk itu dengan sekuat tenaga.
Dalam cahaya remang yang mampu terlihat oleh Kara, nampak seorang perempuan melintas dengan cepat. Kara semakin mengedarkan pandang, namun nihil. Tidak ada lagi tubuh perempuan itu di sekitarnya.
Tak butuh waktu lama untuk membuat suara itu kembali menggema. Lalu samar-samar terdengar suara tangis bayi yang mendayu-dayu. Semakin kencang suara perempuan itu, semakin jelas pula suara tangis bayi yang mengiringinya. Mereka beradu, membentuk paduan suara yang terdengar sangat kompleks.
Keringat dingin di sekitar pelipis Kara sudah semakin terasa. Angin yang menyembur kulitnya mampu menghadirkan suasana dingin yang tak dapat terhindarkan lagi. Kara memeluk diri, namun kembali ia melihat perempuan itu melintas.
Isak tangisnya kian nyata. Kara kembali melihatnya melintas. Dengan balutan baju berwarna putih yang bercampur dengan bercak-bercak warna merah. Rambutnya panjang hingga pinggang, namun berantakan dan menutupi wajahnya hingga Kara tak bisa mengenali sosok itu.
Perempuan itu mendekat, kian dekat, hingga nyaris hanya berjarak satu jengkal saja dengan wajah Kara. Tangannya yang dingin menggenggam tangan Kara dengan pelan. Sangat dingin hingga membuat Kara merinding. Sosok itu semakin dekat dengan Kara, bahkan deru napasnya mampu terasa dengan jelas menyapu wajahnya yang sedang ketakutan.
Kara menutup mata rapat-rapat, lalu berteriak sekencang-kencangnya hingga tiba-tiba terasa sebuah tangan kembali menepuk-nepuk pipinya dengan pelan.
“Ra, Kara. Bangun!”
“Huh.... huhhhh.” Kara kembali membuka mata. Dengan sangat terengah-engah, ia berusaha untuk mengumpulkan napas yang sempat hilang. Pandangannya memancar ke segala penjuru ruangan. Ada yang berubah sekarang. Kara mampu melihat cahaya terang yang benar-benar terlihat begitu terang. Bukan hanya sekedar cahaya redup yang penuh dengan beragam pertanyaan.
Ada Yumi dan Amel di samping kanan kirinya. Kedua wanita itu terlihat panik dan menunggu Kara menjelaskan situasi yang sedang ia alami hingga membuatnya sangat panik dan bercucuran keringat seperti ini.
“Cuman mimpi ternyata.”
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
