
Cita-cita Kara tak muluk-muluk, ia hanya ingin tidurnya lelap tanpa harus dihantui oleh mimpi buruk.
Tapi, sosok aneh itu selalu hadir di dalam mimpinya. Mengantarkan Kara pada berbagai peristiwa yang dipenuhi dengan tanda tanya.
Banyak kejadian aneh terjadi. Teror pun datang tanpa henti. Hingga satu demi satu malapetaka menghampiri tanpa sempat permisi. Dan lewat mimpi buruk yang dilihat Kara dalam setiap malamnya, ia akhirnya memutuskan untuk menemukan benang merah atas banyak kejadian yang menimpanya.
Dan di sanalah sebuah rahasia besar akhirnya terungkap.
7
Bukan Sekedar Ilusi
Kepulan kopi menari-nari indah di udara. Bahkan aromanya yang menggugah selera dapat tercium dengan jelas oleh setiap hidung manusia yang berada di sekitar meja. Namun tidak demikian dengan perempuan yang tengah berdiam diri di sudut ruangan. Sejak tadi, ia hanya termenung, asyik dengan alam khayalnya sendiri. Membiarkan cangkir demitasse yang berisi espresso macchiato miliknya, terbengkalai bagai sampah tak terurus saja.
"Pagi, sayang," sapa seseorang yang baru saja menghampiri mejanya.
Kara seketika tersadar dari lamunan panjangnya. Ia menyunggingkan sebuah senyuman walau senyum kali ini lebih terkesan terpaksa dibanding senyum yang biasa ia berikan pada lelaki itu.
"Lagi mikirin apa sih, kok kusut gitu mukanya?" Raska menggeser kursi, meletakkan tasnya di atas meja, lantas ikut bergabung duduk di sebelah Kara.
"Lagi mikirin ujian semester yah? Kan masih ada tiga minggu lagi."
"Kuliah itu harus dibawa santai Ra, nggak harus serius-serius amat. Entar kalau terlalu dipikirin malah kamu sendiri yang bakal stress," tuturnya lagi, tanpa memberi jeda bagi Kara untuk menjawab.
Siang ini, Raska membuka pertemuan mereka dengan nasehat-nasehat ringan. Larut dalam prediksinya sendiri perihal kegundahan hati yang sedang menghampiri Kara.
Masih saja Kara terdiam, ia hanya menjawab lelaki itu dengan senyuman. Perasaannya sedang tidak bersahabat sekarang. Jangankan untuk berbicara, meneguk kopinya yang sudah hampir dingin saja, rasanya sangat berat untuk ia lakukan.
"Amel mana, kok tumben sendirian?"
"Lagi print tugas. Mungkin bentar lagi juga datang orangnya."
Lelaki itu manggut-manggut saja seolah mengerti dengan jawaban Kara barusan. Lalu di tengah hening yang kembali tercipta, ia menghabiskan waktu untuk memandangi wajah Kara dari jarak yang begitu dekat dengannya.
Entah kapan terakhir kali ia memandangi wajah Kara dari jarak sedekat sekarang. Hanya ada sejengkal saja dari wajahnya. Kara semakin terlihat cantik, dengan polesan lipstik berwarna brown nude yang mengukir indah di bibirnya. Hanya saja wajah ceria yang dulunya sering terlihat, kini perlahan memudar. Tak lagi secerah biasanya.
"Kamu kebanyakan begadang ya, akhir-akhir ini. Lingkaran hitam di bawah mata kamu jelas banget. Udah kayak mata panda aja."
Buru-buru Kara meraih cermin di dalam tasnya. Melihat dirinya lewat pantulan kaca kecil yang ia letakkan di telapak tangan.
Raska benar, bola mata Kara saat ini sudah menyaingi mata panda saja. Daerah sekitar bawah matanya yang begitu hitam membuatnya terlihat sangat lelah. Dan Kara memang nampak tak secerah biasanya.
"Kalau kerjaan kamu lagi numpuk dan butuh tenaga ekstra buat bantu-bantu ngerjain tugas kampus, aku selalu siap siaga 24 jam kok buat kamu. Jangan berjuang sendiri dan malah berujung jadi lelah kayak gini, Ra. Kalau kamu sakit, kan aku juga yang sedih."
"Baik banget sih, pacar aku. Makasih ya, udah perhatian sama aku." Kara mencubit pelan pipi Raska, hingga membuat lelaki itu gemas dan berujung mengacak rambut Kara hingga berantakan.
“Aku lagi nggak banyak tugas kok. Lagian nih ya, walaupun lagi banyak tugas emangnya kamu yakin bakal siap siaga 24 jam buat bantuin aku. Kamu kan harus kuliah juga, belum lagi kalau ada jadwal buat latihan nge-band. Sok-sokan mau ngebantuin 24 jam nonstop. Emangnya hidup kamu tentang aku doang?”
Raska terkekeh. Kara benar juga. “Tapikan aku masih bisa berusaha buat luangin waktu untuk kamu, Ra. Emangnya pernah, aku nolak tiap kali kamu butuh sesuatu. Aku pasti bakal usahain, ya walau kadang nggak persis sama sih dengan permintaan kamu. Tapikan aku selalu siapin alternatif lain yang seenggaknya bisa mempermudah kamu.”
Apa yang dikatakan oleh Raska memang benar adanya. Alih-alih menolak ketika Kara sedang butuh bantuan, Raska terkadang menyiapkan alternatif lain untuk membantu kekasihnya itu agar terhindar dari kesulitan. Dan Kara harus banyak bersyukur karena sudah dikirimkan lelaki yang tak hanya tampan dan rupawan tetapi juga memiliki hati yang penyayang dan penuh kasih. Tak salah ia memilih lelaki itu untuk menjadi pelabuhan hatinya saat ini.
Kara tersenyum. "Iya, iya, kamu emang selalu ada sih buat aku. Tapi, beneran bukan karena tugas numpuk kok. Akhir-akhir ini aku malah hampir nggak ada tugas dari dosen.”
Sembari menjelaskan, pandangan Raska tak pernah sedetikpun lepas dari wajah Kara. Jawaban Kara barusan jelas menjadi sumber perdebatan baru di dalam benak Raska. Semua itu mampu tergambar dengan jelas di wajah lelaki itu. Sangat jelas, hingga Kara mampu membaca tanda-tanda yang disuguhkan padanya.
“Aku lagi nggak bisa tidur aja akhir-akhir ini. Emm, semacam insomnia yang akut, mungkin. Karena itu, makanya di bawah lingkaran mataku jadi hitam kayak gini. Jelas banget ya, hitamnya?" ucap Kara dengan apa adanya sembari meraih kembali cermin yang ia punya dan melihat pantulan wajahnya di sana.
"Bukan karena mikirin aku, kan?" Senyum menggoda dari wajah Raska berhasil membuat Kara ikut tersenyum. Senyum kali ini lebih lebar dan lepas dibanding senyumnya tadi. Kara sedikit berbahagia, walau tetap saja ia masih kepikiran akan banyak hal yang mengusiknya tanpa henti.
"Raska, kamu masih ingat nggak soal ceritaku yang tempo hari tentang mimpi buruk yang aku alami akhir-akhir ini."
Tawa yang semula masih begitu bergairah mendadak terhenti setelah Raska mendengar Kara berbicara dengan ekspresi wajah yang lebih serius dari sebelumnya.
Alis lelaki itu berkerut sempurna. Bahkan nyaris menampilkan garis kerutan di sekitar keningnya. "Mimpi buruk?" ucapnya penuh penekanan.
"Iya mimpi buruk yang pernah aku ceritain ke kamu itu loh."
"Mimpi yang kamu dikejar-kejar wanita berambut panjang itu ya?"
Dengan cepat Kara menganggukkan kepala. Tepat sekali apa yang Raska katakan barusan.
"Akhir-akhir ini, mimpi itu datang lagi. Bahkan lebih rutin, nyaris setiap malam. Gara-gara mimpi buruk itu, aku jadi nggak bisa tidur nyenyak setiap kali malam tiba. Aku takut. Aku takut sama wanita berambut panjang yang berwajah menyeramkan itu."
"Dia selalu datang setiap kali aku tidur. Dia berteriak dengan kencang dan terus-terusan nyuruh aku untuk ikut dengannya."
"Aku nggak tahu maksudnya apa. Tapi aku takut, terlalu takut dengan hal-hal aneh yang mengusik tanpa henti itu, Ka.”
“Gimana kalau mimpi itu sebenarnya sebuah gambaran kejadian di masa depan yang sengaja ditunjukin sama aku sebagai sebuah pertanda. Gimana kalau ternyata suatu hari nanti dia beneran pengen ngambil aku dengan paksa."
“Aku takut sampai kehabisan akal buat mikirin apa yang seharusnya aku lakukan untuk menghadapi semua ini. Dan anehnya, setiap kali aku bangun dan tersadar dari mimpi buruk itu, pasti selalu ada tanda lebam yang tertinggal di sekitar tubuhku. Entah di tangan atau di kaki.”
“Secara nggak langsung mimpi itu sebenarnya nyata kan, Raska. Kalaupun hanya sebuah mimpi saja, lantas kenapa harus ada tanda lebam yang tertinggal segala?”
"Gimana kalau mimpi itu pertanda kalau umur aku udah nggak lama lagi di dunia ini."
Kara tak bisa lagi menyembunyikan ketakutannya. Bahkan keringat pun sudah mulai bercucuran memenuhi keningnya yang semula baik-baik saja. Dan sekarang Kara gemetar, tubuhnya terguncang memikirkan bagaimana menyeramkannya sosok yang selalu mengikutinya di dalam mimpi.
Dengan sigap Raska menarik tubuh kekasihnya itu untuk kemudian ia dekap dengan erat. Dielusnya punggung Kara yang masih juga bergetar tanpa henti.
"Aku takut, Ka. Aku beneran takut," ringis Kara masih dengan suara seraknya yang sedang menahan tangis agar tak segera tumpah.
"Kamu nggak perlu takut. Kan ada aku disini. Kamu yang tenang ya." Raska lanjut mengelus punggung Kara hingga tubuh wanita itu menjadi tenang kembali.
Raska baru melepas pelukannya pada Kara setelah ia yakin betul bahwa Kara sudah baik-baik saja sekarang.
"Kamu lihat aku sekarang," ucap Raska penuh penekanan. Tangannya perlahan meraih dagu Kara agar wanita itu melihat Raska dengan baik.
"Kita, manusia, nggak berhak mengukur umur kita sendiri di dunia ini. Itu rahasianya sang pemilik jagat raya, Kara. Jadi stop mikir aneh-aneh, apalagi sampai harus berpikir jauh kalau umur kamu sisa sebentar lagi di dunia ini. Kematian itu sebuah rahasia. Bahkan bisa saja, sebentar sore aku yang justru tiba-tiba meninggal entah karena kecelakaan atau karena hal mendesak lainnya. Kematian itu nggak sesimpel meneguk kopi dingin yang bisa selesai dengan sekali tegukan saja. Dia nggak bisa ditakar lewat mimpi, Ra. Sama sekali nggak bisa kayak gitu."
"Tapi mimpi itu datang tanpa henti, Raska. Dia manggil-manggil aku seolah aku harus ikut dengannya dan menjalani hidup seperti dia. Kalau bukan pertanda mati, terus apalagi?"
"Kara, hidup mati itu bukan mimpi yang nentuin. Jadi stop ngomong kayak gitu,” ucap Raska dengan tegas agar Kara berhenti dengan argumennya yang tak masuk akal.
"Tapi aku takut, Raska. Aku takut, kamu ngerti nggak sih apa yang aku rasain?”
“Aku juga capek tiap malam harus mati-matian menahan kantuk cuma karena takut mimpi itu bakal datang lagi ketika aku tidur. Bahkan saat aku harus terbangun karena mimpi buruk, aku nggak bisa lagi lanjutin tidur saking takutnya aku sama hal-hal yang aneh itu. Aku juga capek harus menjalani hidup kaya gini. Tiap malam, aku udah kayak lagi di neraka tau nggak. Dan kalau saja aku bisa diberi satu kesempatan untuk memilih, mungkin aku cuma minta satu hal sama Tuhan. Aku cuma pengen waktu malam hari di hapus dalam hidup aku. Aku nggak mau ada kata tidur, Ka. Aku benci malam. Aku nggak suka tidur."
Raska terdiam. Sementara Kara menitikkan air matanya kali ini. Tak lagi Raska menjawab, hanya kembali memeluk Kara dan mengelus rambutnya dengan lembut.
“Maafin aku ya, aku udah bentak kamu.” Hanya satu kalimat itu yang tersisa dalam benak Raska. Ia hanya berharap, permintaan maafnya kali ini akan menjembatani mereka menuju keadaan yang jauh lebih damai dari sebelumnya.
“Kamu percaya sama aku kan?”
“Aku selalu percaya sama kamu, Kara.”
Kara menghembuskan napas lega. Itulah pengakuan yang selalu ia tunggu-tunggu selama ini. Kara frustasi melampaui batas akut setiap hari. Kisah baru yang bergulir padanya kerap kali membuatnya kesal karena orang di sekelilingnya justru menganggapnya aneh. Menganggapnya sedang berangan-angan.
Tetapi hari ini, Raska percaya padanya. Percaya dengan mimpi-mimpi itu. Apa yang dirasakan Kara, setidaknya mampu tercermin pula lewat pikiran Raska saat ini. Setidaknya ia tidak merasa sendirian.
Setelah Kara mulai tenang, Raska kembali berbicara dengan hati-hati. "Pulang kampus nanti, kita jalan-jalan ke psikolog ya. Kebetulan temanku baru buka praktek dekat kampus ini. Dia lulusan psikolog Harvard University. Nanti deh biar aku contact dia untuk mengatur janji ketemu di tempatnya. Biar kita bisa mulai terapi hari ini."
Mendengar kalimat barusan seketika membuat Kara mengerutkan alis. "Kamu pikir aku gila?" pekik Kara melepaskan diri dari pelukan Raska.
“Ra, nggak gitu maksudnya. Aku nyaranin untuk menjalani terapi biar kamu bisa ngendaliin kondisi emosional kamu dengan baik. Bukan karena aku mikirnya kamu gila. Aku percaya sama kamu, sayang. Karena itu kita harus ketemu temanku dulu, biar dia bisa kasih solusi buat kondisi kamu sekarang. Biar kamu bisa sedikit lebih tenang. Nggak gelisah kayak gini.”
Kara semakin melotot sempurna, tak terima dengan tawaran Raska barusan. "Aku pikir kamu beda dengan Amel. Ternyata kalian semua emang sama aja. Nggak ada yang bisa mengerti situasiku dengan baik. Malah mikirnya aku ini manusia nggak waras. Emang percuma ngomong sama orang lain. Mulut berbusa pun, mereka nggak bakal paham."
Raska terdiam. Ia tak mengira Kara akan berpikir hingga sejauh ini. Sembari memandangi semburat wajah Kara yang penuh amarah, ia hanya berkedip tanpa kata.
"Nih, buat kamu aja kopinya, aku udah hilang selera buat minum."
Kara beranjak dari kursinya. Setelah meraih tasnya yang tergeletak di atas meja, ia berlalu pergi begitu saja. Sisa siang itu melenceng dari harapan. Hanya selang sebentar mereka berdamai dengan keadaan, secepat hembusan napas pula mereka bersepakat untuk merobohkannya.
Punggung Kara semakin tak terlihat. Di atas meja yang terlalu sepi, hanya ada kepulan busa susu yang sudah menyatukan diri dengan espresso. Macchiato milik Kara sudah benar-benar dingin. Meninggalkan perasaan yang dingin pula di hati Raska siang ini.
Terik semakin membakar kulit, sementara kisah pelik yang mereka jalani semakin tak tahu akan berakhir di persimpangan mana lagi. Segalanya melaju, melebur dengan waktu yang semakin beranjak pergi, memilih untuk segera berlalu.
***
8
Teka-Teki Silang
Di depan kelas, Kara termenung sesaat. Langkah jenjangnya baru saja beranjak meninggalkan tempat yang sedang riuh dengan lautan mahasiswa. Derap kaki yang cepat dan tak berirama, beranjak dengan dibalut emosi yang mencuat.
Kara sebenarnya tahu niat Raska sangat baik untuknya. Tak selamanya juga konsultasi ke psikolog berarti si pasien itu gila. Tetapi entah mengapa ia terlalu emosi hingga harus berlalu pergi begitu saja tanpa peduli dengan anggapan lelaki itu padanya.
"Mimpi itu, mimpi itu terasa nyata buat gue. Tapi kenapa nggak ada satu orang pun yang percaya dengan apa yang gue ceritain ke mereka. Gue nggak halu kok. Semua yang terjadi sejak gue tinggal di rumah Bu Inggih emang beneran nyata. Tapi kenapa begitu, Tuhan? Kenapa cuma gue yang bisa ngerasain ketimpangan ini,” bisik Kara kepada diri sendiri.
Susah payah Kara mencapai kursinya. Belum genap semenit ia rehat di sana, Amel datang dengan membawa laporan tebal yang baru saja selesai ia print serta satu cup minuman yang langsung diletakkan di atas meja Kara.
"Nih, titipan dari Raska," ucapnya sebelum lanjut duduk.
"Titipan dari Raska?" Kara menoleh, melirik Amel dengan penuh tanda tanya. Lalu sedetik setelahnya, ia menatap satu cup kopi yang sepertinya masih hangat itu.
Di bagian tutup cup kopi tersebut, ada kertas kecil yang terselip dengan rapi di sana. Alis Kara pun mengerut, tangannya perlahan menarik kertas itu untuk kemudian ia baca tulisan yang ada di sana.
I'm sorry, I failed to understand you. Aku cuman mau lihat kamu bahagia, bukannya banyak pikiran kayak tadi. Jangan marah lagi ya. I love you, Dear.
Kara menghembuskan napas berat. Sembari memasukkan kertas kecil itu ke dalam tasnya.
"Lo kenapa emang sama Raska. Marahan lagi?"
"Gitu banget lo ngomongnya. Marahan lagi? kayak gue sering marahan aja sama dia. Tapi, sekarang emang lagi marahan sih. Hm, lebih tepatnya gue yang lagi marah-marah sama dia. Habisnya ngeselin,” ketus Kara kembali dengan raut wajah kesalnya.
"Oh, gitu,” timpal Amel sambil menganggukkan kepala. “Jangan kesal-kesal mulu lah, Ra. Raska udah baik gitu juga, masa lo masih juga kesal sama dia. Emang dia kurang apalagi coba. Jarang-jarang tahu ada cowok sebaik dan sepengertian dia."
Dia kurang ngertiin gue. Sama kayak lo juga, Mel. Kalian emang ketemu deh sikap nyebelinnya, bisik Kara di dalam hati.
"Mel, coba ya hidup itu cuma selebar layar TV, yang bisa dipegang kendalinya lewat remote control. Pasti enak kali ya. Ketika gue lelah, gue bisa nyuruh lo buat mencet tombol off-nya. Dengan begitu gue bisa rehat sebentar dari dunia yang berisik ini. Dan ketika gue udah fit kembali, gue bisa nyuruh lo buat tekan tombol on-nya. Gue bisa milih kapan harus on dan kapan harus off. Nggak kayak sekarang, hidup gue rasanya dipenuhi dengan banyak pertanyaan, yang entah kapan akan bertemu dengan jawabannya. Kita tuh semacam lagi dipaksa ngerjain teka-teki silang tau nggak. Terlalu sulit dipecahkan, malah terkadang kita digiring menuju jawaban yang justru menjebak."
"Lo ada-ada aja, Ra. Siang ini tuh udah terik, lo nggak usah buat suasananya jadi makin pelik dengan mikir berat-berat soal hidup. Kayak anak filsafat yang lagi kajian aja."
Amel menggeleng pelan melihat bagaimana konyolnya Kara saat ini. "Mendingan lo minum tuh kopi pemberiannya Raska. Kasian tahu, dia sampai harus ngantri panjang buat dapetin minuman kesayangan lo itu."
"Baiklah. Anak akuntansi yang lagi cosplay jadi anak filsafat mau minum kopinya dulu." Kara meneguk espresso macchiato miliknya. Espresso dengan elemen susu, kini mengalir perlahan mengisi tenggorokannya. Minuman dengan rasa yang berada di antara espresso dan cappucino itu, selalu berhasil membuat Kara tenang.
***
Hari sudah benar-benar beranjak menuju sore. Langit yang semula biru, kini dihias warna coklat keemasan yang begitu mempesona. Sementara di kampus, pelatarannya masih juga penuh dengan orang-orang yang hilir mudik tanpa henti.
Kara sudah hendak pulang. Pandangannya sedang asyik melihat beragam notifikasi yang masuk di ponselnya.
“Ra, lo pulang duluan aja ya. Gue mau jemput Yumi dulu di stasiun.”
Wajah Amel nampak gusar. “Yumi, sepupu lo?”
“Iya. Barusan dia nge-chat gue. Keretanya sudah tiba satu jam yang lalu. Sekarang lagi nunggu di stasiun.”
“Nggak ngomong dulu sih. Gue kirain dia bakal datang lusa. Taunya hari ini udah ada di Jakarta aja,” lanjut Amel yang sudah hendak beranjak dari posisinya sekarang.
“Ehhh,” tahan Kara, ia menarik tangan Amel hingga membuat gadis itu berhenti berjalan. “Gue ikut aja deh. Males sendirian di rumah.”
“Lo pulang aja. Ngapain pake acara ikut segala sih. Lagian gue cuma mau jemput Yumi kok, abis itu langsung balik ke rumah. Lo kan capek seharian di kampus. Mendingan lo telepon Raska buat nganterin lo pulang. Suruh dia nemenin lo dulu di rumah. Gue nggak bakal lama kok. Paling satu jam doang.”
“Ya, Mel. Satu jam lama kali. Gue ikut aj-“
“Udah mau pulang, Ra?” tiba-tiba saja Raska datang menghampirinya. Amel langsung tersenyum lebar saat melihat Raska berdiri di hadapannya.
“Kebetulan,” jelas Amel dengan diiringi senyumnya yang manis. “Lo anterin tuan putri pulang dulu ya. Gue cabut duluan,” jelasnya dengan tergesa sebelum berlari meninggalkan Kara dan Raska.
Hanya tersisa hembusan napas berat dari Kara selepas kepergian Amel. Dan sekarang, yang lebih membuatnya kian berat lagi adalah keikutsertaan Raska di sampingnya. Kara masih ingin marah padanya, tetapi keadaan sepertinya sedang tidak memihaknya sekarang.
“Amel mau ke mana, Ra? Kok kelihatannya buru-buru gitu.”
Kara lanjut berjalan. “Mau jemput sepupunya di stasiun. Sepupunya yang kuliah di Surabaya lagi penelitian di sini. Kebetulan tempat penelitiannya dekat dengan rumah kontrakan, jadi sekalian nebeng sama kita aja daripada harus nyari kos-kosan segala.”
Raska hanya manggut-manggut saja sembari melihat Kara yang sudah berjalan lebih dulu. Sebelum Kara semakin jauh melangkah, Raska segera menarik tangannya.
“Ra, mobil aku parkir di sebelah sana. Kamu nggak rencana jalan kaki pulang ke rumah kan?”
Tanpa menunggu persetujuan, Raska mendekati Kara. “Kamu masih marah ya sama aku?” Kara terkesiap saat merasakan tubuhnya dirangkul oleh Raska, sebelum mereka akhirnya berjalan beriringan.
“Maaf. Aku terlalu putus asa sampai berpikir jauh buat ngajak kamu ke psikolog. Jangan marah lagi, ya.”
Kara berjalan terseret sambil menggenggam tangannya sendiri. Raska kembali meminta maaf. Haruskah ia memperpanjang masalah yang semestinya bisa ia pangkas dengan mudah.
“Soal mimpi buruk yang kamu alami, aku mungkin nggak bisa bantu banyak karena aku juga nggak tahu caranya gimana. Tapi, aku percaya kamu kok. Mungkin, memang ada bagian tertentu yang tidak bisa dilihat oleh semua orang. Kamu bisa melihat itu, berarti kamu orang yang istimewa, Kara. Jadi nggak usah dianggap beban. Bisa jadi sedang ada pelajaran berharga yang berusaha dititipkan semesta buat kamu. Mulai sekarang kamu usaha untuk kendalikan rasa takut kamu ya. Dan yang paling penting untuk kamu ingat adalah soal hidup dan mati itu, Tuhan yang nentuin kok. Jadi jangan terpaku sama mimpi. Bisa saja mimpi itu justru memiliki maksud lain yang sebenarnya belum kamu mengerti saja sekarang.”
Kara menoleh ke samping, mendongakkan sedikit wajahnya untuk melihat Raska. Terlihat lelaki itu sibuk menatap lurus ke depan.
Kara menarik napas sebagai langkah awal untuk menyiapkan sebuah jawaban. Kara selalu betah menikmati momen ini. Melihat Raska yang selalu mengharap maaf darinya. Seakan-akan menjadi bukti tentang bagaimana Raska sangat mencintainya. Seperti kata Amel, Raska terlalu sempurna nyaris tak ada kurangnya.
“Makasih ya, kamu udah percaya sama aku. Kayaknya, bukan kamu deh yang gagal ngertiin aku. Kamu selalu berusaha ngerti, akunya saja yang kadang lost control sama kamu.”
Ucapan Raska menghadirkan kekuatan baru bagi Kara. Mungkin Raska benar. Kara istimewa. Dan karena kalimat itulah, sekarang ia sedikit tenang tetapi juga dipenuhi dengan tanda tanya. Ada bagian dalam dirinya yang sedang terguncang, menyisakan perasaan berbentuk serangkaian ruang-ruang kosong yang minta untuk segera diisi dengan sebuah jawaban. Seperti teka-teki silang berbentuk kotak berwarna hitam dan putih. Dan tujuan Kara sekarang bukanlah larut dalam ketakutannya, melainkan melawan rasa takut itu agar mampu memecahkan teka-teki yang ada.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
