Teka-Teki Mimpi [5-6]

5
0
Deskripsi

Cita-cita Kara tak muluk-muluk, ia hanya ingin tidurnya lelap tanpa harus dihantui oleh mimpi buruk.

Tapi, sosok aneh itu selalu hadir di dalam mimpinya. Mengantarkan Kara pada berbagai peristiwa yang dipenuhi dengan tanda tanya.

Banyak kejadian aneh terjadi. Teror pun datang tanpa henti. Hingga satu demi satu malapetaka menghampiri tanpa sempat permisi. Dan lewat mimpi buruk yang dilihat Kara dalam setiap malamnya, ia akhirnya memutuskan untuk menemukan benang merah atas banyak kejadian yang menimpanya.

Dan di sanalah sebuah rahasia besar akhirnya terungkap.

5

Malini dan Cerita Setelahnya


Senja yang kemerahan masih bertengger di atas langit. Semburat warnanya yang indah sebentar lagi akan tenggelam ditelan malam yang gelap dan sunyi. Seharusnya para pengelana bergegas kembali ke rumah masing-masing. Bukannya berkumpul membentuk barisan untuk lanjut bercengkerama tanpa henti.

Warteg milik Bu Ningsih masih sangat ramai. Masih ada beberapa warga komplek yang betah berleha-leha di sana, padahal waktu magrib sebentar lagi akan tiba.

“Rumah Bu Inggih, sekarang udah ada penghuninya loh. Anak gadis, kayaknya sih anak kuliahan gitu.”

“Rumah Bu Inggih yang bekas tempat bunuh diri itu ya?”

“Iya, Bu. Memangnya rumah kontrakan Bu Inggih ada berapa di komplek ini.”

“Ihhh kok mau ya mereka tinggal di sana,” sahut ibu yang lainnya, ikut menimpali.

“Padahalkan anaknya Bu Inggih yang terakhir tinggal di rumah itu, malah jadi sakit dan belum sembuh sampai sekarang. Ingat kan dengan anaknya Bu Inggih yang dulunya kerja di Malang. Kalau nggak salah, dia cuman tiga bulan tinggal di rumah itu, tahu-tahunya malah jatuh sakit setelahnya. Udah bertahun-tahun juga nggak sembuh-sembuh.”

“Iya Bu, katanya udah berobat ke mana-mana tapi nggak ada perkembangan, malah sakitnya jadi makin parah. Beberapa bulan lalu, dia hampir bakar rumah ibunya sendiri. Makanya, anaknya sekarang dikurung gitu di rumah peninggalan suaminya Bu Inggih yang ada di pinggir kota.”

“Apa gapapa kita biarin anak yang tidak tahu apa-apa itu jadi korban Malini selanjutnya. Ihhh saya mah ngeri kalau ngebayangin ada yang meninggal secara tidak wajar lagi di komplek kita ini.”

Empat orang ibu-ibu yang tengah asyik berbincang langsung bergidik ngeri saat mengingat bagaimana mengenaskannya mayat Malini beberapa tahun silam. Kejadian itu memang sudah lima tahun yang lalu, namun tetap saja semua itu masih membekas di hati para warga komplek sehati, termasuk Bu Ningsih sang pemilik warteg yang cukup dekat dengan Malini.

“Husss, nggak baik loh Bu ngerumpiin orang yang udah meninggal. Lagian gangguan kejiwaan yang dialami anaknya Bu Inggih belum tentu ada hubungannya dengan Neng Malini. Dia udah meninggal dan sudah tenang di tempatnya. Mana mungkin orang yang sudah meninggal kembali ke dunia dan malah gangguin orang yang masih hidup.”

“Bu Ningsih ini nggak tahu aja dengan cerita horor yang berseliweran di pos ronda komplek kita.”

“Cerita horor gimana maksudnya, Bu,” perempuan dengan daster berwarna coklat muda terdengar bersemangat ingin mendengar penjelasaan dari teman gosipnya yang lain.

“Itu loh Bu, ceritanya Pak Marjo yang pernah dengar suara tangisan pas melintas di depan rumahnya Bu Inggih. Kejadiannya dua atau sekitar empat bulan yang lalu kalau nggak salah. Pak Basuki juga katanya pernah dengar suara tangisan gitu waktu pulang kerja larut malam. Dan bukan hanya itu, ada banyak kejadian seram lainnya yang dialami warga kita saat jaga malam di komplek ini. Ih serem deh pokoknya rumah Bu Inggih itu sejak anak kos yang tinggal di sana bunuh diri.”

“Belum tentu pelakunya Neng Malini kan, Bu. Udahlah, nggak usah mengada-ngada. Nggak baik nuduh tanpa ada bukti nyata,” Bu Ningsih angkat suara, sudah tak tahan dengan cerita para tetangga yang ngalur ngidul tak jelas tanpa henti.

“Wajar dong Bu, kita curiga. Komplek kita kan selama ini aman-aman saja. Tidak pernah ada kejadian aneh sebelum anak kos itu bunuh diri. Kalau bukan di-“

“Permisi Bu,” sapa Amel yang tiba-tiba saja ikut bergabung di warteg milik Bu Ningsih. Kehadiran Amel di sana menghentikan obrolan ibu-ibu komplek yang sedang heboh-hebohnya membahas tentang Malini.

Amel baru saja pulang dari kampus. Karena hendak membeli mie instan, makanya ia meminta ojek online yang mengantarnya berhenti di depan warteg Bu Ningsih saja. Toh rumah kontrakannya sudah dekat jika dari tempat ini. Cukup berjalan kaki saja sudah bisa sampai tujuan, insyaallah dengan selamat.

“Ada mie instan, Bu,” tanya Amel kepada Bu Ningsih.

Amel menjadi kikuk, mati kutu di depan para pasang mata yang mengamatinya tanpa henti. Posisi Amel sekarang sudah seperti sebuah lukisan yang sedang diamati oleh pengamat seni saja. Teliti, mendalam, dan penuh penghayatan.

“Neng yang ngekost di rumah Bu Inggih, ya?” sahut salah satu anggota grup rumpi yang berada di sana.

Amel menarik sudut bibirnya agar membentuk bulan sabit yang indah. Gadis itu tersenyum, lantas mengangguk setelahnya.

“Iya, Bu.”

“Gimana Neng tinggal di rumah Bu Inggih, nggak pernah dengar suara tangis atau hal-hal aneh kan?”

“Hal-hal aneh?” jawabnya terbata. Otak Amel sudah lelah berjuang saat di kampus tadi. Dan haruskah ia dipaksa berpikir lagi di sini.

“Iya hal-hal aneh, Neng. Tahu kan kalau rumah itu bekas-“

“Ini Neng mie instannya,” potong Bu Ningsih sembari menyodorkan kantong plastik berisi mie instan kepada Amel. Matanya yang tajam menatap perempuan sebayanya yang baru saja hendak cemplos soal kematian Malini di rumah Bu Inggih.

“Nggak usah didengerin, Neng. Ibu ini memang suka ngasal kalau ngomong.”

*** 

Kejadian hari ini benar-benar baru bagi Kara. Selama menyandang status sebagai manusia, Kara sama sekali tidak pernah melihat tumpukan belatung yang menggunung tepat di depan matanya. Hari ini semua itu terlihat begitu nyata. Bahkan saat mengingat kunyahan nasi goreng yang ia makan tadi pagi, Kara seolah merasakan getaran belatung itu di dalam mulutnya.

Beruntungnya Raska datang ditengah gempuran hebat yang menerpanya tadi pagi. Seolah semesta memang sengaja menghadirkan lelaki itu untuk menenangkan dan membuatnya menjadi jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Untuk momen singkat kali ini, Raska memang pantas mendapat predikat lelaki berjasa dalam hidup Kara.

Seharian bersama Raska menghadirkan kebahagiaan baru bagi Kara. Segala permasalahan yang memberatkan akal pikirannya kini perlahan luruh satu demi satu. Tak hanya satu film yang mereka habisnya bersama. Ada beberapa film komedi yang mereka tonton hingga matahari hendak beranjak terbenam. Dan semua itu berhasil membuat perut Kara bergoyang karena tawanya yang terus berlanjut. Bahkan sekarang rasanya perut Kara sudah kram saja karena terlalu banyak tertawa.

“Amel udah di dalam komplek katanya. Lagi mampir di warteg dulu, buat beli mie instan,” kata Kara kepada Raska yang sepertinya sudah hendak pamit namun mengurungkan niatnya sebab Amel belum juga pulang.

Raska mengangguk, ia menatap Kara. Dari tatapannya kali ini, ia menemukan kekasihnya kembali. Kara yang ceria, yang selalu dihiasi senyum yang indah.

“Kalau ada apa-apa, segera berkabar sama aku ya.”

Kara paham maksud Raska. Sepasang mata Raska tak bisa berbohong, ada setumpuk khawatir yang sedang bertumpuk di sana.

Of course.”

*** 

Amel melampiaskan segala lelahnya di single sofa yang ada di ruang tengah. Ada Kara juga di sana, ia sibuk memindah-mindahkan siaran TV. Saat Amel tiba, Raska langsung pamit pulang. Sekarang hanya ada mereka berdua saja di rumah.

“Hari ini ada tugas apa aja dari dosen?” tanya Kara.

Butuh beberapa detik sebelum Amel tersadar dengan pertanyaan Kara. Ia kemudian membuka matanya yang semula ia tutup rapat-rapat. “Nggak ada. Mata kuliah yang masuk hari ini, satu doang kok. Itupun cuman presentasi biasa, habis itu langsung bubar.”

“Terus kenapa lo pulang lama banget?”

“Habis rapat sama anak UKM dulu. Bentar lagi bakal ada acara pensi tahunan gitu, makanya lama. Lo sakit apa emangnya, kok sampai nggak bisa ke kampus segala. Tadi pas gue chat Raska buat nanyain kondisi lo, dia malah nggak balas chat gue sampai sekarang.”

Pertanyaan itu membuat Kara terdiam. Otaknya kembali bekerja untuk mengingat kejadian tadi pagi. Antara ragu dan takut. Makanya ia memilih larut dalam lamunannya sendiri.

“Ra?” panggil Amel setelah melihat temannya terdiam sejak tadi. “Lo dengar gue ngomong nggak sih?”

“Eh iya, Mel. Dengar kok.”

“Dengar kok, dengar kok, tapi malah diam aja dari tadi. Lo sakit apa, udah minum obat belum. Sekarang sakitnya masih terasa atau gimana?” tanya Amel dengan pertanyaan yang berderet indah bagai barisan paskibra saja.

Kara malah tersenyum, segala ketakutannya mendadak hilang karena sisi cerewetnya Amel yang kambuh lagi. Amel memang sosok yang perhatian, untuk porsi yang satu itu Kara tak bisa memungkirinya.

“Lo ingat nggak Mel dengan nasi goreng yang lo siapin buat gue tadi pagi.”

“Hmm, ingat. Kenapa malah jadi ke nasi goreng buatan gue? Lo nggak keracunan kan habis makan itu.”

“Nah itu dia masalahnya, Mel. Tapi gue nggak tahu lo bakal percaya sama gue atau enggak.”

Alis Amel lantas mengerut, secepatnya ia mengubah posisi duduknya agar lebih tegak dari sebelumnya.

“Emang ada masalah sama nasi goreng buatan gue, Ra?” tanya Amel yang sudah tak sabar ingin mendengar penjelasan dari Kara 

“Saat gue makan nasi goreng buatan lo, awalnya sih fine-fine aja. Tapi, selang beberapa suap berikutnya nasi itu tiba-tiba berubah bentuk jadi belatung. Iya, nasinya berubah jadi tumpukan belatung. Ihhh serem banget pokoknya. Aneh tapi nyata, dan yang nyata itu malah bikin pusing kepala,” ucap Kara dengan diiringi rasa mual setelahnya.

Amel langsung melotot, memasang wajah tak percaya. “Belatung?” 

***

6

Mimpi yang Datang Lagi
 

Angin berhembus pelan, menyisakan rasa dingin yang mencekam di balik pori-pori kulit yang terasa begitu nyata. Tak banyak yang mampu dilakukan selain membiarkan tubuh dipeluk oleh lengan sendiri. Berdiri sendiri di antara cahaya remang yang perlahan memenuhi indra penglihatan yang sedang buram diterpa kabut tebal yang memenuhi setiap sisi.

Susah payah Kara menyeret kakinya untuk bergeser dari tempat yang gelap dan suram. Namun, apa yang diusahakan memang terkadang tak bisa membuahkan hasil sebagaimana yang kita inginkan.

Kara yang lemah malah terseret akar pohon yang kuat, hingga membuatnya jatuh tersungkur di antara pohon lebat yang rimbun. Gadis itu tersedu-sedu menahan tangisnya yang mengucur sedari tadi.

Tetapi tangis, tak bisa menolongnya untuk lari dari cekaman kenyataan yang sedang menghampiri.

Semakin keras Kara menangis, semakin keras pula suara tawa seorang perempuan yang menggelegar memenuhi indra pendengarannya. Suara tawa itu semakin mendekat, semakin terasa begitu nyata, walau kini tak ada satu orang pun selain dirinya sendiri yang sedang berada di sana.

Kara lagi-lagi memeluk tubuhnya dengan erat. Mendekap lututnya yang sudah bergetar tanpa henti, sembari mengedarkan pandangannya sesekali ke udara. Gadis itu sedang berjaga, jika saja ada sosok menyeramkan yang menghampirinya secara tiba-tiba.

Semakin jelas suara perempuan itu memenuhi sudut telinga Kara, semakin ia merasakan tubuhnya yang gemetar hebat tanpa lelah. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain memeluk diri sendiri sambil menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya sendiri.

Kara takut, tetapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Angin semakin berhembus kencang. Membuat rambut gadis yang sedang memeluk lututnya itu perlahan beterbangan di udara. Tangis Kara semakin pecah, tetapi tetap tidak mampu mengalahkan suara yang terus menggema sejak tadi.

"Pergi! Pergi kamu dari sini. Aku tidak ingin ikut denganmu," teriak Kara dengan tenggorokan yang sudah kering.

"Ikutlah!" Suara perempuan itu kembali menggema. Kali ini suaranya semakin dekat, semakin terasa begitu dekat dengan jarak Kara saat ini.

Kara tetap menangis dalam duduknya. Tangannya semakin ia rapatkan di tubuhnya yang sedang menggigil tanpa henti. Keningnya pun sudah basah oleh keringat yang mengucur deras walau udara sedang dingin-dinginnya.

"Ikutlah!"

Napas Kara seakan terhenti. Tangisnya yang sejak tadi mengaliri pipinya yang tembem kini tahu caranya berhenti. Namun tidak dengan keringat di pelipisnya yang semakin menjadi-jadi.

Lalu lamat-lamat Kara merasakan dingin di sekitar kakinya. Dingin yang begitu mencekam hingga membuatnya merinding seketika. Tetapi ia tahu bahwa hawa dingin yang sedang dihantarkan di balik sana bukanlah hawa dingin akibat terpaan angin yang begitu kencang. Melainkan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya ingin segera mendongakkan kepala untuk melihat dan memastikan apa yang sedang terjadi.

Sebuah tangan dengan kuku panjang yang hitam sedang bertengger di salah satu kakinya saat ini. Betisnya yang putih dan sedang tidak tertutupi celana kini disapu dengan rambut panjang yang sangat kasar dan lebat.

Kara berusaha melihat lagi ke depan. Lalu pandangannya terhenti pada wajah wanita dengan bentuk yang begitu berantakan. Separuh wajahnya ditutupi rambut lebat yang hitam, panjang dan kusut. Separuh wajah yang lainnya lagi terlihat hitam menghampiri hitamnya rambut panjang yang menjuntai ke bawah. Sosok itu melotot padanya, dengan bola mata yang mendominasi putih, benar-benar tidak ada bola mata hitamnya di sana. Pelan-pelan, mulutnya menggigit sesuatu yang entah apa.

"Ahhhhhh...." Kara berteriak dengan kencang. Membuat suaranya sampai habis karena terlalu bersemangat dengan teriakannya. Gadis itu dipenuhi keringat dingin lengkap dengan rasa takut yang begitu menyiksa dirinya saat ini.

Lalu tiba-tiba, gelap seketika. Benar-benar hanya gelap yang terlihat. Kara melemah, tidak ada lagi sisa suara yang mampu keluar dari bibirnya. Semuanya berlalu begitu singkat, namun meninggalkan ingatan yang sangat membekas.

"Kara, heiii. Kara, lo kenapa?"

"Kara. Bangun, hei," teriak Amel sambil menepuk-nepuk pipi sahabatnya.

Kara perlahan membuka matanya kembali. Lalu kaget saat melihat sinar bohlam yang sedang bertengger di atas langit-langit kamarnya malam ini.

Pelan-pelan ia melihat setiap sudut ruangan yang ada. Lalu dengan cepat ia bangun dan memeluk tubuh seseorang yang ada di dekatnya.

"Mel, gue takut. Gue takut, Mel. Gue takut," ucap Kara diselingi tangis setelahnya.

Amel langsung menyambut pelukan dari sahabatnya barusan. Perlahan Amel menepuk-nepuk punggung Kara agar ia bisa tenang dari rasa paniknya sekarang.

"Lo ngapain takut sih, kan ada gue di sini."

"Mel, gue mimpi buruk lagi. Mimpi itu terasa begitu nyata. Gue takut, Mel. Gue takut kalau sosok yang ada dalam mimpi gue itu beneran pengen bawa gue pergi. Gue benar-benar takut, Mel."

“Apa ini pertanda buat gue. Dalam sehari gue diteror berkali-kali. Gue udah nggak kuat lagi. Gue beneran takut, Mel,” lanjut Kara dengan bibir bergetar.

"Udah, nggak usah takut gitu. Semuanya bakal baik-baik aja kok. Lagian ada gue di sini, Ra. Gue bakal jagain lo dari hal-hal buruk yang datang. Tenang dulu yah, udahan takutnya."

Isak tangis yang tadi terdengar di telinga Amel kini perlahan mereda seiring dengan usapan pelan di punggungnya. Sekarang Kara pun sudah jauh lebih tenang dibanding keadaannya tadi.

Amel mencoba tersenyum, memberikan rasa aman kepada wanita yang sedang dilanda rasa takut di hadapannya saat ini.

"Gue ambil minum buat lo dulu ya di luar. Lo tunggu di sini bentar."

Amel sudah berdiri dari kasur, hendak melangkah pergi dari tempatnya sedang duduk tadi. Tetapi, langkahnya terhenti karena Kara lagi-lagi menahan tangannya sebelum sempat beranjak dari sana.

"Gue beneran takut, Mel. Lo di sini aja ya temenin gue."

"Ra, gue ngambil minum doang kok di luar. Bentar doang kok. Nggak bakal lebih dari lima menit. Janji!"

Sebenarnya berat bagi Kara untuk melepas Amel pergi dan membiarkannya seorang diri di dalam kamar. Namun wajah Amel saat ini tampak memohon padanya. Terpaksa ia mengiyakan keinginan sahabatnya itu.

"Gue ambil air minum dulu buat lo di luar. Gue janji nggak bakal lewat dari lima menit, oke. Lo tenang, tunggu gue di sini."

Akhirnya Kara mengangguk juga. Setelah itu Amel berlalu dari kamarnya, bergegas menuju dapur, mengambilkan segelas air minum untuk Kara.

Suasana menjadi hening setelah kepergian Amel dari kamar tersebut. Kara pun akhirnya menggeser tubuhnya hingga pandangannya tanpa sengaja tertuju pada kakinya yang hanya terlihat sedikit karena ditutupi selimut tebal yang membungkus separuh tubuhnya.

Buru-buru Kara melepaskan selimut itu agar bisa melihat seluruh anggota tubuhnya saat ini.

Dan betapa terkejutnya Kara saat melihat luka lebam yang ada di sekitar pergelangan kakinya. Lebam itu tampak luas, bahkan nyaris memenuhi semua daerah pergelangan kakinya. Hanya satu kaki saja. Kaki yang seingat Kara dicengkeram oleh perempuan dengan rambut yang panjang dan berantakan. Perempuan yang sempat hadir di dalam mimpinya tadi.

"Ra?"

"Kamchagiya," pekik Kara sambil mengelus dada. Keseringan menonton drama korea membuat Kara malah terbawa dengan bahasa asing itu.

Amel tertawa melihat ekspresi kaget dari Kara. Lucu baginya, sementara bagi Kara semua itu tidak lucu sama sekali. Itulah mengapa Kara memilih untuk mengerucutkan bibirnya sekarang.

"Nih, minum dulu biar enakan."

Kara langsung menyambut air minum yang disodorkan oleh Amel untuknya. Dengan cepat Kara meneguk airnya hingga habis tak bersisa.

"Lo nyuruh gue nggak ke mana-mana sementara lo haus banget kayak gini," ucapnya sembari menggeleng. "Dasar."

"Hehehe. Habisnya gue takut sendirian, Mel."

"Kenapa sih? Gue perhatiin tadi lo liatin kaki lo udah kayak lagi tatap-tatapan sama ayang aja. Serius gitu sampai nggak nyadar ada gue di depan pintu."

Disenggol seperti ini, membuat Kara seketika teringat akan sesuatu. Buru-buru ia menunjukkan pergelangan kakinya yang lebam kepada Amel.

Kara melirik Amel sekilas, lantas beralih pada luka lebam yang ada di sekitar pergelangan kakinya saat ini.

"Lo liat pergelangan kaki gue sekarang. Langsung lebam gini, Mel. Dan kaki yang lebam ini sama dengan kaki yang dicengkeram oleh perempuan menakutkan yang ada dalam mimpi gue tadi. Secara nggak langsung, bekas lebam ini seolah berbicara bahwa apa yang gue lihat di dalam mimpi tadi emang beneran nyata. Sosok menakutkan itu beneran nyata, Mel. Dia benar-benar ada. Bukan sekedar mimpi belaka."

Kara menjelaskan dengan begitu antusias dan serius. Amel tentu saja menjadi pendengar yang cukup bersahabat pula dengan cara mendengar semua penuturan sahabatnya itu hingga selesai. Walau ia sendiri bingung harus menanggapi kejadian kali ini dengan sikap seperti apa.

"Gue takut, Mel. Gue takut kalau sosok itu datang lagi dan beneran ngambil gue. Gue takut kalau sampai dia beneran bakal bawa gue pergi dari si-."

"Ra, lo tenang dulu ya. Jangan banyak pikiran. Lagian mimpi itu cuma bunga tidur aja kok. Lo nggak harus menanggapi semuanya dengan cara berlebihan kayak gini. Mimpi nggak bakal ikut serta di dunia nyata, Ra. Itu semua cuman ilusi 
lo doang kok."

"Terus lo nganggep lebam di pergelangan kaki gue ini cuman ilusi doang, gitu? Wah lo ngira gue udah gila apa."

"Ya siapa tahu aja itu karena lo kepeleset atau apa kek. Makanya bisa lebam sampai sebegitunya."

"Gue masih ingat dengan baik kok kapan gue kepeleset atau semacamnya. Gue ini nggak pikun-pikun amat, Mel. Sampai habis jatuh pun gue bisa lupa begitu aja. Gue ingat kok waktu hendak tidur tadi, pergelangan kaki gue masih fine-fine aja. Masih nggak ada warna biru-biru kayak gini."

"Ya… siapa tahu aja, malam ini lo kebetulan kelupaan, Ra. Kan manusiawi kalau kita kadang lupa."

"Oke gue lupa, dan gue juga udah gila karena mengigau nggak jelas gini sampai ngira apa yang gue lihat di mimpi gue itu beneran nyata. Yah, fine. Bahkan soal belatung yang tadi pagi nangkring di nasi goreng yang lo buatin buat gue, itu  semua karena gue salah liat doang. Makanya mulai sekarang gue harus rajin makan wortel biar mata gue sehat. Biar gue bisa bedain mana butiran nasi dan mana tumpukan belatung. Dan gue harus banyak-banyak sadar diri kalau gue udah tua makanya suka pikun.”

Kara tertawa kecut. “Harusnya sih, emang gue nggak maksain untuk buat lo percaya sama gue."

"Nggak gitu maksud gue, Ra." Amel menjadi garuk kepala sendiri karena kehilangan kata untuk menenangkan Kara kali ini.

"Terus gimana? Terus gimana maksud lo, Mel. Sejak hari pertama kita pindah di sini, lo selalu mengelak apa kata gue. Seolah-olah gue yang bermasalah di sini, bukannya rumah tua ini."

Amel menghembuskan napas panjang. Bingung harus bersikap seperti apa sekarang. Kata-kata Kara terlalu sulit untuk dipahami oleh logika manusia secara normal.

"Ya maksud gue, mimpi lo itu nggak bakal jadi kenyataan kok. Kan cuman mimpi doang, Ra. Udah ya, lo lanjut tidur aja. Udah malam, besok kan harus kuliah."

"Lo nggak ngerasain sih. Jadi lo bisa bilang kayak gitu ke gue." Kara merajuk. Tanpa mendengar lagi penjelasan dari Amel, ia langsung menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya hingga Amel tak perlu repot lagi untuk melihat wajahnya yang kesal sekarang.

Sementara itu, di bawah selimutnya kali ini, ada beragam pertanyaan yang berkecamuk di dalam benak Kara.

Tentang siapakah sosok yang ada di setiap mimpinya itu. Tentang apakah maksud dari ucapan wanita itu padanya. Dan juga tentang tujuan perempuan rambut panjang itu, mengapa harus hadir ke dalam mimpinya berulang kali bahkan menerornya lewat kejadian-kejadian aneh yang di luar dari logikanya sebagai manusia.

Siapa dia, apa tujuannya menggangguku. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Tanpa henti. Dia selalu hadir, pikirnya dengan debar jantung yang masih buru-memburu tanpa henti.

***
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Teka-Teki Mimpi
Selanjutnya Teka-Teki Mimpi [7-8]
4
0
Cita-cita Kara tak muluk-muluk, ia hanya ingin tidurnya lelap tanpa harus dihantui oleh mimpi buruk.Tapi, sosok aneh itu selalu hadir di dalam mimpinya. Mengantarkan Kara pada berbagai peristiwa yang dipenuhi dengan tanda tanya.Banyak kejadian aneh terjadi. Teror pun datang tanpa henti. Hingga satu demi satu malapetaka menghampiri tanpa sempat permisi. Dan lewat mimpi buruk yang dilihat Kara dalam setiap malamnya, ia akhirnya memutuskan untuk menemukan benang merah atas banyak kejadian yang menimpanya.Dan di sanalah sebuah rahasia besar akhirnya terungkap.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan