Olah Manusia (bab 21 & 22)

2
0
Deskripsi

Bab 21: kritis

Bab 22: sebuah lagu tentang kita

Bab 21

Ternyata berubah itu tidaklah mudah. Terlihat begitu melelahkan atau barangkali terlihat satu dua kebiasaan buruk masih digenggam.

Aku sudah berusaha untuk tampil hangat di depan semua orang. Aku sudah berusaha untuk tersenyum. Aku mempraktikkan seperti apa yang diucapkan Angga kepadaku beberapa waktu lalu, "kalau kamu melakukan kesalahan dan ditegur. Kamu minta maaf sambil senyum, sambil ketawa polos. Pada akhirnya mereka tidak akan marah lagi."

Kata-kata Angga yang sungguh terjadi. Ada kenyamanan ketika aku mulai tersenyum dalam keadaan apapun.

Tetapi aku tidak bisa selamanya berpura-pura menjadi baik. Menjadi lembut seperti permintaan Angga.

Menyapa lebih dulu, mengajak cerita, berbicara sopan dan tidak cuek. Segalanya melelahkan. Sangat lelah ketika aku sudah berusaha semaksimal mungkin, mereka malah menyudutkan aku.

Apalagi aku tidak pernah mendapat didikan dari orang tua. Didikan cara bergaul dan menyikapi orang-orang baru. Orangtuaku sibuk dengan urusan masing-masing.

"Angga, sekali-kali kamu ajak Rani keluar. Jangan di resto terus. Ke Malioboro atau ke Bukit Bintang." Ujar Bu Ikhlas memulai pembicaraan.

Pagi yang hangat, Bu Ikhlas memasak ikan asap kuah merah. Sedangkan Angga, saat itu tengah sibuk mengurus  adonan onion ring sembari menunggu jamur krispi matang sempurna.

Aku memusatkan perhatian pada mereka. Berusaha membagi fokus yang tengah memotong bakwan goreng menjadi potongan kecil, sebagai bahan pelengkap capcay tepung.

"Aku sudah rencana sih, Bu. Tapi belum tau waktunya kapan." Jawab Angga.

"Kalian kan kalau istirahat siang dua jam. Kalau malam juga tutup jam delapan. Masih ada waktu asal pulang tidak larut." Bu Ikhlas menjeda, memasukan beberapa sendok garam dan micin ke dalam wajan besar. "Kapan-kapan kalau libur kamu juga bisa ajak Rani ke rumahmu. Biar tau daerah Gunungkidul."

"Tapi kita tidak bisa libur bareng," ujarku pada akhirnya. Hal tersebut membuat Bu Ikhlas mengangguk.

Kondisi resto yang terbatas karyawannya ini membuat semua pegawai tidak memungkinkan untuk libur dalam satu hari yang sama.

"Katanya kamu mau cari pekerjaan lain, Angga?" Tanya Bu Ikhlas.

Selepas acara ceramah setiap malam yang aku lakukan. Pada akhirnya Angga mulai berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih mapan. Lebih bisa menjamin dengan jam kerja yang wajar untuk masa depannya. Ini masih dalam proses. Angga masih belum mendapatkan gambaran.

"Iya, Bu. Masih cari-cari ini."

"Sebenarnya berat kalau kamu harus keluar. Tetapi tidak masalah selama itu demi masa depan kamu. Aku masak kalang kabut juga tidak masalah." Terjeda beberapa sekon dengan mimik wajah tulus Bu Ikhlas kembali melanjutkan, "kalau kamu kerja ditempat lain. Kamu jadi punya waktu buat main dengan Rani diluar sana."

Angga mengangguk, seolah benar-benar merencanakan segala sesuatu didalam otaknya. Aku hanya menyimak, mencoba berpikir sikap apa yang hendak ku keluarkan.

"Aku salut sama Rani. Dia bisa ngemong semua orang. Mau berubah dari yang cuek sampai bisa diajak bercanda seperti ini."

Kini giliran ku. Bu Ikhlas dengan segal kepeduliannya, selalu berusaha merubah orang-orang terdekatnya menjadi positif. Aku hanya bisa tersenyum lebar. Senyum yang sebelumnya tidak kuperlihatkan pada siapapun. Senyum yang pada akhirnya kubuka karena ucapan Angga beberapa waktu lalu.

"Tetapi kalau seandainya kamu diajak ke rumah Angga, kamu bisa mengahadapi orangtua Angga?"

"Kenapa tidak?" Jawabku oleh pertanyaan yang seolah menguji tersebut.

"Dengan sikapmu yang seperti itu. Kamu tidak akan bisa mendapatkan hati ibu Angga. Apa lagi kelihatan sekali ibu Angga lebih sayang dengan Ikbal daripada Angga."

Ikbal adalah adik Angga. Seseorang yang juga dimanjakan oleh Angga sendiri sebenarnya telah merebut separuh lebih perhatian orang tua Angga dari Angga.

"Kalau kamu sama Angga dan Ikbal sama istrinya menikah. Dan satu rumah di Gunungkidul, pasti kamu akan dibandingkan dengan istri Ikbal_yang mungkin saja jauh lebih baik kepribadiannya daripada kamu."

Beliau hendak memojokkan aku lagi? Dalam hati aku hendak tertawa.

"Makanya kamu harus rubah kepribadian kamu. Yang grapyak sana orang lain, apalagi sama mertuamu nanti."

"Iya, kayaknya kamu harus berubah banyak Ran." Angga ikut menyahut.

Siapa yang serius dengan semua ini? Aku tidak pernah berujar bahwa aku serius dengan Angga sebelum mengetahui ketulusan pemuda tersebut.

"Kamu bimbing Rani, Angga."

Angga mengangguk antusias. Selayaknya mendapat lampu hijau dari bu Ikhlas untuk menggapai ku.

Aku hanya diam. Perubahan macam apa yang diinginkan Bu Ikhlas? Kepalaku benar-benar lelah! Kalau seandainya suatu saat nanti Angga tidak respek padaku ataupun orang tuanya. Mungkin garis takdir memang seperti itu, tidak layak bersama. Apa Angga akan bahagia kalau bersamaku?

"Itu masih lama. Suatu saat nanti kalau kepentok aku pasti berubah, kok." Ujarku agak ngawur. Aku sudah buntu kali ini. Tidak bisa mengontrol apapun.

Bahkan dalam keadaan diampun dapat aku lihat, Angga dan Bu Ikhlas selalu menyurutkan. Berbicara banyak hal tentang masalah kelam apa yang akan aku alami kelak. Sungguh aku ingin teriak. Atau memukulkan apapun ke kepalaku sendiri. Bisikan yang memuakkan!

Aku marah ketika Angga menuntunku ini-itu. Apalagi ketika aku telah berusaha dan salah untuk kali sekian dalam proses. Angga marah. "Akukan sudah bilang ke kamu, kalau chat atau bicara sama orang tua itu sopan." Ujar Angga.

Seperti malam-malam sebelumnya. Ia akan selalu mengajakku berbicara di ruang tengah. Duduk manis saling berjajar menghadap pintu geser transparan sama-sama. Ditemani segelas air putih.

"Iya aku tau. Tetapi aku capek! Ngerubah kebiasaan itu tidak gampang! Kemarin-kemarin aku udah berusaha dan kamu tidak liat. Giliran aku salah kamu liat?" Ujarku geram.

"Iya, maaf." Jawab Angga singkat.

Kenapa? Apa Angga berusaha mengalah? Aku tidak pernah ingin pemuda tersebut mengalah didetiap perdebatan kita. Sampai aku yang kalah.

"Aku udah capek. Aku merasa tertekan, dipojokkan." Ujarku pada akhirnya. Tekanan yang aku dapatkan. Membuatku terus berpikir, seolah-olah semua orang yang ada disekitar membicarakan kejelekanku. Berbisik jijik dan menghinaku.

"Perasaan kamu aja yang merasa dipojokkan. Kita cuman mau merubah kamu."

Malam itu, seperti biasa. Nurul semakin sibuk dengan mahasiswa yang telah menjadi pacar barunya. Dan Bu Ikhlas pulang mengurus kepentingan mendesak dalam rumah tangganya. Dan Bu Tere sibuk dengan urusan resto di kamar pribadinya.

Aku memegang kepalaku sendiri yang terasa pening. Tekanan yang terjadi bertubi-tubi, membuatku seolah tidak berada ditempat. Tidak berada dalam tubuh. Atau terkadang aku sulit mengendalikan pikiranku sendiri. Otak yang selalu berpikir mungkin aku memang sudah gila. Atau memang asik menjadi orang gila? Aku jadi tidak perlu memikirkan hal rumit lain.

"Kalau kamu capek, mending berhenti aja." Ujarku pada Angga. Sesungguhnya aku yang lelah. Tetapi ketika aku sendiri lelah, orang lain akan sia-sia memperjuangkan aku.

Aku tidak mau Angga stres dengan perubahan moodku yang tidak terkontrol.

"Kamu ngomong apaan, sih? Siapa juga yang capek?"

Kutepuk pundak Angga, menatap wajahnya dalam. Pemuda yang tampak rapuh tersebut. Tidak seharusnya terbebani oleh masalah-masalah mentalku.

"Kamu seharusnya pergi aja." Ujarku berulang kali. Tubuhku sedikit bergetar. Ada pergulatan dalam pikiran. Aku tidak tau mengapa aku berujar seperti itu.

"Kamu ngomong apaan sih, Ran? Siapa yang akan pergi? Aku tidak akan pergi!"

Agaknya aku tertawa miring saat menunduk. Kutekan kepalaku sendiri. Aku bahagia, aku merasa aneh. Aku tidak ingin berpikir atau berujar seperti ini. Tetapi, "aku aneh, Mas! Kamu seharusnya tidak mendekatiku."

Atau kamu juga akan tertekan! Stres seperti apa yang diucapkan Bu Ikhlas!

"Jangan ngomong kaya gitu!" Nada suara Angga terdengar panik. Berusaha menjauhkan tengahku yang berusaha memukul kepalaku sendiri. Atau apapun itu! Aku ingin berhenti!

"Kamu mendingan pergi. Aku aneh," mataku bergerilya kesana-kemari. Mencari sesuatu, kata-kata yang tepat.  "Tidak, aku emang udah gila." Ujarku sembari terkekeh hampa. Kata-kata munafik! Aku tidak ingin Angga pergi.

"Kebiasaan! Jangan ngomong yang aneh-aneh deh!"

"Aku memang sudah aneh! Gila barangkali! Aku aneh," nadaku sedikit meredup. Rasanya ingin menangis sampai cairan tersebut lolos tanpa permisi. Tanpa sebuah perasaan, tubuhku bergetar. Aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri.

Agaknya saat itu Angga sudah berpikir aku telah lepas kontrol! "Aku tidak akan pergi! Kamu tidak sendiri, Ran!"

Pergerakan tubuh yang aneh. Aku berusaha untuk menggapai apapun dimeja tetapi kosong. Hanya segelas air putih yang kugeser-geser dengan mata yang berkeliaran tidak tentu arah. Sembari terus mengulang kata 'aneh' dalam monolog maupun pergerakan bibir.

Angga menjauhkan gelas itu dariku. Mungkin barangkali takut aku kalap dan memukulkan benda tersebut kepalaku sendiri. Aku marah! Aku takut, Angga pergi seperti gelas itu?

Tiba-tiba pintu geser yang terbuat dari kaca terbuka. Malam yang larut memperhatikan Nurul yang baru saja tiba dari jalan-jalan bersama mahasiswa baru. Berdiri menjulang di depanku dan berjalan pelan.

Dalam keadaan remang, Nurul masih sempat berhenti di sebelahku. "Kamu nangis, Ran?"

"Tidak, aku hanya kelilipan habis nonton film."

Aku tidak yakin Nurul percaya atau tidak. Perempuan tersebut hanya mengangguk lantas membawa tubuhnya pergi.

Tubuhku sendiri terasa canggung. Aku bisa menjawab pertanyaan Nurul secara tenang. Tanpa ekspresi hanya detak jantung yang kian cepat. Tetapi kenapa aku seolah menciptakan skenario sendiri. Berlagak seperti orang gila agar Angga simpati. Agar Angga tidak pergi!

Jika setelah ini Angga akan ilfil. Aku sudah tidak peduli. Atau aku akan bersyukur tidak membuat Angga stres terlalu lama bersamaku.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh lagi, ya?"

Sebuah permintaan yang tidak aku indahkan.

"Aku aneh," likuid bening tersebut luluh.  Seakan aku memiliki banyak stok di dalamnya. Yang tidak ingin aku keluarkan. Tetapi aku kalah!

Angga memelukku. Hangat. Kubalas pelukan yang mengandung kafein tersebut. Hendak candu karena ternyata aku membutuhkan sesuatu yang tampak asing itu.

Membiarkan pundaknya basah oleh air mata. Angga berusaha menengangkan. "Kamu tidak aneh, jadi jangan bilang gitu lagi."

Aku pernah berfikir bahwa aku dan Angga merupakan pasangan yang serasi. Sama-sama jatuh, sama-sama sakit dan sama-sama saling menguatkan untuk bangkit.

Bab 22


Hampir tiada jeda. Setiap pagi dan malam hendak tidur lagu milik Budi Doremi_Melukis senja yang baru rilis tersebut selalu diputar Angga. Slow mengiringi acara masak atau hendak tidur.

Lagu yang cukup bagus sampai aku sendiri dibuat kepedean karena menganggap itu ditujukan untukku. Tetapi kenyataannya Angga memang suka musik. Seolah-olah dialah pemilik departemen musik sejagat. Setiap ada lagu-lagu trending Angga tidak akan absen untuk mempublikasikan lewat story ataupun distel berulang.

Angga juga pandai main musik. Suka bernyanyi dan memainkan gitar. Sesuatu yang aku suka, tetapi aku tidak pandai melakukannya. Selain rumit memahami kunci gitar, suaraku terlalu buruk.

Hari itu berbeda dari sebelumnya, hujan ke tiga mengguyur bumi semakin deras. Bahkan disertai angin kencang, cukup untuk membuat Angga, Nurul dan Pak Anang panik. Padahal air hujan hanya setinggi lima sentimeter.

Dulu aku tidak pernah terpikirkan jika hujan yang sama akan memperlihatkan perbedaan. Dulu sekali, hujan menjadi saksi perpisahan aku dengan Fauzi. Sampai akhirnya aku mulai dekat dengan Farhan di musim hujan kemarin.

Sekarang? Kedekatanku dengan Angga saat itu. Aku tidak cukup berani berandai jika musim hujan yang akan datang. Angga masih disampingku.

Tepat pukul tiga sore itu adalah jatahku untuk istirahat. Jadi aku berpikir tak acuh, hendak tidur. Tetapi kali itu Angga marah ketika aku tidak peduli dengan kondisi sekitar. Dia terlalu marah: kenapa bisa aku dengan santai hendak tidur disaat hujan lebat?

Apa separah itu? Kalaupun ketika aku tidur dan resto ini roboh menimpaku yang tidak sempat lari. Mungkin ini sudah takdir!

Aku hanya bisa bermonolog. Jika kuucap lantang Angga akan jauh lebih marah.

"Aku mau ke Rasa Nikmat pertama dulu. Mau mengabari Iqbal sama pinjam gitar Bayu." Aku mengangguk, dia menatap rintik hujan dari atas plapon transparan_yang tampak begitu indah dari bawah sini. Dedaunan kering dan butiran air mengalir, jatuh tetapi tidak pernah menimpamu. Angga lantas berujar lagi, "tapi hujan belum kunjung reda."

Aku tak acuh dengan ucapan Angga. Pikiranku berkelana mencari tau, jam berapa ini? Aku lelah, hendak tidur.

"Ya sudah, aku langsung berangkat saja." Ujar Angga padaku. Ia lantas masuk ke kamarnya dan keluar dengan stelan jaket kebanggaan Angga. "Kamu kalau tidur, tidur aja. Nanti kalau datang aku bangunkan."

Aku mengangguk, membiarkan Angga mengusap kepalaku hangat. Selepas kepergian Angga aku langsung berbaring ke kasur lipat dalam kamar. Sembari berpikir, sepanik itu ya mereka ketika hujan lebat? Kenapa? Apa aku terlalu tak acuh? Apa aku juga harus panik ketika Angga pergi disaat hujan seperti ini?

Aku berusaha untuk mengatur hati agar kuatir dengan keselamatan Angga. Tetapi tidak mampu. Hatiku yang telah lama mati tidak bisa distel perhatian. Sial! Aku harap Angga baik-baik saja. Monolog ku dengan hampa.

Pada akhirnya satu jam berlalu aku terlelap tanpa rasa nyenyak. Barisan angka dalam android menampilkan pukul lima lewat. Kali itu hujan telah berkurang, menyisakan sedikit rasa dingin serta butiran air tipis yang melambung di angkasa.

Mataku bergerilya menatap pintu klambu kamar ini yang transparan. Jauh menembusnya sampai memperlihatkan pintu kamar Angga yang tertutup rapat.

Dia belum pulang? Tidak ada sendal swallow putih yang bertengger manis dibawah pintu seperti biasanya. Sebuah tanda yang akan selalu aku perhatikan, ada tidaknya ia dibangunan ini.

Kali itu aku benar-benar merasakan bagaimana seandainya Angga tidak kembali? Pikiranku jauh berkelana mengandai-andai, jika saja Angga kecelakaan?

Aku tidak ingin larut dalam sebuah kekhawatiran. Memilih bergerak malas ke kamar mandi. Sembari menunggu kedatangan Angga.

Tidak akan ada sebuah tragedi berdarah layaknya film-film romantis yang tokoh utama pria mendadak mati kecelakaan. Karena seperti dugaan, Angga kembali dengan selamat. Tubuh basah kuyup yang segera aku giring untuk mengelap pakai handuk kemudian mengganti pakaian.

Seolah menjadi kebiasaan candu. Malam setelah resto tutup kita berdua duduk saling berhadapan dalam ruang meeting. Aku dengan android yang senantiasa kupegang dan Angga bersama buku merah kecil serta gitar yang bertengger manis dibawah meja kita. Masih terdapat segelas air putih yang menjadi pemisah antara bagian bangkuku dan bangku Angga.

"Ada apa?" Tanyaku padanya.

Angga terlihat salah tingkah. Sedangkan aku sedikit mengabaikan dengan menggulir layar ponsel.

"Ran, selamat ulangtahun ya?"

Aku terkejut kali itu. Aku? Tetapi begitu kucek dalam ponsel ternyata tanggal 5 April. Hari ulang tahunku yang bahkan aku sendiri lupa atau tidak peduli kalau hari ini ulang tahunku.

"Aku tau, aku tidak cukup modal dengan membawakanmu kue atau kado boneka atau bunga. Aku yakin kamu pasti juga tidak suka."

Sungguh aku bahagia, sampai ingin menangis. Sialnya aku tidak bisa mengatur emosi hendak seperti apa didepan Angga. Bahagia? Aku sungguh bersyukur dengan ini. Aku tidak tau ekspresi bahagia seperti apa. Aku hanya ingin menangis. Satu-satunya ekspresi yang bisa aku lakukan. Tetapi aku tidak ingin terlihat lemah.

"Tidak apa-apa. Makasih," padahal kenyataannya, kupikir tidak ada seorang perempuan yang tidak suka diberi hadiah.

"Aku bikin lagu buat kamu."

Kerutan terasa lebih jelas di permukaan dahiku. Angga membuka selebar kertas yang dilipat menjadi beberapa lipatan dari dalam buku merahnya. "Ini alasan kenapa setelah masak tadi aku tidak segera keluar dari kamar. Aku berusaha menyelesaikan lagu ini untukmu." Ujarnya dengan senyum menggebu. "Aku tidak mau hujan menghalangi rencana ku sia-sia. Makanya aku tetap nekat meminjam gitar ini dari Bayu."

Terkadang aku berpikir, apa seindah itukah mencintai seseorang? "Aku bahkan lupa kalau ini tanggal lima." Jawabku dengan polos.

"Kamukan memang pelupa. Aku aja sering kamu lupain." Jawabnya yang tidak aku pedulikan.

Ia mengambil gitar kemudian ditempatkan pada posisi nyaman dalam dekapannya, "aku nyanyi. Tapi jangan ketawa."

Aku mengangguk fokus ku yang masih terpusat pada android kualihkan. Angga mulai mengumandangkan suaranya.

"Hari ini, hari ulangtahun mu. Bertambah umurmu.
Semoga kamu bahagia selalu. Selamat ulangtahun.
Aku di sini akan selalu mencintaimu."

Angga menyanyikan lagu yang cukup panjang dari penggalan lirik tersebut. Lagu dadakan yang membuatku tersenyum. Bahagia.

Maaf, aku telah lupa seperti apa keseluruhan lagu tersebut. Tetapi dengan suaranya yang merdu dan kepiawaian memainkan gitar. Lagu tersebut cukup indah.

Aku apatis. Tidak tau hendak bahagia seperti apa. Wajahku masih saja datar, membuatku kadang terlalu takut. Jika aku tidak terlihat bahagia disisi Angga. Angga akan merasa tidak nyaman. Atau bahkan merasa tidak mampu mendapatkan hatiku.

Diiringi lagu-lagu lain dengan suara Angga yang khas. Pada akhirnya aku memiliki cukup ide. "Kita bisa buat lagu kita sendiri."

Angga mengangguk. Katanya ia sudah berusaha membuat lirik untuk lagu romantis tetang aku dan dia. Nyatanya Angga cukup kesulitan.

Masih dengan alunan gitar Angga yang berusaha untuk membuat lagu. Aku meraih ponsel, mendekap dalam pandanganku sembari berpikir mengeluarkan seluruh perasaan menggebu.

Perasaan kelam, bahagia, senang, bersyukur, amarah dan segala rasa jatuh menjadi kesatuan rasa, yaitu takut.

Aku yang gemar membuat puisi tidak cukup kesulitan untuk merangkai kata. Tetapi kata yang seharusnya menjadi lagu, itu lebih mirip seperti musikalisasi puisi.

Kuserahkan ponselku pada Angga. Membuat pemuda tersebut membaca tulisan yang terangkai dalam note. Wajahnya tampak bingung.

"Gimana?" Tanyaku.

"Kaya puisi. Tapi bagus."

Aku yakin dia tidak terlalu bahagia membaca penggalan lirik tersebut. Tatapi apalah daya. Itulah perasaan ku saat itu. "Gimana nih nadanya. Aku tidak paham."

Aku menarik kembali ponsel tersebut. Mengubah warna-warna pada setiap penggalan kata. Merah, hijau dan kuning. Kemudian kuserahkan kembali padanya sembari berujar, "yang merah nada kamu penuh emosi, perasaan tidak terima. Hijau dengan rasa penuh harap. Terus yang kuning kamu nyanyiin dengan bahagia."

Angga mengangguk, berusaha untuk menghafal lirik tersebut. Dengan suaranya yang merdu sesekali memberikan nada dan memasangkan kunci yang tepat. Aku tidak paham soal gitar. Jadi aku hanya menyimak ia yang tengah kebingungan. "Lagunya susah banget. Aku tidak bisa menyelesaikan hari ini."

"Tidak apa-apa." Ujarku akhirnya. Sesekali ia masih berusia mencari nada sampai aku menjeda dengan sebuah pertanyaan. "Kamu tau tidak. Apa artinya lagu itu?"

"Seseorang yang baru merasakan cinta?"

"Lagi?" Aku ingin mencari kepekaan dalam diri Angga. Barangkali aku bisa membuat Angga paham dengan kondisi rasaku saat itu.

"Dan... Dia cinta banget?" Kerutan terlihat tampak tidak sabar, "emang apa sih artinya?"

"Iya, bener kok tebakanmu. Cuman kurang tepat aja. Suatu saat nanti kamu akan tau."

Aku terlalu takut untuk menjelaskan arti lagu itu yang sebenarnya. Hanya berharap Angga akan menggali lebih dalam mengenai hal-hal sepele milikku.

Sejak pertama kali, ku melihatmu disini...
Keyakinan itu datang, bahwa...
Suatu saat nanti, jatuh..

Ada yang berbeda darimu,
Senyum itu membuatku luluh....
Meski raguku terlihat, dari matamu.

Jauh.... Kuberpikir.. semakin inginku meraja hi waktu denganmu!

Tuhan....
Kuinginkan dia yang sanggup melengkapi
Tetapi pilihanmu membuatku, ingin jatuh

Cinta dalam segala lautan, terdalam..
Aku takut, tak mampu bangkit

*Kuyakin kau pasti mengerti!
S'gala luka akan terobati
Kujadikan diriku tuk sanggup, melengkapi....

Kamu... . Cinta dalam s'gala lautan terdalam,
Membuatku jatuh, cinta....

Ada yang berbeda, 
Senyum itu membuatku luluh
Jauhku berpikir, semua menuntunku untuk menjauh
Bagaimanapun caranya!

Kuinginkan dia yang mampu melengkapi!
Tuhan.... 
Kau pilihkan dia yang membuatku jatuh
Cinta dalam s'gala lautan terdalam
Aku takut, tak mampu bangkit
Dan katakan cinta padanya

Tuhan....
Haluskan semua yang membuatku lupa

Ketika Angga bertanya apa judul lagu tersebut. Aku hanya menjawab spontan. "Kau pilihkan."

Dia mengangguk, menyuruhku untuk mengirim berkas lagu tersebut ke ponselnya. Aku menurut. Setelah memberi judul dan nama pembuat. File tersebut langsung aku kirim.

Kau pilihkan!
By: R&A

Sebuah lagu yang bisa aku klaim bahwa si pembuat adalah diriku sendiri dan Angga.

Lagu yang menceritakan ketakutan terbesar dalam diriku. Ketakutan pada seseorang yang yang berusaha mematahkan keyakinanku kepada Angga. Seharusnya Bu Ikhlas tidak mengiring opini agar aku menjauhi Angga. Atau menciptakan opini seolah aku bukanlah orang yang cocok untuk Angga.

Opini-opini tersebut menekanku pada titik terjauh disudut jurang hati. Memaksa aliran darah berdetak lebih kencang ke area otak. Membuat segalanya menjadi perubahan kimia besar dipikiran tersebut.

Aku kalah!

Tetapi seberapa besarpun tekanan mereka pada mentalku. Aku akan terus membulatkan tekan. Bahwa aku memang benar-benar mencintai Angga melebihi rasa nyaman yang pemuda itu cipta. Tatkala aku tidak akan pernah mengucapkan dengan kata. Angga kuharap kamupun merasakan rasaku. Tanpa aku harus mengungkapkan padamu.

"Pendapatan komulatif cuman tiga juta. Sedangkan resto memiliki banyak hutang, kalaupun misal ditotal jumlah hutangnya melebihi dua juta. Belum lagi kontrakan yang harus dibayar setiap bulan enam juta. Masa iya, bos terus menyuplai sedangkan beliau belum dapat bagian apa-apa."

Hasil rembukan yang dilakukan aku, Bu Ikhlas dan Nurul memaksa kita semua untuk menekan pengeluaran masak. Karena selain minimnya pembeli yang hanya mahasiswa ngirit, masih ada pengeluaran yang cukup membludak.

Pengeluaran yang sebenarnya jika dihitung ini berasal dari sembako yang boros.

Aku cukup paham dengan arah pembicaraan Bu Ikhlas malam itu. Di dalam kamar sebelum tidur kami bertiga berembuk untuk memecahkan keputusan. Tetapi aku cukup dongkol dan marah dengan keadaan.

Pengeluaran sembako yang membludak karena Angga. Pemuda itulah yang memegang kendali sembako, minyak dan lainnya. Anggalah yang menjadi koki bagian penggorengan otomatis konsumsi sembako adalah Angga!

"Kalau aku cek, pengeluaran paling banyak dibagian sembako. Terutama minyak. Satu hari bisa menghabiskan enam liter minyak!" Nurul berujar dengan dongkol.

"Itu dia. Sedangkan satu liter minyak membutuhkan uang dua puluh ribu. Jika itu dikali enam. Sehari seratus dua puluh ribu sendiri. Itu baru minyak, belum yang lain! Dan belum lagi jika dikalikan satu bulan. Berapa pengeluaran resto?"

Aku bukannya tidak tau arah pembicaraan Bu Ikhlas. Memojokkan setiap orang untuk mendapatkan jalan keluar terbaik. Tidak seharusnya aku berpikir bahwa semua orang itu kejam. Kendati terlihat kejam cara itu, alasan paling tepat adalah demi kebaikan bersama.

Tiada jalan lain. "Aku udah berusaha menasehati Angga. Tapi bu Ikhlas tau sendiri kemarin. Aku suruh Angga untuk menghemat minyak. Dia malah tak acuh!" Nurul menoleh sekilas ke arahku. Terlihat sudut mata menunjukkan kebencian.

Nurul menyukai Angga sedari awal aku dan dia menginjakkan kaki di resto ini. Aku paham bahkan berusaha untuk menjaga sikap. Yang sebelumnya tidak lagi karena Nurul tampak dekat dengan mahasiswa. "Dia keliatan membenciku!" Lanjut Nurul.

Nurul menuduhku mengiring pendapat Angga tentang Nurul? Merubah pemikiran Angga agar membencinya? Tidak!

"Kamu dengar sendirikan, Ran? Cuman kamu yang bakal didengar. Angga itu keras kepala! Dia cuman mau mendengarkan ucapan orang yang dia cinta. Kamu!" Ujar Bu Ikhlas.

Aku yang cukup tau betul tentang perkembangan resto ini seharusnya memberikan pengertian Angga! Ini jalan yang tepat. Tatkala apa nanti Angga tersinggung atau tidak. Aku hanya ingin membuat Angga peduli dengan lingkungan sekitar. Tidak hanya bermain game, masak dan istirahat. Karyawan yang bertanggung jawab adalah karyawan yang mau memikirkan kelangsungan tempat yang dijadikan bekerja. Perkembangan resto ini!

Jadi, setiap keluhan yang menimpa sebagai cacatnya Angga. Secara otomatis aku akan menyaring. Sesuatu yang buruk ingin kupaksa keluar dari tubuh Angga. Beralih menyisipkan biji-biji baru dengan pemikiran baru yang terencana.

Secara otomatis aku akan sepeduli itu tentang Angga. Melebihi rasa peduli pada diriku sendiri. Sampai aku melupakan diriku sendiri.

"Semua terlihat sulit karena kamu memang tidak peduli." Ujarku pada Angga malam itu.

Dibawah malam-malam sunyi. Hanya aku, dia dan kepedulian ku.

"Hah?" Angga tampak tertekan. Dan aku tidak menyadari hal itu.

"Rubah dari hal-hal kecil. Perubahan itu akan tampak sulit karena kamu sejak awal mang tidak peduli." Terjeda sepersekian, "kamu tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada resto ini. Coba deh, peduli! Anggap saja resto ini milikmu."

Keheningan dan tekanan membuat Angga mengangguk lemah. Aku sungguh berharap Angga benar-benar paham. "Angga, ginilah. Limited pengeluaranmu. Kalau kamu masih boros sembako pengeluaran resto akan semakin banyak! Otomatis hutangnya akan menumpuk. Paham kan?"

Dia masih mengangguk, menjawab dengan ragu, "paham."

"Paham apa?" Tanyaku tegas.

Kepalanya berangsur menatapku. "Aku harus hemat."

Kuhembuskan napas lelah. "Gini Angga. Sehari itu kamu mampu menghabiskan lima sampai enam liter minyak! Bekasnya? Dibuang begitu saja. Rugi tau! Percuma bagian sayur ngirit kalau bagian sembako boros!"

"Iya, paham. Aku harus peduli. Dan menganggap semua itu milikku agar lebih mudah."

Maaf, akulah yang membuatmu tertekan!
"Kamu harus peduli! Perasaan memiliki membuatmu bertanggung jawab atas sesuatu yang kamu miliki" ujarku sebagai penutup topik itu.

Aku sungguh lelah dan tidak ingin menekan Angga lebih jauh.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Olah Manusia
Selanjutnya Olah Manusia bab 23
3
0
Bab 23: Ikbal lebih dari Angga 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan