Tahajud Untuk Aina - Bab 05 #UnlockNow

2
0
Deskripsi

TENTANG BAB 05↴

”Seorang laki-laki budiman demi mengalihkan rasa sedih tidak akan sampai mengabaikan perempuan yang disayanginya.“ Bagas bertengkar dengan ayahnya demi membela Ibu yang disayanginya.

Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa!


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀

”Ibu.“ Bagas mencium punggung tangan ibu. Ibu balas mengelus rambut Bagas sayang sambil menjawab salam.

”Tidak ngebut di jalan? Masih sore, tumben sudah pulang.“

”Kangen ingin ketemu ibu.“

”Bapak sedang pulang,” lanjut ibu.

Cengiran Bagas hilang. Hatinya kesal. Ingin ia bersantai-santai di rumah. Mengobrol dengan ibu seperti biasa. Tapi, mendengar kabar itu ia jadi malas. Dengan sengaja sedikit mengeraskan suara. ”Bapak sudah pulang, Bu? Bapak yang merasa paling sedih sendiri dan sok sibuk itu sudah pulang?”

”Husssh!” Ibu mendelik. Memberi tanda supaya Bagas tidak lagi membikin perkara. Bagas ingin segera menemui bapak, tapi ibu menahan. Perempuan itu ingin anaknya berjanji tidak akan berbuat macam-macam. Bagas tidak mau berjanji. Ibu tetap menahan sambil terus menatap mata Bagas. Bagas mengeluh panjang dan menunduk. Ia tidak ingin menyakiti hati ibunya, tapi .... Bagas menunduk. Mencium pipi ibunya.

“Janji, ya?”

”Tidak janji.” Bagas berkelit dan langsung menuju ruang makan.

”Tunggu sebentar.“ Ibu menahan Bagas. Ibu memerhatikan telinga Bagas baik-baik. Dua anting bundar kecil menggantung di sana. ”Gas, antingnya dilepas dulu!“

”Ini baru. Terlalu sering dilepas nanti bisa membuat busuk dan bernanah,“ bisik Bagas.

”Dilepas tidak hanya karena ada bapak. Besok-besok tidak usah dipakai lagi.“

Bagas menutup dua daun telinganya. Saat tangannya tanpa sengaja sedikit menyenggol lubang tindik, Bagas meringis. Berdenyut nyeri. Sebentar lalu hilang. ”Tidak.“

”Seperti perempuan saja. Laki-laki jangan berdandan seperti perempuan begitu, ah.“ Ibunya mengatakan kalimat barusan dengan nada bercanda supaya anak bungsu yang telah menjadi anak laki-laki satu-satunya di rumah tidak tersinggung. ”Dilepas, ya?!”

Bagas mencium pipi ibunya sekali lagi. ”Tidak mau.”

 

***

Bagas makan lahap. Setiap kali bapak pulang, ibu selalu memasak enak. Berbagai macam menu. Berbagai macam buah. Ibu bahkan sudah memotongnya kotak-kotak dan menyimpan dalam almari supaya tersaji dingin. Saat bapak tidak ada di rumah, memasak adalah salah satu hiburan untuk mengatasi rasa sepi. Saat bapak pulang, memasak untuk menunjukkan bentuk rindu dan perhatian dari ibu untuk laki-laki itu. 

Bapak memerhatikan Bagas. Yang diperhatikan bertingkah tidak peduli (padahal sebenarnya peduli. Bagas memerhatikan bapak semakin kurus sekarang, matanya cekung, wajahnya tirus.)

”Gas.“ Suara bapak terdengar letih. 

Bagas menoleh. Ibu sudah memerhatikan mereka dengan cemas. 

”Kuliah bagaimana, Gas?“

”Baik.“

”Masih sering bolos.“

”Oh, tentu.“

”Balapan motor?“ Bapak menatap Bagas lekat-lekat.

Bagas tidak menjawab. Diam-diam menggertakkan gigi. 

”Itu apa?“ suara Bapak murni seperti sedang bertanya, tidak menyelidik.

Bagas mulai berani membalas tatapan bapak. ”’Apa’ apa, Pak?”

Bapak mengembuskan napas. Berat. Letih. Penuh duka. ”Rambut gondrong. Bertindik. Bolos kuliah. Kalau Bayu ... pasti tidak akan seperti itu.”

Ibu menatap bergantian ke arah Bagas dan Bapak. Bersiap untuk menenangkan. Dua laki-laki itu sama-sama kepala batu. Sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Sifat Bapak menurun persis pada Bagas. 

”Tolong menurut sedikit saja. Kamu satu-satunya anak bapak. Kakakmu sudah tidak ada.“ Suara bapak bergetar di sini. ”Bapak meminta kamu kuliah di ekonomi, bapak meminta kamu menahan diri setidaknya selama empat tahun saja untuk bersungguh-sungguh belajar, supaya bisa langsung bekerja di kantor bapak. Supaya hidupmu lebih mudah.“

Kakak laki-laki Bagas, Bayu, meninggal sekitar lima tahun lalu. Anak laki-laki yang diharap bisa meneruskan perusahaan keluarga pergi karena sakit. Mendiang kakak laki-laki Bagas sangat telaten, kalem, santun, dan dekat dengan Bapak. Ia selalu menurut. Tidak pernah membangkang. Bagas sudah memutuskan untuk menjadi ugal-ugalan sejak SMP. Memilih jurusan kuliah dilakukannya untuk menuruti permintaan bapak karena ibu. 

Selepas kepergian Bayu, Bapak tenggelam dalam pekerjaan sebagai wujud perasaan kehilangan. Setahun dua iya. Tahun-tahun berikutnya karena sudah terbisa dan lupa masih ada ibu yang bersedih di rumah. Sedang Bagas, balap motor adalah salah satu cara baginya menghilangkan rasa tertekan. Ada kepuasan sendiri saat angin menggeber tubuhnya kencang. 

”Tolong mengerti perasaan Bapak. Kamu laki-laki. Harus punya tujuan hidup.”

”Gas ….” Ibu memanggil anak kesayangannya.

Suasana di meja makan menjadi hening. 

“Pak,” panggil Bagas kemudian. Rahangnya sedikit mengeras. Sekuat tenaga ia menekan rasa kesal supaya tidak terdengar pada intonasi suara.

Bapak menengok. Matanya sudah berkaca-kaca. Selalu begini. Setiap obrolan mengenai kuliah (Bagas sudah masuk tahun keenam, sudah seharusnya ia serius menyelesaikan seluruh teori dan kemudian mengerjakan skripsi, dan tidak malah umbar-umbaran seperti ini).

”Saya mengerti Bapak melakukan ini semua karena rasa sedih. Lima tahun dan rasa kehilangan itu masih ada. Bapak bersedih. Saya tertekan. Ibu juga lebih bersedih. Bapak tahu itu?“ Bagas balas memandang Bapak. ”Jadi, kapan bapak akan segera pergi ke luar kota lagi? Untuk urusan pekerjaan. Kehadiran bapak di rumah hanya membuat saya tertekan dan ibu hilang selera makan.“

Ibu menatap Bagas terkejut. 

”Terus-teruskan saja merasa paling sedih dan malang di dunia. Tapi, tolong perhatikan sedikit ibu. Lihat, kalau Bapak mau peduli, lebih kurus ibu sekarang.” Bagas meneguk minumannya. ”Bagas tahu bapak tidak main perempuan di luar sana. Murni sibuk dengan pekerjaan. Tapi, ibu pasti yang lebih merasa kehilangan. Alangkah baik bila bapak mulai menyisihkan waktu untuk memerhatikan ibu. Ibu kangen dengan bapak!“

Ibu mengerjap khawatir. Beliau ber-shh pelan. Bagas jangan terlalu kurang ajar dengan berkata seperti itu pada Bapak. 

”Kamu mengalihkan pembicaraan, Gas!“ seru bapak.

”Seorang laki-laki budiman demi mengalihkan rasa sedih tidak akan sampai mengabaikan perempuan yang disayanginya.“ Bagas pernah membaca kalimat tersebut entah di buku apa. Bagas tidak suka petuah bijak, baginya hanya omong kosong, tapi untuk keadaan seperti ini bagus juga bila ia mengutip satu atau dua untuk menyadarkan bapak. Bagas memundurkan kursi lalu pergi. [dps]


▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Selanjutnya Sila Klik Di Sini ◀◀

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tahajud Untuk Aina - Bab 06 #UnlockNow
2
0
TENTANG BAB 06↴Bagas jadi rajin kuliah! Wah, ada apa, nih? Oh, ternyata dia nggak ingin kalah dari Dewa. Bagas ingin mengambil hati Aina. Ihiy!Yuk, baca kisah-cerita selengkapnya dari karya Desi Puspitasari ini di laman bawah yaa! ▶▶ Cerita 'Tahajud Untuk Aina' Bagian Sebelumnya Sila Klik Di Sini ◀◀
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan