Meilan part 1

7
0
Deskripsi

Part ini bisa dibaca gratis, untuk perkenalan!

"Apa sih Pa!" Gadis cantik dengan balutan dress selutut itu mengeram pelan di nasehati. Siang hari yang panas, sama seperti hatinya yang meluap-luap ketika di tarik pulang dari rumah pujaan hati oleh Papanya. Meisya ingin menjalankan misi, ia harus kembali merebut perhatian pria yang ia cintai.

Meisya tak terima jika pria itu punya perempuan lain. Tak tahu diri, sekarang ia dijuluki seperti itu. Meisya emang akui, tapi apakah dia akan menyerah walau orang yang dia cintai sudah menemukan pilihannya.

Menjadi gila adalah satu-satunya sebutan untuk gadis cantik berambut sedikit blonde itu. Raut imut yang ada pada wajahnya tak seperti hatinya yang keras.

"Mei, gak baik seperti itu." Abraham, pria penyayang dan lemah lembut itu selalu saja kalah telak jika terkait dengan putrinya. Abraham emang tegas dengan beberapa karyawannya. Tapi, jika bersama dua wanita yang dia cintai maka dia akan lemah.

Meisya mencebikkan bibirnya kesal, ia memalingkan wajah, menepis tangan papanya yang hendak memegang bahunya. Manja, gadis itu manja dan semena-mena.

"Dia sepupuku pa, gak masalah kalau aku tinggal dirumahnya." Emang benar, cowok yang disukai Meisya merupakan sepupunya. Selalu sama-sama, mulai dari bermain dan mengunjungi rumah nenek bersama, tau-taunya nikah sama wanita yang baru dikenalnya.

"Hargain istrinya, dengar pa--"

"Aku gak mau dengar!"

Brak!

Kesabaran habis, Abraham memukul meja kayu dihadapannya membuat Meisya tersentak dan sedikit membulatkan matanya tak percaya. Ia lantas menatap papanya dengan pandangan yang terluka.

"Udah cukup Mei!" Tatapan nyalang diberikan membuat hati Meisya tercubit, ia jarang sekali kena bentakan terhadap Ayahnya sebelumnya. "Udah cukup buat papa malu!"

"Papa malu Meisya! Malu kamu jadi hama di kehidupan rumah tangga orang!" Intonasinya semakin meninggi. Meisya pun sudah menunduk dan menitikkan air matanya. Merasa kesal dan sedih bercampur aduk.

"Masih banyak pria lain buka mata hati kamu!" Nafas yang tersengal-sengal, Abraham menatap tajam kearah putrinya. "Menurut sama papa."

"Dengar, Papa gak ngasih keringanan lagi, kapan Papa dengar kamu kesana lagi, dan ganggu mereka. Fasilitas kamu papa cabut!"

Meisya membulatkan matanya, ia sesegukan. Ia tak mungkin bisa jauh-jauh dari fasilitas yang ayahnya beri, Meisya sangat bergantung dengan itu, ia suka jajan, ia suka Shopping, ah! Rasanya tidak akan bisa ia hidup hemat nantinya. Nasibnya di pertanggung jawabkan disini. "Papa jahat!"

"Papa punya kenalan untuk kamu, temui dia nanti malam atau semua fasilitas dicabut."

Meisya berdiri, ia menghentakkan kakinya kesal, lalu naik ke kamarnya. Jikalau sudah seperti itu, Abraham hanya mampu menghembuskan nafas pelan. Rasanya pening menjalar dikepalanya.

"Kamu tuh jangan kasar dengan anakmu, Mas." Melly--istrinya itu menggeleng heran, ia baru saja dari luar menelpon dengan teman arisannya, jadi ia hanya mendengar samar-samar perdebatan suami dan anaknya.

"Salah kita manjain dia." Abraham mendengus, jarang dirinya marah. Namun, jika ia tak bisa lagi menahan emosi, maka istrinya pun tak bisa berkutik. "Aku mau buat dia kenal dengan asistenku, masih muda, cocok dia sama Meisya."

"Pa, gimana kalau Meisya ngamuk lagi?"

Abraham menghembuskan nafas pelan. "Aku gak peduli."

Melly lantas tak terima. "Jangan gitulah Pa."

"Jangan gimana? Ini demi kebaikan Meisya. Aku tidak mau mendengar penolakan lagi dari kalian berdua." Pria itu berdiri, ponselnya berdering, ia mengangkatnya dan mendekatkan benda itu pada telinganya.

"Ohiyya baik, saya akan kesana." Pria itu mematikan panggilan sepihak. Abraham menepuk bahu istrinya lalu berpamitan pergi.

"Udah, kamu bujuk aja Meisya, jangan terlalu dimanja."

****

Meisya benar-benar tak tahu ingin lari kemana. Ingin kabur dari rumah seperti di film-film yang dia nonton tapi dirinya sadar, mau kemana dia? Sedangkan uang jajan berasal dari Papanya.

Meisya mencak-mencak sendiri, menghirup aroma kamarnya yang lebih kental dengan parfum miliknya, gadis itu mondar-mandir didalam kamar, lalu mengacak rambut prustasi.

"Siapa pria yang mau papa kenalin? Awas aja kalau dia macam-macam!" Gadis itu tersenyum miring, siap mengumpulkan beberapa cara agar orang itu tak mau dekat dengannya. Oh ayolah, dirinya punya pilihan sendiri, walau sama suami orang.

Nekat, Meisya menendang kasur miliknya.

Bugh!

"Aw! Sialan!" Kakinya terasa nyut-nyutan seketika, ia menyesal menendang kasur itu. "Papa jahat banget sama gue!"

Merebahkan diri pada kasur, Meisya menghentakkan kakinya lalu guling-guling kesana kemari. "Kesal, kesal, kesal!"

Sedangkan disisi lain, Abraham memanggil asistennya agar masuk keruangannya. Fokus pada laptop miliknya, hingga akhirnya ia mengangkat wajah saat seorang pria masuk memegang sebuah berkas di tangannya.

"Memanggilku pak?" Pria itu namanya Ilan, Ilan Giandra pria berumur 27 tahun yang merangkap menjadi sekretaris setahun lebih. Berdiri tegap, sembari menampilkan raut tanda tanya.

Abraham mengangguk. "Duduk," katanya.

Menurut seperti kucing yang imut, Ilan memilih duduk di hadapan atasannya. "Ada apa ya, pak?" Tentu saja ia bertanya, sebelumnya ia diperintahkan untuk mengecek tugas yang diberikan Abraham namun tiba-tiba dirinya dipanggil. Tentu saja dia kaget, takut melakukan kesalahan seperti awal-awal dia bekerja yang selalu terkena omelan pria di hadapannya.

Abraham berdehem. "Kamu nanti malam ikut saya ya?"

Ilan nampak diam, menurut jadwal yang sudah dia atur, tak ada pertemuan malam ini dengan klien. Tanpa banyak tanya dia mengangguk. "Baik pak."

"Kamu udah punya pacar, Ilan? Atau calon istri, mungkin?"

Tenggerokan Ilan serasa seret seketika. Pertanyaan seperti itu yang paling dihindari. Mengejar karir, hingga membuatnya tidak fokus untuk mencari wanita. Bagi Ilan, mendekati wanita lebih susah daripada pekerjaan kantor, segitu susahnya hingga dirinya angkat tangan duluan sebelum mencoba.

Ilan berusaha mencairkan suasana dengan tertawa pelan, walau terdengar paksa. "Tidak ada Pak, mungkin tidak ada yang mau dengan saya," guraunya.

Ya, bagaimana mau di dekati kalau ngelirik cewek saja dia hindari? Ilan paling takut dikatakan mengganggu. Tapi, bohong betul jika tak ada gadis yang ingin dengannya. Sewaktu berkuliah, dirinya termasuk incaran karena wajah tampannya, namun Ilan hanya acuh tak acuh. Lebih baik fokus belajar katanya, sembari membantu ibunya bekerja sampingan.

Abraham tertawa pelan. "Saya punya anak gadis lho, saya lihat cocok sama kamu."

Eh, Ilan lantas membeliakkan matanya seperkian detik. Lalu menggaruk sikunya yang tidak gatal.

"Kamu kenalan sama dia ya, saya mau ajak kamu makan malam."

"Makan malam?" Semakin bingung Ilan dibuatnya.

Abraham mengangguk, ia hembuskan nafas pelan. Lalu menutup laptop yang ada di hadapannya. "Saya percaya kamu Ilan, putri saya itu lagi patah hati, saya percaya kamu bisa menghibur dia."

Menghibur katanya. Ilan malah dibuat tercengang sementara.

"Berharap juga kamu jadi menantu saya."

Uhuk!

Repleks Ilan terbatuk karena tesedak air liurnya sendiri. Tunggu, menantu? Apakah pendengarannya sedang rusak sekarang? Ilan tak tahu kalau Abraham punya anak gadis, dia tak pernah kepo, dan juga yang pernah datang kekantor selama ia bekerja hanya istri atasannya itu. Putrinya tak pernah menginjakkan kakinya kekantor.

"Gak usah gugup Ilan, kamu bisa pdkt dulu."

Ini kenapa ia mengira seperti dicarikan seorang gadis oleh atasannya sendiri. Ilan jadi canggung, berkali-kali ia mengusap tengkuknya. Sedikit salah tingkah saja.

"Emang dia mau?" tanya Ilan.

Abraham kembali tertawa. "Coba aja dulu, saya percaya sama kamu. Dia anaknya agak keras kepala," balasnya menilai.

Ilan mengangguk. "Nanti saya coba ya Pak."

*****

Malamnya, Ilan benar-benar ikut bersama Abraham. Rupanya dirinya di undang makan malam di rumah pria itu. Sesuatu penghargaan bagi Ilan, selama setahun lebih ia bekerja, ini ke tiga kalinya ia kerumah Abraham. Tapi, dia tetap tak pernah melihat keberadaan putri dari atasannya itu. Masa bodoh juga.

Masuk pada pintu utama, Ilan dan Abraham dikejutkan dengan keberadaan Meisya. Bukan apanya perempuan itu tiba-tiba muncul dengan kondisi acak-acakan. Rambut terurai yang tak di sisir, dan juga baju tidur bergambar upin ipin. Abraham meringis, padahal ia sudah meminta istrinya agar menyiapkan Meisya. Lagi pula, Meisya juga jarang ingin menyambut tamu duluan, biasanya gadis itu di panggil baru muncul. Itupun mana mau Meisya muncul di depan tamu dengan kondisi seperti itu.

Meisya menatap Ilan datar, saat dua orang itu berdiri dihadapannya. Muka songong Meisya berikan untuk Ilan.

"Gak begitu caranya nyambut tamu, Mei, mama mana?" Meisya mengedikkan bahunya acuh. "Gak tau, Pa, aku juga masih marah sama Papa, jadi gak usah tanya-tanya."

Abraham menghembuskan nafas pelan. "Kita mau makan, udah siap gak?"

"Ya gak tau pa--"

"Mei. Kamu tuh ya, sana ganti baju, ngapain pakai baju tidur?"

"Ya, karena udah mau tidur."

Sesekali Meisya melirik Ilan, pria yang cukup tampan tapi ia tak tertarik, pasti sudah tua. "Lagian apa untungnya bawa tamu malam-malam."

"Nyambut tamu--"

"Eh, udah pulang mas, oh malam Ilan." Melly datang menyambut dua orang itu. "Ayo masuk sini, kita makan."

Nah penyambutan seperti ini yang diinginkan Abraham, tapi Meisya terlalu malas menanggapi, dia tau orang inilah yang akan dikenalkan olehnya. Tidak sesuai keinginannya, Meisya tidak ingin modelan om-om yang selalu memakai setelan rapi, rambut pun di sisir rapi seperti cowok cupu.

Meisya berlalu dari sana tapi ucapan Papanya membuatnya menghentakkan kakinya. "Ganti baju, Mei. Ingat kata papa tadi, Papa gak main-main ya," peringatnya.

"Ayo Ilan." Suara lembut mama dan papanya terhadap Ilan membuatnya langsung benci dengan lelaki itu.

Meisya naik keatas kamarnya, membuka lemari secara kasar dan mengambil sebuah dress selutut. "Ribetin, orang mau tidur juga."

Mencak-mencak sendiri tapi tetap dilakukin, Meisya turun ikut makan malam bersama dadakan. Mana Papanya seolah-olah ingin menjodohkannya lagi. Dirinya disuruh duduk tepat di hadapan pria itu, padahal masih banyak bangku kosong.

"Duduk di sana Mei."

"Ogah ah, Pa."

"Mei…lupa?" Setidaknya Abraham sudah punya senjata mengendalikan Meisya. Buktinya sekarang ini, anak gadisnya menurut walau dengan muka kecut.

Ilan makan dengan tenang, terlihat malu-malu.

"Dia itu Ilan, asisten Papa," kata Abraham mengenalkan, tapi respon Meisya mampu membuatnya elus dada.

"Gak nanya pa, toh urusan Papa juga." Jujur, Abraham sangat malu dengan Ilan saat itu, Meisya sudah menunjukkan kesan buruk. Padahal dia berniat menjodohkan mereka berdua.

"Jangan begitu Mei," sela Melly.

Meisya hanya mencebikkan bibirnya. Ia memandang Ilan yang masih makan. "Ini yang mau papa kenalin?" Ia menampilkan raut mengejek. "Cupu."

"Mei!"

Suasana jadi tak enak, ketika Abraham meninggikan suaranya. Ilan pun langsung mengangkat wajahnya seketika.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Meilan part 2
6
1
“Jangan harap lo betah sama gue! Dasar om-om!” ~Meisya
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan