Hidden Love - Chapter 9

1
0
Deskripsi

“Mau kemana lo?” Aku menyapanya terlebih dahulu yang membuatnya menoleh ke arahku.

“Pergi sama Sara.”

Jawaban singkat dan jelas yang Adit berikan membuatku tersenyum, “Selamat ya, Dit. Akhirnya bener dugaan gue 'kan? Lo pacaran juga sama Sara.”

“Selamat juga ya, hubungan lo sama Adin ada perkembangannya juga."

Walaupun tidak ada persetujuan yang keluar dari mulut Adit tentang pendapatku terakhir kali, tetapi kini Adit terlihat begitu bahagia menjalani hubungannya dengan Sara. Setelah hari itu, Adit dan Sara terlihat semakin dekat dan bahkan sering pergi bersama. Beberapa kali juga Adit mengajak Sara menemaninya di pinggir lapangan ketika ia sedang bertanding atau hanya latihan futsal. Laki-laki itu pernah kutemukan sedang membawa Sara di perkumpulan teman-temannya dan sibuk memperkenalkan Sara layaknya seorang kekasih. 

Aku tak pikir panjang, mungkin Adit memang sebenarnya menunggu kesempatan ini. Mungkin saja sebelumnya ia merasa bersalah denganku apabila harus memiliki hubungan dengan Sara yang mana ia sendiri tahu bahwa aku menyukai pacar Sara saat itu. Mungkin saja, setelah kukatakan pendapatku waktu itu akhirnya ia memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh dengan Sara. 

“Liat tuh akibat dari lo nyuruh Adit pacaran sama Sara.” Ziana yang duduk di sampingku kini memasang wajah kesalnya. “Dia jadi lupain kita kayak gini. Cape-cape dateng buat dukung dia, tapi dicuekin.”

Aku hanya tersenyum menanggapi Ziana. Memang pada pertandingan hari ini, aku dan Ziana sengaja datang untuk mendukung Adit di tribun lapangan. Kami berdua memilih salah satu tempat yang memungkinkan Adit untuk menyadari kehadiran kami dan merasa terkejut bahwa kami bisa datang untuk mendukungnya. Namun, sejak kami datang Adit hanya sempat mengacungkan kedua ibu jarinya dari lapangan tanpa menghampiri kami sama sekali. Ia lebih memilih untuk mendatangi Sara di tribun yang bersebrangan dengan kami. 

Kini aku malah sudah melihat Adit meminum air mineral yang diserahkan oleh Sara di sana. Laki-laki itu bahkan membiarkan Sara menyeka keringat di pelipis Adit dengan handuk yang ia bawa. Melihat pemandangan itu, semua orang juga pasti akan berpikir mereka memang pasangan yang cocok bukan? Jadi, aku sudah melakukan hal yang benar 'kan?

Ditengah lamunanku menatap Adit dan Sara, Ziana menyenggol lenganku dan menunjuk ke arah kananku. “Adin nyamperin tuh.”

Aku menoleh ke arah dimana Ziana menunjuk, di sana Adin memang sedang berjalan menghampiri kami dengan senyum manis yang tercetak di wajahnya. Aku dengan pasti membalas senyumnya itu lalu membiarkan Adin untuk duduk di sebelahku dan bergabung bersamaku dan Ziana. 

“Kalian mau kemana abis ini?” Adin menatapku dan Ziana bergantian.

“Gue mau rapat classmeeting.” Ziana menjawab dengan cukup cepat seraya tangannya mencubitku pelan secara diam-diam. “Keyla ga ada acara 'kan ya, Key? Maaf ya, lo jadi pulang sendiri gara-gara gue rapat.”

Aku sedikit tidak mengerti arah pembicaraan dan maksud cubitan Ziana pada lenganku, tetapi memang benar bahwa perempuan itu sudah izin kepadaku sebelumnya bahwa ingin rapat bersama teman-temannya sehabis ini. Namun, dibanding aku harus menjawab pertanyaan perempuan itu, aku kini lebih memilih memprotes Ziana karena cubitan yang ia berika cukup memberikan rasa yang membekas.

“Mau pulang sama gue, Key?" Tanya Adin yang membuatku mau tidak mau menoleh padanya.

Aku berpikir sejenak, memberi waktu untuk Adin menunggu. “Lo mau anterin gue?”

“Mau. Kenapa harus nolak buat anterin lo?”

Aku mengangguk, “Kalo gitu anterin gue, ya?”

Akhir-akhir ini hubunganku dan Adin pun seperti memiliki sebuah perkembangan. Ketika Adit yang kini sibuk menjemput Sara di sekolahnya, Adin selalu menawariku untuk pulang bersamanya. Hal tersebut membuatku sangat menikmati keadaan ini. Walaupun kami berdua memang sudah berteman lama, tetapi dikeadaan seperti ini perlakuan itu tidaklah menjadi hal yang biasa. Apa yang dilakukan oleh Adin mampu membuat kupu-kupu di perutku kembali berterbangan tak tentu arah, aku kembali menyukainya seperti yang sebelumnya selalu kulakukan.

Aku, Ziana, dan Adin melanjutkan kegiatan menonton pertandingan sekolah lain sekaligus menemani Ziana hingga waktu rapatnya dimulai. Selama waktu itu pula Adit sama sekali tak menghampiri kami, ia tetap di tempatnya bersama dengan Sara yang duduk di sampingnya menonton pertandingan yang sama. Aku sedikit tidak mengerti mengapa Adit tidak mau menghampiri kami. Laki-laki itu seolah-olah sudah melupakan kedua temannya karena berpacaran dengan Sara.

Kami bertiga menonton pertandingan hingga Ziana berpamitan pergi dengan seorang temannya untuk menuju tempat ia rapat, aku dan Adin pun mulai meninggalkan GOR dan memilih pulang. Kami menyusuri jalanan kota yang ramai dipenuhi kendaraan. Weekend kali ini memang cukup berbeda karena di dekat tempat kami berada akan dilaksanakan konser yang dengan pasti orang-orang yang akan menonton akan memenuhi jalanan menuju tempat itu. 

“Sara udah pacaran sama Adit ya, Key?” Adin membuka suara saat jalanan di depan terhenti karena macet.

Aku mengangguk pelan, “Lo masih sedih?”

“Engga.” Laki-laki itu tertawa seraya berkaca di spion tengah merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak berantakan. “Dia yang milih buat putus tanpa ada alesan jelas selain bosen. Padahal gue ga merasa punya salah selama pacaran sama dia. Liat dia udah punya yang baru, harusnya gue juga udah bisa coba sama orang baru 'kan?”

“Tapi lo marah ga liat dia secepet itu buat punya orang baru?”

“Awalnya gue marah, tapi setelah gue pikir-pikir rugi banget gue habisin energi buat marah.” Adin melajukan mobilnya pelan untuk mempersempit jarak dengan mobil di depannya yang sudah maju sedikit. “Gue sekarang lebih mau buat coba hubungan baru, Key.”

“Buat jadi pelampiasan?”

“Engga dong.” Adin tertawa dengan tangannya yang terjulur untuk mengelus rambutku. “Gue mau coba hubungan baru karena emang beneran gue tertarik sama orang itu.”

“Berarti cepet juga ya lo buat suka sama orang lain, sama aja kayak Sara.”

Aku tersenyum tipis merasakan sepertinya harapanku kembali musnah apabila Adin sudah menemukan perempuan baru yang mengisi hatinya. Sepertinya jika kali ini Adin mempunyai perempuan lain untuk dijadikan pacarnya, aku lebih memilih menyerah untuk mendapatkan hatinya. Memang seharusnya aku sudah lebih sadar diri jika bukan aku yang bisa untuk menarik perhatian Adin.

Adin masih mengelus rambutku yang terurai sampai mobil di depan kami maju cukup jauh dan tangan laki-laki itu kembali memegang kemudi mobil. Kulihat senyum di bibir laki-laki itu tidak turun sejak tadi, ia memang terlihat seperti laki-laki yang sedang jatuh cinta. Seharusnya aku lebih peka tentang keadaan ini sebelum Adin memberitahuku seperti sekarang. Seharusnya aku lebih bisa berjaga agar tidak patah hati untuk kedua kalinya. 

“Gue suka sama perempuan ini udah lama.” Aku menoleh menatap Adin yang masih sibuk melajukan mobilnya karena jalanan mulai lancar. “Sempet nyerah buat suka sama dia, tapi ternyata setelah gue putus sama Sara perasaan gue buat dia balik lagi.”

“Lo suka sama dia sebelum sama Sara?”

Adin mengangguk. “Jauh sebelum gue punya hubungan sama Sara.”

“Kenapa ga pernah cerita sama gue?”

“Ga punya momen buat gue cerita sama lo.”

“Terus kenapa nyerah buat suka? Kenapa malah pindah ke Sara?”

Adin terdiam sejenak hingga mobil Adin kembali terhenti di lampu lalu lintas. “Karena sinyal-sinyal yang gue kasih ke dia ga pernah dia bales. Dia kayak ga keliatan suka balik ke gue. Kayaknya dulu gue terlalu penakut, jadi ga berani buat nyoba dulu.”

“Jadi lo belum pernah ungkapin ke cewe itu?”

Adin menggeleng, “Bego ya, gue? Udah kalah padahal belum perang.”

Aku menghela napasku cukup kasar, menimang apakah aku harus menyerah pada saat ini saja? Sepertinya jika harus bersaingpun aku akan kalah. Perempuan yang Adin ceritakan adalah orang yang sudah lama ia suka dan laki-laki itu bahkan dapat kembali merasakan rasa sukanya. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa perasaannya pada perempuan itu cukup kuat bukan?

Setelah beberapa waktu kami habiskan di jalanan yang ramai itu, Adin menepikan mobilnya di salah satu restoran seafood yang cukup terkenal di kota kami. Sebelum pulang tadi ia mengajakku untuk makan dahulu. Alibinya adalah ia ingin mengajakku main agar tidak kesepian di malam Minggu seperti ini. Aku mengiyakan ajakannya karena memang tidak memiliki rencana apapun saat ini. 

Kami berdua menempati salah satu meja setelah memilih menu yang akan kami pesan. Adin memilih untuk duduk di samping kananku dibanding kami saling berhadapan. Katanya akan lebih enak untuk mengobrol dengan posisi ini, jika kami berhadapan terkesan seperti kami sedang bermusuhan.

“Kalo sekarang Sara sama Adit pacaran, lo berangkat sekolah sama siapa, Key?”

“Dianter sama Mas Aldan, Papa, kalo ga pesen ojol.”

Adin mengacak-acak rambutku di puncak kepala, “Kasian harus kehilangan tukang ojek pribadi.”

“Kalo gue tetep berangkat sama Adit, nanti bisa-bisa gue dilabrak Sara.”

“Sara kalo marah 'kan serem, Key."

Aku tertawa, “Ya emang, makanya gue milih naik ojol aja kalo ga ada yang bisa anter.”

Adin mengangguk-angguk dan tak merespon karena seorang pelayan sudah datang mengantarkan pesanan kami. Setelah itu hanya terjadi beberapa obrolan ringan tentang masa lalu kami ataupun obrolan random yang dapat membuat kami sama-sama tertawa. Sesuai dengan yang Adin katakan, malam ini Adin menemaniku menghabiskan waktu cukup lama hingga malam semakin gelap dengan bulan yang semakin meninggi pula. 

Adin mengantarku pulang setelah kami memutari kota selama satu jam tanpa arah. Adin ingin mengajakku untuk menikmati ramainya kota dengan obrolan ataupun hanya sebatas bernyanyi bersama di dalam mobil. Kuakui ide Adin cukup menyenangkan, aku begitu senang menikmati waktu ini bersamanya. 

Setelah menempuh perjalan singkat, Adin menepikan mobilnya di depan rumahku. Terlihat jalanan kompleks yang sudah sepi dan hanya terdengar suara jangkrik samar-samar. Rumahku pun terlihat sudah gelap yang mana menandakan seisi rumah mungkin saja sudah tertidur. 

“Besok pagi jadi ke Dufan sama gue, ya?” Ucap Adin kala ia selesai menarik rem tangan.

“Mau jam berapa?”

“Lo bisa siap di jam berapa? Gue ngikut lo siapnya kapan.”

Aku menatap langit-langit mobil mencoba berpikir, “Jam 10 kesiangan ga?”

“Boleh, atur aja. Besok kabarin gue aja mau dijemput kapan.”

“Tapi lo serius mau berdua aja?”

Adin mengangguk dengan pasti. “Gue serius.”

“Lo ga mau ajak temen-temen lo?”

“Engga.” Adin menaruh tangannya di atas kepalaku lagi untuk kesekian kalinya dan mengacak-acak rambutku pelan. “Gue cuma mau berdua sama lo.”

Aku memilih untuk tak merespon lebih dan membuka pintu mobil Adin untuk segera turun. Aku berdiri disamping mobil Adin dan menunggunya pergi hingga tak terlihat lagi di jalanan kompleks. Sebelum melaju, laki-laki itu melambaikan tangannya seraya mengingatkanku tentang agenda kami esok pagi. 

Aku menyentuh puncak kepalaku sesaat setelah sampai di kamar. Kutatap cermin di depanku dan melihat raut wajah bingung diriku karena sepertinya saat ini aku sudah kehabisan akal. Hari ini Adin begitu senang untuk menyentuh rambutku, padahal hal itu cukup jelas mampu membuat degup jantungku berpacu cukup kencang. Ternyata walaupun tadi aku mendengar kabar tak menyenangkan tentangnya, tetapi tak menutup perasaanku yang tetap akan salah tingkah karena perlakuan manis yang Adin lakukan. 

Kalau sudah begini, aku harus menyerah atau tetap memperjuangkan perasaanku pada Adin??

***

“Udah di-chat Adinnya?” Tanya Mama yang sedang menonton televisi saat melihatku menuruni tangga dengan pakaian rapi.

“Udah, lagi di jalan katanya.” Aku menghampiri Mama dan menarik tangannya untuk bersalaman. “Keyla pamit ya, mau tungguin di depan aja biar ga lama.”

“Salam ke Adin, ya.”

Perintah Mama itu kurespon dengan anggukan sebelum pergi keluar dari rumah. Sinar matahari pagi ini menyapaku di depan pintu, hari cerah seperti ini memang sangat cocok digunakan untuk aktivitas di luar. Adin sepertinya memilih hari yang tepat sehingga kemungkinan besar kami tidak akan merasa rugi untuk bermain di taman hiburan yang Adin pilih.

Aku berjalan menuju bagian pekarangan rumahku yang dekat dengan rumah Adit. Laki-laki itu sedang memanaskan mobilnya dengan pintu yang terbuka, terlihat saat ini Adit juga mengenakan setelan yang cukup rapi dengan kaus hitam yang berlapis kemeja flanel berwarna biru dongker. 

“Mau kemana lo?” Aku menyapanya terlebih dahulu yang membuatnya menoleh ke arahku.

“Pergi sama Sara.”

Jawaban singkat dan jelas yang Adit berikan membuatku tersenyum, “Selamat ya, Dit. Akhirnya bener dugaan gue 'kan? Lo pacaran juga sama Sara.”

“Selamat juga ya, hubungan lo sama Adin ada perkembangannya juga."

“Ga gitu, gue masih gini-gini aja sama dia.”

“Tapi bisa sampe pulang semalem itu?”

Aku mengernyit terkejut, “Lo tau pas gue pulang semalem?”

“Kedengeran kali suara mobilnya Adin.” Adit mematikan mobilnya dan menarik kunci. “Sekarang mau pergi sama Adin lagi? Sukses banget, ya.”

“Lo juga sukses banget kayaknya pacaran sama Sara sampe ga mau nyamperin gue sama Ziana kemarin.”

Adit menutup pintu mobilnya dan memilih bersandar pada pintu mobil itu, “Gue ga mau ganggu orang pacaran kayak Ziana.”

“Siapa yang pacaran?”

“Lo sama Adin.” Bersamaan dengan jawaban Adit, mobil Adin sampai di depan rumahku. “Tuh udah sampe pacarnya. Have fun ya, hari ini.”

Aku menanggapi perkataan Adit dengan gelengan pelan dan melambaikan tanganku. Kumasuki mobil Adin dan disambut dengan senyuman laki-laki itu. Sebelum kami melaju, Adin menurunkan kaca disebelah kiriku dan mulai sedikit mencondongkan tubuhnya.

“Ayo, Dit!” Teriak Adin di sampingku pada Adit yang dibalas dengan lambaian tangan oleh laki-laki itu. 

“Adit mau pergi sama Sara." Ucapku saat kami sudah keluar dari lingkungan perumahan. “Mereka udah beneran pacaran, Din.”

Adin tertawa terlebih dahulu dengan cukup kencang, “Ga ada yang bilang mereka bercanda pacarannya, Key.”

“Iya, tapi gue tiba-tiba merasa aneh aja. Sebelumnya lo yang pacaran sama Sara, terus sekarang Adit. Kayak kalian tuh orang-orang terdekat gue, dan perubahan ini terjadi secepat itu.”

“Ga usah pikirin Sara lagi, sekarang gue ajak lo ke Dufan buat seneng-seneng, bukan buat mikir dia.”

Aku mengangguk-angguk menyetujui apa yang diucapkan oleh Adin. Saat ini seharusnya aku tidak perlu kembali memikirkan tentang Sara dan Adit yang sudah bahagia menjalani hubungannya. Aku seharusnya tidak memikirkan lebih jauh tentang apapun lagi selain tentang perempuan baru yang kemarin Adin ceritakan. Bukan lagi Sara, seharusnya kali ini tentangku, Adin, dan perempuan yang tak kukenal sama sekali itu.

Setelah menempuh perjalanan cukup lama, aku dan Adin akhirnya mampu memasuki taman hiburan ini dengan sedikit mengantre tadi. Sesuai prediksi karena kami datang di hari lilbur, dapat dipastikan tempat hiburan ini akan sangat ramai. Adin mengajakku untuk duduk terlebih dahulu di salah satu kursi panjang yang menghadap ke sebuah wahana. Aku menuruti dan memaklumi bahwa dirinya pasti lelah setelah menyetir lama dan kami harus mengantre tadi. 

“Rame banget.” Gumamku pelan seraya mengernyit karena saat ini matahari tepat berada di atas kepala kami.

“Kayaknya semua orang ke Dufan, deh. Di jalan tadi aja macet gitu.”

“Maaf ya." Aku menatap Adin dengan perasaan bersalah. “Lo harus nyetir sendirian kayak tadi. Soalnya kalo mau gantian sama gue, nanti kita malah nyasar ke rumah sakit.”

Adin tertawa karena candaanku ditengah teriknya matahari siang ini. Tangan Adin terjulur untuk merapikan anak rambutku yang tak dapat ikut terikat. Hari ini dengan sengaja aku mengikat rambut seperti ekor kuda karena berpikir bahwa aktivitas yang kami lakukan akan membuat kami berkeringat.

“Panas, ya?" Tanya Adin.

Aku mengangguk dengan senyumku karena merasa ketahuan menahan panas sedari tadi. 

“Beli topi di sana, mau?” Tanya Adin lagi seraya menunjuk salah satu toko.

“Ngapain?”

“Biar lo ga kepanasan. Kita beli topi aja.” Adin menarikku untuk mengikuti langkahnya menuju salah satu toko aksesoris tanpa mendengar persetujuan dariku terlebih dahulu. 

Laki-laki itu memilih beberapa topi dan mencobanya kepadaku. Sesekali ia tertawa karena mengambil topi dengan bentuk yang aneh. Akupun melakukan hal yang sama, mencoba beberapa bandana ataupun kacamata pada Adin dan tertawa bersamanya menikmati kekonyolan kami. 

Kalo boleh jujur, aku ingin melupakan perkataan Adin kemarin tentang perempuan yang ia sukai. Aku ingin bertindak egois menikmati kesenangan kami saat ini. Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang merasa bahagia dengan apa yang sedang kami lakukan bersama. Aku ingin Adin, ingin laki-laki itu menjadi milikku, kali ini saja.

“Keyla!” 

Mendengar namaku disebut, aku menoleh pada seseorang dibalik tubuh Adin. Seorang perempuan yang sama-sama kami kenali dengan seorang pria yang tadi pagi kami sapa di depan rumahnya, Sara dan Adit. Ditengah kebahagian yang baru saja aku syukuri, pasangan baru itu berada di hadapan kami. Keadaan ini tampak klise dipikiranku, seperti saat Adit pertama kali aku kenalkan dengan Adin dan Sara. Hal yang berbeda hanyalah kini Adit datang bersama Sara, bukan lagi bersamaku. 

“Halo?” Aku menyapa dengan nada canggung. 

Sejujurnya aku lebih seperti tidak sempat berpikir bahwa pertemuan kami akan terjadi seperti ini. Aku cukup merasa bingung harus memberikan sapaan seperti apa pada mantan Adin yang juga adalah temanku, dan pacar Sara yang merupakan tetanggaku. Aku bingung harus merasakan rasa seperti apa, tapi kalau tiba-tiba diberi kekuatan mungkin aku akan memilih untuk bisa menghilang didetik ini juga. Sepertinya aku tidak memiliki kesanggupan untuk menghadapi keadaan ini.

‘Dari banyaknya tempat, kenapa Adit sama Sara harus pacaran di tempat ini juga?’

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Langit Senja - Chapter 3
0
0
Tidur jam 2 gara-gara masih ngegame 'kan lo?? Omel Senja pada Langit dengan pukulan yang mendarat di lengan kanan Langit.Namanya refreshing, Ja. Lo juga nonton drakor ya semalem. Lo kira gue ga tau?Tau dari mana lo? Serem banget, gila. Senja yang kaget sudah memberikan tatapan mengintimidasi ke arah Langit.Bang Nakula 'kan yang semalem nemenin gue main. Terus dia bilang kalo lo lagi nangis di kamar gara-gara nonton drakor.Punya abang cuma satu, tapi ember banget mulutnya.Ngomong-ngomong, Ja. Suara nangis lo emang kedengeran juga sih dari kamar gue. Ucap Akash sambil tertawa.Kok lo baru bilang? Tanya Senja pada Akash.Gue udah manggilin lo dari balkon ya. Akash kini mengalihkan pandangannya pada Langit, Hampir aja semalem gue percaya omongan lo, Lang. Gue kira yang nangis Mba Kukun pohon rambutan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan