
Kisah Nayla dan Joko, di mana untuk menyatu, mereka terhalang oleh restu.
PROLOG
Sialan! Itu adalah kata yang kini tebersit dalam benak Joko Susilo Darma. Di tengah-tengah suara musik yang menggelegar dan juga aroma alkohol yang menyeruak di udara, Joko harus mencari-cari seseorang yang tadi menghubunginya.
Setelah hampir setengah jam Joko mencari-cari, ia tidak bisa menemukan orang yang ingin ditemuinya. Ia merogoh ponsel di saku jaket dan mencoba menghubungi wanita yang kini entah berada di mana. Klub itu terlalu besar, dan Joko malas harus mencari ke segala arah.
Seharusnya Joko tahu tidak akan ada yang mengangkat panggilannya ketika DJ terus memainkan irama yang menghentak, membuat seluruh pengunjung tidak peduli pada apa pun selain alkohol, rokok yang terselip di jari, dan juga irama musik yang membuat mereka merasa melayang ke langit ke tujuh.
Berengsek! Kalau bukan karena Dimas, gue nggak akan ke sini demi lo, Nin! Joko mendesah kesal, kembali mencari-cari. Matanya kemudian menemukan sosok yang tengah asyik meliuk-liukkan tubuh dengan seorang pria asing yang kini sedang mencari-cari kesempatan untuk meremas bokong seksi sang wanita yang tampaknya tidak peduli pada apa pun meski dunia kiamat sekali pun.
Joko mendekat dan menarik Nina menjauh. “Really, Nin? Tengah malam gue harus ke sini jemput elo yang udah teler begini?!” Joko berteriak.
Nina, wanita berusia 42 tahun yang merupakan tante dari Dimas—sahabat baik Joko—tertawa. Membelai pipi Joko dan mengecup rahangnya.
“Jo …,” Nina mendesah seraya menggesekkan tubuhnya pada Joko. Wanita yang masih tampak seperti wanita berusia 25 tahun itu telah tiga kali menjanda. “Akhirnya kamu datang juga. Lama banget sih?” Nina mengalungkan kedua lengannya di leher Joko, mengajak pria itu untuk menikmati musik bersamanya.
“Gue ngantuk! Ayo pulang!”
Nina menggeleng manja. “Minum dulu. Malam ini gue yang traktir.”
“Ayo pulang!” Joko menarik Nina menjauh. Namun tangannya ditahan oleh pria asing yang tadi asyik meremas bokong Nina, merasa tidak terima jika ‘mainannya’ ditarik oleh Joko begitu saja.
“Boy, Boy! Ini punya gue!” Pria itu menarik bahu Nina dan wanita itu hanya menurut saja, asyik menggerakkan tubuh dan tidak memedulikan sekitarnya.
Joko menaikkan sebelah alis, menatap malas pada Nina yang tersenyum. “Lo mau balik sama gue atau tetep di sini? Kalau lo mau di sini, terserah lo, Nin. Gue balik sekarang!”
Nina terkekeh, mengecup pria asing di sampingnya. “Sorry, Bung. Malam ini jatah gue sama dia.” Nina tersenyum dan menarik Joko menjauh, meninggalkan ‘Bung’ yang tengah memusatkan perhatiannya pada bokong Nina yang bergoyang.
“Jo …,” Nina kembali mendesah. “Malam ini nginap di apartemen aku ya.”
Joko hanya diam, menarik Nina yang sempoyongan menuju pintu keluar.
“Jo!” Nina menghentakkan kaki. “Nginap sama aku ya. Please! Please!”
“Sorry, Nin. Malam ini gue sudah ada janji untuk lanjutin proyek gue sama Stefan. Gara-gara elo, gue harus tinggalin kerjaan gue.”
“Ugh!” Nina memeluk Joko dan menggesekkan dadanya pada dada pria itu. “Ayolah, malam iniii aja,” bujuknya seraya mengecupi leher pria yang berusia 31 tahun itu.
“Gue lagi capek. Besok aja.” Joko melepaskan pelukan Nina dan membantu wanita itu masuk ke mobil.
“Janji besok ya.”
“Hm,” Joko hanya bergumam dan menghidupkan mesin mobil.
**
Nayla tahu, hal terbodoh yang ia lakukan adalah menunggu seseorang yang ia tahu tidak akan pulang hingga subuh menjelang. Namun, ia masih duduk di depan TV pada jam dua belas malam, sesekali melirik meja makan yang masih tertata rapi.
“Loh, Ibu kok belum tidur?”
Nayla menoleh ketika Surti—pembantu rumah tangga yang bekerja padanya—berdiri tidak jauh darinya.
“Iya, Mbak. Saya masih nungguin David pulang.” Wanita berusia 34 tahun itu tersenyum kaku.
“Tapi Bapak mungkin nggak akan pulang, Bu.” Sedetik kemudian Surti menyesal melontarkan kalimat itu ketika melihat raut wajah Nayla berubah dingin. “Saya ke dapur dulu.” Buru-buru Surti pergi dan meninggalkan majikannya yang hanya diam.
Nayla menghela napas, melirik jam dinding. Pukul dua belas lewat dua puluh menit. Ia menunduk, merapatkan jubah kimono yang melapisi gaun tidurnya. Mungkin sebaiknya ia tidur, lagi pula suaminya tak akan pulang malam ini.
Begitu Nayla bangkit, ia mendengar deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Kaki telanjang itu sedikit berlari menuju pintu, bersiap untuk menyambut kepulangan suami yang jarang sekali pulang sebelum subuh. Nayla membuka pintu dan terhenyak mendengar suara pertengkaran dua orang di teras rumahnya.
“Aku nggak mau di sini!”
Nayla mengerutkan kening. Suara itu terdengar familiar. Ia membuka pintu lebih lebar dan berdiri di sana, mengamati Nina—kakak perempuannya—mengenakan baju ketat seperti biasanya sedang bergelayut manja di lengan seseorang.
“Nin, gue lagi nggak mood buat berantem sama lo. Jadi elo di sini dulu. Besok pagi gue jemput.”
Nayla mengamati pria yang tengah menatap tajam kakak perempuannya.
“Nggak mau!” Nina meronta seperti anak kecil. “Maunya ikut kamu aja. Ya. Ya!”
“Gue bilang besok pagi gue jemput!”
Nina maupun Nayla terperanjat mendengar bentakan itu.
“Maksud gue, besok pagi gue jemput. Kita sarapan bareng.” Suara itu melembut dan Nayla memperhatikan tangan pria itu mengusap lembut rambut indah kakaknya. “Malam ini di sini dulu ya.”
Nina mengangguk bagai anak kecil, lalu mencondongkan wajah untuk mencium rahang Joko. “Jemput aku besok ya.”
“Iya.” Joko mendorong Nina menjauh dan matanya bersirobok dengan Nayla yang juga tengah menatapnya.
Pria itu menatapnya dingin. “Kakak lo setengah mabuk. Jagain aja biar dia nggak kabur ke klub lagi malam ini.”
Nayla hanya diam, menatap tidak suka pada Joko. Di antara semua sahabat keponakannya, Nayla tidak terlalu suka dengan kehadiran Joko yang menurutnya sangat tidak sopan. Pria yang lebih muda darinya itu berbicara kepadanya seolah ia adalah seorang teman. Seharusnya Joko tahu cara menghormati orang lain.
“Kamu bisa antar dia ke rumah Kak Anna.”
“Gue banyak kerjaan. Lo pikir kerjaan gue cuma ngurus kakak lo aja?!”
Nayla menatap Joko tidak suka. Salah satu yang paling ia benci dari Joko adalah pria itu sangat suka membentak seseorang.
“Kalau kamu lupa saya lebih tua dari kamu dan—“
“Dan gue tahu harusnya gue panggil elo tante,” Joko menyela cepat. “Nah, Tante? Bisa gue pulang sekarang? Atau gue harus anterin kakak lo ke kamar tamu? Gantiin bajunya dengan piyama dan juga—“
“Kamu bisa pulang sekarang.”
“Good!” Joko menggangguk. “Itu yang gue tunggu dari tadi.” Ia membalikkan tubuh dan langsung menuju mobilnya, meninggalkan Nayla yang tengah menatap tajam ke arahnya.
Tidak punya sopan santun! Nayla menggerutu seraya memapah Nina masuk ke rumah. Tidak lupa juga ia mengunci pintu. Ia akan benar-benar tidur malam ini. Bersumpah tidak akan menunggu suaminya pulang.
Namun itu hanya menjadi omong kosong belaka, karena setelah mengantar Nina ke kamar tamu, Nayla kembali duduk di depan televisi bertemankan sepi dan juga keheningan. Wanita itu hanya duduk diam di depan televisi yang menyala dengan volume rendah.
Nayla tahu, menunggu adalah hal yang sia-sia. Namun, ia masih tetap duduk di sana hingga matahari terbit, tanpa sadar tertidur di depan televisi tanpa ada yang membangunkannya. Saat wanita itu masuk ke kamar, matanya menangkap sesosok tubuh pria yang tengah tertidur masih dengan sepatu di kakinya.
Nayla mendekat, melepaskan sepatu pria itu dan meletakkannya di sudut kamar, lalu ia masuk ke kamar mandi, bersiap untuk memulai hari.
BAB 1
Nayla turun ke dapur, menenteng sepatu di tangan kiri, tas di tangan kanan. Ia menemukan Surti sedang merapikan ruang keluarga dan menyedot debu yang ada di sana.
“Pagi, Bu.”
Nayla hanya tersenyum kaku, tidak membalas sapaan Surti dan terus melangkah menuju dapur.
Meja dapur kosong, karena memang Surti baru akan memasak sarapan pada jam sembilan, waktu David bangun dari tidurnya. Nayla menaruh tas dan juga sepatu, lalu membuka kulkas, mengambil dua buah telur dan memecahkannya ke dalam mangkuk, membuat omelet untuk dirinya sendiri.
Wanita itu duduk dengan sepiring omelet dan secangkir kopi. Mengunyah sarapannya dalam keheningan. Ia melirik arloji di pergelangan tangan, lalu berdiri dan membawa piring kotor serta cangkirnya ke tempat cuci piring untuk mencucinya.
Ketika Nayla membuka pintu, ia menemukan Joko sedang duduk di atas motor sport dengan sebuah rokok terselip di jarinya. Nayla mengabaikan keberadaan pria itu dan terus melangkah menuju garasi.
“Kakak lo udah bangun?”
Nayla berhenti melangkah. “Belum,” ia menjawab tanpa memandang Joko.
“Yah, sayang banget. Gue udah capek-capek ke sini.” Nayla menoleh, menatap datar Joko yang tersenyum kurang ajar padanya. “Lo mau ke kantor?”
Nayla hanya diam menatap pria itu membuang rokok yang masih tinggal setengah dan menginjaknya. Nayla benci pria dan asap rokok dari mulut mereka. Ia tidak pernah tahan dengan asap rokok. Dan salah satu alasan dari sekian banyak alasan kenapa ia tidak suka Joko adalah pria itu tampaknya akrab dengan rokok dan juga asapnya. Seharusnya pria itu merokok dan menelan asapnya sekaligus. Bukannya malah menyebar penyakit di mana-mana karena asap rokok itu.
“Mau berangkat bareng gue?”
Nayla tidak menjawab, kembali melangkah menuju garasi.
“Wah, anjrit. Gue dicuekin mulu. Jahat banget sih lo, Tan.”
Nayla kembali menoleh. Ia tahu, Joko memanggilnya tante hanya untuk mengejeknya. Ditambah dengan seringaian yang kini terukir di wajah pria itu.
“Minggirin motor kamu. Mobil saya mau lewat.”
“Elaaah … jalan di sini lebar kali!” Joko menggerutu sambil mengancingkan jaket hitamnya. Meraih helm dan kembali menoleh pada Nayla. “Nay, kalau lo mau ke kantor, mending bareng gue aja. Macet, Tan,” ujarnya lalu kembali tersenyum kurang ajar seraya menatap rok yang dikenakan Nayla.
“Minggirin motor kamu. Saya mau lewat,” kata Nayla kaku.
“Duh, lama-lama lo kayak Pipit kalau lagi ditinggal lakinya dinas. Kaku kayak terong yang belum dipotong.” Lalu pria itu mengenakan helm, naik ke motornya, dan pergi dari sana. Meninggalkan Nayla yang menatapnya tidak suka.
Bocah! Nayla lalu masuk ke mobilnya.
Hampir satu jam kemudian, Nayla melangkah memasuki kantor tempatnya bekerja. DHC adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri otomotif. Produsen yang mengelola mobil-mobil yang dikeluarkan di Indonesia merupakan salah satu perusahaan terbesar. Nayla sudah bekerja di sana selama satu dekade. Hingga ia mencapai jabatan sebagai Accounting Manager lima bulan yang lalu.
Begitu ia memasuki lobi kantor, matanya menangkap Joko yang kini tengah tertawa bersama perempuan yang entah siapa namanya karena Nayla sama sekali tidak peduli pada wanita resepsionis itu. Ia terus melangkah menuju lift.
“ … jadi nanti malam gue nggak bakal ninggalin elo.” Lalu pria itu tertawa bersama salah satu ‘mainannya’.
“Jadi bener ya, Jo. Jangan kayak minggu lalu yang lo lupain kencan kita gitu aja.”
Nayla tidak melirik, bahkan menyapa, ia terus saja berjalan.
“Iya deh. Malam nanti gue jemput lo. Oke, Sayang. Gue kerja dulu.”
Nayla berhenti di depan lift yang sudah tertutup. Ia berdiri diam menunggu lift lain bersama beberapa orang yang juga menunggu di sana.
“Pagi, Bu.”
Nayla hanya menggangguk singkat tanpa menjawab.
“Pagi, Jo!” seperti sebuah paduan suara, karyawati di sana menyapa Joko dan pria itu balas menyapa dengan melebarkan senyum.
“Jo, foto kita kemarin gue posting di IG gue, nggak apa-apa, kan?” Ratika, salah satu yang bekerja di divisi Nayla berdiri terlalu dekat dengan Joko.
“Boleh, jangan lupa tag gue.” Pria itu sibuk mengetik pesan di ponselnya.
Kenapa liftnya lama sekali? Nayla mulai mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya tidak sabar. Begitu lift terbuka, ia segera masuk dan langsung terdorong ke belakang ketika para pekerja wanita ikut memenuhi lift.
“Ngalah dong, over nih!” teriak salah satu karyawan karena lift terlalu kelebihan muatan.
“Lo dong yang ngalah!” Ratika menatap sewot Bimo yang berdiri di samping Nayla.
“Lha, kenapa gue? Kan gue tadi dari basement. Lo yang masuk belakangan yang harus ngalah!”
“Lo yang cowok di sini! Ngalah dong sama cewek!” suara lain menyela.
Pandangan Bimo jatuh pada Joko yang berdiri di sudut, sibuk dengan ponselnya. “Bukan cuma gue yang cowok di sini,” tukasnya menatap sinis Joko.
Joko mengangkat kepala, “Kenapa sih?” Ia menatap lift yang penuh sesak. “Ya udah, gue keluar deh.”
“Jangan!” Serempak tangan-tangan gadis itu menarik Joko agar jangan beranjak dari tempatnya. “Lo deh, Bim. Ngalah. Malu sama terong lo!” Lilia menyenggol Dimas dengan rusuknya.
“Anjing lo pada!” Bimo bergeming di tempatnya. “Lo yang keluar, Jo!” usirnya pada Joko yang tersenyum.
Joko hanya mengangkat alis, menunjuk empat tangan yang menahan lengannya. “Lo lihat sendiri, Bim. Gue ditahan,” ujarnya santai.
“Lo keluar deh, Ra!” Bimo mendorong Ratika yang langsung memukul kepalanya.
“Nggak sopan lo!” jerit Ratika dan menginjak kaki Bimo.
Nayla yang menyaksikan itu memutar bola mata, lalu menerobos kerumunan orang-orang yang memenuhi lift. Daripada terjebak di sini, lebih baik ia yang mengalah.
“Minggir,” ucapnya dingin lalu keluar dari lift.
Semua orang mendesah lega ketika pintu lift hendak menutup, namun dengan cepat Joko menahan pintu agar kembali terbuka.
“Duh, gue lupa, dompet gue ketinggalan di motor,” ujarnya lalu keluar dari lift. “Sorry, Girls. Kalian duluan aja.” Ia tersenyum saat pintu kembali tertutup, membawa perempuan-perempuan yang berteriak kesal padanya.
Nayla berdiri kaku, menunggu lift lain bersama Joko yang berdiri di sampingnya, sibuk dengan ponsel. Nayla melirik Joko yang tidak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. Bukannya tadi pria itu bilang kalau dompetnya ketinggalan? Namun Nayla tidak akan sudi bertanya.
Begitu lift lain terbuka, Nayla masuk dan Joko mengikutinya.
“Kenapa kamu mengikuti saya?”
“Ha?” Joko mengangkat kepalanya. “Siapa juga yang ngikutin lo. Ge-er banget lo, Nay.”
Nayla menoleh. “Saya lebih tua dari kamu, dan di kantor ini saya bos kamu.”
“Lo gila hormat ya?” Joko menatapnya dengan tatapan mengejek.
Nayla bergeming. Menatap tajam Joko yang berdiri di sampingnya. “Kamu harusnya tahu etika, saya lebih tua, dan saya juga—“
“Bos gue!” Joko menyela cepat. “Gue tahu. Lo udah bilang itu tadi.”
“Lalu kenapa kamu tidak bisa bersikap sopan? Apa itu terlalu sulit untuk dilakukan?” Nayla bersedekap.
“Denger, Yang Mulia Ratu Gila Hormat Nayla,” Joko juga bersedekap, “kenapa sih lo harus repot-repot banget buat nyuruh gue bersikap sopan? Memangnya dengan bersikap sopan gaji gue bakal naik? Atau dengan bersikap sopan gue bisa tiba-tiba jadi CEO di sini?”
Nayla hanya diam.
“Nggak, kan?” Joko menatapnya sebal. “Jadi lo nggak usah banyak bacot deh sama gue.” Pria itu bergeser menjauh, kembali merogoh kantong untuk mengambil ponselnya.
Nayla menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. Bodo amat. Ia menatap ke depan. Ia tidak akan pernah menegur pria itu lagi, peduli setan dengan sopan santun minus yang dimilikinya.
**
Joko menatap Nayla yang keluar dari lift dengan tubuh kaku. Pria itu hanya menyeringai masa bodoh, ikut keluar dan melangkah ke kubikelnya. Di sana sudah ada Ratika yang menunggu dengan kotak bekal di tangannya.
“Jo,” Ratika tersenyum manja, “gue buatin bekal buat lo. Gue capek-capek bangun subuh buat masak ini.”
Joko menatap kotak bekal itu tanpa minat.
“Terima dong.” Ratika meletakkan bekal itu di tangan Joko. “Jangan lupa makan ya. Dah, Sayang.” Ratika meniupkan ciuman di udara dan berjalan pergi, meninggalkan Joko dengan kotak bekal di tangannya.
Pria itu duduk, meletakkan kotak bekal itu di mejanya, lalu mulai menghidupkan komputer.
“Mas Jo.” Dono, seorang OB menghampirinya.
“Kenapa?” Joko menjawab tanpa minat.
“Mas Jo tadi dicariin Pak Kas, katanya ada yang penting.”
Joko menoleh, “Ngapain dia nyariin gue?”
Dono hanya mengangkat bahu. “Mungkin mau ngajak Mas Jo terbang ke Paris, kali. Lumayan kan, Mas?”
Joko tertawa terbahak-bahak. “Paris? Mimpi lo, Don!” ujarnya memukul kepala Dono yang berusia 25 tahun itu.
“Ya, siapa tahu, kan? Soalnya Pak Kas udah dua kali bolak-balik ke Paris. Siapa tahu kali ini mau ngajakin Mas Jo sekalian.”
“Lo mau tahu kenapa Vice President kita sering ke Paris?” Joko berbisik.
Dono seketika menggangguk.
“Sini gue bisikin.”
Dono segera mendekatkan kepalanya.
“Dia ke Paris buat ketemuan sama selingkuhannya.”
“Ah, moso’, Mas? Udah tua begitu masih suka selingkuh?” Dono menatap Joko dengan tatapan tidak percaya. “Mas Jo bohongin saya, kan?”
“Elaaaah, gue jujur, njir!”
“Emang selingkuhannya siapa sih, Mas?” Dono kembali berbisik.
“Lo tahu Megan Fox?” Joko balas berbisik.
“Megan apa to, Mas, namanya?”
“Megan Fox, bego!”
“Cakep, Mas?”
“Nggak!” kata Joko kesal. “Mirip lampir!”
Dono mencibir. “Kalau mirip lampir ngapain jauh-jauh ke Paris. Di dekat kuburan juga banyak, Mas.”
“Lo bego banget tahu nggak?!” Joko berdecak.
“Kualat ngatain saya bego mulu. Tak doain nggak dapat jodoh loh. Hayooo.”
“Bodo amat, Don!”
Dono tertawa. “Ini serius to, Mas. Cakep nggak selingkuhannya Pak Kas?”
Joko menatap komputernya yang menyala. Lalu membuka Google dan mengetikkan nama Megan Fox. “Nih lihat.”
“Woaaaa.” Dono menatap lekat layar komputer Joko. “Ini mah Inul Daratista juga lewat kali, Mas.”
“Elaaah, si Kampret malah disamain sama Inul.” Joko menempeleng kepala Dono.
“Yakin ini selingkuhannya Pak Kas?” Dono mengusap layar komputer Joko di mana Megan Fox sedang berpose mengenakan bikini. “Duh, Mas. Teteknya gede begini.” Telunjuk Dono mengusap gambar Megan Fox di bagian dadanya. “Gede, Mas. Enak kalau diremas.”
Joko hanya berdecak melihat kebodohan Dono.
“Terus kenapa to Pak Kas nyariin Mas Jo?”
Joko menyeringai lebar. “Karena selingkuhannya ini sekarang lagi kencan sama gue. Jadi Pak Kas nyariin gue kayaknya mau bunuh gue deh.” Joko menampilkan wajah serius.
“Buset dah!” Dono terbelalak. “S-serius, Mas?”
Joko menggangguk dengan wajah pura-pura sedih. “Gue harus gimana, Don?” tanyanya lemas.
“D-duh, lapor Pamong Praja aja, Mas. Saya panggilin sekarang mau? Biasanya mereka suka patroli ke dekat Taman Anggrek sana. Setiap mereka ke sana, penjual yang ada di sana pada kabur. Waktu saya tanya kenapa mereka kabur, katanya mereka takut sama Pamong Praja. Jadi panggil mereka aja to, Mas. Biar Pak Kas juga takut,” Dono memberi saran dengan wajah serius.
Joko menyamarkan tawa dengan pura-pura terbatuk. Setan, ini OB begonya nggak ketulungan.
“Wah, ide bagus, Don.” Joko menepuk bahu Dono dengan bangga. “Lo emang paling keren. Gue ngefans sama lo.” Ia memberikan dua jempol pada Dono yang tersenyum malu-malu.
“Eh, tapi, Mas. Yakin selingkuhannya Pak Kas lagi kencan sama Mas Jo?”
“Lo nggak percaya sama gue, Don?” Joko menatap Dono dengan ekspresi sedih. “Kalau lo nggak percaya gue. Gue mau bunuh diri aja lah.” Joko berdiri.
“Eh, eh, Mas. Jangan to. Ingat, Mas. Dosa.” Dono menarik tangan Joko agar pria itu kembali duduk. “Saya percaya sama Mas Jo.” Dono menepuk-nepuk bahu Joko.
“Nih, buktinya kalau lo nggak percaya.” Joko mengeluarkan ponsel, lalu membuka chat di mana nama Megan Fox tertulis di sana.
Megan Fox: Mas Jo, nanti malam temenin aku tidur ya. Aku lagi malas tidur sendiri. Kesepian, Mas.
Dono menggeleng takjub. “Mantaaap.” Ia menatap Joko dengan ekspresi terkesima. “Mas Jo keren bisa punya pacar secantik Mbak Megan.” Lalu ia bertepuk tangan. “Saya ngefans sama Mas Jo.”
Tidak tahan lagi untuk tertawa, Joko kembali berpura-pura batuk.
“Ya udah, gue mau temuin Pak Kas dulu. Kalau dalam waktu sejam gue nggak balik ke sini. Lo panggil Pamong Praja dan grebek ruangan Pak Kas ya. Dan kalau nanti gue …,” Joko pura-pura mengusap matanya, “kalau gue udah mati pas lo ke sana, lo jangan nangis ya, Don.”
Dono mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. “Jangan mati, Mas. Nanti saya nggak punya idola lagi. Kan saya belum kenalan sama Mbak Megan.”
Joko mengusap pipinya. “Sebagai salam perpisahan. Ini buat lo.” Joko menyerahkan bekal yang diberikan Ratika padanya. “Lo habisin ini ya, terus balikin tempatnya sama Ratika. Kalau dia nanya siapa yang makan, bilang aja gue yang makan. Dia ngasih ini ke gue sebagai salam perpisahan.”
“Mas Jo.” Dono mengusap pipinya. “Kok baik banget, Mas?”
Joko hanya menepuk-nepuk bahu Dono. “Peluk gue, Don. Pelukan terakhir buat kenang-kenangan dari gue.”
Dono segera merengkuh tubuh Joko dan memeluknya singkat. Joko hanya menyengir lebar begitu seisi ruangan menatap mereka dengan mata terbeliak. Terlebih Nayla yang mengerjap beberapa kali di ambang pintu ruangannya.
Joko menepuk-nepuk bahu Dono. “Selamat tinggal, Don. Jangan lupa bacakan Yasin buat gue tiap malam Jumat.”
Dono mengengguk. “Iya, Mas. Pasti. Hati-hati ya, Mas.”
Joko menggangguk. Menepuk-nepuk keras pipi Dono. “Jangan sedih.”
“Gimana nggak sih. Kapan lagi saya bisa ketemu orang baik kayak Mas Jo.”
“Yang namanya Joko emang orang baik, Don. Buktinya Joko Tingkir pembela kebenaran. Dia orang paling baik yang pernah gue temui.”
“Lho, Mas Jo pernah ketemu sama Joko Tingkir?”
Joko menggangguk. “Gue baru ketemu dia kemarin di Senayan. Lagi ngejar penjahat di sana.”
Dono menggangguk. “Mas Jo hati-hati ya,” ucapnya saat Joko melangkah menuju lift yang akan membawanya ke ruangan Pak Kas. “Dadah, Mas.” Dono melambai.
Joko balas melambai dengan wajah sedih. Begitu ia membalikkan tubuh, ia tertawa tanpa suara dan mengedipkan sebelah mata pada orang-orang yang menatapnya. Mereka hanya mendengus karena tahu Joko pasti sedang mengerjai OB yang baru bekerja seminggu itu.
“Jahat lo!” bisik Dudung yang mejanya tidak jauh dari lift.
“Gue nggak tahan mau ketawa, Kampret!” balas Joko. Begitu ia masuk ke lift, pria itu tertawa terbahak-bahak hingga matanya berair.
Ia masih tertawa saat panggilan dari Megan Fox masuk ke ponselnya. Masih dengan tertawa, ia menjawab. “Apa sih, Jun. Gue lagi kerja.”
“Mas Jo ….” Suara manja Juna terdengar di ujung sana.
BAB 2
Nayla memasuki ruang rapat di mana sudah ada empat belas orang yang sudah menunggunya, termasuk Joko. Begitu Nayla menginjakkan kaki di sana, semua orang langsung menghentikan aktivitas mereka yang sedang stalk akun IG Lambe Turah, main Mobile Legend, atau bahkan sekadar ketawa-ketiwi. Hanya Joko yang masih tetap sibuk dengan ponselnya.
“Selamat siang.” Nayla meletakkan map di meja bundar yang besar itu.
“Siang, Bu!” semua kompak menjawab, kecuali Joko yang kini semakin asyik dengan ponselnya.
“Bisa kita mulai rapatnya sekarang?” Ia melirik Joko yang sama sekali tidak peduli, bahkan meski Bimo sudah menyikut lengannya sekalipun.
“Apa sih, Bim? Lo nggak lihat gue lagi sibuk?!” Joko mengangkat kepala marah.
Bimo melotot seraya melirik Nayla yang berdiri di tengah-tengah ruangan. “Bos di sini, Kampret,” bisik Bimo pelan.
Joko mengikuti arah pandangan Bimo, menemukan Nayla yang sama sekali tidak menoleh padanya, melainkan sibuk membuka map presentasi dari salah satu karyawan. Joko menyimpan ponselnya di saku, mengamati Nayla secara terang-terangan.
Hari ini, perempuan itu mengenakan kemeja putih, seperti biasa. Dilapisi oleh blazer berwarna hitam dan juga rok yang panjangnya di bawah lutut. Penampilan yang membosankan. Bahkan rambut wanita itu disanggul ke atas dengan gaya kaku.
Namun Joko suka mengamati wanita itu ketika sedang serius seperti ini. Bahkan ketika wanita itu mengangkat kepala dan menatapnya, Joko masih terus mengamatinya dengan cara kurang ajar hingga Nayla-lah yang memutuskan untuk memalingkan wajah terlebih dahulu.
Sampai saat Agus mempresentasikan laporannya sekalipun, tatapan Joko tetap terarah pada Nayla yang menatap tajam Agus hingga lelaki malang itu sampai mengelap dahinya beberapa kali dengan wajah pucat.
“Apa kamu pikir dengan mengadakan acara sebesar itu tidak memengaruhi pengeluaran perusahaan?”
Agus tergagap, mengambil lap tangan yang ia simpan di saku celana dan mengelap keringat di dahinya.
“A-anu … saya sudah diskusikan ini bersama tim. Kalau kita mengadakan acara launching besar-besaran dengan mengundang artis—“
“Dan harus penyanyi dangdut? Kalau kamu lupa kita bukan mau bikin konser dangdut,” Nayla menyela.
Agus menelan ludah susah payah. Lelaki asal Magelang itu menatap teman satu timnya yang menunduk.
Nayla menghela napas, mengambil proposal dan membacanya singkat. “Iis Bungalia?” Nayla melemparkan proposal itu ke atas meja, menatap tajam Agus. “Kamu pikir acara kita ini adalah acara lenong bocah? Bayaran penyanyi dangdut yang mencapai dua ratus juta?” Nayla menatap dingin Agus. “Kenapa tidak sekalian undang Paris Hilton atau Katy Perri sekalian?”
Semua menunduk, kecuali Joko.
“Kita bisa undang artis dengan bayaran lima ratus juta selama dua jam. Tidak masalah asal sesuai dengan konsep acara. Kamu tahu apa itu elegan?” Nayla terus memberondong Agus dengan tatapan tajam. “Artinya adalah kamu perlu pakai otak kamu untuk berpikir, bukan hanya untuk stalk akun-akun sampah di Instagram!”
Agus tertunduk pucat.
“Kalau kalian ingin bekerja, tolong gunakan otak dan juga logika.”
“Tapi, Iis Bungalia sedang menjadi trending topic—“
“Kita bukan mengadakan acara sampah!” potong Nayla tidak sabar pada Jimmi yang satu tim dengan Agus. “Bukan masalah artis atau apa, melainkan ini adalah acara promosi yang bisa mengundang perhatian masyarakat dengan produk terbaru dari perusahaan kita. Kita ini akan mengadakan launching mobil, bukan odong-odong!”
Semua menelan ludah.
“Kenapa nggak undang Maria Ozawa sekalian?” Joko berbicara santai. Nayla seketika menoleh padanya dengan pandangan sekali-lagi-kamu-bicara-aku-akan-tendang-kamu-keluar. “Kalau kita mencari perhatian masyarakat, undang Maria Ozawa. Gue jamin, semua orang bakal datang ke acara kita tanpa perlu kita sebar brosur apa pun.” Namun Joko berpura-pura bodoh dengan mengabaikan tatapan itu.
“Kalau kamu—“
“Kalau mau cari perhatian masyarakat, bukan acara launching besar-besaran yang hanya akan dihadiri orang-orang kaya dengan kantong tebal. Apa kabar dengan orang-orang pas-pasan yang ingin punya mobil tapi harga mobil terlalu mahal?”
“Kalau kamu lupa, produk kita memang mengeluarkan brand-brand ternama yang hanya diperuntukkan untuk kalangan atas.”
“Nah, itu yang mau gue tanya.” Joko menatap Nayla terang-terangan. “Kenapa kita selalu tujukan mobil-mobil untuk orang-orang yang bahkan cuma beli mobil buat dijadikan pajangan? Kenapa kita nggak keluarin produk dengan harga terjangkau dengan nilai plusnya adalah desain yang mewah tapi murah.” Joko tersenyum mengejek. “Percuma lo ngadain launching mobil mewah, saat orang datang nanya berapa harganya, nggak butuh waktu semenit, orang bakal kabur gitu aja.”
Nayla menatapnya geram. “Kamu keluar dari jalur meeting kita kali ini. Kita sedang membahas anggaran dana untuk launching—“
“Gue tahu,” Joko lagi-lagi menyela. “Gue cuma mau kasih saran, lain kali kalau mau keluarin mobil terbaru, jangan cuma tembak untuk orang kaya. Lo nggak lihat perusahaan lain sekarang lagi bersaing ngeluarin mobil murah yang cuma seratusan juta? Dan lihat semua jalanan hampir rata-rata dipenuhi dengan mobil itu. Karena apa? Karena banyak dari orang yang nggak butuh mobil mewah, tapi butuh mobil murah yang nggak akan mencekik leher mereka tiap bulan untuk bayar kreditan.”
Diam-diam, tiga belas orang lain yang ada di sana menggangguk, membenarkan perkataan Joko. Saat ini yang butuh mobil mewah cuma artis, dan manusia yang benar-benar manusia nggak butuh mobil yang harganya bikin darah tinggi, toh fungsinya sama.
Nayla menghela napas. “Sudah puluhan tahun perusahaan ini mengeluarkan brand mobil mewah, dan peminatnya sampai sekarang masih banyak. Lain kali, kalau mau ngasih pendapat, pikirkan dulu matang-matang. Jangan asal ceplos dan menunjukkan betapa kamu tidak punya otak untuk berpikir,” kata Nayla tajam. Memungut map-map miliknya dan berderap menuju pintu. “Rapat selesai,” ucapnya dingin dan membanting pintu ruang rapat dengan kencang.
“Yah, ngambek.” Pria itu hanya menatap santai daun pintu yang bergetar, lalu berdiri dan melangkah keluar dari ruang rapat sambil bersiul.
Diam-diam, Bimo menatap kagum pada sosok Joko yang ia tahu hanya punya otak seperdelapan dari otak manusia pada umumnya. Namun, pria itu tak pernah merasa takut saat mengeluarkan pendapat. Dan Bimo tahu, banyak orang yang mengidolakan Joko, pria serampangan itu menjadi pusat perhatian di mana-mana.
**
“Jo.” Joko yang tengah asyik berselancar di dunia maya untuk mencari situs porno yang sudah diblokir oleh pemerintah menoleh saat Pak Kas—Vice President perusahaan—berdiri di sampingnya. Semua orang sedang menatap ke arah Joko dengan gemas. Kali ini, ulah apa lagi yang diperbuat pria gila itu?
“Anjir, mati si Joko,” Bimo berbisik pada Dudung.
“Ada apa sih, Bro?” Pria gembul berkacamata itu menoleh pada Bimo.
“Joko tadi bikin marah Ibu Nayla. Kayak biasa.”
Dudung menggeleng miris. “Parah itu anak. Nggak ada habisnya bikin ulah.”
“Pak Bos.” Joko tersenyum lebar. “Tumben main ke sini, Pak? Di atas ngebosenin memangnya?”
Pak Kas hanya menghela napas. “Ayo ikut ke ruangan saya.”
“Siap, Bos.” Joko memberi hormat dengan cengiran lebar dan mengikuti langkah Pak Kasfan menuju lift. Pria itu bahkan masih sempat mengedipkan mata pada Ratika yang menatapnya dengan tatapan bertanya.
“Mau nerima bonus gede,” bisiknya dengan cengiran lebar.
Begitu mereka memasuki lift khusus petinggi kantor, Pak Kas menoleh padanya.
“Jo, saya rasa kamu harus berhenti untuk bikin u—“
“Tunggu, Pak.” Joko mengangkat tangan. “Tunggu saya duduk dulu ya. Jadi biar enak dengerin pidatonya.” Lagi-lagi ia menyeringai pada Pak Kas yang harus mengurut dada mencoba sabar.
Pak Kas hanya mampu menatap geram bocah tua di sampingnya. Menutup mulut rapat-rapat, Pak Kas memalingkan wajah. Mencoba memikirkan apa saja. Suara merdu Raisa misalnya? Atau video klip terbaru Mas Fattah yang mendapat dislike begitu banyak di Youtube.
“Nah, silakan. Bapak boleh pidato kenegaraan sekarang.” Joko duduk tanpa dipersilakan begitu sampai di dalam ruangan besar milik Pak Kasfan.
Pak Kasfan menghela napas berat, menatap lelah pada Joko yang duduk santai di depannya. “Kenapa kamu selalu bikin ulah? Apa kamu tidak bosan terus-terusan mengganggu Ibu Nayla?”
“Woaaa.” Joko mengangkat tangan. “Saya nggak ngapa-ngapain, Pak. Suer.” Ia membentuk huruf V dengan jarinya.
Pak Kasfan melotot. “Joko!” ia menggeram. “Kamu tahu kan kalau kita harus mengadakan acara besar kurang dari sebulan lagi? Jadi tolong jangan ganggu konsentrasi Ibu Nayla dalam tugasnya.”
“Siap. Laksanakan,” Joko menjawab dengan suara malas.
“Jo ….“ Pak Kasfan menggeleng kepala. Kehabisan kata-kata. Pria tua itu mengusap wajah. “Kapan kamu akan berubah? Kamu bukan lagi bocah ingusan yang selalu bikin ulah. Kamu bahkan sudah tiga puluh tahun—“
“Yang benar 31, Pak. Baru aja ulang tahun sepuluh bulan yang lalu,” Joko menyela.
“Ya, kalau begitu dewasalah sedikit, jangan kamu pikir pekerjaan ini main-main. Kamu punya tanggung jawab besar di masa depan. Kamu yang akan—“
“Duh, Pak!” Joko berdiri tiba-tiba. “Perut saya mules, kayaknya tadi pagi salah makan semur jengkolnya ibu saya.”
“Ibu kamu tidak suka jengkol!” Pak Kas membentak geram.
“Kalau begitu pasti semur jengkolnya Mbok Siti. Saya permisi dulu, Pak. Udah nggak tahan nih, udah di ujung.” Joko kabur begitu saja meninggalkan Pak Kas yang ingin melemparkan sesuatu ke kepala bocah tua itu.
“Anak Sableng!” gerutu Pak Kas dan duduk di kursinya, meminum air putih banyak-banyak dan berdoa darah tingginya tidak kambuh hari ini.
**
“Ck, nggak nyangka kalau lo tukang ngadu.” Gerakan Nayla yang hendak duduk terhenti. Ia menoleh ke belakang di mana Joko asyik dengan kentang gorengnya. “Baru digodain dikit udah ngadu. Cemen lo, Nay.”
Nayla bersedekap. “Kamu bilang apa? Saya bahkan tidak mengatakan apa pun pada Pak Kas.” Wanita itu menatap datar Joko yang kini mencibirnya.
“Halaaah. Baru dikasih saran dikit aja udah ngambek. Lo sama aja kayak pemimpin yang nggak mau dengerin curahan hati anak buahnya.”
Nayla memicing. “Saya sudah bilang kalau saya—“
“Tidak mengatakan apa pun pada Pak Kas. Lo udah bilang tadi,” Joko menyela. Namun tetap menatap Nayla dengan tampang mengejek. “Tetep aja, baru dibantah dikit udah ngambek,” cibirnya lalu berdiri. “Kalau lo mau jadi pemimpin, dengerin juga pendapat anak buah. Kalau lo cuma mau kerja dengan pendapat lo sendiri. Ya udah, kerja aja sendiri. Nggak usah rekrut pegawai di divisi elo. Gampang, kan?” Setelah mengatakan itu dengan nada santai, Joko pergi begitu saja meninggalkan Nayla yang terdiam di tempatnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
