Padamu Kutemukan Cinta Part 5 dan 6

3
0
Deskripsi

โš˜ Happy reading. ๐Ÿ˜Š

Part 5. ANDRA DAN ZURA

Albyandra Raffasya

Bug.

Suara buah mangga yang jatuh tepat di sampingku, seketika mendistraksi pemikiranku mengenai nama seseorang.

Aku memandang ke arah buah mangga yang masih mengkal dan berwarna hijau. Beruntung yang jatuh hanya buah mangga. Coba kalau nangka. Bisa benjol kepalaku.

"Khaira, tunggu Papa."

Mataku menyipit dan mengekori pemandangan seorang ayah yang sedang mengekori putrinya.

Ada anak kecil yang digendong ibunya dengan selang infus di pergelangan tangan anak itu. Ternyata ayah si anak  mengajak bercanda. Mungkin bermaksud menghibur anaknya yang sedang sakit.

Banyak nama Khaira tersebar di seluruh dunia. Bisa-bisanya aku berpikir kalau yang dipanggil barusan adalah Khaira, pacarnya Fikri.

Gawai di dalam saku celanaku berdering beberapa kali. Menenggelamkan sejenak nama Khaira di benakku.

Om Bimo menelepon. Akhirnya aku minta bantuan anak buah papa untuk mencari info mengenai panti asuhan tempat Fikri dibesarkan.

Hal yang selama bertahun-tahun lalu kuabaikan, kini muncul lagi seperti pita kaset yang sedang diputar ulang. Semua berawal dari mimpi dan sebongkah rasa bersalah karena janji yang tak bisa kutepati.

"Halo, Om."

"Al, maaf Om baru hubungi kamu lagi."

Aku memaklumi kesibukan Om Bimo sebagai tim IT di perusahaan papa. Aku sebenarnya yang merepotkan karena menambah pekerjaan beliau di kantor.

"Gimana Om, apa sudah ada info panti asuhan yang Al minta?"

Aku tahu nama panti asuhan tempat Fikri, dari kedua orang tua angkatnya. Yang membuatku terkejut ternyata lokasi panti tersebut, tadinya berada di belakang apartemen milik papa.

Kedua orang tua angkat Fikri sudah lama tidak menghubungi ibu pemilik panti. Mereka hanya memberiku nama panti dan nama Bu Aminah sebagai pengelolanya.

"Memang benar satu tahun lalu ada rumah panti asuhan di belakang apartemen The Atmaja yang sekarang kamu tempati, Al. Rumah itu sebenarnya sudah reyot dan tidak layak huni karena kurang penyandang dana. Hanya saja letaknya cukup strategis sehingga Papa kamu memutuskan untuk membeli rumah itu." Om Bimo menerangkan.

Oh oke, info ini saja sudah membuatku tak karuan.

"Tapi Papa membeli rumah itu dengan cara legal kan, Om? Maksud Al, nggak sampai menggusur secara paksa. Itu rumah panti tempat sahabat Al tinggal sejak dia kecil."

"Kalau proses jual belinya Om kurang paham, Al. Tapi Papa kamu bukan orang yang bertindak sewenang-wenang. Pasti ada tim yang melobi pemilik panti. Om yakin ada biaya ganti rugi yang sepadan."

Syukurlah kekhawatiranku tidak beralasan. "Panti itu sekarang pindah kemana, Om?"

"Panti asuhan Nurul Insan pindah ke daerah Bogor. Cuma lokasi pastinya Om belum tahu. Kalau kamu nggak buru-buru, nanti Om cari lagi infonya."

Secercah harapan muncul kembali di hatiku. Alhamdulillah.

"Al nggak buru-buru kok, Om. Satu bulan ini Al juga harus fokus buat ujian PPDS."

"Kamu nggak capek sekolah melulu, Al?"

Pertanyaan Om Bimo mengingatkanku pada papa yang pernah menanyakan hal serupa.

"Gitulah Om. Kalau lagi sekolah, pengennya cepat lulus dan kerja. Kalau sudah kerja, pengen sekolah lagi."

Terdengar suara  Om Bimo di seberang, menertawakan ucapanku barusan.

"Iya ya. Mantap itu, Al. Tapi jangan lupa nikah. Jangan ikuti jejak Om. Sudah tua,    baru nikah."

Om Bimo dan mama ternyata tidak ada bedanya. Nikah melulu yang dibahas.

"Memang Om dulu nikah umur berapa?"

"35, Al. Tua kan?"

"Wah iya." Aku ikut tertawa. "Tapi jodoh kan memang nggak tahu datang kapan kan, Om."

"Umur kamu sekarang berapa, Al?"

"Ada deh, Om. Pokoknya masih kepala dua."

Tidak lama percakapan kami berakhir ketika Arsal datang. Dia melambaikan tangan dari seberang. Aku memang tidak sendirian ke RS ini, tapi mengajak Arsal. Kumasukkan lagi gawai ke saku.

"Sudah selesai orientasi RSnya, Sal?"

Arsal terlihat sumringah.

"Sudah dong. Lumayan dapat beberapa nomor HP adik kelas. Cantik-cantik woy yang lulus ujian angkatan kemarin."

Aku menjitak kepala Arsal karena sudah menduga tujuan dia ikut denganku untuk mencari kenalan residen cantik.

"Balik yuk, Sal."

"Eh, beneran udahan Al?"

Arsal menyejajarkan langkah dan berjalan di sampingku.

Kuhirup udara segar di halaman rumah sakit. Meninggalkan pepohonan yang membuat suasana panas hari ini, terasa lebih sejuk. Sampai jumpa kembali di sini, beberapa bulan lagi.

***

Apartemen The Atmaja

Aku baru turun dari mobil dan meminta petugas Valet membawa mobilku untuk parkir di tempat biasa.

Langkahku terhenti ketika seseorang memanggilku.

"Alby."

Seraut wajah yang tak asing menyapaku ramah.

"Al, masih ingat nggak? Gue Bang Yazid. Kita pernah pelatihan bareng dua tahun lalu."

Ah, aku baru ingat. Pelatihan ATLS dan Bang Yazid jadi salah satu asisten instruktur. Beliau residen Bedah.

"Iya Bang, ingat. Abang sudah selesai pendidikan?"

"Insya Allah tahun ini wisuda, Al. Kamu tinggal di sini juga? Abang baru ngeh kalau ini apartemen punya kamu."

"Bukan punyaku, Bang. Tapi punya Papa." Aku meralat.

"Lah, sama aja itu. Eh, sekalian Abang tanya. Sebelum lupa. Apa masih ada unit apartemen yang bisa disewa bulanan?"

"Untuk siapa Bang?" Aku menggulung kemeja hingga ke siku. Supaya tidak terkesan berpenampilan formal.

"Untuk adikku. Dia datang dari Jawa, mau cari kerja di sini. Aku nggak tahu kos yang aman dan nyaman di dekat sini. Pas lihat apartemen ini, langsung kepikiran bisa jadi tempat dia menginap sementara. Eh, sebentar Al. RS telepon Abang."

Bang Yazid mengambil satu ponsel lagi dari dalam tas.

"Aduh, Al. Ada panggilan operasi mendadak. Adikku barusan lagi ke kamar mandi. Nanti Abang suruh dia nunggu di lobi dan temui kamu. Titip adik Abang ya, Al."

Bang Yazid tampak tergesa pergi sebelum aku sempat menanyakan siapa nama adiknya.

Masuk ke dalam lobi, aku disambut dengan pemandangan seorang perempuan berhijab yang sedang beradu argumen dengan petugas resepsionis.

"Saya mau ketemu pemilik apartemen ini. Nggak bisa dibenarkan tindakan penggusuran panti asuhan yang tadinya berdiri di tempat ini. Sekarang mereka pindah kemana, saya tidak bisa mencari tahu."

Pak Anto, petugas resepsionis yang melihatku masuk, seperti memberi isyarat agar aku cepat pergi dan memastikan pemandangan di depanku tidak berlangsung lama.

"Ada apa nih, jam makan siang malah ribut-ribut di sini." Aku mendekati Pak Anto.

Gadis itu membalikkan badan dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sama seperti yang kulakukan kepadanya.

"Maaf. Bapak siapa ya? Atas hak apa Bapak menuduh saya berbuat keributan?"

Aku menyentil kening gadis itu dengan ujung jari telunjuk. Tinggi badannya hanya beberapa senti di bawah telingaku.

"Saya Andra, keponakan pemilik apartemen ini. Kamu siapa?"

"Saya Zura."

"Enak dong kalau sekolah, absennya dipanggil paling belakang." Aku berusaha mencairkan suasana.

Pak Anto tampak terkejut ketika aku sengaja menyembunyikan identitas asliku.

"Bercandanya nggak lucu." Mata gadis itu berkilat galak.

"Siapa juga yang mau melucu. Jadi kepentingan kamu kesini, untuk apa? Silahkan duduk supaya kamu lebih tenang, Zu."

"Nama saya Zura. Bukan Zuzu."

Bisa protes juga gadis ini. Aku tetap bersikap ramah untuk menenangkan  hati Neng Zura.

Sepertinya niatku berhasil karena gadis itu mengikuti langkahku. Dia kemudian duduk di depanku, tapi gesturnya  terlihat tidak nyaman.

Selang beberapa detik, terdengar bunyi krucuk-krucuk dari perut Zura. Aku tersenyum geli.

"Kamu lapar, Zu?"

"Nggak." Kedua pipi Zura merona, berusaha menyembunyikan apa yang dia rasa.

"Baiklah. Jadi kamu kesini mencari siapa?"

"Rumah panti asuhan Nurul Insan. Itu tempat teman saya tinggal dan sekarang sudah digusur. Berubah jadi apartemen mewah punya Omnya Bapak."

Ah iya, aku hampir lupa kalau tadi mengenalkan diri sebagai Andra. Keponakannya Papa Adiguna Atmaja.

Sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan, karena Zura juga mencari rumah panti yang sedang kucari.

"Tolong jangan panggil saya Bapak, Mbak Zu. Saya masih muda dan belum kepala tiga."

Zura menunjuk ke arah area bibir dan daguku.

"Kenapa? Ada yang aneh sama wajah saya?"

"Kumis dan jenggot di muka Bapak, membuat tampak lebih tua. Nggak salah kalau saya panggil Bapak."

Aku menggeram halus dan mencoba tetap tersenyum.

"Sebentar lagi saya mau ujian masuk dokter Spesialis. Pasti saya akan cukur rambut. Termasuk merapikan kumis. Kamu akan terpesona melihat saya jadi jauh lebih muda dari yang kamu lihat sekarang."

Zura tertawa sambil menepuk sofa yang sedang dia duduki saat ini.

"Iya deh. Eh, ujian masuk spesialis? Berarti Pak Andra dokter?"

Aku mulai melihat decak kekaguman Zura, kepadaku.

"Memangnya kalau saya dokter atau bukan, ada pengaruhnya buat kamu?"

"Jelas ada. Setidaknya mengurangi kekesalan saya beberapa persen, karena ulah Omnya Bapak yang telah menggusur rumah panti asuhan milik teman saya."

Bunyi gelegar petir tiba-tiba terdengar di luar. Saat tadi aku turun dari mobil, awan memang sudah terlihat mendung dan gelap.

Zura menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata, saat mendengar suara petir. Seperti anak kecil saja.

Tidak berapa lama, hujan mulai turun. Semakin lama semakin deras. Udara dari luar menyelinap masuk melalui sela pintu kaca yang tertutup rapat.

"Saya akan bantu mencari info panti asuhan yang kamu maksud. Apa kamu punya tempat tujuan lain setelah datang ke sini? Sekarang sedang hujan."

Zura tampak bingung. Dia melihat ke arah jendela.

"Saya belum tahu, Pak. Sudah lebih dari enam tahun saya nggak ke Jakarta. Banyak yang berubah dari kota ini. Mungkin setelah hujan reda, saya akan mencari tempat menginap di sekitar sini."

Aku memandang sepatu hitam yang Zura kenakan. Tampak lusuh dan tak cemerlang layaknya sepatu baru. Aku jadi kasihan.

"Kamu keberatan, kalau saya tawarkan tempat menginap sementara di sini? Setidaknya sampai menemukan panti asuhan yang kamu cari.

"Menginap di sini? Tapi saya nggak punya banyak uang. Lebih baik saya cari rumah kos sementara." Zura memandang ke sekeliling lobi. Mungkin sedang menduga harga sewa di apartemen ini.

"Kos di Jakarta juga mahal, Zu." Aku berdehem. "Begini saja. Karena saya keponakan dari Pak Atmaja, saya bisa memberi kamu tempat menginap sementara. Anggap saja sebagai bentuk tanggung jawab saya sekaligus membantu kamu."

Zura tampak berpikir keras sebelum akhirnya dia mengangguk.

"Nanti saya mesti bayar sewa dengan apa ya? Misalkan uang saya nggak cukup."

Ganti aku yang memutar otak dan tiba-tiba saja terlintas ide brilian di benakku.

"Jadi asisten pribadi saya. Gimana? Kamu mau?"

Lebih halus membahasakan dengan asisten pribadi daripada pembantu. Setidaknya kalau apartemenku bisa lebih rapi, mama tidak lagi ribut membahas soal istri.

"Kamu bisa mendapatkan keuntungan tidur, makan dan minum gratis. Kalau kerja kamu bagus, saya bisa memberi gaji. Anggap ini sebagai masa uji coba. Atau mungkin kamu ke Jakarta karena sudah diterima kerja di tempat lain?"

Zura membantah. "Nggak Pak. Saya belum kerja. Cuma bawa ijazah dan rapot SMA aja. Tapi saya memang berniat mau kerja di sini. Maksud saya di Jakarta."

Aku tersenyum melihat Zura jadi salah tingkah di depanku.

"Selamat kalau begitu. Saya adalah bos pertama kamu. Apa kamu bisa mulai bekerja hari ini?" Aku mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Zura, tapi dia tidak membalas. Hanya menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Aku memanggil Pak Anto.

"Siap Pak." Pak Anto dengan sigap datang menghampiriku.

"Pak, tolong siapkan unit Emerald 02 untuk asisten pribadi saya, Zura. Persis di sebelah unit saya."

Pak Anto tampak terkejut mendengar permintaanku. Tapi kemudian beliau mengiyakan. "Baik Pak. Akan kami siapkan." Sebentar kemudian beliau pergi.

"Wah, Pak Andra benar-benar bos di sini ya? Padahal cuma keponakan yang punya apartemen." Zura tampak senang dan sepertinya kami baru saja berbaikan.

"Ayo ikut saya. Ada pekerjaan yang sudah menanti kamu."

"Apa itu, Pak?" Zura ikut berdiri dan bersiap menarik koper miliknya.

"Merapikan apartemen saya dan memasak untuk makan siang."

"Hah? Memasak? Tapi, saya sendiri sudah lapar. Harus masak dulu? Saya kira Bos seperti Bapak bisa langsung pesan makanan dari dapur."

Aku menikmati ekspresi wajah Zura yang mengira semua akan dia dapatkan dengan mudah.

"Kamu tahu istilah no pain, no gain kan, Zu? Itu berlaku juga buat kamu."

Klik. Pintu lift terbuka dan tertutup kembali saat aku memindai dengan kartu akses berwarna gold.

Dari balik pintu yang terbuat dari kaca, aku bisa melihat pantulan wajah Zura yang sedang cemberut. Ingin tertawa rasanya setelah berhasil menjahili dia. Sepertinya dia gadis baik-baik.

Berdua dengan asisten baruku, kami berada di satu lift yang sama. Menuju puncak tertinggi gedung. Lantai 40.

***


Part 6. PAK BOS DAN ATURANNYA

Khaira Azzura

Mulutku terbuka separuh, menatap angka 40 di dekat pintu lift. Jadi gedung apartemen ini memang setinggi 40 lantai? Apa Pak Andra tinggal di lantai paling atas? Mengapa dari tadi kami belum juga sampai ke lantai yang dituju?

Semua tanda tanya berputar di kepalaku. Diam-diam aku menatap wajah Pak Andra dari pantulan kaca lift. Dia melengos entah pura-pura sibuk atau sengaja mengacuhkanku. Bagaimana pun aku mesti waspada karena orang yang baru kukenal, belum tentu hatinya baik.

Bisa saja ada maksud terselubung, karena mengira aku gadis yang lugu. Lihat saja. Begini-begini aku juga pernah ikut pencak silat waktu SMP. Meskipun tidak mahir. Tapi kalau dia mau macam-macam, akan aku sikat.

Tring.

Pintu terbuka dan benar saja aku sekarang berada di lantai paling atas. Dua orang lelaki berseragam abu-abu berdiri menyambut kami. Mereka membungkuk penuh rasa hormat. Wah, ternyata Pak Andra benar-benar keponakan sultan. Aku sama sekali tidak menyangka.

"Zu, kenapa bengong? Ayo." Pak Andra menungguku.

Duh, salah deh aku mengenalkan diri dengan nama Zura. Sekarang baru menyesal karena panggilan aneh yang harus kudengar dari Pak Andra.

"Ini kamar saya, Zu. Emerald 1. Kamar kamu yang itu. Emerald 2."

Aku terperanjat, mengekori arah telunjuk tangan Pak Andra. "Kamar kita sebelahan, Pak?"

"Nggak usah nethink. Kamar kita dipisahkan dinding partisi yang tebal. Tenang aja, saya nggak akan dengar suara kamu pas lagi ngorok."

Wah, mengesalkan sekali manusia satu ini. Untung dokter. Eh, maksudku selama ini aku berpikir tidak ada dokter yang seperti Pak Andra. Seolah diciptakan untuk menguji kesabaran orang lain.

"Kamar kamu sudah lama nggak dihuni. Biar dibersihin dulu. Ayo sekarang, kamu ke kamar saya."

Bersyukur aku tidak sendirian. Dua karyawan yang aku belum tahu namanya, masih berdiri di depan pintu kamar Emerald 1. Pintunya dibiarkan terbuka.

"Silahkan kamu pelajari dulu. Mana ruang tamu, ruang televisi, kamar tidur, kamar tamu, kamar mandi, ruang makan dan dapur. Saya mau ganti baju dulu."

Pak Andra pergi ke kamar dan menutup pintu. Meninggalkanku yang masih tercengang. Ada ya, apartemen semewah ini. Tapi semewah apa pun isinya, tetap tidak bisa menandingi kehangatan sebuah rumah.

Rasa penasaran membawa tanganku untuk membuka kulkas. Wow, aneka makanan beku tersusun di freezer. Di bawahnya berbagai macam buah ditata apik. Ada apel, pir, jambu, alpukat, potongan melon dan buah kiwi.

Bagian atas pintu kulkas penuh dengan telur. Karton susu, madu, vitamin berjajar di bagian bawah. Mirip kulkas di rumah Silma. Tapi tidak selengkap ini. Menurutku ini agak berlebihan. Mengingat penghuninya cuma Pak Andra seorang diri.

"Zu, Ngapain bengong. Ayo masak. Katanya tadi kamu lapar. Ada banyak bahan makanan di kulkas. Mama baru belanja untuk stok dua minggu."

Dua minggu? Bahkan itu cukup untuk satu bulan.

"Maaf Pak. Tapi saya nggak pandai memasak. Kecuali kalau Pak Andra sakit perut setelah makan masakan saya."

Pak Andra menatapku curiga. "Kamu sengaja ya, biar nggak saya suruh masak? Padahal tadi saya sudah berekspektasi tinggi sama kamu. Ternyata kamu nggak bisa apa-apa dan sudah menyerah duluan sebelum kerja."

Tidak ada sedikit pun rasa takut di wajahku. "Saya juga nggak mau kerja di sini, kalau nggak terpaksa. Saya nginep semalam aja di sini, Pak. Besok saya mau pergi mencari panti asuhan yang sudah Bapak gusur."

Aku membalikkan badan dan hendak pamit. Namun Pak Andra berjalan cepat dan menghadang di depan pintu.

"Jangan pergi, Zu. Setidaknya sampai saya selesai ujian dan pengumuman."

Baru aku mau menjawab, tapi perutku tiba-tiba perih.

"Hei, kamu kenapa Zu?"

***

Aku memincingkan mata dan terlonjak kaget ketika tersadar. Aku sudah duduk di atas sofa empuk berwarna cokelat.

"Nggak usah pura-pura pingsan, Zu. Ini minum obat dulu. Setelah itu baru makan. Saya sudah siapin makanan buat kamu."

Jadi barusan aku sempat tak sadarkan diri? Malunya. Aku memang tidak bisa kelewatan makan siang. Kalau terlambat, perutku pasti perih, nyeri ulu hati dan kadang bisa melilit parah.

"HP kamu dari tadi bunyi. Saya nggak mau angkat, karena belum izin sama kamu."

Pak Andra mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.

"Saya lagi pengen makan rawon. Saya takut kamu nggak doyan. Jadi saya beli soto daging buat kamu. Ambil aja telur asinnya kalau kamu mau."

"Jadi Bapak akhirnya beli makanan di restoran luar?"

"Nggak beli. Tinggal pesan ke resto di lantai lima."

Benar kan dugaanku. Pak Andra sengaja mengerjai dengan memintaku masak.

"Nggak usah marah, Neng Zu. Nanti asam lambung kamu tambah naik. Ini obat maagnya dikunyah dulu. Aaa."

Aku terpaksa membuka mulut dan langsung menelan tablet berwarna hijau rasa mint.

Melihat Pak Andra makan dengan lahap, aku jadi ikut lapar.

"Saya udah boleh makan kan, Pak?"

"Obatnya sudah selesai kamu kunyah?"

"Keburu saya telan, Pak."

Pak Andra tertawa dan akhirnya mempersilahkan aku makan. Aku berdo'a dengan khusyuk.

"Zu."

"Apa Pak?" Aku mulai makan soto daging yang masih panas.

"Terima kasih mau jadi asisten saya. Nanti saya minta nomor rekening kamu untuk pembayaran di muka."

Gawat. Bisa-bisa ketahuan nama asli aku, kalau memberi nomor rekening.

"Cash aja, gimana Pak? Supaya gampang kalau saya mau beli sesuatu."

"Yakin kamu mau dibayar tunai? 5 juta lho, Zu."

Lima juta?

Aku hampir saja tersedak mendengar nominal yang fantastis menurutku. Ah, akhirnya aku bertemu lelaki baik yang tidak hanya kaya, tapi juga dermawan.

"Tapi nolnya gelinding dua, Zu."

Wajahku berubah kecut. "50 ribu doang maksud Bapak?" Bukannya mau sombong. Tapi kalau uang segitu, aku juga punya di dompet.

"Kalau performa kerja kamu bagus, saya akan tambahkan satu nol lagi di belakang angka 50 ribu. Tapi bertahap. Ingat Zu, nggak ada makan siang yang gratis."

Kutarik lagi kata-kataku barusan. Ternyata Pak Andra orang yang perhitungan.

"Saya pernah dengar lho Pak, kalau cowok pelit itu jodohnya sulit. Nggak bakal laku-laku karena nggak ada cewek yang mau dekatin."

"Kamu nyindir saya?"

"Nggak juga, Pak." Aku pura-pura ngeles.

"Zu, saya lupa memberitahu peraturan selama kamu kerja. Saya nggak mau orang lain salah paham sama kita. Jadi kamu mulai bersih-bersih kamar, kalau saya sudah berangkat. Oh iya, satu lagi. Minggu depan teman saya mau belajar bareng di sini. Kamu jangan keluar kamar ya. Tetap di sebelah."

Aku mengangguk.

Rasa perih di perutku sudah berkurang, sehingga aku bisa menikmati soto daging pemberian Pak Andra.

Beliau melirik sekilas ke arahku.

"Makannya dihabiskan, Zu. Jangan sampai ada sisa. Kalau masih lapar, nambah aja. Nggak apa-apa."

"Siap, Bos."

Pak Andra berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya.

"Ini nolnya saya tambah satu. Simpan baik-baik ya, Zu. Kali kamu pengen jajan."

Aku bengong melihat lima lembar uang seratus ribu yang beliau taruh di atas meja.

***

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Padamu Kutemukan Cinta Part 7 dan 8
3
0
โš˜ Selamat membaca. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan