CEWEK BERANDALAN VS GUS TAMPAN (BAB 7 & 8)

1
2
Deskripsi

Bab 7 dan 8

Bab 7 PRUK

"Yah, coba tanya Gus Zainal, mereka sudah sampai apa belum? Perasaan Bunda dari tadi nggak enak deh," pinta Addina–Bunda Kamila pada Al seraya meletakkan segelas kopi di hadapan suaminya.

"Makasih, kopinya, Sayang. Sabar, ya, tadi Ayah sudah coba hubungin, tapi nggak diangkat, mungkin masih di jalan," balas Alfaro–ayah Kamila.

"Ya Allah ... Semoga anak kita nggak bikin ulah di sana ya, Yah," harap Dina mengkhawatirkan putrinya.

Bukan takut putrinya nangis sebab tak betah, atau nangis sebab tak menemukan makanan enak layaknya di rumah sebagaimana santri baru pada umumnya, ia yakin soal ketangguhan putrinya, putrinya itu sangat tangguh seperti Ayahnya.

Akan tetapi, sebagai seorang ibu yang mengenal baik watak putrinya, ia mengkhawatirkan Kamila dengan segala kenakalannya akan berulah di tempat orang, hingga merugikan orang lain, terlebih tempat itu adalah sebuah pesantren. Di mana semua praktik keagamaan dijalankan dengan penuh disiplin di sana.

Berbeda dengan kepribadian putrinya yang susah diatur dan terkesan suka-suka dalam hal beribadah.

"Aamiin, maafkan Ayah ya, Bun, karena sudah buat bunda syok dan kepikiran soal keputusan Ayah ini. Tapi Ayah sudah tidak bisa menundanya lagi.

Kelakuan Kamila semakin hari semakin tak terkendali, dia makin sering pulang larut malam dan diantar oleh anak baj*ngan itu. Ayah khawatir anak kita tak kan selamat kalau dibiarkan seperti itu terus-menerus," keluh Al pada istrinya.

"Huuussh, Ayah tuh bicara apa sih? Sebagai orang tua, mbok ya ucapannya itu dijaga, berharap yang baik-baik saja untuk anak kita, jangan pernah berpikir yang enggak-enggak!" pesan Dina pada suaminya, seraya mengambil posisi duduk di sisi suaminya.

"Realistis aja, Bun. Kita tahu siapa circle anak kita, wajar kan sebagai orang tua Ayah merasa khawatir Kamila akan terpengaruh buruk? Kamila berada di antara anak-anak jalanan yang tak punya tujuan hidup, bahkan tak mengenal Tuhan sebagai tujuan hidupnya.

Apalagi saat tau Kamila dekat dengan anak dari kepala mafia itu, rasanya kehawatiran Ayah semakin mejadi, Bun. Khawatir kalau saja Kamila akan menanggung karma dari dosa-dosa ayah di masa lalu.

Kamu tahu, kan? Apa yang selama ini Ayah takutkan?" balas Al membuat istrinya tertegun.

"Yah ... Dosa-dosa yang telah lalu, jangan biarkan itu menjadi pengganggu pikiran Ayah. Percayalah, Allah sudah menghapus semua dosa Ayah dengan taubat Ayah yang nashuha.

Ayah sudah menunjukkan keseriusan dalam bertaubat, menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Allah Maha Pengampun, Yah. Allah pasti sudah mengampuni Ayah." istri Alfaro itu berusaha menghibur dan menyemangati suaminya

Sebagai seorang istri, ia faham betul bagaimana karakter suaminya. Lelaki yang menikahinya dua puluh tahun lalu itu memang memiliki ketakutan berlebih dalam banyak hal, akibat trauma masa kecil yang pernah dirasakannya.

Mulanya, trauma itu sembuh seiring lahirnya Kamila ke dunia. Kamila datang sebagai penawar untuk rasa sakit ayahnya. Akan tetapi,   ketakutan-ketakutan itu kembali muncul saat Kamila beranjak remaja dan mulai menunjukkan bahwa ia melenceng dari jalur didikan orang tuanya.

Al dan Dina sudah merasa berusaha secara maksimal dalam mendidik putri semata wayang mereka. Akan tetapi, yang terjadi justru malah hal yang tidak diinginkan.

Kamila yang diharapkan tumbuh menjadi gadis sholihah yang taat agama, justru melencong ke arah yang salah. Putri mereka itu memiliki kecondongan terhadap dunia bebas, ia bahkan merasa terbebani dengan aturan agama yang menurutnya hanya akan menyusahkannya.

Berangkat dari sini lah, Ayah Kamila kemudian mulai menyalahkan dirinya sendiri, menganggap apa yang terjadi pada Kamila adalah akibat dari dosanya di masa lalu. Di masa ia sempat meninggalkan Tuhan, menganggap pernikahan hanyalah aturan Tuhan yang merepotkan, sehingga ia lebih memilih untuk menjelajahi dunia malam demi menuntaskan kebutuhan. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Bunda Kamila, yang berhasil membantunya kembali ke jalan yang benar.

"Ayah juga yakin, Allah itu Maha Pengampun, Bun. Akan tetapi, ini urusannya bukan hanya dengan Allah. Mungkin urusan dengan Allah selesai dengan ampunan, tapi bagaimana dengan urusan Ayah dan gadis-gadis yang ayah beli kehormatan mereka demi kenikmatan semalam?

Ayah tak pernah tahu bagaimana isi hati mereka. Mungkin sebagian dari mereka melakukan itu dengan suka rela, tapi mungkin juga ada dari mereka yang melakukannya karena terpaksa.

Bagaimana jika ternyata mereka merasa sakit hati? Lalu mendoakan yang tidak-tidak untuk ayah? dan akhirnya, yang terkena imbasnya adalah putri kesayangan kita? Ayah nggak bisa bayangkan itu terjadi, Bun. Ayah nggak mau putri kita bernasib sama dengan gadis-gadis itu." Alfaro mengakhiri kalimatnya seraya tertunduk, ketakutan itu begitu besar menghantuinya.

Jika berbicara tentang karma, maka pasti akan panjang urusannya. Percaya atau tidak, hukum alam itu memang ada. Dan tak ada satupun yang bisa menolaknya.

Dina menghela nafas, lalu merapatkan posisi ke arah suaminya, menyentuh punggungnya  lembut, memberi usapan pelan, berharap dapat menenangkan.

"Ayah yang tenang, ya? Selama ini usaha kita dalam mendidik Kamila sudah maksimal. Kita sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk Kamila. Mungkin saat ini memang belum terlihat hasilnya, tapi kita jangan pernah berhenti berharap, semoga suatu saat usaha kita akan membuahkan hasil.

Setelah usaha kita lakukan, kini kita hanya bisa menguatkan doa, Yah. InsyaAllah, kekuatan doa orang tua untuk anaknya, mampu mengalahkan akibat dari dosa-dosa seperti yang ayah khawatirkan.

Kamila adalah titipan Allah, dan kita sudah berusaha menjaganya sebaik mungkin. Kini saatnya kita kembalikan Kamila pada Allah, memohon penjagaan untuk Kamila dari Sang Maha Menjaga. Insya Allah Kamila akan baik-baik saja.

Lagi pula Bunda yakin, walau Kamila cenderung melenceng ke arah negativ, tapi dia pasti menyimpan pesan-pesan yang kita sampaikan dalam hatinya. Yang mana pesan-pesan itu akan muncul memberikan warning di saat Kamila berada di sebuah situasi genting.

Apalagi sekarang Kamila berada di bawah pengawasan orang yang tepat, insyaAllah semua akan baik-baik saja." Bunda Kamila mencoba menenangkan suaminya dengan membawanya untuk berpikir positif.

"Terima kasih, Sayang. Kamu selalu berhasil jadi penentram hati ini," ucap Ayah Kamila seraya membawa istrinya ke dalam pelukan, mencium pucuk kepalanya penuh kecintaan.

"Sama-sama, Sayang," balas Dina seraya mengusap dada sang suami.

"Ternyata begini ya rasanya nggak ada Kamila di rumah, Ayah Bundanya jadi bebas bermesraan di mana-mana," celetuk Al mengundang tepukan di pahanya.

"Ayah, nih! Pikirannya kok kesitu sih? Bunda nih lagi mellow loh pisah sama anak semata wayang.

"Nggak usah mellow, Bun, nanti kalau sudah kondusif kondisi Kamila di pesantren, kita datang untuk menjenguknya, ya? Untuk saat ini biarkan dia belajar mengendalikan dirinya sendiri, sebab kalau ada kita, dia pasti manja dan minta pulang," terang Al yang disetujui Dina.

Saat suasana tengah hangat-hangatnya, tiba-tiba ponsel Al berdering.

"Siapa, Yah?" tanya Dina seraya melepas pelukan.

"Gus Zainal, Bun!"

"Angkat, Yah, loudspeaker ya!"


Bab 8 PRUK

"Assalmualaikum, Yah," ucap Gus Zainal membuka percakapan dalam telepon.

"Waalaikumsalam, Gus ... Alhamdulillah akhirnya Gus Zainal menghubungi kami juga, kami tunggu kabarnya dari tadi loh," balas Ayah Kamila dari seberang.

"Iya, maaf, Yah, tadi saya masih di jalan, jadi belum bisa fokus sama HP, dan barusan cek hp kok ternyata ada panggilan tidak terjawab dari Ayah, jadi saya langsung telepon balik.

Alhamdulillah ini saya dan Kamila baru sampai di depan pondok pesantren Nurul Hidayah," jelas Gus Zainal menyampaikan info terkini.

"Alhamdulillah. Lalu bagaimana perjalanannya, Gus? Apakah semuanya lancar?" tanya Ayah Kamila.

"Alhamdulillah ... kami sampai dengan selamat, Yah," jawab Gus Zainal tanpa berbohong.

"Alhamdulillah ... terima kasih banyak ya, Gus, telah mengantar putri saya sampai di pondok pesantren dengan selamat.

Saya titip Kamila ya, Gus, minta tolong untuk dijaga dan dibimbing. Salam juga untuk Abah dan Ummi, mohon maaf kami belum bisa datang ke sana, Insya Allah, kalau kondisinya sudah memungkinkan, kami akan segera sowan ke sana," balas Ayah Kamila.

"Ayah dan Bunda tenang saja, selama di sini Kamila menjadi tanggung jawab saya. Insya Allah saya akan menjaga Kamila dengan baik," balas Gus Zainal.

Mendengar seseorang bercakap-cakap di telepon, Kamila mulai mengerjapkan matanya mengumpulkan kesadaran.

"Siapa, Gus?" tanyanya pada gus Zainal dengan suara khas orang bangun tidur.

"Ayah," jawab Gus Zainal seraya menutup ujung ponselnya.

"Aku mau bicara dong, Gus! Boleh, kan?" pinta Kamila.

"Sebentar."

"Oh, ya, ini Kamila-nya mau bicara, Yah," ucap Gus Zainal.

"Oh, iya, Gus."

Zainal lalu memberikan ponselnya kepada Kamila. Gadis itu menerimanya dengan cepat dan senyuman sumringah. Ia segera meletakkan benda pipih di tangannya itu tepat di sisi telinganya.

"Ayah ... Kita video call aja dong!" ucap Kamila sesaat setelah ponsel menempel di telinganya tanpa mengucap salam ataupun basa-basi lainnya.

Melihat itu Gus Zainal hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, "Salam dulu, Kamila!" ingatnya pada Kamila.

"Oh ya, lupa Gus, sorry sorry, Assalamualaikum, Ayah, kita vicall aja, ya," ralat Kamila seraya mengalihkan panggilan suara menjadi video call.

"Haaiii Ayaah ... Bunda ...," sapa Kamila dengan melambaikan tangan di depan layar.

"Hai, anak Ayah, sudah sampai di pesantren, ya?" tanya Ayah Kamila, membuatnya mengedarkan pandangan ke depan dan sekitarnya, ia baru sadar ternyata mobil telah berhenti di halaman pesantren Nurul Hidayah.

"Iya, nih, baru nyampe, Yah," jawab Kamila sambil melirik Gus Zainal penuh protes, seolah mengatakan 'kenapa nggak kasih tau aku kalau udah sampai?'.

"Alhamdulillah ... Semoga kamu betah ya, di sana. Baik-baik loh! Jangan nyusahin orang!" pesan Ayah Kamila.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya mendengar pesan sang Ayah.
"Ayah nih gimana sih? Udah jelas lah Mila nggak akan betah tinggal di sini. Kalau nggak karena Ayah hukum Mila, mana mungkin Mila berada di sini," sungut Kamila seperti seorang balita yang sedang ngambek sebab tak dibelikan ice cream.

Hal itu membuat Gus Zainal menertawai dirinya sendiri. Bagaimana tidak? Baru beberapa jam lalu ia membayangkan calon istrinya adalah wanita mengagumkan dengan segala etika baiknya. Tapi ternyata, calon istrinya tak lebih dari seorang bocah yang manja. Ia merasa seolah terlempar dari atas jurang ke dasar bumi terdalam. Sungguh malang nasib gus Zainal.

"Itu konsekuensi atas kesalahan yang kamu perbuat, Kamila. Kamu harus mempertanggung jawabkannya. Dah, Ayah nggak mau tau, kamu harus baik-baik di sana, ya? Jangan bikin malu Ayah Bunda."

"Iya, Nak. Yang terpenting kamu jaga kesehatan selama di sana ya? Jaga sikap juga." ibunda Kamila turut menimpali.

"Ayah sama Bunda ini nyebelin deh! Ayah Bunda tahu nggak, sih? Gara-gara rencana ayah ini, Mila jadi harus kehilangan momen liburan kuliah yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Mila dah lama loh mempersiapkan liburan ke Paris. Eh, Ayah malah menggagalkannya tiba-tiba. Apa coba kata teman-teman Mila nanti?" gerutu Kamila mulai menyampaikan kekesalannya.

Tadi, saat ayahnya menyampaikan niat untuk menghukumnya tinggal di pesantren, ia tak banyak bicara, sebab terlalu syok dengan keputusan sang Ayah.

Akan tetapi, saat sekarang ia merasa menemukan solusi. Ia kembali menjadi sosok Kamila yang asli.

"Kamu tenang saja, soal teman kamu, Ayah yang akan mengurusnya. Kamu fokus saja mengikuti program di pesantren. Kalau kamu berhasil lolos mengikuti program pesantren ini sampai waktu yang ditentukan, Ayah akan kasih kamu reward liburan ke manapun kamu mau. Bahkan keliling dunia sekalipun akan Ayah upayakan." Alfaro mulai mengiming-iming Kamila dengan imbalan.

"Ayah serius?" tanya Kamila berbinar.

"Ayah serius, Nak. Asalkan kamu perginya bersama Gus Zainal," terang Ayah Kamila mendadak membuat raut wajah putrinya berubah masam.

"Kok gitu, Yah? Maksudnya gimana?" tanya Kamila, sewot.

"Maksudnya, momen liburan itu sekaligus mejadi momen bulan madu kalian."

Mendengar penjelasan sang Ayah, Kamila seketika mendengus sebal. "Apaan sih, Yah? Belum apa-apa dah bahas bulan madu aja," gerutu Kamila membuat Gus Zainal di sisinya menahan tawa.

"Itu supaya kita semakin termotivasi untuk berpikir ke arah sana, Kamila. Ya, kan, Yah?" celetuk Gus Zainal menimpali, membuat Kamila memandangnya penuh permusuhan.

"Apaan sih! Sok asyik deh!" ump*tnya dalam hati.

"Nah, bener itu apa kata Gus Zainal. Kalian memang harus segera memikirkan ke arah sana," ucap Ayah Kamila bersemangat, sedangkan Kamila hanya mengerlingkan mata malas.

"Sabar, Kamila ... Sabar ... Kondisi seperti ini nggak akan lama kok, hanya 40 hari. Jadi kamu tahan-tahan aja ya, untuk nggak bersikap memberontak di hadapan kedua orang tuamu!" Kamila mulai bermonolog dengan dirinya sendiri, mencoba bernegoisasi dengan egonya.

"Ya udah ya, Yah, Bun, kapan-kapan kita sambung lagi. Kamila mau turun, pengen cepet rebahan!" pamitnya beralasan, padahal hanya tak ingin membahas lebih jauh soal perjodohan.

"Ya sudah, ingat pesan Ayah dan Bunda, jaga diri kamu baik-baik di sana.
,ya? We love you, Dear!"

"Love you more!"

"Assalamualaikum. "

"Waalaikumsalam."

Kamila mengakhiri panggilannya, sedangkan Gus Zainal tengah memandangnya dalam diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri hingga lupa meminta kembali ponselnya dari tangan Kamila.

"Orang tua Kamila terlihat sangat menyayangi Kamila. Harapannya terhadap Kamila sangat besar. Wajar, mungkin sebab Kamila anak tunggal.

Semoga saja, kepercayaan yang mereka diberikan padaku membuahkan hasil. Semoga Kamila bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di bawah tanggung jawabku," harap Gus Zainal tulus.

Dan saat sadar, ia melihat Kamila tengah sibuk dengan ponsel miliknya.

"Kamila, mana ponsel saya, kembalikan!" pinta Gus Zainal seraya menodongkan tangan.

"Bentar, Gus, aku pinjem bentar," jawab Kamila tanpa menoleh.

"Kalau kamu mau pinjam, izin dulu sama saya. Itu ponsel saya," sahut Gus Zainal mengingtkan

"Kan tadi sudah izin, Gus?"

"Iya, tapi untuk digunakan komunikasi dengan Ayah Bunda, tidak yang lain."

"Ya sudah, kalau gitu sekarang aku izin pinjam lagi ya, Gus. Bentar aja," ucap Kamila menuruti kemauan Gus Zainal.

"Untuk apa?"

"Menghubungi kekasih saya."

Deg!

Hai, baca juya cerita best Seller karya Pena_Zahra yang berjudul “Menjadi Janda di Malam Pertama” cerita best seller yang baper abis, menceritakan kisah cinta seoranh dokter dengan asisten rumah tangga. Baca ya, akan saya update secara berkala. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CEWEK BERANDALAN VS GUS TAMPAN (BAB 9 & 10)
2
8
Bab 9 dan 10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan