Setiap Bulan Gaji Suamiku Hilang (Bab 5-8)

0
0
Deskripsi

Selamat Membaca Bab 5-8

 

****

Gara-gara omongan mbak Sri dan bu larsih, aku jadi terus kepikiran. Apa mungkin mas Bram melakukan hal aneh-aneh di luar sana? Apa mungkin gaji mas Bram sebenarnya tidak hilang? 

BAB 5.

 

Gara-gara omongan mbak Sri dan bu larsih, aku jadi terus kepikiran. Apa mungkin mas Bram melakukan hal aneh-aneh di luar sana? Apa mungkin gaji mas Bram sebenarnya tidak hilang? 

Rasanya terlalu sulit mempercayai pria yang menjadi imamku itu melakukan hal buruk di luar sana. Mas Bram itu pria yang baik. Baik sekali malah. Dia perhatian, dan hangat. Tidak pernah berkata-kata kasar.

Memang, belakangan ini kami jarang punya waktu berdua. Ngobrol berdua. Tapi, itu semua karena pekerjaannya. Mas Bram diangkat menjadi supervisor satu tahun lalu. Aku memang tidak pintar, tapi, tidak bodoh juga. Aku tahu jika semakin tinggi jabatan seseorang, berbanding lurus dengan tanggung jawab yang harus diemban.

Sebagai supervisor, tentu saja mas Bram harus bertanggung jawab pada pekerjaan anak buahnya. Wajar kalau dia jadi lebih sibuk dari sebelumnya. Aku tidak punya pikiran aneh tentang hal itu.

Kehembuskan napas panjang. Hari ini hari ke tiga mas Bram tidak pulang. Semalam mas Bram kembali mengirim pesan jika dia masih belum bisa pulang. Aku hanya bisa mendoakan kesembuhannya, supaya dia bisa segera pulang ke rumah. Aku merindukannya.

“Selidiki, Nur. Jangan sampai kamu kecolongan. Jangan sampai suamimu di luar sana selingkuh.”

Aku berdecak kesal. Kenapa juga kalimat itu terus saja terngiang. Membungkuk pelan karena bobot di perutku, kuambil satu cucian, lalu kugantung ke hanger. Aku baru selesai mencuci.

“Nur, hape mu bunyi.”

Aku menoleh mendengar suara mertuaku. Segera kugantung hanger ke seutas tali yang terbentang, lalu kutinggalkan cucian yang belum selesai kujemur. Ku ayun kakiku menyongsong mertuaku yang juga sedang berjalan ke arahku sambil membawa ponsel butut milikiku.

“ini,” kata ibu mas Bram dengan napas terengah setelah berjalan cepat menghampiriku.

Kuambil ponselku dari tangan ibu mas Bram lalu kulihat siapa yang menghubungiku. Begitu melihat nama mas Bram yang sedang berusaha tersambung denganku, segera kutekan tombol terima kemudian kubawa benda penghubung tersebut melekat ke telingat kanan.

“Assalamualaikum, Mas. Bagaimana kead—”

“Waalaikum salam, Nur.”

Aku mengernyit mendengar suara mas Bram yang memotong kalimatnya. “Ada apa?” tanyaku secara refleks lantaran suara mas Bram terdengar panik.

“Dek, Mas butuh bantuanmu.”

“Ada apa, Mas? Keadaan Mas sekarang gimana? Sudah diperbolehkan pulang?”

“Belum, Dek. Mas masih di rumah sakit sekarang. Tapi masalahnya, Mas butuh uang sekarang.”

“U-uang? Mas, sebenarnya apa yang terjadi? Kalau luka Mas kecil, minta rawat jalan saja. Aku ndak punya uang lagi. Hasil gadai cincin sudah kukasih Mas 1 juta, sisanya aku kasih bulik War buat cicil utang kita. Aku ndak pegang uang lagi.”

Aku terdiam kala tidak mendengar suara mas Bram setelah aku menyelesaikan kalimat panjangku. Beberapa detik terlewat, suamiku masih belum bersuara.

“Mas,” panggilku. “Mas Bram.”

“Dek, Mas benar-benar butuh uang sekarang. Buat bayar rumah sakit.”

“Tapi aku sudah ndak punya uang lagi, Mas. Apa Mas lupa kalau dua bulan ini mas ndak kasih nafkah sama Nur?” Tiba-tiba saja aku merasa emosi mendengar mas Bram terus saja meminta uang.

“Aku kena musibah, Nur. Apa sekarang kamu menyalahkanku karena musibah itu? Kamu pikir aku sengaja membuang gajiku?”

Aku menganga mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut suamiku. Bukan hanya karena nada suara mas Bram yang terdengar marah, tapi, juga caranya berbicara. tidak ada lagi panggilan mas dan adek.

“Aku kerja keras setiap hari, Nur. Semua demi apa? Demi kita. Kalau akhirnya hasil jerih payahku selama satu bulan penuh itu hilang … itu musibah, Nur. Aku juga ingin menikmati hasil keringatku sendiri. Kamu pikir aku tidak sedih karena kecopetan. Kamu pikir aku—”

“Maaf, Mas. Nur minta maaf,” potongku cepat merasa bersalah mendengar apa yang suamiku katakan. Ya, aku tahu mas Bram kerja setiap hari. Aku salah karena sudah mempertanyakan tentang musibah itu. Kalau aku jadi mas Bram, aku juga pasti akan sedih karena kelihangan uang hasil kerja keras selama satu bulan.

“Adek minta maaf,” kataku mengulang permintaan maaf ketika mas Bram belum menjawab. Kudengar tarikan napas panjang suamiku. Aku semakin merasa bersalah. “Berapa uang yang Mas butuhkan?” tanyaku. Kuremas kuat ponsel di tangan. Kuharap tidak banyak. Mungkin aku bisa bon ke bu Larsih.

“Ndak banyak, Dek.” Mas Bram sudah kembali memanggilku dengan panggilan ‘dek’ hingga membuatku bernapas lega. Nada suara mas Bram juga sudah tidak lagi tinggi.

“Berapa?” tanyaku ingin tahu.

“Tujuh ratuh ribu cukup, Dek. Tolong usahakan ya, Dek. Mas harus bayar hari ini.”

Tujuh ratus ribu, sementara saat ini saja aku hanya memegang uang tidak lebih dari 50 ribu. Aku merasa tarikan dan hembusan napasku lebih cepat. Uang segitu bagiku banyak. Banyak sekali. Untuk makan setiap hari aku hanya membeli tahu atau tempe, sementara sayuran aku ambil di kebun. Beruntung karena rumah ibu mas Bram memiliki pekarangan yang cukup luas. Rumah di kampung memang berbeda dengan di perkotaan. Kami masih memiliki tanah yang bisa kami pakai untuk bercocok taman.

“Dek,” panggil mas Bram membuatku tersentak dari lamunan. “Bisa kan, Dek? Kamu usahakan uang itu?”

“Kalau sudah bayar tujuh ratus ribu, Mas Bram sudah diperbolehkan pulang, kan?” tanyaku seraya menarik napas dalam. Aku akan coba bicara dengan bu Larsih. Semoga saja bu Larsih mau memberiku pinjaman yang akan kubayar dengan tenagaku.

“Iya, Dek. Mas akan pulang malam ini.”

“Alhamdulillah.” Ku ucap syukur mendengar mas Bram akan pulang malam ini. Aku benar-benar lega mendengarnya.

“Jadi bagaimana, Dek? Kapan kamu bisa kirim uangnya?”

“Bram sudah bisa pulang?”

Aku menoleh ke arah ibu mertuaku, lalu kujawab pertanyaan beliau dengan anggukan kepala. Kulihat senyum di wajah yang terlihat keriput. Hidup serba susah membuat keriput muncul lebih banyak.

“Syukurlah kalau Bram bisa pulang, Nur.”

“Iya, Mak.” Kuanggukkan kepala sambil tersenyum. Aku juga senang mendengar berita tersebut.

“Tapi Mas harus bayar dulu rumah sakitnya, Dek.”

Sepertinya mas Bram mendengar percakapanku dengan ibunya. “Iya, Mas. Nur usahakan, ya? Nur coba bon ke bu Larsih dulu. Mas doakan Nur, supaya Allah menggerakkan hati bu Larsih. Supaya bu Larsih mau memberikan pinjaman untuk Nur.”

“Iya, Dek. Mas doakan. Mas tutup dulu, ya. Mas tunggu uangnya supaya nanti malam Mas bisa pulang.”

“Iya, Mas. Mas jaga diri di situ.”

“Iya, Dek. Mas pasti jaga diri. Kita ketemu nanti malam, kalau biaya rumah sakit sudah dibayar. Assalamualaikum, cintanya Mas.”

Aku tidak bisa menahan senyum lebar mendengar panggilan mas Bram untukku. “Waalaikum salam, Mas.” kubulatkan mulut untuk menghembus napas panjang.

Mana mungkin pria yang begitu romantis padaku itu bermain api di luar sana. Sekarang perasaanku lebih baik. Suami mbak Sri memang selingkuh. Mungkin, banyak pria di luar sana yang juga bermain api di belakang istrinya. Tapi, tidak dengan mas Bram. Mas Bram hanya mencintaiku.

“Senyum-senyum sendiri, Nur. Senang sekali ya, dengar suamimu mau pulang.”

“Iya, Mak,” sahutku sambil tersipu malu. Kuusap-usap perut besarku. “Nanti malam ayah pulang, Sayang,” kataku bicara pada calon anakku. Aku tidak bisa menahan rasa senang.

“Mak, jemurannya Nur selesaikan nanti. Nur mau ke tempat bu Larsih dulu.”

“Loh, mau apa?”

“Mau pinjam uang buat bayar biaya rumah sakit mas Bram, Mak. Biar nanti malam Mas Bram bisa pulang ke rumah.”

 

 

 

#####

BAB 6.

 

“Jadi, beberapa hari ini suamimu di rumah sakit?” tanya bu Larsih yang langsung kubenarkan dengan anggukan kepala. Aku baru saja menjelaskan alasanku meminjam uang tujuh ratus ribu pada wanita itu.

“Oalah. Kok kamu ndak cerita sih, Nur. Pantesan kemarin kamu kayak orang bingung. Tak pikir Bram selingkuh.”

“Astagfirullah. Ndak mungkin mas Bram selingkuh, Bu.” Ku usap-usap perut besarku. Kutarik napas panjang melihat bu Larsih tertawa.

“Ya sudah, tunggu di sini sebentar. Tak ambilkan uangnya.”

“Alhamdulillah.” Kuucap syukur karena bu Larsih bersedia meminjamkan uang itu. “Terima kasih banyak, Bu.” Kuhembus napas lega. Dadaku rasanya langsung plong. Aku tak kuasa menahan bibir yang melengkung ke atas. Bagaimana bisa aku tidak bahagia? Nanti malam suamiku akan pulang. Aku akan melihatnya lagi.

Kutunggu bu Larsih beberapa saat, hingga akhirnya wanita itu keluar dari dalam rumah dengan membawa beberapa lembar uang berwarna merah. Aku tersenyum saat bertemu tatap dengan wanita baik hati itu.

“Ini, Nur.” Bu Larsih mengulurkan sejumlah uang itu ke arahku.

“Sekali lagi terima kasih banyak, Bu. Lemah teles, gusti Allah yang bales.”

“Aamiin,” kata bu Larsih membalas doaku. “Di hitung dulu, Nur. Jangan sampai kurang.”

“Kalau lebih, boleh, ya, Bu? Candaku yang membuat perempuan di depanku ini langsung tertawa.

“Kayak e ndak mungkin lebih, Nur. Dah tak hitung tiga kali tadi,” sahut bu Larsih yang aku yakin juga bercanda.

Aku tersenyum sambil mengangguk. Segera kuhitung beberapa lembar uang tersebut. Tidak banyak, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.

“Pas, Bu. Pas tujuh lembar,” kataku seraya mengangkat kepala hingga tatapan kami bertemu.

“Ya sudah sana, cepetan dikirim buat Bram. Biar Bram bisa pulang dari rumah sakit.”

“Iya, Bu. Saya permisi.”

“Eh, Nur.”

Langkah kakiku gagal berayun. Aku kembali memutar langkah menghadap bu Larsih. “Ya, Bu.”

“Jangan lupa sesekali periksa hape suamimu. Biar bagaimanapun, apa yang Sri katakan itu benar. Kamu ndak tahu apa yang Bram lakukan di luar sana. Jadi, waspadalah.”

“Ih, Bu Larsih ini loh. Jangan samakan mas Bram sama suaminya mbak Sri. Mas Bram itu sama seperti suami bu Larsih. Setia,” kataku sambil tersenyum menatap bu Larsih. 

Sama seperti mbak Sri, bu Larsih juga janda. Yang membedakan adalah alasan status janda keduanya. Jika mbak Sri Janda setelah bercerai dari suami tukang selingkuh, beda dengan bu Larsih. Bu Larsih janda karena suaminya meninggal dua tahun lalu.

Aku mengedip mendengar suara decakan bu Larsih.

“Sudah dibilangin. Kita itu ndak tahu apa yang suami kita lakukan di luar sana. Biar ndak sampai kecolongan, waspada. Pastikan suamimu itu tidak salah jalan. Kalau salah jalan baru sebentar, masih bisa diperbaiki. Tapi kalau sudah terlanjur jauh, apalagi sampai sudah punya anak … resikonya berat, Nur. Dipoligami, atau bercerai.”

“Bu Larsih jangan nakut-nakuti Nur.”

“Sudah sana, kirim uangnya. Pokoknya sesekali cek hape suamimu itu. Percaya sama aku, Nur. Aku lebih banyak makan asam garam kehidupan, dari pada kamu yang baru anak kemarin sore.” Bu Larsih memutar tubuhku, kemudian mendorong pelan. Memintaku untuk segera pergi dari rumahnya.

“Apa suami bu Larsih juga pernah selingkuh?” Segera kubekap mulutku dengan telapak tangan, ketika pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Kuhentikan langkah lalu menoleh. “Maaf, Bu. Itu tadi—”

“Iya. Suamiku pernah selingkuh. Beruntung belum terlalu jauh dan dia mau tobat.” Bu Larsih memotong kalimat permintaan maafku. Jawabannya membuat sepasang mataku terbelalak. Jadi, suami bu Larsih juga pernah selingkuh? Jantungku tiba-tiba berdetak beberapa kali lebih cepat.

“Makanya aku nasehati kamu, supaya kelak ndak sakit hati.” Kulihat bu Larsih menarik napas panjang setelah menyelesaikan satu kalimat tersebut.

Kutelan ludah susah payah. Kupikir suami bu Larsih pria setia. Kutatap bu Larsih beberapa saat, sebelum aku akhirnya berpamitan. “Nur pergi dulu, Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Jangan lupa nesehatku tadi, Nur.”

 

****

Malam hari, kusiapkan makanan yang sedikit istimewa. Sayur lodeh, sambal, telur dadar. dan ikan asin. Ayam peliharaan kami bertelur cukup banyak. Kuambil tiga butir untuk makan malam spesial kami. Semoga saja induk ayamnya tidak mencari-cari telurnya yang hilang tiga.

Mas Bram sudah mengirim pesan jika suamiku itu akan pulang. Jantungku berdetak kencang. Setelah tiga hari aku tidak melihat wajahnya, sebentar lagi aku akan melihat wajah pria kesayanganku itu.

Kubenahi jilbab coklat yang membungkus kepalaku. Kuambil lipstik, kemudian kuoleskan tipis di kedua belah bibirku. Aku ingin terlihat cantik di mata suamiku. Kutatap pantulan wajahku dari dalam kaca lemari.

“Nur … Bram pulang!”

Suara keras ibu mas Mas Bram terdengar. Wanita tua itu juga sudah merindukan sang putra. Segera kukembalikan batang lipstik ke atas meja, lalu kuayun kaki keluar dari kamar. Kuusap perutku. “Ayah pulang, Sayang,” kataku memberitahu calon anakku.

Keluar dari dalam kamar, jantungku semakin berdegup kencang. Apalagi ketika aku mendengar suara imamku itu mengucap salam.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam. Bram, oalah Nang. Kamu kenapa kok ndak pulang sampai tiga hari? Kata Nur kamu cuma luka kecil. Mak khawatir.”

Kudengar suara ibu mertuaku menyambut sang putra. Segera kupercepat sedikit langkah kakinya. Kupegangi perut buncitku, khawatir anakku di dalam sana akan terganggu karena goncangan yang timbul.

“Mas Bram.” Kupanggil suamiku yang sedang memeluk ibunya. Dua detik kemudian, tatapan kami terpaut. Kubalas senyum pria yang sedang menatapku itu. Kuhembuskan napas lega melihat kondisinya baik-baik saja. Aku sungguh takut melihat jika ternyata suamiku terluka parah.

“Maaf, Mas ndak bisa pulang tiga hari kemarin, Dek.”

“Ya ndak apa-apa, Bram. Kan kamu dirawat di rumah sakit,” ujar ibu Mas Bram yang kubenarkan dengan anggukan kepala.

“Iya, Mas kan kena musibah. Mana yang luka, Mas?’” tanyaku setelah berdiri di depan suamiku dan ibunya. Mas Bram tidak menjawab. Suamiku itu justru melangkah menghampiriku, lalu memelukku sesesat. Setelah memelukku, mas Bram mengecup keningku, lalu membungkuk untuk mengecup puncak perutku.

“Ayo, masuk dulu. Nur, suamimu pasti sudah lapar. Hangatkan sayurnya dulu, Nduk.”

“Iya, Mak,” sahutku sambil mengangguk. “Ayo Mas, masuk,” ajakku. Kuraih sebelah lengan suamiku, lalu kupeluk manja. Kami melangkah bersama masuk ke dalam rumah.

Mas Bram langsung kubawa ke meja makan kami. Seperti kata ibu mas Bram, segera kuhangatkan sayur lodeh yang kumasak tadi, sebelum kemudian kuhidangkan di atas meja.

“Wah … masak besar,” kata mas Bram setelah melihat apa yang terhidang di atas meja.

“Si blorok bertelur. Ada sembilan ya, Nur?”

“Iya, Mak,” jawabku membenarkan. Kulihat mas Bram mengangguk-anggukkan kepala. Segera kuambil piring kosong, kemudian mengisinya. Sayur lodeh itu kesukaan suamiku. Aku juga menggoreng beberapa ikan asin sebagai pelengkap sayur lodeh.

“Makan dulu, Mas,” kataku setelah meletakkan piring yang sudah berisi makanan ke depan suamiku.

“Terima kasih, Cantiknya Mas. Kamu cantik sekali malam ini, Dek,” puji mas Bram membuatku tersipu.

“Kalau Nur ndak cantik, ndak mungkin kamu minta dia dari orang tuanya, Bram,” kata ibu mas Bram yang membuat suamiku terkekeh sambil mengangguk membenarkan.

Kuambil piring kosong lainnya, lalu kuisi dengan porsi yang tidak terlalu banyak, kemudian kuletakkan di depan ibu mas Bram.

“Terima kasih, Nduk Nur,” kata ibu mertuaku sambil tersenyum.

Setelah melayani suami dan ibu mertuaku, aku baru mengisi piringku sendiri. Kami bertiga kemudian makan tanpa suara. Sampai kemudian makan kami habis, dan mas Bram beranjak untuk membersihkan diri. 

Aku mengerjap saat menyadari sesuatu. Kemeja yang mas Bram pakai, aku belum pernah melihatnya. Apa mas Bram sempat membeli baju saat di rumah sakit? Tapi, kenapa kain itu terlihat seperti bukan kain baru?

Kuhembuskan napas seraya membuang pikiran-pikiran buruk ketika kalimat-kalimat penuh bisa bu Larsih, dan mbak Sri kembali terngiang. Aku segera beranjak untuk membersihkan meja.

“Mak ke kamar dulu, Nur. Mau istirahat.”

“Iya, Mak.”

Setelah membersihkan meja dan dapur, aku pergi ke kamar. Akan kutunggu suamiku di kamar kami.

 

****

Beberapa puluh menit berlalu.

 

“Dek.”

Aku tersenyum. “Sudah selesai?” tanyaku melihat mas Bram berjalan masuk ke dalam kamar kami dengan wajah segar. Suamiku itu sudah memakai kaos oblong warna putih, serta celana training warna hitam.

Aku berdehem hingga bola mata mas Bram bergerak ke arahku.

“Ada apa, Dek?”

“Mana yang luka, Mas?” tanyaku sambil menyisir tubuh suamiku dari atas hingga bawah. Aku tidak melihat sedikitpun bekas luka di tubuh suamiku. Suamiku itu juga belum menjawab pertanyaan yang sama--yang kulempar saat ia pulang tadi. 

Apa mungkin luka suamiku tertutup pakaian yang membalut tubuhnya? Namun, aku juga tidak melihat gelagat mas Bram kesakitan.

 

 

 

#####

BAB 7.

 

“Mana luka Mas? Aku mau melihatnya.” Kuulang pertanyaan yang belum mas Bram jawab. Jantungku sudah mulai berdetak kencang. Apalagi saat kulihat mas Bram memutus pautan mata kami, kemudian pria tampanku itu memalingkan wajah dariku. Apa mungkin mas Bram menyembunyikan sesuatu dariku?

Aku sudah berusaha membuang jauh pikiran-pikiran negatif yang muncul karena cerita bu Larsih dan mbak Sri. Juga sudah coba membuang jauh perkataan teman-teman mas Mas. Aku percaya pada suamiku. Seribu persen, dan aku berharap tidak salah menilai pria yang kucintai sepenuh hati ini.

Namun, melihat gelagat mencurigakan mas Bram, aku jadi takut. 

“Mas.”

“Kenapa? Kamu ndak percaya kalau Mas dapat musibah, Dek?”

Suara mas Bram terdengar bergetar. Aku beranjak dari tepi ranjang. Kuayun kaki mendekati mas Bram.

“Di dunia ini, ndak ada orang yang Nur percaya lebih dari Mas,” kataku. Kukuatkan hatiku. Kali ini aku benar-benar ingin tahu. Aku tidak akan tenang dengan banyak pikiran buruk di kepalaku, jika aku tidak bisa mendapatkan kebenaran dari mas Bram.

Mas Bram menoleh, lalu tatapan kami bertemu.

“Mas ndak tahu. Beberapa malam ini aku ndak bisa tidur. Kepikiran Mas terus. Bagaimana kondisi Mas? Kenapa ndak pulang kalau lukanya cuma kecil? Apa ada musibah lain yang menimpa Mas? Apa salah Mas, kalau aku ingin memastikan suamiku benar baik-baik saja? Aku khawatir. Aku juga takut.”

Langkahku terdorong ke belakang ketika tiba-tiba mas Bram melangkah lalu memelukku.

“Maaf. Maafkan Mas sudah membuatku kepikiran.”

Aku diam. Bukan permintaan maaf yang saat ini aku butuhkan. Yang kubutuhkan adalah penjelasan dan bukti jika mas Bram memang terluka. Supaya semua pikiran buruk yang masih bersarang di kepalaku ini pergi. Hilang. Supaya aku bisa tenang.

“Lukaku di kaki, Dek.”

Kuangkat wajahku dari dada suamiku. Kutatap mas Bram yang sudah menurunkan pandangan matanya. 

“Kaki?” tanyaku mengulang kata mas Bram. Kulihat mas Bram mengangguk.

“Biar aku lihat. Apa sudah sembuh sekarang?”

“Sudah jauh lebih baik kok, Dek. Belum sembuh, tapi, sudah tidak sesakit pas habis jatuh.”

“Memangnya Mas jatuh di mana?” cecarku yang masih belum puas mendengar jawaban mas Bram.

“Ya di jalan, Dek.”

“Jatuh dari motor?” tanyaku dengan mata yang sudah terbuka lebar. Kulihat mas Bram mengangguk membenarkan. “Kok bisa, Mas?”

“Ya bisa, Dek. Namanya juga nasib. Musibah bisa datang kapan saja. Ndak cuma pas di jalan. Orang lagi makan saja bisa kesedak trus mati, Dek.”

Aku mengedip mendengar kalimat mas Bram. Aku tahu. Manusia tidak bisa menolak musibah. Kapanpun, dan dimanapun. Hanya saja ….

“Kok aku lihat motor Mas ndak ada yang rusak?” tanyaku. Aku jelas melihat motor suamiku itu baik-baik saja. Tidak ada perbedaan dari saat mas Bram terakhir keluar rumah untuk mengaji di kota. Aku bahkan yakin tidak ada goresan baru sedikitpun.

Mas Bram berdehem lalu melepas pautan mata kami. Kutatap suamiku menuntut jawaban darinya.

“Ya itu … karena aku khawatir motor rusak, makanya malah kakiku yang luka,” sahut mas Bram sambil menarik lepas kedua tangannya dari tubuhku. Sekarang mas Bram sudah tidak lagi memelukku.

Kuturunkan pandangan mataku ke arah kaki suamiku. “Besok lagi jangan begitu. Mending motornya yang rusak, daripada Mas yang sakit. Motor rusak bisa diperbaiki. Kalau pun harus ganti onderdil, bisa beli. Tapi, kalau badan Mas yang rusak, mau beli onderdil juga ndak ada. Gusti Allah ndak jual onderdil manusia, Mas.” Kuhembuskan napas kasar. Bisa-bisanya mengorbankan tubuh demi motornya. Bukankah itu konyol? Sekalipun sama-sama akan mengeluarkan uang, aku lebih ikhlas mengeluarkan uang untuk perbaikan motor dibanding pengobatan suamiku.

“Eh, mau apa, Dek?” tanya mas Bram saat aku berusaha untuk berjongkok.

Kuangkat kepalaku. “Mau lihat luka di kaki mas Bram,” jawabku.

“Ya, Allah, Dek. Ayo bangun.”

Mas Bram menarik kedua bahuku hingga aku kembali berdiri.

“Kamu itu sedang hamil. Perutmu sebesar ini. Pasti susah kalau jongkok.”

“Ya memang susah, Mas. Tapi, bukan berarti ndak bisa. Bisa, kok. Kan kalau buang air juga jongkok,” jawabku sambil kutatap sepasang mata suamiku. Jangan membayangkan kloset duduk. Di kampung tidak ada kloset duduk. Yang ada kloset jongkok. Bahkan masih banyak yang pakai jamban.

Ya begitulah. Perekonomian warga yang kebanyakan hanya petani, tidak mendukung untuk kami bisa hidup dengan fasilitas seperti yang dimiliki orang-orang yang tinggal di kota dengan ekonomi bagus.

“Ayo, sini kalau mau lihat.”

Kutatap suamiku sebelum kuayun kaki bersama suamiku. Mas Bram mendudukkanku di tepi ranjang, lalu mas Bram mengangkat kaki kirinya. Menumpu ke tepi ranjang, kemudian menarik ke atas ujung bawah celana trainingnya.

Aku mengerjap melihat kain kasa melilit betis suamiku. Penasaran ingin melihat seperti apa luka suamiku, refleks kuulurkan tangan untuk menyentuh kain kasa tersebut.

“Sudah, Dek. Apa kamu masih ndak percaya kalau kaki suamimu ini terluka? Masih mau dibuka?”

Gerakan tanganku berhenti mendengar kalimat panjang mas Bram. Aku mengerjap.

“Kenapa kesannya kamu curiga sama Mas?”

Segera kutarik kembali tanganku. Kumasukkan sebanyak mungkin oksigen masuk melalui celah mulut, ketika kurasakan paru-paruku menyempit. Kuangkah kepala ketika mendengar suara decakan mas Bram.

“Mau Mas buka perbannya?” tanya mas Bram sambil menatapku dengan sorot mata terluka.

Kugelengkan kepala lalu kembali kuturunkan pandangan mataku ke arah kaki mas Bram yang diperban. Kudengar mas Bram mendesah.

“Sekarang, ayo tidur. Kamu pasti capek seharian kerja.” Mas Bram menurunkan kembali ujung bawah celana trainingnya. Akhirnya aku naik ke ranjang. Kugeser tubuhku untuk memberi ruang mas Bram berbaring di sampingku.

“Miring ke kanan, Dek.” Mas Bram mengingatkan.

Kuikuti perkatakan mas Bram, berbaring miring ke kanan. Kuganjal perut besarku dengan guling. Tak lama kemudian, kurasakan tangan mas Bram di perutku. Telapak tangan besarnya mengusap pelan perut besarku.

“Berapa lama lagi anak kita lahir, Dek?”

“Dua bulan lagi, Mas.”

“Menurutmu dia laki-laki atau perempuan?”

“Aku tidak tahu, Mas,” jawabku. 

Aku periksa kehamilan hanya di bidan. Tidak ada peralatan canggih yang bisa digunakan untuk melihat jenis kelamin bayiku. Para perempuan di kampungku terbiasa melahirkan dengan bidan. Bahkan masih ada yang berani melahirkan dengan bantuan dukun beranak. Yah, kembali lagi masalah ekonomi. Periksa kehamilan di rumah sakit, selain lokasinya yang jauh, juga biayanya tidak murah.

Memang pemerintah sudah memberikan program BPJS, namun lagi-lagi kondisi ekonomi yang kurang baik, membuat sedikit dari kami yang bisa membayar iuran BPJS. Kebanyakan lebih memilih menggunakan uang yang mungkin orang kota anggap tidak seberapa besar itu, untuk membeli beras. Pemerataan ekonomi di negara kita memang masih belum merata.

Sebelum menikah dengan mas Bram, tadinya aku ingin menjadi guru. Aku suka mengajar anak-anak kecil. Selain itu juga karena ingin menjadi PNS. Demi kesejahteraan hidup ke depan. Akan tetapi, takdir berkata lain. Aku menikah dengan mas Bram dan harus mengubur mimpiku itu.

“Sudah tidur, Dek?” Kurasakan kecupan mas Bram di tengkukku. Membuat bulu kudukku merinding.

“Belum.”

“Bu Bidan kemarin bilang kita masih boleh hubungan badan asal tidak sering, kan?” tanya Mas Bram yang detik berikutnya kembali membuat bulu kudukku meremang.

Kutelan saliva merasakan sesuatu yang mulai bergolak. “Iya.”

“Mas pengin, Dek.”

 

 

 

#####

BAB 8.

 

Kutatap wajah tenang suamiku yang masih memejamkan mata. Pukul dua pagi aku terbangun untuk yang kedua kali lantaran kandung kemih yang terasa penuh. Akhirnya semalam kami memadu kasih. Selama masa kehamilan, kami memang jarang berhubungan badan. Mengikuti saran dari bu bidan. Makanya waktu mas Bram minta, aku tidak kuasa menolak. Selain karena takut dosa menolak keinginan suami yang satu itu, juga karena memang sudah cukup lama kami tidak melakukannya.

Dari yang aku pahami, libido seorang pria jauh lebih besar dibanding perempuan. Memang ada juga perempuan yang memiliki libido tinggi, namun setahuku itu hanya terjadi pada sedikit kasus. 

Orang tua menasehati agar kami para istri tidak menolak setiap saat suami meminta hak untuk melampiaskan syahwatnya. Tujuannya adalah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Kecuali jika ada udzur, baru boleh menolak. Itu pun harus dengan cara yang halus. Misalnya sedang menstruasi, atau sedang sakit. Kita boleh menolak dengan bicara lembut.

Katanya, laki-laki kalau syahwatnya tidak terpuaskan di rumah karena istri yang tidak mau memberikan hak suami, maka suami akan mencari kepuasan di luar rumah. Hal yang seringkali dijadikan alasan para suami selingkuh. Aku tidak mau itu.

Kutarik napas pelan. Suamiku … tampan di mataku.

Puas menatap wajah mas Bram, kurubah posisi tidurku, miring ke kanan. Perut yang semakin menggunung membuat sulit mencari posisi tidur yang nyaman. Meskipun begitu, aku menikmati proses kehamilanku. Sebentar lagi aku menjadi seorang ibu. Status yang akan membuatku merasa lengkap sebagai seorang wanita. Istri sekaligus ibu. Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan bayi lucu yang sebentar lagi akan menemani hari-hariku.

“Tidur lagi, Dek. Masih terlalu pagi buat bangun.”

Aku reflek menoleh. “Loh, kok bangun?” tanyaku merasakan tangan mas Bram menyusup ke bawah tanganku, lalu mengusap perutku.

“Tadi aku mimpi tidur ditatap bidadari surga,” kata mas Bram yang membuat sepasang mataku membesar, lalu detik berikutnya aku tertawa.

“Jadi, dari tadi Mas sudah bangun?” tanyaku yang sudah kembali berbalik—miring menghadap suamiku. Melihat anggukan kepala mas Bram, kupukul tangan suamiku. “Kok diam saja,” keluhku. Padahal cukup lama aku menatap wajah suamiku tadi. “Mas bikin Adek malu.”

“Kenapa harus malu? Justru Mas senang dipandangi Adek seperti tadi. Rasanya itu seperti menjadi pria paling tampan di muka bumi. Dikagumi oleh bidadari surga yang turun ke bumi.”

Aku kembali tertawa. “Mas bisa saja. Jangan keseringan ngegombal, Mas. Adek takut ndak kuat.” Kutatap lekat sepasang mata suamiku. Senyum masih bertahan di bibirku.

“Kamu itu memang seperti bidadari surga, Dek. Ndak cuma parasmu yang cantik, tapi, hatimu juga cantik dan lembut,” puji mas Bram. Mas Bram tersenyum. Tangannya bergerak, mengusan pelan pipiku, sebelum kemudian mas Bram mengecup cepat puncak hidungku, lalu bibirku.

“Memujinya jangan kebangetan. Adek takut melayang ketinggian. Kalau jatuh, sakit, Mas.”

Aku tersenyum melihat mas Bram tertawa. Kutatap lebih lekat pria ini. kutarik napas panjang. Malam ini kami tertawa, entah esok hari. Aku berharap rumah tanggaku dan mas Bram hanya akan terisi oleh tawa. Sekalipun kami tidak punya uang.

“Ayo, tidur lagi. Besok Mas harus berangkat kerja.”

Mas Bram mengecup keningku sebelum membantuku mendapatkan posisi tidur yang nyaman. Mengganjal perutku dengan bantal. Aku terlelap kembali dalam rengkuhan tangan suamiku.

 

****

Pagi hari, seperti biasa aku bangun sebelum subuh. Apalagi mengingat semalam aku dan mas Bram memadu kasih. Aku bangun lebih pagi dari biasanya untuk membersihkan tubuh. Mandi besar sebelum sholat tahajud. Sholat di sepertiga malam terakhir, saat yang paling kusuka untuk bercerita pada penciptaku. Kuceritakan semua yang terjadi padaku. Kebahagiaan, maupun kegundahanku.

Mas Bram bangun tak lama setelah aku selesai sholat tahajud. Aku sedang melipat mukena ketika suamiku itu turun dari ranjang.

“Dek, Mas mau mandi dulu.”

Kuanggukkan kepala. Beranjak berdiri, kuperhatikan pergerakan suamiku mengambil pakaian ganti, lalu keluar dari kamar kami. Aku tersenyum mengingat malam kami. Perlakuan lembut dan hangat suamiku. Kulangkah kaki begitu pintu kamar kembali tertutup. Akan kusiapkan pakaian untuk suamiku kerja nanti.

Langkah kakiku menuju lemari memelan saat aku mendengar suara. Menoleh, kulihat ponsel milik mas Bram yang masih dicharge di atas meja menyala. Aku sudah akan mengayun kembali kedua kakiku ketika suara mbak Sri terdengar berbisik di telingaku.

“Cek hape suamimu, Nur. Pastikan ndak ada pesan aneh, atau nomor kontak yang mencurigakan.”

Aku mengerjap. Kepalaku dengan sendirinya berputar ke arah ponsel itu. kutarik napas pelan namun panjang. Kulirik pintu kamar yang masih tertutup.

“Bram sedang mandi, ndak mungkin dia kembali ke kamar dalam waktu cepat. Apalagi dia mandi besar.” Aku mendengar suara bisikan di telingaku.

Aku masih bimbang antara akan mengikuti bisikan-bisikan itu, atau melanjutkan rencanaku menyiapkan pakaian kerja mas Bram. Mengingat kemeja yang mas Bram saat pulang tadi--yang asing bagiku, tiba-tiba aku ragu melangkahkan kaki ke arah lemari. Langkahku berbelok, lalu aku berjalan ke arah meja kecil tempat kami meletakkan ponsel.

Jantungku berdegup kencang seiring dengan ayunan kaki yang semakin mendekati meja. Apalagi saat aku sudah benar-benar tiba di depan meja. Rasanya jantungku semakin tidak terkendali. Ada rasa takut, namun rasa penasaran juga begitu besar. 

Kulihat pintu yang masih tertutup. Kurasa aku hanya perlu melihat sekilas kontak di aplikasi berkirim pesan mas Bram, untuk melegakan perasaanku. Supaya setelah ini tidak ada lagi ganjalan dan pikiran yang aneh-aneh.

Kuanggukkan kepala untuk meyakinkan diriku sendiri, sebelum akhirnya aku memberanikan diri mengambil ponsel milik mas Bram. Ini pertama kalinya aku melakukannya. Selama tiga tahun menikah, tidak pernah sekali pun aku memeriksa isi ponsel suamiku. Rasanya seperti aku tidak mempercayai suami sendiri.

Dan sekarang jelas sekali aku sedang meragukan suamiku dengan coba memeriksa isi ponsel mas Bram. Kuatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Berharap bisa menenangkan degup jantung yang menggila. Rasanya seperti sedang dikejar hantu. Adrenalinku terpacu. Kulihat lagi pintu yang masih tertutup.

Segera kunyalakan layar ponsel yang sudah gelap. Suara tadi bukanlah suara panggilan masuk. Hanya suara notifikasi. Kutatap layar ponsel yang kini sudah menyala. Kuhembuskan napas melihat foto pernikahan kami yang terpampang. Sedikit perasaan lega menyusup ke dalam hati. Namun, rasa penasaran lain masih begitu besar hingga kuberanikan untuk mulai menggulir layar.

Terkunci!

Aku mengedip kala tidak berhasil membuka kuncian. Kucoba mengingat-ingat saat aku pernah melihat mas Bram bermain ponsel. Aku yakin saat ini keningku pasti sudah berkerut kala aku sedang berusaha keras mengingat gerakan tangan mas Bram.

Kucoba sekali. Gagal! Kucoba lagi. Masih gagal. Aku mendesah. Aku sudah hampir menyerah saat jariku kembali bergerak—mencoba pattern lain untuk membuka layar ponsel di tanganku.

Sepasang mataku terbuka lebar. Berhasil. Kebulatkan mulut untuk menghembus keluar karbondioksida. Segera kugulir layar. Kucari aplikasi berkirim pesan. Ketemu. Segera kubuka aplikasi berkirim pesan dengan detak jantung yang sudah kembali menggila. Dalam hati aku berdoa, jangan sampai apa yang aku khawatirkan terjadi. Jangan sampai.

Kuperhatikan deretan nama yang berhubungan dengan mas Bram melalui pesan. Perhatianku tertuju pada nama paling atas yang memperlihatkan ada satu pesan yang belum terbuka. Bukan karena ada satu pesan yang belum terbuka itu aku penasaran, namun lebih karena nama kontaknya.

“Adinda?” gumamku. {Mas, besok Rava sudah boleh keluar rumah sakit}

‘CEKLEK!’ Aku mendengar suara pintu terbuka. Namun, perhatianku masih tertuju pada satu pesan dari seseorang bernama 'Adinda.'

“Dek? Kamu lagi ngapain?"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Setiap Bulan Gaji Suamiku Hilang (Bab 9-12)
0
0
Selamat Membaca Bab 9-12. Bab 9.Aku merasakan jantungku berdegup sangat kencang, dan napasku memburu. Kuremas telapak tangan kiriku, sementara tangan kananku masih memegang ponsel milik mas Bram.“Dek, ada apa?”Aku mendengar pertanyaan mas Bram. Aku juga mendengar suara pintu tertutup, lalu suara langkah kaki semakin dekat. Namun, kepalaku seakan terpaku. Tidak bisa kugerakkan. Bola mataku enggan meninggalkan layar ponsel mas Bram yang masih memperlihatkan room chat beberapa orang.“Dek.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan