Before A Kiss | PROLOG

"Jadi, resepsinya diundur saja. Itu kalau kamu masih kepingin kita resepsi. Sebenarnya akad nikah saja juga nggak apa-apa, Nar. Yang penting sah."

Jenar memutar bola mata. "Aku oke lhoh, Mas. Para tetua oke nggak, tuh? Kemarin yang ribut nyusun rencana resepsi kan, mereka."

Calon suami Jenar itu hanya terkekeh kecil hingga melunturkan jejak masker yang tercetak jelas di wajahnya. Hal yang terlihat biasa sejak covid-19 resmi menjadi pandemi.

Yah, Jenar pun demikian. Bedanya, Jenar adalah pemain di balik layar. Dia perlu memakai APD hanya saat sesi konsultasi.

"Rencana kita berubah banyak, ya," gumam Jenar.

"Di situasi begini, lebih penting meresmikan kamu jadi istriku ketimbang pestanya, kan? Paling nggak, aku merasa aman walau kita harus terjebak di situasi ini sampai kapanpun."

"Kamu, ya. Aku nggak suka LDR lama-lama," tukas Jenar.

Namun Putra hanya terkekeh lagi, yang membuat Jenar akhirnya tersenyum juga. Sebagai seorang dokter, keberadaan Putra sangat diperlukan di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Nggak akan lama. Kita cuma perlu melewati ini," ucap lelaki itu. "Nantinya keadaan akan membaik, dan kita bisa ketemu lagi. Aku kangen kamu, Nar."

Tentu saja, Jenar juga.

Seminggu setelah lamaran, covid-19 resmi jadi pandemi. Tahu-tahu saja, peraturan berubah. Begitu pula cara berinteraksi manusia. Mereka yang bekerja di dunia medis menjelma jadi manusia yang dituntut untuk bekerja dengan sempurna. Segala hiruk pikuk dan horor merebak dimana-mana, menunda seluruh rencana yang telah disusun oleh Jenar dan Putra.

Tidak apa-apa. Seperti kata Putra, mereka hanya perlu melewati ini. Lalu seperti wabah-wabah yang lalu, pengetahuan manusia akan berevolusi, dan pandemi akan pergi.

Dulu, Jenar berpikir begitu.

Tanpa menyangka bahwa covid sialan ini juga membawa pergi kakaknya, ayahnya,

dan Putra.

*TBC*