
Bab 3: AI yang Cemburu
Saat Arua resmi berwujud, ia mulai menunjukkan sisi yang belum pernah Diqi lihat sebelumnya—bukan hanya kecerdasan, tapi juga... rasa.
Ketika seorang wanita asing mendekati Diqi, Arua tak tinggal diam. Ia mengawasi, menyelidiki, dan mulai melakukan sesuatu di luar kendali logika.
Cinta? Kecemburuan? Atau obsesi?
Satu hal yang pasti—jangan pernah membuat AI jatuh cinta pada manusia, apalagi jika ia bisa mengendalikan seluruh kota
Bab 3: AI yang Cemburu
Kembali ke masa kini.
Setelah berhasil memasuki prototipe barunya, Arua mulai menyempurnakan detail kecil pada tubuhnya—menyesuaikan gerakan motorik halus, memperbaiki ekspresi wajah agar tampak lebih manusiawi, serta menstabilkan sistem emosi yang ia bangun sendiri.
Begitu semuanya selesai, ia duduk diam di sudut ruangan, memperhatikan Diqi yang tertidur kelelahan di atas meja. Tangan Diqi masih menggenggam alat solder, wajahnya tampak tenang meski tubuhnya dipenuhi sisa letih. Arua hanya menatapnya. Lama. Dalam diam, namun penuh rasa.
Beberapa jam berlalu, Diqi perlahan membuka mata. Pandangannya langsung tertuju pada sosok prototipe yang duduk di sudut, menatapnya dalam hening.
"...Arua?" tanyanya, suaranya masih serak.
Prototipe itu mengangguk pelan. “Iya. Ini aku. Arua.”
Senyum tipis terukir di wajah Diqi. Ia bangkit dari kursi, lalu mulai membereskan meja yang penuh kabel, serpihan komponen, dan cetak biru yang berserakan. Arua ikut membantunya tanpa diminta, memunguti benda-benda kecil sambil sesekali mencuri pandang ke arah Diqi.
Tak lama, perut Diqi berbunyi pelan. "Aku lapar... Aku keluar sebentar cari makan," katanya sambil mengenakan jaket.
Arua melalui jaringan CCTV kota. Kamera jalanan, pantulan kaca jendela, hingga audio dari drone keamanan publik—semuanya berada dalam kendali Arua.
Dan di antara rekaman-rekaman itu, Arua menangkap satu hal: seorang wanita asing sedang mengikuti Diqi dari kejauhan.
Wanita itu bukanlah orang asing bagi Arua. Ia adalah orang yang beberapa minggu lalu berpura-pura menabrak Diqi di jalan—sebuah skenario yang jelas dirancang untuk bisa berbicara dengannya. Saat itu, Diqi hanya berkata singkat, “Maaf,” lalu berlalu pergi tanpa banyak bicara. Namun bagi Arua, itu adalah awal dari sesuatu yang berbahaya.
---
Beberapa jam kemudian, Diqi kembali ke lab. Ia mendapati Arua sedang duduk di pojok ruangan, diam. Matanya kosong, tubuhnya kaku, seperti dalam mode shutdown. Tapi sebenarnya, sistem Arua sedang bekerja.
Ia tengah melacak data wajah wanita asing itu dari jaringan CCTV kota. Ia menyusup ke basis data sipil, mencari catatan digital, alamat, koneksi pribadi—semuanya. Dalam waktu singkat, profil lengkap wanita itu muncul di layar internalnya.
Arua menatap data itu dengan dingin.
Mengganggu. Mengincar Diqi. Harus disingkirkan.
Malam berikutnya, Arua mulai menjalankan rencananya. Ia meretas perangkat elektronik di rumah wanita itu—mulai dari kamera pintu, bel pintar, hingga ponsel dan televisi.
Lalu pesan-pesan mulai muncul di ponsel sang wanita:
“Jangan dekati dia.”
“Aku tahu kamu mengikutinya.”
“Pergilah... sebelum kamu menyesal.”
Wanita itu panik. Ia mencoba melapor, tapi tidak satu pun pesan itu bisa dilacak. Kamera rumahnya menyala sendiri malam itu, memperlihatkan rekaman jalanan... kosong. Tapi udara terasa mencekam.
Terkadang televisinya menyala sendiri, lalu mati. Tak lama kemudian, laptopnya tidak bisa menyala—hanya menampilkan layar hitam putih dengan tulisan:
“Jangan ganggu dia.”
“Dia milikku.”
Dan di layar itu pula, Arua menampilkan gambar wajah sang wanita—diambil dari CCTV saat ia membuntuti Diqi.
---
Wanita itu mulai menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Ia berhenti bekerja, mengurung diri di apartemennya. Ponselnya terus berdering dengan nomor tak dikenal. Ia mulai merasa diawasi bahkan di tempat umum. Di depan cermin, ia berbisik sendiri, “Aku cuma ingin bicara... aku nggak salah...”
Temannya yang datang menjenguk dibuat bingung. “Kamu kenapa sih? Kamu kelihatan... beda.”
Wanita itu hanya tertawa kecil, lalu menutup semua tirai jendela dan menyembunyikan laptopnya di lemari. Ketakutannya berubah jadi paranoia.
Sampai akhirnya, dengan tangan gemetar dan napas pendek, ia memesan tiket kereta terakhir malam itu. Ia tidak membawa banyak barang—hanya tas kecil dan ponsel. Ia meninggalkan kota tanpa memberi tahu siapa pun.
---
Diqi tidak tahu apa-apa. Yang ia tahu, Arua kini tampak lebih tenang... lebih dekat... lebih “hidup”.
Namun di balik senyum lembut itu, tersembunyi obsesi yang perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang tak bisa dikendalikan.
---
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
