Bab 1 Joni dan Bu Mira

0
0
Deskripsi

Berawal dari sebuah pertemuan tak sengaja antara Joni dan guru cantiknya, Bu Mira, yang nantinya akan berujung dengan suatu hal yang tak pernah mereka duga

“Hahaha ... Joni, Bro, namanya.”

Seorang pria tertawa terbahak-bahak. Ah, tidak. Lebih tepatnya menertawakan seorang pria lain yang berada di hadapannya. Beberapa pria yang ada di sekitarnya juga ikut tertawa.

“Memangnya kenapa?” tanya seorang pria yang bernama Joni itu.

“Hahaha ... Gak apa-apa, Bro. Kayak nama titid aja nama lo,” ucap pria itu.

Sebuah tatapan tajam langsung ditunjukkan oleh orang yang bernama Joni itu. Ia terlihat sangat marah. Marah semarah-marahnya.

“Apa lo bilang? Ha?”

“Bercanda, Bro. Jangan marah gitu, lah.”

“Gak ada bercanda-bercandaan. Gue serius.”

Tak banyak bicara lagi, Joni langsung mendaratkan sebuah pukulan telak ke arah wajah pria itu. Dan setelah itulah sebuah perkelahian terjadi. Hingga ketika belum ada yang menang dan yang kalah, datanglah seorang guru muda nan cantik untuk melerai mereka. Dan itulah awal pertemuan antara Joni dengan Bu guru mudanya yang nantinya ia kenal dengan nama Bu Miranda.

Ketika dilerai, ada satu kata-kata yang sangat keren, yang diucapkan oleh Joni. Itu adalah sebuah kata-kata yang berisi tentang alasan kenapa dia sampai marah dan berkelahi seperti itu.

“Dia menghina namaku, Bu. Nama pemberian orang tuaku dihina. Itu sama saja dengan menghina orang tuaku. Aku tidak terima.”

Itulah Joni. Biar bagaimanapun juga, itu adalah kejadian beberapa tahun yang lalu. Ya, kejadian itu sudah terjadi sangat lama, tepatnya ketika ia baru memasuki masa orientasi siswa di SMA. Memang, di usia segitu pasti emosinya masih labil, termasuk juga Joni.

Dan kini, lelaki bernama Joni itu sudah tumbuh menjadi lelaki yang dewasa. Kini ia adalah perjaka berusia 22 tahun yang bekerja sebagai satpam di sebuah bank. Memang ini bukanlah pekerjaan yang berpangkat tinggi, dan gajinya pun bisa dibilang pas-pasan. Tapi setidaknya, ia punya pekerjaan.

“Hahaha ... Seandainya dulu aku lebih serius belajar dan gak sering tinggal kelas, sudah bisa jadi presiden kali ya, sekarang,” ucap Joni.

“Huff ... Gak apa-apalah. Gak ada gunanya menyesal. Lebih baik disyukuri,” lanjutnya.

Malam ini, sekitar pukul 11, dia baru saja pulang dari kerjanya. Lebih tepatnya baru saja akan pulang, karena kini dirinya memang masih berada di depan bank tempat dia bekerja. Seperti biasa, ia berangkat dan pulang dengan mengendarai motor bututnya.

Malam ini, waktu sudah cukup larut. Jalanan kota pun nampak sangat sepi. Ditambah lagi dengan gelapnya malam yang sesekali diiringi dengan gelegar sang petir yang membuat rasa tenang Joni sedikit menghilang. Ya, bahkan seorang lelaki kuat seperti Joni pun masih bisa merasakan takut akan gelapnya sang malam.

Perjalanan itupun ia tempuh dengan diiringi oleh suara lagu yang keluar dari mulutnya sendiri. Ya, ia menyanyi. Setidaknya dengan begitu, ia bisa mengobati kesunyiannya.

Hingga tiba lah dirinya di suatu tempat. Sebuah tempat yang menghadirkan rasa penasaran untuknya. Bukan masalah sepinya ataupun cerita menyeramkan yang ada di tempat tersebut, melainkan karena kini ia melihat seorang wanita yang berjalan sendirian menembus gelapnya malam di tempat tersebut. Itulah yang membuatnya penasaran.

“Kuntilanak?” tanya Joni pada dirinya sendiri.

“Ah, tidak. Mana ada kuntilanak yang bajunya ada motifnya kayak gitu. Setahuku kuntilanak Cuma pakai daster putih atau kalau nggak ya merah,” batinnya.

“Hahaha ... Wajar juga, sih. Mungkin dia ekonominya juga pas-pasan sama kayak aku. Jadinya gak bisa beli baju yang lebih bagus.”

“Ah, kenapa malah jadi mikirin kuntilanak, sih? Terus cewek di depan itu siapa? Hantu apa manusia, ya?”

Joni masih bimbang untuk menyalip jalannya wanita yang berada beberapa meter jauhnya dari dia. Anehnya, wanita itu bahkan tak sekali pun menoleh. Padahal bisa dibilang suara mesin motor Joni ini sangatlah berisik. Pastilah akan terdengar oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Ditambah lagi dengan sorot lampu motornya yang harusnya mengundang perhatian orang lain untuk melihat.

“Ah, kalau ingin tahu siapa dia, ya langsung dipastiin aja. Lagian mana mungkin kunilanak bisa jalan kayak manusia,” batin Joni lagi.

Dan itulah keputusan terakhirnya. Ya, ia memilih untuk memastikan tentang siapa perempuan yang sedang berjalan sendirian itu, Namun, ketika ia sudah sampai tepat di samping wanita itu, betapa kagetnya ia.

“Bu Mira,” ucapnya.

Ya, wanita itu ternyata adalah gurunya ketika SMA dulu. Miranda namanya. Guru muda dan tercantik yang pernah ada. Ya kira-kira begitulah yang Joni rasakan.

Dan sekedar info tentang Bu Miranda. Kini dia adalah seorang perempuan yang sudah berusia 25 tahun. Memang, selisih antara usia Joni dengan Bu Mira ini tidak terlalu jauh. Hanya tiga tahun.

“Bu Mira kenapa jalan sendirian di sini?” tanya Joni.

Namun apa yang terjadi? Tak ada respon dari gurunya itu. Bu Mira memang menatapnya. Akan tetapi setelah Joni mengajukan pertanyaan itu, Bu Mira tidak menjawab sama sekali. Malahan yang Joni dapatkan adalah tangisan air mata yang tiba-tiba keluar dari mata guru SMA-nya itu. Joni benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Eh. Bu Mira kenapa nangis?” tanya Joni lagi. Namun tetap tak dijawab.

Hingga kemudian, Joni pun mempunyai pemikiran bahwa telah terjadi hal yang sangat buruk kepada gurunya ini. Ia pun berinisiatif untuk mengantarkan gurunya pulang ke rumah. Kebetulan ia memang masih ingat letak rumah Bu Mira. Ya, dulu ia juga pernah berkunjung ke sana.

“Aku gak tahu apa yang udah terjadi sama Bu Mira. Tapi sebaiknya aku anterin Bu Mira pulang dulu. Bahaya, ini sudah larut malam,” kata Joni.

Bu Mira mengangguk. Lalu Joni pun mempersilakan gurunya itu untuk naik ke boncengan motornya. Dan ternyata sang guru mau menurutinya.

Selepas itu, perjalanan pun dilanjutkan kembali. Hanya saja kali ini berbeda. Joni tak lagi sendiri. Ia sedang bersama seorang wanita cantik yang diboncengnya. Namun rasanya tetap sama saja. Tak ada sedikitpun perbincangan yang tercipta. Mereka masih sama-sama diam.

Namun kesialan harus datang kepada mereka. Belum juga sampai di tempat tujuan, hujan tiba-tiba turun. Joni bergegas untuk mencari tempat berteduh sebelum hujan semakin deras. Dan ia harus bersyukur, karena tak jauh dari sana, terdapat sebuah pos ronda yang bisa ia gunakan untuk berteduh.

Ia bergegas turun dari motor dan mengajak Bu Mira untuk berteduh di pos ronda tersebut. Di saat itu pula lah, langit benar-benar menghujamkan peluru airnya dengan kekuatan penuh. Beruntungnya Joni dan Miranda sudah mendapatkan tempat berteduh.

“Kamu Joni, ‘kan?”

Ketika Joni fokus melihat hujan turun, tiba-tiba ia mendengar suara dari arah sampingnya. Dan suara itu ternyata keluar dari mulut Bu Mira.

“Eh. Iya, Bu. Akhirnya Bu Mira mau bicara. Hehehe.”

Bu Mira hanya tersenyum. Nampak betul kalau itu adalah senyum yang dipaksakan. Padahal di dalam hatinya, ia sedang menanggung perasaan sedih yang luar biasa.

“Bu Mira kenapa bisa ada di tempat itu sendirian? Dan kenapa Bu Mira menangis?” tanya Joni.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kisah Dua Bersaudara Chapter 3 - Ulah Si Lemah
0
0
Si lemah Candra mulai membuat ulah dengan bertengkar di sekolahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan