Selanjutnya
Wangsa Warih Ningrat- Gemuruh Langit Keraton
Bagian akhir dari cerita Wangsa Warih Ningrat. Berisi 50 halaman sampai tamat. Spoiler : “Sekarang giliranku!” Di bawah barisan awan mendung, tak ada seberkas cahaya yang menyinari bangunan megah yang berdiri di antara tembok-tembok tinggi. Sedari tadi, suara gong menggema, dipukul berkali-kali. Suara gemuruh turut menyertai, ditambah lagi desir angin yang mendayu-dayu.
Suasana keraton semakin mencekam, gelap merajai seluruh wilayah keraton yang behektar-hektar luasnya. Entah sampai kapan kegelapan akan mengepung. Para pekerja sudah berlarian, menatap kilatan petir yang dibawa oleh awan pekat. Bak sebuah payung, menutupi hampir seluruh keraton dengan mendung. “Ayo masuk, sebentar lagi lelembut akan menyergap!” Ketongan dipukul, sorakan antek-antek gusti membuat para pekerja menyudahi tugasnya. Mereka segera berlarian, masuk ke dalam mess tanpa suara. Di sisi lain, Barjo masih terdiam, bersembunyi di sisi pendopo yang dekat dengan keraton utama. Perlahan ia melirik ke arah gerbang tinggi yang menutup akses utama untuk keluar. Sebuah gembok besar masih tertanam pada kerangka besi besar. “Harusnya sebentar lagi penjaga gerbang datang,” ia memicingkan mata sambil mengendap-endap untuk bersembunyi dari seseorang yang ia tunggu-tunggu. “Itu dia!” Barjo berjongkok, sigap menggenggam parang yang ia sembunyikan di balik baju. Menanti saat-saat yang tepat untuk menyerang dua anak buah gusti yang bertugas menjaga gerbang. Ia tak gentar, meski seorang diri, tapi ia adalah orang yang dipercaya oleh Panji. Tekad Barjo tak membuat mentalnya lemah, bagaimana pun keinginan untuk keluar dari sana jauh lebih besar dari pada rasa takutnya. “Kalau Pak Samsudin saja rela menumbalkan nyawa demi menyelamatkan para pekerja, maka aku juga bisa, setidaknya namaku akan dikenang walau berakhir sama!” Dengan gesit, Barjo pun maju, langkahnya begitu teratur. Tangan kanan yang ia simpan segera diangkat bersama parang panjang nan tajam. Ia berhasil mengejutkan kedua anak buah gusti, gejolak amarah yang dirasakan serasi dengan gerak tangan yang hendak menyayatkan tajamnya parang pada kulit mereka. Keduanya berjingkat, berusaha melarikan diri sebelum dilawan oleh Barjo. Namun, kalah lincah dengan Barjo yang berhasil menyayatkan parang tajamnya pada lengan mereka. “Hei, kurang ajar, apa maksudmu melawan kami!” gertak salah seorang dari keduanya, ia gemetar melihat Barjo yang membabi buta, mengejar mereka yang berusaha berpindah tempat dengan cepat. Salah seorang lagi meringis kesakitan, merasakan betapa dalam sayatan itu Barjo berikan. Tubuh-tubuh gempal mereka hendak melawan. Mencoba menyerang dari kedua sisi selagi Barjo lengah. Namun, bukan Barjo namanya kalau tidak lihai menggenggam parang. Seorang pedagang ayam yang menjadi abdi dalem itu sudah berpengalaman menggunakan benda tajam. Jelas, meski tubuh anak buah gusti lebih gempal, tapi gerak mereka lambat. Tak sebanding dengan lincahnya Barjo, taktik yang ia gunakan mampu menguras tenaga lawan. Hingga mereka tampak kewalahan, tak berhasil menangkap Barjo yang melompat ke sana ke mari seperti seekor ayam berlari. Kibatan parang kembali ia tebas, kini mengenai pundak bahkan menjalar ke punggung salah seorang dari mereka. Sontak suara teriakan begitu nyaring, memecah keheningan keraton utama. Sungguh, sebuah parang kematian bagi mereka. Seorang pekerja yang tak tahu-menahu dari mana asalnya mampu melemahkan dua orang utusan gusti sekaligus. Gantari yang tengah menikmati jamuan bersama Bik Asih segera terdongak mendengar teriakan hebat dari luar. “Suara apa itu, Asih?” sambil meletakkan gelas yang ia genggam, kepala Gantari berusaha menyundul untuk memastikan suara yang berasal dari luar. Bik Asih pun mempertanyakan hal yang sama, “Sa--saya nggak tahu, gusti, apa jangan-jangan lelembut Alas Pinggitan sudah mencari tumbal?”sangka Bik Asih kemudian. “Ada benarnya, syukurlah kalau mereka datang lebih cepat, biar ritual ini berjalan lancar.” senyum mematikan tertampil dari wajah menawan milik Gantari. Sebuah hari yang dinanti-nanti telah tiba. Keinginan serta dendamnya akan segera terlaksana. Sudut bibir Gantari tertarik tajam, tatapan menyeramkan bak sebuah elang yang mengintai mangsa.