
Sore Itu Di Lapangan Basket (Part 7)
"Rin, mau kan, anterin aku pulang?"
Mulutku membuka lebar mendengar permintaan Suga. Entah apa yang dilakukan cowok itu di Pantai Batu Bolong, masih mengenakan seragam sekolahnya. Apa dia mengikutiku kemari?
"Motor kamu dimana?" tanyaku dengan penuh kecurigaan.
"Udah di rumah," sahut Suga santai. "Tadi aku ke sini bareng temen tapi sekarang aku nggak tahu dia dimana."
Sore Itu Di Lapangan Basket (Part 7)
"Rin, mau kan, anterin aku pulang?"
Mulutku membuka lebar mendengar permintaan Suga. Entah apa yang dilakukan cowok itu di Pantai Batu Bolong, masih mengenakan seragam sekolahnya. Apa dia mengikutiku kemari?
"Motor kamu dimana?" tanyaku dengan penuh kecurigaan.
"Udah di rumah," sahut Suga santai. "Tadi aku ke sini bareng temen tapi sekarang aku nggak tahu dia dimana."
Aku menyipitkan mata. "Mana ada ceritanya Suga ditinggal temannya?" ujarku sinis.
Suara ombak yang berdebur mengalihkan perhatianku. Aku berbalik dan memandangi ombak yang bergulung-gulung seolah-olah sedang lomba adu cepat sampai di daratan berpasir.
Suga rupanya mengartikan tingkahku ini dengan cara yang tak terduga. Dengan lembut cowok itu meraih tanganku dan mengajakku mendekat ke pantai.
Tetapi serius, aku memang gatal sekali ingin menginjak pasir. Meski itu artinya aku harus melepas sepatuku.
"Mariana masih di cafe," protesku. Namun aku tidak berusaha melepaskan tanganku dari genggaman Suga. Rasanya ajaib sekali bisa berjalan berpegang tangan dengan cowok yang dipuja-puja seluruh cewek di sekolah.
"Memangnya kenapa kalo dia di sini" sergah Suga. "Dia kan tahu kita pacaran."
Aku tidak memberikan respon apapun dan lagi-lagi Suga mencoba menerjemahkan diamku.
"Dan kalo pun dia tahu kita nggak pacaran," katanya. "Aku nggak peduli. Aku udah nggak ada hubungan dengannya dan aku bebas mau ke pantai dengan siapa aja."
Aku seketika menghentikan langkahku. Raut wajah sakit hati yang ditunjukkan Mariana di cafe tadi kembali terbayang. Apa semenyakitkan itu bila orang lain tahu bagaimana masa lalumu?
"Ada apa?" tanya Suga.
"Aku mau pulang aja, Ga," sahutku. "Capek banget. Aku mau istirahat."
"Aku yang bawa motor kamu ya?" Suga menawarkan. Ajaibnya, dia belum melepaskan genggaman tangannya.
Aku hanya mengikuti langkah Suga dan hingga tiba di depan rumahku, aku tidak mengucapkan sepatah katapun.
*****
Sehari setelah bertengkar hebat dengan Mariana, perasaanku sudah jauh lebih baik. Semuanya berkat Vina yang memberikan hiburan.
Aku menceritakan seluruh masa laluku di Surabaya bersama Mariana. Awalnya aku mengira ia akan marah, sebab menyembunyikan kenyataan sebesar ini. Tetapi respon Vina benar-benar di luar dugaan.
"Yang penting kan saat ini," ujarnya. "Meski dulu kamu temenan sama Nicholas Saputra sekali pun aku nggak peduli. Kamu yang saat ini adalah teman terbaikku."
"Nicholas Saputra?" Aku menyipitkan mata.
"Iya, tapi aku tahu sih itu nggak mungkin." Vina lalu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
Ketika Vina menyebut-nyebut soal penampilan SID nanti di pesta perpisahan anak kelas XII, semangatku semakin memuncak. Wajah Mariana yang sedih seketika lenyap. Pikiranku mendadak teralihkan pada baju apa yang akan aku kenakan Sabtu nanti. Hampir semua koleksi di dalam lemari mungilku hanya terdiri atas t-shirt dan jeans. Aku tidak mempunyai baju-baju trendy seperti yang selalu dikenakan Mariana atau cewek-cewek lain yang selevel dengannya.
Aku sempat bertanya pada Vina soal ini dan tentu saja jawabannya pastilah selalu menenangkan hati.
"Aku mau pake yang bikin aku nyaman aja, Rin," katanya. "Buat apa niru gaya orang lain tapi kitanya nggak nyaman!"
Keputusanku sudah bulat. Aku akan mengenakan t-shirt polos berwarna putih yang dulu aku beli saat liburan ke Nusa Penida. Untuk bawahannya, aku memilih jeans warna hitam favoritku.
Pada hari Kamis sore, aku bersama Vina menyempatkan diri ke sekolah untuk melihat persiapan pesta perpisahan. Ini sih idenya Vina. Aku tahu, sebenarnya ini alasannya saja agar bisa berdekatan dengan salah satu anak OSIS yang memakai kacamata. Entah siapa namanya. Ketika aku bertanya, Vina hanya bergumam tidak jelas.
Jumat pagi aku memilih membantu kedua orang tuaku membereskan warung sebab pada malam sebelumnya, ada sekelompok ibu-ibu yang mengadakan arisan sehingga membuat kondisi warung sedikit berantakan. Aku sempat merasa was-was Bapak akan menyuruhku mengantarkan makanan ke rumah Mariana.
Sampai menjelang makan siang dan warung sudah buka, ayah dan ibuku tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah sana. Namun di sela-sela percakapan mereka, ayah sempat menyebut soal Mariana dan Om Yoga yang sedang berada di Jakarta. Sepertinya aku aman. Tidak ada antar mengantar makanan ke rumah mantan sahabatku.
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan senang.
Memang sudah menjadi kebiasaan bagiku ketika membantu orang tuaku, aku selalu meninggalkan handphone-ku di kamar. Aku tidak mau terlena oleh benda kecil itu dan melalaikan kewajibanku.
Makanya saat sampai di kamar dan mengecek notifikasi ponsel, aku terbatuk-batuk mendapati ada ratusan pesan yang masuk.
Aku sudah mengaktifkan notifikasi grup angkatan dan dari grup itu saja, ada sekitar 125 pesan yang masuk. Sementara itu, pesan pribadi untukku dari Vina berjumlah sekitar 28 pesan belum termasuk panggilan tak terjawab.
Aku membuka pesan dari Vina terlebih dahulu sebab aku berpikir, mungkin ratusan pesan di grup angkatan hanya berisi basa-basi soal baju dan aksesoris yang akan dikenakan ke acara besok. Atau hal-hal remeh semacam itu.
Vina: cepetan buka grup angkatan. Ada yang mengerikan bgt!!!!
Vina: km dmn? Uda sempat ngontak Suga? Apa kata dia?
Vina: udah liat grup blm?
Kemudian Vina mengirimkan pesan terusan dari grup angkatan kami yang berisikan foto-foto sepasang kekasih yang sedang berduaan di sebuah pantai. Aku memfokuskan mataku pada si cowok yang sejak awal sangat familier.
Suga. Itu Suga. Dan dia pasti sedang berkencan dengan Chelsea. Tetapi kenapa foto kencan mereka bisa sampai tersebar di grup angkatan sekolahku?
Selain foto-foto itu, ada juga pesan terusan yang berisikan intimidasi untuk melakukan serangan ke SMA Taman Mahesa sebab salah satu siswinya sudah menjadi pelakor dan merebut kekasihku. Banyak juga yang mementionku dengan ucapan agar aku tabah.
Tubuhku menjadi kaku selama sekian detik. Jantungku bertalu-talu sebab otakku sudah ribut membayangkan anak-anak dari sekolahku yang tawuran dengan anak-anak dari SMA Taman Mahesa.
Tanganku dengan cepat mencari nomor Suga dan mengubungi cowok itu. Akan tetapi nomornya sama sekali tidak bisa dihubungi. Apa dia sengaja kabur? Bukankah dahulu ia yang dengan menggebu-gebu mengatakan tidak ingin ada masalah diantara kedua SMA lagi?
Aku ketakutan menyadari bahwa aku harus sendirian menyelesaikan masalah ini. Apa yang harus aku lakukan?
Mataku dengan cepat membaca setiap pesan di grup angkatanku. Di samping pesan-pesan intimidasi, banyak juga pesan yang berisikan simpati. Aku merasa lebih aman bila tidak membalas pesan-pesan itu. Biarkan saja menjadi tanda tanya hingga Suga bisa aku hubungi.
Setelah merasa tenang selama beberapa saat, kemunculan Vina secara mendadak di depan kamarku kembali menciptakan gelisah bagiku.
"Gimana Suga?" tanyanya dengan penuh simpati. Dia bahkan menyempatkan diri membawakanku es krim favoritku. Pasti dia berpikir aku begitu patah hati hingga tidak mampu menjawab pesannya.
"Nggak bisa dihubungi," sahutku, dengan suara yang aku usahakan terdengar sesedih mungkin.
"Sabar ya, aku nggak nyangka aja dia bakal gitu. Padahal kalian belum dua minggu pacaran."
Aku memamerkan senyum yang semoga saja tampak sayu dan bukannya ketakutan.
"Itu, Vin." Aku berniat untuk membuka percakapan soal anak-anak yang ingin membuat perhitungan dengan anak-anak SMA Taman Mahesa. "Apa benar mau ada balas dendam? Kayaknya terlalu berlebihan deh..."
Vina memalingkan wajahnya ke arah jendela. "Aku sih nggak bisa bilang apa-apa. Susah ngatur anak-anak satu angkatan. Jumlah kita aja ada ratusan. Gimana caranya ngomong ke mereka?"
Pernyataan ini sama sekali tidak membantu. Aku malah semakin merasa ngeri. Suga yang masih belum bisa dihubungi membuatku menjadi sangat marah.
"Kuncinya ada di Suga," ujar Vina yang tahu-tahu sudah berdiri. "Aku pulang dulu ya. Kamu makan es krimnya dan jangan mikir yang aneh-aneh. Bisa jadi kan foto itu editan atau apa?!"
Aku mengangguk dan hanya bisa menatap hampa kepergian sahabatku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
