Ruang Kosong

0
0
Deskripsi

Seringkali wajah tampil tanpa ekspresi. Bahagia? Sedih? Kecewa? Marah? Apa aku pernah mengenal mereka? 

»»——⍟——««

 

Ini sebetulnya tulisan gaje, entah membahas tentang apa saya sebagai penulisnya aja nda tahu wkwkwk. 

Monggo yang tahu atau sekedar ingin mengeluarkan uneg-uneg dipersilahkan berkomentar :) 

Salam hangat, 

Tofuu

 

Sepi hari kulalui. Semua tampak sama, serupa, tak ada beda. Tangis-tawa menghilang. Sering kali wajah tampil tanpa ekspresi. Bahagia, sedih, kecewa, marah. Apa aku pernah mengenal mereka? 

Hampa. Satu kata yang kurasa tepat, untuk menggambarkan hidupku. Tidak ada hal menarik ataupun hal yang membuatku tertarik.

Detik berlalu, membawaku untuk terus tumbuh—tanpa persetujuanku--.

Sungguh, kala itu ada sosok anak kecil di sana. Duduk meringkuk, dengan mainan di sekeliling. Balon warna-warni menggantung di udara. Gelap melingkupinya. Sendirian, tanpa seorang teman. 

Dia masih ingin bermain. Namun, waktu mengurungnya. Memenjarakan jiwa kecil itu, lantas membuat sebuah jiwa baru. 

Terus menempa, hari demi hari. Membuat ciptaan baru yang akan tunduk patuh padanya. Tanpa peduli pada si anak kecil, yang semakin hari semakin tenggelam dalam gelap. Memohon dibebaskan. 

Tahun-tahun berganti. Kelinci buatannya telah selesai. Makhluk tanpa ekspresi, yang tunduk pada setiap perintah. 

Dia bukan boneka mekanik, dia manusia. Sayangnya, tak bisa disebut demikian sebab dirinya tak memiliki hati nurani. 

Suatu ketika, kala makhluk tempaan itu tengah asyik melihat-lihat lingkungan barunya, indranya melihat sebuah tangga mengarah ke bawah. Lantaran penasaran, ia pergi mencari tahu. Menuruni setiap anak tangga yang terbuat dari batu, memasuki kegelapan yang semakin lama semakin legam. 

Anak tangga terakhir. Dirinya menatap lurus ke depan. Seberkas cahaya kekuningan menarik pandangannya. Langkahnya tertuju ke sana. 

Ruang kotak berpintukan pagar jeruji besi menarik perhatiannya. Tak hanya itu, pemandangan di dalamnya pun ikut membuatnya untuk tak beranjak dari sana. 

Anak kecil itu duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya. Tubuhnya kurus, hampir tak begitu nampak ada daging menempel di sana. Kristal bening terlihat meluncur, membentuk aliran sungai kecil dari sudut matanya. Pundak yang tertutup gaun biru lusuh itu bergetar samar. 

Dia menangis? 

Sosok itu bertanya pada diri sendiri. Wajah tanpa ekspresinya masih setia mengarah pada jiwa mungil di dalam sana. Mata kosong itu tak ingin beralih. Pun kaki-kakinya tak ingin beranjak. 

Dirinya yang penasaran lantas bertanya pada gadis kecil, “kau kenapa?” Tanpa intonasi. Kalimat itu sedatar wajahnya. 

Gadis kecil buru-buru mengangkat kepalanya dan menghapus bekas aliran sungai kecil yang ia ciptakan. Kemudian, tergopoh-gopoh berlari menghampiri. 

“Kakak, kakak, tolong lepaskan aku!”

Tangan mungilnya menggenggam batang besi berbau karat. Kedua manik matanya memancarkan tatapan pilu. Suaranya lirih mengiba, meminta belas kasih. Namun, sayang seribu sayang, ia berbicara pada orang yang salah. Sosok di hadapannya sama sekali tak tersentuh oleh pemandangan menyedihkan itu. 

Sosok itu berlalu. Beranjak menuju ruang cahaya, meninggalkan jiwa mungil itu dalam kelegaman --hanya berteman dengan cahaya redup dari lilin kecil tak jauh dari penjaranya. 

Langkahnya sudah menjauh. Lebih dari dua puluh anak tangga batu telah dipijak naik, namun suara parau masih menggema. Terus memanggilnya. Si besar itu tak peduli, terus melanjutkan langkahnya. 

“... Tolong aku.”

Untuk terakhir kalinya, tepat sebelum bayang-bayang itu menghilang ditelan cahaya, suara itu mengiba. Kali ini, terdengar sangat lirih. Mungkin jika dia memiliki hati, ia akan merasakan betapa menyedihkannya nada suara itu. Namun, mau bagaimanapun, se-sedih apapun, dia tak akan pernah merasakannya. Hatinya telah sempurna membatu. 

Gadis kecil kembali ke sudut ruang. Duduk bersandar dinding, dengan raut sendu yang masih melekat di wajah tirusnya. Di pipinya tercetak bekas aliran air asin mengalir yang telah kering. Mata bulatnya telah kehilangan binarnya. Kini, jiwanya sesuram ruangan yang ia tempati.

 

 

Detik berlalu, masa terus berganti. Dunia berevolusi.

 
Tak menyangka, si besar ternyata kembali menemui si kecil. Ini sudah ke entah berapa kali dirinya memasuki ruang gelap nan pengap. Mereka mulai akrab. Semburat samar ekspresi sesekali terpancar dari wajahnya. Si jiwa kecil bercerita ria, binar antusias tampak menyinari mata si tanpa hati, walau samar. Pun ketika gadis kecil itu tertawa, segaris lengkung membentuk senyuman di wajahnya. Lagi-lagi walau samar. 
Kemajuan yang tak begitu signifikan namun bermakna. 


Esok hari, dia kembali berkunjung. Kali ini ekspresinya mulai lepas. Bunga tawanya merekah sebagian. Mungkin hatinya masih memiliki kesempatan untuk luruh. 
Sayup-sayup, bunyi langkah kaki terdengar mendekat. Bayang-bayang samar perlahan menghampiri. Sosok tinggi besar dengan wajah mengerikan muncul setelahnya. Menatap sangar pada mereka.

 
Jiwa gadis kecil dibuat menciut. Ia meringsut mundur beberapa jengkal. Namun tidak dengan temannya. Ya, mereka sudah berteman. 


Si teman malah tak merasa takut sedikit pun. Ia berdiri dari duduknya. Lantas membalas tatapan itu dengan tatapan elang miliknya. 


“Mengapa kau di sini?” Makhluk itu bertanya. Lengkungan ke atas itu tampak mengerikan, bak menyembunyikan makna bertentangan. 
Sosok di hadapannya menjawab acuh, “hanya melihat-lihat.”


Kemudian, ia berlalu dari sana. Menjauhkan bayangannya dari ruang bawah tanah yang gelap dan dingin. 


Sementara dua makhluk berbeda ukuran itu masih berada di sana. Yang satu meringkuk di sudut dinding, nyalinya ciut dikalahkan aura mengerikan yang menguap dari sesosok berjarak tiga meter di depannya. Sedang yang satunya masih asyik mematungkan tatapan tajam. 


Bibirnya mengucap kalimat pedas. Usainya, langsung pergi beranjak. Menyusul jiwa tempaannya yang sudah lebih dulu naik ke permukaan. 


Gadis kecil kembali menangis sesegukan hingga malam tiba. Ah, ya, bahkan dirinya tidak pernah tau apakah malam telah berlalu? Ataukah pagi sudah menjelang siang.

 
Sebab baginya, tak ada beda antara keduanya. Langit tempatnya bernaung hanya menunjukkan warna hitam temaram. Pun jauh dari benda tembus pandang yang dapat menembus cahaya matahari, jadi hanya sepotong lilin lah yang menjadi mentarinya.

°°°

Mendung menyelimuti. Mega kelabu berkumpul menjadi atap. Cahaya kilat bersahutan dengan bunyi gemuruh menggelegar. Bagaskara bersembunyi, dibuat takut olehnya. Tak lama rintik air jatuh berkeroyok, menghujami tanah. Nabastala menangis. 

Aroma petrikor menyeruak masuk, menggelitik indera penciuman. Rintik air jatuh, mengalun bak melodi eufoni di telinga. 

Jiwa yang tengah duduk menatap langit itu tiba-tiba terpikir tentang temannya. Bangkit, lantas berjalan menghampiri ruang kelam –dengan dua cangkir cokelat hangat di tangannya. Batinnya bersemangat, memikirkan cerita apa yang akan ia dengar dari mulut mungil itu. 

Dirinya hampir sampai. Sayup-sayup suara aneh terdengar bersama tenangnya suara hujan. Aroma lain pun ikut menguap, menyamarkan harum tanah basah yang terguyur hujan. 
Lantai tempatnya berpijak basah oleh cairan pekat. Meski tak nampak warna, namun aromanya sangat dikenali. 

Cangkir di genggamannya terjatuh. Bunyi onomatope benda yang pecah lantas menggema. Sosok tinggi yang sedang sibuk itu menyempatkan diri menoleh, raut wajahnya terkejut. Seketika aktivitasnya terhenti. 
“Sedang apa kau-“ –pertanyaannya tak tuntas, dipotong oleh suara datar dari dia yang baru saja muncul. 

“Sepertinya ucapanmu bertolak belakang dengan apa yang kau lakukan. Bukankah kau bilang tidak boleh menggunakan benda tajam?” ucapnya, tanpa ekspresi. Makhluk tinggi itu bingung, alisnya terangkat seakan bertanya-tanya. 

Dia menambah langkahnya, mendekat. Tiba satu meter, tangannya terulur meminta kapak dengan ujung mata pisau meliuk bak bulan sabit. “Berikan padaku! Aku akan menyimpannya di tempat yang aman,” titahnya. 

Tanpa babibu, sosok itu menurut. Memberikan senjata tajam pada makhluk di depannya. 
Dia menerima kapak sabit itu, bibirnya lekas tersenyum penuh arti. 

“Lekas selesaikan,” lanjutnya. Kemudian berbalik, berniat meninggalkan ruangan dan menyimpan senjata itu sesuai ucapannya. Lagi-lagi, lawannya menuruti. Mungkin ia tak menaruh curiga pada dia. Hei, dia yang membuatnya, bukan? Bagaimana ia akan berpikir kalau ciptaannya akan mengkhianatinya? 


Namun kenyataan meleset. 


Dalam jarak dua meter, tubuhnya berputar 180 derajat –bersamaan, tangan melemparkan benda tajam yang ia genggam. Kapak itu meluncur sangat cepat, mengenai tepat di titik vital lawan. Tubuhnya terperanjat, terpental satu meter sebelum jatuh terduduk. Darah segar merembes dari tempat kapak itu tertancap. 

Pemilik wajah datar itu melesat cepat ke arahnya. Mencabut kapak dari tempatnya. Aliran pekat memuncrat keluar, memberi noda pada sekitarnya. Kemudian, ia kembali melayangkan serangan. 

Kapak mengayun, bergesekan dengan udara. Mata pisaunya dengan cepat memotong sambungan atas si monster. Lantas menggelinding beberapa jengkal ke samping. Darah memuncrat deras dari sana. Bunyinya mengalun bersama hujan yang turun deras, bersahutan dengan gemuruh menggelegar. Aroma anyir pekat bertubrukan dengan petrikor yang tak ingin kalah. 

Tubuh itu pun kaku seketika. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi padanya. 

Si wajah datar beralih, beranjak dari sana lantas mendekati tubuh terkulai lainnya. Wajahnya tertunduk, sedikit menggelap. Mungkin hatinya tengah berduka. Setitik air tampak ingin meluncur dari sudut matanya. Namun urung, sebab ia langsung menghalaunya. Genggaman tangannya melemah. Ia mengambil napas dalam dan menghembuskan perlahan. Lalu, menengadahkan kepalanya sejenak, menatap langit-langit. 

“Padahal aku baru saja bersenang-senang.” Ia mengucapkan kalimat itu seraya tersenyum. 


Dia meraih selembar kain yang entah dari mana asalnya. Meletakkan tubuh mungil kaku itu di atasnya, lalu membungkusnya dengan hati-hati. Setelah itu membawanya naik ke permukaan. Keluar dari tempat gelap nan pengap. 


Gemuruh telah berhenti berbunyi, kilat pun berhenti menyambar. Satu persatu rintik hujan menyambutnya kala dirinya keluar dari bangunan sederhana itu. 


Langkahnya mengarah pada sebuah halaman kecil di sebelah bangunan, dengan hamparan rumput hijau terawat dan bunga dandelion yang tumbuh di beberapa tempat. Kemudian, mengubur tubuh si gadis kecil itu dengan layak --bersama dengan mainan-mainan usang milik gadis itu yang juga ia bawa serta. 


“Terima kasih atas waktu-waktu singkat yang berharga itu. Tanpamu, aku tidak akan pernah bisa merasakan bahagia,” gumamnya. 


Manik matanya menatap langit. Rintik hujan berhenti menyentuhnya. Warna-warni bias cahaya melengkung, berdampingan dengan awan putih. Nabastala tersenyum di ujung tangisnya. 


Dia menundukkan kepala. Wajah datarnya berubah muram, meski tak begitu kentara.
Desir angin membelai kulit. Melewati ruang kosong di hatinya. Desiran itu seakan membentuk melodi elegi yang membuat lara hati. Meredupkan karsa. Menghilangkan renjana. Menghempas semua eunoia. Serta, membuat dirinya kini seakan hanya sebuah akara. 


Pikirannya menerawang jauh ke depan. Kini, dirinya sendirian. Sudah tak ada lagi kawan maupun tujuan. Akankah ia tetap melanjutkan kehidupan?

 

---Selesai---

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Happiest Day
0
0
Jangan terlalu dikejar, jika memang jalannya pasti Allah memperlancar. Karena yang menjadi takdirmu akan mencari jalan untuk menemukanmu. -anonym
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan