
Welcome to Ganeswara Family! (First Series). Keluarga biasa yang diisi lima bersaudara yang nggak ada biasa-biasanya. Kalau nggak bikin gebrakan, bukan Ganeswara namanya.
Hidup Bianca sudah jungkir balik tidak jelas dengan keluarga yang menurut Bianca semuanya aneh. Hanya dia saja yang waras di dalam rumah, dan juga ibunya tentu saja. Menjalani kehidupan yang itu-itu saja, sebenarnya membuat Bianca bosan juga.
Tawaran pernikahan datang dari sahabat masa kecilnya yang tidak bisa dibilang sahabat lagi....

HAPPY READING…
Pukul setengah sebelas siang kurang lima belas menit Bianca sudah ada di lobby. Bersama dengan Kuncoro dan Jethro. Seperti yang sudah Bianca bilang, dia ingin makan di kopitiam yang kemarin lagi. Mau tidak mau Jethro dan Kuncoro mengikuti keinginan Bianca.
Mereka tidak bisa berlama-lama karena siangnya harus kembali ke hotel dan check out, lalu segera menuju ke Bandara. Seharusnya tidak akan ada masalah karena Bianca sudah memperhitungkan semuanya. Jadi waktu mereka masih cukup.
Dan seperti yang Bianca harapkan, karena mereka datang masih cukup pagi jadi semua makanannya masih komplit. Bianca langsung memesan makanan yang mau dia makan. Dia akan mengenyangkan perutnya sebelum benar-benar bertolak dari Balikpapan.
Saat makanan yang dipesan datang, Jethro dan Kuncoro hanya bisa tertawa. Bianca memesan nasi kukus yang kemarin, ditambah bakpao, mantau goreng dan juga per dimsum an. Yang pasti hari ini ada ceker ayam. Mereka benar-benar makan besar hari ini.
Sangking tidak mau ketinggalannya Bianca sampai memesan dua minuman. Teh tarik dan juga kopi susu. Rekor makan Bianca kali ini mengalahkan Jethro dan juga Kuncoro. Mungkin karena mereka sudah sarapan banyak tadi. Sementara saat sarapan tadi Bianca kelihatan sekali menghemat perutnya. Bianca hanya makan sepotong roti dan juga semangkuk kecil bubur yang isinya saja tidak penuh.
Wajar saja kalau di kopitiam ini Bianca jadi balas dendam. Makannya pun tidak kelihatan kenyang-kenyang. Semua masuk dengan baik ke dalam mulut Bianca. Nasi, dimsum, bakpao, mantau, dan dua minumannya pun habis. Tumben sekali Bianca bisa menghabiskan semuanya.
Pukul setengah dua belas mereka kembali ke hotel. Kuncoro sekalian mengembalikan mobil yang mereka sewa. Sementara Bianca memastikan kalau semua barang-barangnya tidak ada yang tertinggal. Pukul dua belas mereka langsung jalan ke Bandara dengan taksi. Hanya membutuhkan setengah jam.
Beruntung karena Bandara Sepinggan tidak sesibuk Soekarno-Hatta. Jadi ketika mereka menaruh barang-barang mereka ke bagasi juga tidak butuh waktu yang lama. Tidak ada antrian yang panjang sampai bisa setengah jam. Hanya butuh sepuluh menit, selesai semuanya.
Bahkan di Bandara saja Bianca masih sempat-sempatnya jajan minuman. Hari ini selera makan Bianca benar-benar mengerikan. Perutnya seolah bisa melar dan tidak pernah cukup penuh.
”Banyak banget Bee… Lo yakin gak akan boker di pesawat nanti?” Tanya Jethro masih dengan tidak percaya.
”Ya kalau mau boker tinggal boker aja, di pesawat bisa boker ini kan.” Jawab Bianca cuek.
”Biar bisa boker juga mana enak sih kamar mandi pesawat mah. Pusing, goyang-goyang gitu.”
Bianca menatap Jethro dengan malas. Dia harus sedikit mendongak kalau mau melihat wajah Jethro karena lelaki itu jauh lebih tinggi daripada dirinya.
”Lo berpengalaman banget kayaknya kalau urusan perbokeran di pesawat? Udah sering?” Tuduh Bianca dengan tatapan curiga.
”Gak perlu nyobain untuk tau rasanya kayak apa. Yang duduk anteng aja berasa goyangannya. Apalagi di belakang pesawat.”
Bianca tidak peduli. Dia malah asik minum es teh nya. Jethro hanya merusak kesenangannya saja. Meskipun tadi dia sudah minum banyak, tapi Bianca masih merasa haus.
Untungnya penerbangan mereka tidak di delay dan tepat waktu. Mereka bertiga duduk di satu deret kursi yang sama. Bianca yang paling pojok dekat jendela, di tengah Jethro, dan paling pinggir Kuncoro.
Sepertinya setelah ini Bianca yakin kalau Kuncoro bisa jadi salah satu sahabat baik Jethro. Buktinya selama penerbangan mereka terlihat begitu akrab dengan banyak obrolan. Sementara Bianca lebih memilih bermain game offline dan tidur sampai penerbangan dua jam sepuluh menit itu akhirnya selesai juga.
Selesai sudah perjalanan mereka ke Balikpapan. Sekarang saatnya kembali ke Jakarta dan kembali pada kenyataan. Besok sudah pasti Bianca dan Kuncoro harus langsung bekerja. Hari ini saja mereka bersyukur karena bisa pulang lebih cepat dan istirahat tentu saja.
Kalau Jethro, entahlah. Lelaki itu punya usahanya sendiri. Dia bisa langsung bekerja, atau kalau dia mau bersantai dan berleha-leha dulu juga tidak ada yang melarang. Jethro yang punya kuasa.
”Mbak naik apa?”
”Naik taksi Kun. Lo?”
”Aku kayaknya naik kereta deh Mbak. Soalnya naik taksi sebentar lagi jam macet.”
Bianca mengangguk. Dia tahu memang kalau kosan Kuncoro dekat kantor. Dan tahu sendiri kan jam pulang kerja seperti apa. Bukan masalah berapa ongkosnya karena pasti akan diganti oleh kantor. Tapi Kuncoro pasti mencari alternatif yang lebih cepat.
”Hati-hati Kun…” kata Bianca.
”Dah Kunti!” Jethro dengan lantangnya berkata sambil melambaikan tangannya. Entah mengapa sampai dengan sekarang Bianca masih sensi saja setiap kali Jethro memanggil Kuncoro dengan sebutan Kunti.
”Ayo naik taksi Bee…” kata Jethro.
”Kita mau naik taksi bareng?”
”Ya iya lah, sekalian aja. Kan rumah kita deketan ini. Masa mau buang-buang ongkos.”
Bianca memasang muka datarnya pada Jethro. “Je, lo mau orang tua kita curiga kalau lihat kita pulang bareng dari Bandara?”
”Ck! Mama gue taunya kalau gue lagi seminar di Bali. Bilang aja kita gak sengaja ketemu di Bandara, jadi pulang bareng deh.”
Enak sekali alibi Jethro. Seperti dunia benar-benar sesempit itu dan bentuknya cuma kubus. Bisa-bisanya kebetulan yang tidak masuk akal itu terjadi. Tapi ujung-ujungnya Bianca menurut juga. Ikut masuk ke dalam taksi yang sama dengan Jethro. Mungkin memang Jethro sedang ingin pulang ke rumah kedua orang tuanya.
Semenjak kembali menghabiskan banyak waktu bersama Jethro, Bianca jadi tidak banyak marah pada lelaki itu. Jethro punya jasa yang lumayan berarti ketika dia menghadapi banyak masalah dan kekesalan di Balikpapan kemarin. Kalau tidak ada Jethro mungkin Bianca sudah menangis menggerung-gerung dan berteriak. Atau bahkan lebih gilanya lagi dia akan nekat pulang sendirian ke Jakarta.
***
”Mama!!! Bee pulang!!!” Teriak Bianca ketika dia membuka pintu utama.
Bianca menghirup dalam-dalam oksigen yang dia bisa. Dia bisa rindu juga dengan rumah ini. Padahal cuma ditinggal beberapa hari saja. Bagaimana kalau dia benar-benar keluar dari rumah ini nanti? Tapi bukannya itu yang Bianca inginkan. Dia yakin kalau kurang dari dua puluh empat jam setelah pulang dia akan berpikir untuk keluar dan pergi jauh-jauh dari rumah ini lagi.
Tidak ada yang menjawab teriakan Bianca. Tapi hidungnya bisa mencium wangi aroma masakan. Langkah kaki Bianca otomatis langsung ke dapur. Dia meninggalkan kopernya begitu saja.
Di dapur ibunya sedang menggoreng ayam goreng kuning, dibantu dengan asisten rumah tangga mereka. Evelyn berbalik menatap Bianca ketika langkah kaki putrinya itu semakin nyaring terdengar. Wanita itu tersenyum lembut menatap Bianca.
”Gimana perjalanannya? Capek nggak Bee? Mau mandi dulu? Atau tidur dulu? Mama sebentar lagi selesai nih.”
Bianca menggeleng. Dia langsung menghambur dan memeluk ibunya. Tidak peduli kalau dia kotor karena dari luar. Yang jelas Bianca merindukan ibunya.
”Mau langsung makan aja Ma, kalau tidur dulu nanti aku bisa bablas sampai pagi.” Ujar Bianca dengan suara yang manja.
”Ya sudah duduk dulu sana. Mumpung yang lain belum pada pulang juga jadi kamu bisa makan tenang deh.”
Kata-kata ibunya sederhana, tapi mampu membuat senyum di wajah Bianca memudar. Dia berjalan pelan ke meja makan. Duduk sambil memperhatikan ibunya yang sibuk di dapur.
Kebiasaan ibunya, dia selalu tahu apa yang anak-anaknya rasakan tanpa perlu mengungkapkan. Bianca tidak pernah bilang kalau dia kesal dengan keadaan rumah yang berisik. Ribut-ribut tidak jelas Drucilla dan Edgar. Jadi tidak nyaman dan membuatnya tidak betah.
Tapi Bianca tidak pernah mengatakannya karena dia tahu itu akan menyakiti perasaan ibunya. Apa lagi kalau menyangkut Drucilla dan Edgar, dua anak kesayangan ibunya. Sudah pasti akan membuat ibunya sedih.
Namun ternyata ibunya tahu kalau Bianca tidak nyaman. Mungkin wanita itu sudah berusaha membuat keadaan rumah ini jadi nyaman untuk semua yang tinggal di dalamnya. Mungkin juga ibunya bingung harus berbuat apa supaya Bianca bisa merasa nyaman. Karena Drucilla dan Edgar sepertinya sudah tidak bisa ditangani lagi.
Dari sejak mendiang ayah mereka masih ada pun dua anak itu sudah seperti kucing dan anjing. Kucing dan anjing saja bisa lebih akur malah. Ini yang kadang membuat Bianca tidak tega untuk mengungkapkan niatnya tinggal sendiri. Dia selalu berpikir apa jadinya ibunya kalau dia juga keluar dari rumah ini.
Sudah cukup Aldeera saja yang pergi. Itu saja sudah membuat rumah mereka jadi tidak karuan. Mau sekuat dan segalak apapun Bianca, posisinya tetap tidak bisa menggantikan Aldeera. Se istimewa itu memang anak pertama. Karena dimata adik-adik mereka pun, Aldeera tetap begitu ditakuti dan dihormati.
Mana pernah ceritanya Aldeera harus teriak-teriak hanya untuk membuat Drucilla dan Edgar berhenti adu mulut. Cukup dengan lirikan maut saja kedua bocah itu sudah takut, sampai sekarang. Kalau Bianca mah, mau dia menghentak-hentakkan kaki sampai satu rumah gempa bumi juga tidak akan didengarkan.
”Ayam goreng kuning sama nasi daun jeruk kesukan Bee…” ibunya menyerahkan sepiring nasi daun jeruk dengan dua potong ayam goreng dan bumbu ayam goreng yang banyak.
Bianca tersenyum lebar menerimanya. “Makasih Mama…” ibunya duduk di hadapan Bianca. Menemani Bianca makan dan hanya melihat Bianca saja. Tapi raut bahagianya tidak bisa disembunyikan.
“Mama nggak makan? Kenapa senyum-senyum gitu sih? Aku jadi takut.”
”Mama sudah makan, masih kenyang. Mama senang aja kamu sudah pulang. Mama kan juga khawatir Bee setiap kali kamu harus keluar kota lama-lama begitu. Kalau kamu sudah ada di rumah, di depan Mama, baru Mama tenang.”
”Aku udah tiga puluh satu tahun Ma, gimana kalau besok aku nikah coba.”
”Kalau itu lain. Kalau kamu menikah, paling nggak Mama tahu kalau kamu nggak sendirian, ada yang jagain kamu disana. Kalau kamu nangis, ada yang menemani kamu.” Senyum Evelyn semakin lebar ketika mengatakannya.
Malah Bianca yang jadi tidak enak. Dia tahu, ibunya tidak menyuruhnya untuk segera menikah. Ibunya adalah wanita paling pengertian yang pernah Bianca kenal. Tapi kalau sudah membahas pernikahan seperti ini, ibunya pasti langsung teringat dengan ayahnya. Setelah enam tahun berlalu pun masih banyak hal dan aktivitas yang membuat ibunya suka terdiam karena mengingat belahan jiwanya itu.
”Mama kangen sama Papa ya?” Tanya Bianca hati-hati.
”Nggak ada hari tanpa Mama kangen sama Papa. Orang bilang, seiring berjalannya waktu lama-lama rasa kehilangan kita akan pudar. Kita bisa melanjutkan hidup seperti sebelumnya lagi. Tapi nggak berlaku untuk Mama. Mama masih ingat bagaimana suara Papa, langkah kaki Papa, bahkan senyum Papa juga Mama masih ingat.” Mata Evelyn menerawang jauh. Membayangkan kenangan masa lalunya bersama dengan suami tercintanya.
Bianca pernah merasa iri pada orang tuanya. Bagaimana mereka saling mencintai satu sama lain dan saling mendukung. Bahkan mereka kompak untuk mengurus semua anak-anak mereka sesuai dengan kebutuhannya.
Kadang Bianca berpikir, apakah mungkin suatu saat nanti dia bisa menikah dan menjalani pernikahan seperti kedua orang tuanya? Yang menurut Bianca adalah pernikahan negeri dongeng di tengah maraknya pernikahan yang isinya kalau tidak berselingkuh, KDRT, ya ketidakcocokan dalam rumah tangga.
“Ma…, gimana caranya Mama sama Papa bisa punya rumah tangga yang nggak ada masalah?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul begitu saja dari bibir Bianca.
Evelyn semakin tersenyum menatap putrinya. Di matanya, semua anak-anaknya tetaplah anak-anak. Kadang dia sampai lupa kalau mereka sudah pada dewasa, dan dia semakin menua. Tidak selamanya dia akan bisa menemani mereka.
”Nggak ada rumah tangga yang nggak ada masalah sayang. Saat kamu memutuskan untuk menikah, sama saja kamu sudah tanda tangan kontrak seumur hidup untuk menghadapi masalah. Apa yang kelihatannya baik-baik saja bukan berarti nggak ada masalah. Yang paling penting dengan siapa kita akan menghadapi masalahnya. Semuanya tergantung dari orangnya, bagaimana respon dan sikap dia dengan masalah yang dihadapi. Itu yang akan menentukan akhirnya nanti.”
“Mama selalu berharap kalau semua anak-anak Mama bisa menemukan belahan jiwanya. Apapun yang sedang terjadi, sehebat apapun badai yang ada di luar, semuanya akan terasa tetap aman kalau bersama dengan orang yang tepat. Mama yakin suatu saat nanti kalian akan bisa bertemu dengan orang yang seperti itu.”
Evelyn menyodorkan minuman milik Bianca. Siapa tahu putrinya itu membutuhkannya karena Bianca makan dengan lahap sambil mendengarkan Evelyn. Padahal sebenarnya Bianca merekam kata-kata ibunya dengan sempurna. Memperhatikan dan mencerna semua yang dikatakan ibunya itu.
Dia hanya menatap ibunya dengan dalam. Mata Evelyn begitu berkaca-kaca. Membuat Bianca semakin penasaran. Kalau semua rumah tangga pasti punya masalah, berarti hal yang sama juga dengan rumah tangga kedua orang tuanya kan.
”Kalau begitu apa masalah yang Mama dan Papa hadapi dulu?”
Pertanyaan Bianca selanjutnya sukses membuat wajah ibunya berubah jadi tegang. Tidak menyangka kalau Bianca akan bertanya seperti itu. Namun sekian detik berikutnya Evelyn kembali tersenyum.
”Banyak… Kamu nggak akan percaya kalau Mama bilang Mama sempat ingin mati rasanya.” Ujar Evelyn dengan tenang. Dia menatap Bianca sebentar, memberikan senyuman penuh arti sebelum dia berdiri dari duduknya.
”Mama mau ke atas dulu ya, mandi. Udah keringetan dan nggak enak. Kamu kalau mau nambah masih ada tuh. Tinggal ambil sendiri. Jangan lupa habis ini mandi, terus istirahat. Barang-barang kamu nanti bibi aja yang beresin.”
Evelyn menepuk pundak Bianca pelan dan berlalu dari sana. Dia tidak ingin membiarkan Bianca bertanya lebih lanjut lagi, lalu membuka luka lama yang sudah terkubur dalam itu.
***
Jangan lupa love dan comment nya… Terima kasih…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
